2. Peningkatan kapasitas sumberdaya manajemen kelembagaan LEPP-M3 melalui penataan sistem manajemen dan pelatihan pengembangan
kapasitas manajemen organisasi. 3. Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia pengelola LEPP-M3 anggota
dan dewan pembina, melalui pelatihan ketrampilan, pendidikan informal yang berkaitan dengan pengembangan organisasi dan pengelolaan
sumberdaya perikanan. 4. Peningkatan kapasitas sumberdaya keuangan melalui diversifikasi sumber-
sumber pendanaan, pengembangan dan pembinaan kemitraan dengan lembaga keuangan serta peningkatan kapasitas sumberdaya manusia
pengelola keuangan. 5. Pengembangan kemitraan dengan lembaga pemerintah, lembaga
pendidikan, lembaga keuangan dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, yang didukung dengan pengembangan sistem informasi dan promosi
terhadap eksitensi LEPP-M3 kota Ambon termasuk kegiatan-kegiatan yang dilakukan dan direncanakan pengembangannya.
6. Pengembangan kapasitas pengelola LEPP-M3 dalam kaitan dengan pengambilan keputusan, peningkatan ketrampilan dalam meresolusi konflik
atas sumberdaya serta pelatihan penyusunan regulasi tingkat KMP yang berkaitan dengan operasionalisasi LEPP-M3 dan implementasi pengelolaan
sumberdaya perikanan.
7.5 Pembahasan Menyeluruh : Perumusan Implikasi Kebijakan
Kemitraan yang selama ini berjalan di Indonesia menurut banyak pengamat pada umumnya masih berlangsung karena himbauan pemerintah.
Himbauan itu pun berjalan tidak sebagaimana mestinya, karena dorongan untuk bermitra, umumnya didasarkan atas konsep belas kasihan dan bukan atas dasar
kerjasama yang saling menguntungkan. Kalaupun ada kemitraan yang terjadi umumnya didasarkan atas rasa takut akan mendapat hambatan dari pemerintah.
Jadi kebutuhan untuk bermitra di Indonesia belum built in dengan strategi usaha dari itu sendiri. Kemitraan usaha yang benar-benar didasarkan pada adanya
kebutuhan dan dilandasi motivasi ekonomi relatif masih sedikit. Padahal dalam praktik bisnis internasional dewasa ini, kemitraan usaha telah menjadi bagian
strategi internalisasi aktivitas usaha melalui akuisisi dan mergerpenggabungan dalam rangka integrasi vertikal dan horisontal.
Dalam program kemitraan sering mengedepankan aspek sosial kesejahteraan nelayan, tetapi pertimbangan keuntungan ekonomi jauh lebih
dominan. Sebab misi utamanya adalah meraih keuntungan dari setiap hubungan bisnis yang tercipta, tidak terkecuali pada nelayan kecil. Dengan demikian syarat
utama untuk menjamin kelanggenan kemitraan usaha adalah nelayan harus memiliki kemampuan yang memadai guna memenuhi harapan pihak industri
perikanan atau pihak perusahaan lainnya. Sementara itu
kondisi objektif
masyarakat nelayan sangat sulit untuk dapat memenuhi tuntutan industri perikanan atau perusahaan besar yang menerapkan kriteria-kriteria bisnis
modern. Kondisi sosial ekonomi nelayan sangat rendah. Hampir semua potensi sumberdaya yang dimiliki teknologi, sumberdaya manusia dan finansial tidak
mampu untuk mendukung terciptnya suasana saling membutuhkan dan menguntungkan. Berkaitan dengan situasi ini, maka sepatutnya nelayan dibantu
dan didukung oleh berbagai pihak terkait. Meskipun telah ada dukungan pembinaan dari instansi terkait, tetapi
nelayan nampaknya masih sulit untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Sebab perilaku instansi pemerintah sebagai pelaksana proyek cenderung
menonjolkan pendekatan “proyek” sukses administrasi ketimbang kesuksesan program secara berkelanjutan. Mekanisme kontrol dan sistem
pertanggungjawaban terhadap pelaksana kemitraan usaha tidak diciptakan secara baik. Akibatnya, bantuan dan pembinaan kepada nelayan tidak berjalan
sebagaimana yang diharapkan. Perilaku seperti ini sekaligus membuka peluang kepada industri perikanan atau perusahaan sebagai pihak yang lebih kuat dan
memiliki kecenderungan eksploitatif untuk mengingkari berbagi aturan main demi meraih keuntungan yang lebih besar. Bila ada pengaduan dari nelayan, maka
jarang ditanggapi dengan serius, karena komitmen pelaksana proyek relatif rendah dan tidak ada sanksi tegas yang dihadapkan kepada mereka bila tidak
mengindahkannya. Kemitraan usaha yang selama ini terlaksana pada dasarnya terbangun
atas prakarsa dari pemerintah bersama industri perikanan atau antara nelayan bersama industri perikanan. Program kemitraan usaha yang terbangun cederung
bersifat top down. Implikasinya adalah aturan main dan perangkat organisasi pelaksannya lebih berdasarkan pada nilai-nilai yang dianut pemrakarsanya
pemerintah, industri perikanan dan perusahaan besar. Pada tahap operasionalnya, nelayan dimobilisasi melalui kelompok untuk ikut serta dalam
program kemitraan. Situasi demikian menyebabkan konsep dan pelaksanaan kemitraan tidak sesuai dengan aspirasi atau kebutuhan masyarakat nelayan.
Kalaupun ikut terlibat di dalamnya bukan karena atas dasar kesadaran sendiri, tetapi lebih dipersuasi oleh pemerintah, industri perikanan dan perusahaan
besar. Keikutsertaaan dalam konteks seperti ini menyebabkan nelayan tidak memiliki kemandirian dalam mengembangkan usahanya Bachriadi,1995.
Sikap pemerintah, industri perikanan dan perusahaan besar yang memaksakan pola kemitraan tertentu dengan tanpa mempertimbangkan secara
mendasar mengenai kesiapan nelayan hanya akan menimbulkan kekecewaan. Pada aspek kualitas, nelayan masih berhadapan dengan rendahnya kemampuan
teknis dan manajemen usaha termasuk pengelolaan kelompok. Meskipun secara umum aturan main tentang kemitraan usaha harus
bermuara terwujudnya suasana saling memerlukan, memperkuat dan menguntungkan, namun dalam operasionalnya seringkali tidak jelas kriteria-
kriteria pencapainya. Pada umumnya pihak-pihak penyelenggara hanya mengandalkan peraturan pemerintah pusat yang sifatnya masih sangat umum.
Situasi seperti ini terlihat pada kemitraan usaha nelayan selama ini termasuk kondisi di kota Ambon. Pihak-pihak terkait tidak memiliki target yang jelas untuk
jangka waktu tertentu. Kegiatan yang dilakukan lebih didasarkan pada selera masing-masing dan terkadang bermasa bodoh dengan masalah-masalah yang
terjadi dalam program kemitraan usaha. Jadi dalam kemitraan tidak tercipta suatu mekanisme pemaksa atau kontrol bagi pelaksananya.
Berbagai bentuk aturan main baik yang bersifat formal maupun informal yang mengatur hubungan atau kemitraan antara masyarakat nelayan dapat
dijumpai di desa pantai di seluruh Indonesia. Dari bentuk tersebut ada 4 sistem kelembagaan ekonomi yang sering ditemui yakni ; 1 kelembagaan bagi hasil, 2
kelembagaan hubungan kerja, 3 kelembagaan pemasaran dan 4 kelembagaan perkreditan. Fakta menunjukkan bahwa keempat kelembagaan ini tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan lainnya. Pada umumnya masyarakat nelayan sering terlibat dalam hubungan ganda. Scott 1994 menyatakan bahwa
masyarakat pantai termasuk nelayan mempunyai hubungan paternalistik yang telah beralngsung sejak zaman dahulu. Seseorang menjadi pengikuti client dari
lapisan atasnya dan sekaligus menjadi pemimpin patron lapisan bawahnya. Sebagai patron adalah orang yang berada dalam posisi membantu client.
Praktek kelembagaan berdasarkan tradisi lokal sangat dihormati oleh masyarakatnya, tetapi kemudian kelembagaan lokal ditingkat desa ini
terhegomoni oleh pemerintah melalui peran kepala desanya melaksanakan campuran kekuasaan. Kekausaaan ini merupakan perwakilan sebagai kepala
desa yang mana tugas-tugas yang diemban sering tidak konsisten dan bahkan selalu berseberangan dengan peranan institusi lokal yang bertanggung jawab
dalam pengelolaan sumberdaya guna peningkatan kesejahteraan anggota masyarakatnya sebagai upaya menuju pembangunan berkelanjutan.
Dalam proses pengembangan masyarakat, maka unsur pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk diperhatikan.
Pengembangan sumberdaya manusia dalam masyarakat baik secara teoritis, konsepsional, dan praktis operasional merupakan realita yang telah teruji dalam
sejarah pembangunan baik di tingkat regional, nasional bahkan internasional. Hal ini berarti bahwa sebagai suatu paradigma pembangunan, maka
pengembangan masyarakat dibangun atas dasar realita-realita kehidupan masyarakat yang dapat menjamin terwujudnya pemberdayaan masyarakat itu
sendiri, peningkatan kapasitas masyarakat untuk dapat berkembang dan untuk menghadapi perubahan-perubahan yang senantiasa terjadi dan untuk
meningkatkan ikatan dan jalinan masyarakat sebagai suatu sistem. Oleh karena itu, maka pemberdayaan masyarakat itu sendiri berintikan premis bahwa
masyarakat yang menjadi intended beneficieries memiliki potensi untuk berkembang dan mandiri di dalam menghadapi berbagai tantangan dan berbagai
perubahan yang terjadi dalam kehidupannya. Dengan demikian pemberdayaan masyarakat adalah merupakan suatu proses peningkatan kapasitas masyarakat
melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan baik secara formal maupun informal, dengan menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk dapat
menghadapi kehidupan sehari-hari. Menurut Winoto 2000, pemberdayaan masyarakat harus dibangun atas
premis kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang meliputi : 1 Premis mengenai sifat dan tingkah laku manusia dalam masyarakat, di dalam
proses interaksi sosial, manusia umumnya berusaha untuk bisa memperoleh manfaat bagi kehidupannya dan sekaligus mengurangi ketidakmenentuan
dan resiko kehidupan yang dihadapi walaupun juga banyak anggota masyarakat yang bersifat phylantropic.
2 Premis tentang kehidupan organisasi Pengelompokan sosial pada umumnya dilakukan untuk mengurangi
ketidakmenentuan dan resiko kehidupan serta di dalam proses untuk mendapatkan akses terhadap sumberdaya masyarakat.
3 Premis tentang kebutuhan manusia dan masyarakat Manusia mencari dan berinteraksi dengan manusia lainnya melalui sistem
masyarakat community sistem, oleh karena didorong sifat alamiahnya. Pengelompokan yang bersifat alamiah dan interaktif ini akan lebih penting
dari pada pengelompokan berdasarkan batasan geografis. Atas dasar ini masyarakat dipahami sebagai suatu sistem yang terjalin oleh karena adanya
ikatan-ikatan nilai dan kepentingan akan kebutuhan ekspresi diri dalam masyarakat dan kebutuhuan akan pemenuhan aspirasi-aspirasi
kehidupannya. 4 Premis dalam partisipasi pengambilan keputusan tentang perubahan.
Pengembangan masyarakat yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat dibangun di atas premis bahwa setiap anggota masyarakat
memiliki hak untuk berpartisipasi di dalam proses pengambilan keputusan yang secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi
kehidupannya. 5
Premis tentang keberhasilan dan kegagalan program dan proyek pemberdayaan masyarkat. Kegagalan dan keberhasilan pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat ditentukan oleh kemampuan semua pihak yang terlibat dalam proses pengembangan masyarakat untuk memahami realitas
dan lingkungannya, sistem nilai masyarakat tentang arti penting perubahan dan arti penting dari masa depan, dan mindscape masyarakat dalam
bersikap dan berprilaku serta faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan budaya masyarakat dalam bersikap dan berprilaku akan menentukan
keberhasilan suatu program atau proyek pengembangan pemberdayaan masyarakat.
Dalam kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan agar usaha pemberdayaan tersebut dapat
berhasil yaitu : 1. Prinsip pendekatan kelompok
Bimbingan dan pelatihan dilakukan melalui pendekatan kelompok sehingga dapat menumbuhkan kekuatan gerak dari masyarakat. Kelompok
ditumbuhkan dari dan oleh serta untuk kepentingan masyarakat itu sendiri bukan untuk kepentingan pembina atau pihak lainya.
2. Prinsip keserasian
Anggota kelompok haruslah berasal dari orang-orang yang saling mengenal satu dengan lainnya, sehingga saling percaya dan mempunyai kepentingan
yang sama dan akan menumbuhkan kerjasama yang kompak dan serasi. 3. Prinsip pendekatan kemitraan
Memperlakukan masyarakat kecil sebagai mitra kerja pembangunan yang berperan aktif dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini masyarakat tidak
hanya dijadikan objek dari pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunan itu sendiri.
4. Prinsip Kepemimpinan masyarakat itu sendiri Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
mengembangkan kepemimpinan dari kalangan mereka sendiri. 5. Prinsip
swadaya Bimbingan dan dukungan kemudahan yang diberikan haruslah yang mampu
untuk menumbuhkan keswadayaan dan kemandirian. Disamping itu pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat semakin tergantung
pada berbagai program, karena apa yang dinikmati harus dihasilkan dari usaha sendiri.
6. Prinsip belajar sambil bekerja Masyarakat dibimbing dan dibina melalui proses bekerja sendiri dan
mengalami serta menemukan sendiri tujuan yang ingin dicapainya. Dengan kata lain bahwa masyarakat yang dibina mampu belajar dari pengalaman
yang pernah dilaluinya learning by doing. 7. Prinsip pendekatan keluarga
Bimbingan yang dilakukan harus melibatkan seluruh komponen keluarga. Pemberdayaan masyarakat terutama kelompok masyarakat kecil
menengah, sebagai bagian terbesar dari populasi masyarakat di Indonesia, dengan demikian merupakan kegiatan strategis yang perlu diposisikan agar
dapat memberdayakan dan melepaskan masyarakat kecil dari perangkap ketergantungan. Melalui masyarakat yang berdaya dengan demikian dapat
diharapkan terwujudnya suatu komunitas yang mampu dan terampil membuat rencana, melaksanakan, memproduksi, mengolah dan memasarkan, menikmati
hasil usaha, serta memperoleh pendapatan yang layak untuk hidup dan
menyejahterakan keluarga dan lingkungannya. Keinginan ini akan menjadi lebih mudah dicapai jika kelembagaan masyarakat benar-benar diberdayakan untuk
dapat berfungsi sebagai wadah kerjasama dan unit usaha antar pengusaha kecil menengah untuk mengelola dan memasarkan produksi yang dihasilkannya agar
dapat memiliki nilai tambah yang ekonomis dan menguntungkan. Kondisi ini akan terfasilitasi dengan lancar, jika pemerintah atau swasta memposisikan dirinya
secara bulat sebagai fasilitator pembangunan dan dengan sepenuh hati maksud pemberdayaan masyarakat sebagai langkah strategis menjadikan komunitas
masyarakat kecil menengah sebagai pelaku ekonomi yang berdaulat terhadap hak dan kewajibannya.
Kenyataan di lapangan menunjukkan pemerintah selama ini belum sepenuh hati menjalankan fungsinya sebagai fasilitator pembangunan dengan
baik dan benar. Hal ini terbukti dari tidak berperannya pemerintah baik dari tingkat kota, kecamatan maupun desa dalam program kemitraan yang terbangun
melalui program PEMP di Kota Ambon. Sementara pihak LEPP-M3 mengharapkan adanya perhatian pemerintah desa mitra desa dalam aspek
pembinaan terhadap masyarakat desanya yang tentunya bertujuan terhadap keberlanjutan kemitraan tersebut.
Berkaitan dengan hal ini maka sebenarnya kemitraan yang terbangun melalui program PEMP di Kota Ambon sesungguhnya masih menghadapi
berbagai macam persoalan. Bila didekati dari kaidah sebab akibat, maka persoalan-persoalan yang melingkupi program kemitraan usaha pada dasarnya
bersumber dari dua komponen utama, yakni struktur sumberdaya partisipan serta proses pelaksanaannya.
Dari segi kesiapan sumberdaya, maka seharusnya diantara nelayan peserta dan LEPP-M3 Kota Ambon ada “keseimbangan”. Artinya, apabila satu
pihak mengorbankan suatu sumberdaya, pihak lainnya harus mampu mengelolanya dengan baik berkat dukungan potensi sumberdaya yang
dimilikinya. Hal ini pada gilirannya akan menimbulkan suasana saling membutuhkan, memperkuat dan saling menguntungkan. Namun kenyataan yang
terjadi dalam kemitraan yang terbangun melalui program PEMP di Kota Ambon terjadi ketimpangan. Beberapa jenis sumberdaya baik secara kuantitas maupun
kualitas belum mampu menopang keberlanjutan kemitraan. Kondisi sumberdaya yang dimiliki oleh nelayan perikanan tangkap khususnya kelompok masyarakat
pemanfaat nelayan purse seine di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 47.
Tabel 47. Identifikasi persoalan sumberdaya KMP peserta kemitraan
No. Potensi sumberdaya
Persoalan pada nelayan purse seine 1
Manusia Pendidikan sangat rendah ada yang tidak memiliki latar
belakang sebagai nelayan 2
Teknologi peralatan Belum tersedianya rumpon secara menyeluruh dan alat
penangkapan yang digunakan sangat belum memadai 3
Finansial Belum dapat disediakannya secara mandiri oleh kelompok
dan dana untuk pengadaan peralatan penangkapan tidak tersedia
4 Informasi
Kurang transparan karena hanya dikuasai oleh ketua kelompok
5 Kelembagaan
Wadah komunikasi antar partisipan tidak ada dan ikatan kelompok nelayan relatif lemah
6 perikanan
Jenis ikan campuran, yang tekadang tidak dibutuhkan oleh industri perikanan
Sumber : Data primer diolah 2008
Berdasarkan gambaran pada Tabel 47, maka kondisi sumberdaya yang dimiliki nelayan purse seine tersebut belum mendukung terciptanya suasana
yang saling menguntungkan. Walaupun pada awalnya, pihak LEEP-M3 dan pihak KMP saling membutuhkan, tetapi karena daya dukung sumberdaya
nelayan tidak memadai, akhirnya menimbulkan kerugian bagi LEPP-M3. Kelemahan yang melekat pada sumberdaya KMP peserta kemitraan, ternyata
diperparah juga dengan proses pelaksanaan kemitraan yang belum sepenuhnya mampu mengatasi berbagai persoalan yang terjadi Tabel 48
Berdasarkan gambaran pada Tabel 48, secara umum pelaksanaan kemitraan belum sepenuhnya mengarah pada upaya pemberdayaan nelayan.
Hal ini terlihat dari konsepsi kemitraan yang bersifat top down dan upaya untuk mengatasi berbagai kelemahan mendasar pada sumberdaya nelayan tidak
dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan, serta sistem kelembagaan belum tertata dengan baik, sehingga kurang berfungsi. Pada sisi lain masyarakat belum
sepenuhnya memahami hak dan kewajibannya selaku pelaku ekonomi yang berdaulat karena tidak didukung oleh kemampuan manajerial dan ketersediaan
informasi yang dapat membantu mereka melaksanakan fungsinya sebagai unit usaha yang mandiri dan otonom.
Gap inilah yang selama ini mengakibatkan nelayan perikanan tangkap seakan-akan bergantung pada uluran tangan pemerintah yang bahkan
cenderung menjadi campur tangan birokrat. Untuk mengatasi gap ini diperlukan personel yang mampu berperan sebagai komunikator, motivator, dinamisator,
korektor serta soluter yang dapat merekatkan kesenjangan antara masyarakat kecil dan pemerintah.
Beberapa pendekatan dan strategi dalam pemberdayaan masyarakat, dapat ditempuh dengan berbagai upaya sebagai berikut :
1. Memulai dengan tindakan mikro. Proses pembelajaran rakyat harus dimulai dengan tindakan mikro, namun memiliki konteks makro dan global. Dialog
mikro-makro harus terus menjadi bagian pembelajaran masyarakat agar berbagai pengalaman mikro dapat menjadi policy input dan policy reform.
Tabel 48. Identifikasi persoalan pelaksanaan kemitraan
No Pelaksanaan Kemitraan
Persoalan 1
2 3
4 5
6
7
8 9
Kelompok Nelayan Peserta Pembentukan Kemitraan Usaha
Aturan Main Organisasi Pelaksana
Sosialisasi Program Operasional Kegiatan
- Proses Produksi - Pemasaran
Pembinaan MonitoringEvaluasi
Pendapatan KMP Dibentuk oleh KMK dominasi ketua
kelompok terlalu kuat Diprakarsai oleh DKP, nelayan dimobilisasi
untuk ikut kemitraan Tertulis tapi tidak dimiliki oleh anggota
kelompok, hanya ada pada ketua kelompok, presepsi diantara nelayan peserta berbeda
dan aspirasi nelayan belum terakomodasi Tidak ada struktur yang disepakati bersama,
hanya diperankan oleh ketua kelompok, pembinaan tidak terwadahkan secara baik
Lebih bersifat penerangan dan dilakukan hanya sekali serta nelayan dijadikan
sebagai objek Belum didasarkan pada perencanaan yang
sistimatis, sumberdaya manusia belum dipersiapkan secara baik
Pemberian bantuan dalam bentuk dana DEP kepada KMP hanya di ketahui oleh
ketua kelompok, Penanganan hasil penangkapan tidak
menggunakan es sementara hasil perikanan bersifat mudah busuk
Tidak ada jaringan pasar yang tersedia sesuai dengan perjanjian
Tidak dari pemerintah desa maupun kecamatan serta instansi terkait. Pihak
LEPP-M3 tidak melaksanakan fungsinya. Belum dilaksanakan secara teratur
Rata-rata belum mampu menutupi kredit dari dana DEP
Sumber : Data primer diolah 2008
2. Pengembangan sektor ekonomi strategis sesuai dengan kondsi lokal daerah. Yang dimaksud produk strategis unggulan tidak hanya produksi
yang ada di masyarakat seperti laku di pasaran, tetapi unggul dalam hal bahan baku dan teknis produksinya, serta memiliki keterkaitan sektoral
tinggi. 3. Mengganti pendekatan kewilayahan administrasi dengan pendekatan
kawasan. Pemberdayaan masyarakat tidak mungkin didasarkan atas kewilayahan administratif. Pendekatan kewilayahan administratif adalah
pendekatan birokrasi atau kekuasaan. Pendekatan kawasan berarti lebih menekankan kesamaan dan perbedaan potensi yang dimiliki oleh suatu
kawasan tertentu. Dengan pendekatan ini akan memungkinkan terjadinya pemberdayaan masyarakat dalam skala besar disamping keragaman model
yang didasarkan atas keunggulan antara kawasan satu dengan yang lainnya. Lebih lanjut akan memungkinkan terjadinya kerjasama antar
kawasan yang lebih produktif. 4. Membangun kembali kelembagaan masyarakat. Peran serta masyarakat
menjadi keniscayaan bagi semua upaya pemberdayaan masyarakat, jika tidak dibarengi munculnya kelembagaan sosial, ekonomi dan budaya yang
benar-benar diciptakan oleh masyarakat sendiri. 5. Mengembangkan penguasaan pengetahuan teknis. Perlu dipahami bersama
bahwa desakan modernisasi telah menggusur ilmu pengetahuan dan teknologi lokal dan menciptakan ketergantungan pada input luar serta
hilangnya kepercayaan diri yang sangat serius terhadap pengembangan kesadaran. Karena peristiwa ekonomi juga merupakan peristiwa politik atau
lebih dikenal dengan politik ekonomi, maka tindakan yang hanya berorientasi memberikan bantuan teknis jelas tidak memadai. Yang diperlukan tindakan
berbasis pada kesadaran masyarakat untuk membebaskan diri dari belenggu kekuatan ekonomi dan politik yang menghambat proses
demokratisasi ekonomi. 6. Membangun jaringan ekonomi srategis. Jaringan strategis akan berfungsi
untuk mengembangkan kerjasama dalam mengatasi keterbatasan- keterbatasan yang dimiliki kelompok ekonomi satu dengan yang lainnya baik
dalam bidang produksi, pemasaran, teknologi dan permodalan. Disamping itu juga jaringan strategis juga akan berfungsi sebagai media pembelajaran.
7. Kontrol kebijakan. Agar kebijakan pemerintah benar-benar mendukung upaya pemberdayaan masyarakat, maka kekuasaan pemerintah harus
dikontrol. Sebagai contoh keikutsertaan kelompok nelayan dalam proses pengambilan keputusan tentang kebijakan perikanan.
8. Menerapkan model pembangunan berkelanjutan. Setiap peristiwa pembangunan harus mampu secara terus menerus mengkonservasi daya
dukung lingkungan. Dengan demikian daya dukung lingkungan akan dapat dipertahankan untuk mendukung pembangunan.
Seperti telah diuraikan diatas sasaran strategi pemberdayaan masyarakat bukanlah sekedar peningkatan pendapatan semata melainkan sebagai upaya
membangun basis-basis ekonomi yang bertumpu pada kebutuhan masyarakat dan sumberdaya lokal yang handal. Di samping itu pemberdayaan ekonomi
masyarakat harus pula diarahkan pada upaya-upaya menciptakan proses-proses ekonomi yang lebih demokratis dan berkeadilan serta menjamin bagi terciptanya
kemandirian dan keberlanjutan. Mencermati kelembagaan kemitraaan melalui program PEMP yang di
laksanakan di Kota Ambon, dari hasil penelitian dan analisis yang dilakukan, masih terdapat berbagai kelemahan baik dari segi konsep kemitraan yang di
bangun maupun implementasinya. Sementara kondisi masyarakat nelayan di Kota Ambon melalui kelembagaan kemitraaan ini diharapkan memberikan solusi
bagi melepaskan mereka dari perangkap keterbelakangan yang membelenggu mereka.
Dipahami bahwa peranan utama kelembagaan dalam suatu masyarakat adalah untuk mengurangi ketidaktentuan uncertainty dengan menetapkan suatu
struktur yang stabil bagi interaksi manusia. Stabilitas kelembagaan dapat saja berubah menurut waktu dan proses yang rumit sebagai konsekwensi dari adanya
perubahan aturan. Karena kelembagaan dapat berubah, maka berarti secara terus menerus akan terjadi perubahan pilihan yang tersedia bagi manusia dalam
masyarakat. Perkembangan kelembagaan berarti suatu proses menuju kearah
perbaikan hubungan antara orang atau kelompok orang dalam masyarakat, yang pada gilirannya dapat membentuk kelembagaan yag dikehendaki. Karena proses
tersebut melibatkan unsur norma dan tingkah laku manusia, maka proses tersebut memerlukan waktu.
Dalam prakteknya, pengembangan kelembagaan dicapai melalui program-program yang dirancang dan diimplementasikan dalam suatu proyek,
dengan susunan staf, rincian tugas dan tanggung jawab, tahapan-tahapan yang harus dilakukan, pendanaan dan lain sebagainya. Namun demikian segala
sesuatu yang telah dirancang tersebut seyogyanya tidak merupakan suatu rancangan yang kaku blueprint namun dapat saja berubah sesuai kondisi yang
dihadapi di lapangan. Pengembangan kelembagaan memerlukan perencanaan, namum seyogyanya bersifat fleksibel sebagai suatu adaftasi terhadap perubahan
lingkungan. Pendekatan learning process mungkin dapat memberikan sumbangan
dalam menciptakan kapasitas lokal untuk memobolisasi dan mengelola sumberdaya guna mencapai kelembagaan yang diharapkan. Dalam konteks ini,
ada tiga alternatif dalam mendukung upaya-upaya pengembangan kelembagaan lokal meliputi bantuan teknis, fasilitas dan promosi. Ketiga altenatif tersebut
mempersentasikan tingkat keterlibatan degree of involvement pihak luar yang berbeda-beda terhadap masalah yang berkaitan dengan kelembagaan lokal.
Cara yang paling tepat dalam upaya untuk penguatan strengthen kemampuan kelembagaan lokal yang demokratis sangat tergantung pada 1 kemampuan
atas kapasitas yang telah ada sebelumnya, 2 sumber inisyatif perubahan. Kontribusi Kelembagaan kemitraan dalam pengembangan ekonomi lokal
diharapkan bahwa nantinya kompetensi ekonomi lokal dapat diidentifikasi dengan baik untuk kemudian dikembangkan menjadi usaha yang berbasis pada
sumberdaya lokal. Hal pokok yang perlu dilakukan adalah pembinaan pemberdayaan kelembagaan lokal, yang diupayakan secara lebih baik melalui
proses sosialisasi dalam pembentukan dan keberadaan kelembagaan kemitraan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi keberhasilan dalam
pengembangan kelembagaan lokal adalah : ♦ Lembaga kemitraan yang ada atau yang akan dibentuk seyognya mampu
menampung semua aspirasi dari para pelaku stakeholders. Lembaga ini ditingkat kabupaten atau propinsi akan membahas rumusan dan implemntasi
kegiatan rencana tindak action plan, serta memobilisasi sumberdaya dan dana kegiatan jaringan kerja usaha dari pihak pemerintah, swasta dan
masyarakat. ♦ Lembaga kemitraan ditingkat kabupaten adalah lembaga yang didalamnya
melibatkan unsur-unsur pemerintah, swasta maupun masyarakat, diharapkan
dapat lebih mengakses kepada kelompok sasaran yang menjadi induk perekonomian rakyat.
♦ Perlu melibatkan berbagai unsur dalam masyarakat ♦ Kelembagaan kemitraan harus menjalankan fungsinya untuk meyerap dan
menampung aspirasi kelompok sasaran untuk melakukan tindakan lebih lanjut yang diperlukan baik berupa koordinasi dengan lembaga kemitraan
ditingkat kabupaten, maupun dengan lembaga-lembaga terkait lainnya. Jaringan kelembagaan net working perlu dibangun untuk melancarakan
mekanisme kerja dan memfasilitas munculnya kemitraan dan arus informasi diantara lembaga-lembaga yang terkait. Dengan demikian upaya pengembangan
ekonomi lokal dapat bertumbuh dengan bebasis pada kapasitas lokal dengan mengaitkan pada peluang pasar, baik pada tingkat lokal itu sendiri, regional,
nasional maupun internasional. Pengembangan jaringan kelembagaan ini juga akan berkontribusi positif pada peningkatan kapasitas lokal dalam rangka
sinkronisasi pengelolaan program dan investasi yang ada baik berupa program pemerintah, bantuan internasional, LSM dll untuk menunjang kegiatan ekonomi
masyarakat. Menyadari kenyataan tersebut, maka pihak pemerintah dinas kelautan
dan perikanan Kota Ambon yang terwadahi melalui program PEMP semestinya menyadari pola kemitraan yang diterapkan. Dengan demikian penekanan
terhadap aspek bisnis yang diterapkan oleh pihak LEPP-M3 sebagi lembaga bisnis tidak mengabaikan prinsip-prinsip pemberdayaan, sehingga kemitraan
yang terbangun akan memberikan keuntungan secara berkeadilan bagi pihak- pihak yang bermitra.
Pemahaman terhadap potensi ekonomi lokal harus memasukan aspek sumberdaya pengetahuan lokal yang bila dikelola dengan baik akan
memberikan kontribusi besar bagi kesejahteraan masyarakat yang memilikinya. Namun sumberdaya pengetahuan lokal ini akan tetap marjinal apabila tidak
diorganisasikan secara efisien, cepat dan tepat. Oleh karena itu pemanfaatan teknologi informasi yang telah maju dapat membantu pemanfaatan pengetahuan
lokal sebagai sumberdaya dasar untuk mempercepat proses peningkatan kesejahteraan masyarakat di pedesaan yang berdampak terhadap pembangunan
wilayah. Salah satu mitos yang dipercayai kebenarannya semasa orde baru
adalah pemberdayaan masyarakat diwujudkan antara lain melalui bottom-up
proses. Mengapa ini dikatakan mitos karena terdapat anggapan bahwa masyarakat berada di bawah bottom sedangkan pemerintahpenguasa berada
di atas top down. Masyarakat tradisional selalu memiliki pengetahuan yang mendalam dalam pengelolaan sumberdaya yang menjamin keberlanjutan. Pada
saat kondisi eksternal berubah, masyarakat dengan kemerdekaan, keberagaman dan kebersamaan akan berupaya bereaksi terhadap perubahan tersebut dan
selanjutnya menciptakan cara-cara baru hingga kehidupan mereka terus berlangsung dengan kondisi yang baru tersebut.
Pengetahun tradisional adalah kearifan historis yang dimiliki masyarakat setempat dalam teori kehidupan kemasyarakatan. Kearifan tidak hanya berupa
pengetahuan atau kecerdasan, tetapi juga kemampuan mendengar, mempelajari, memperkaya diri dengan pengalaman yang berbeda-beda dan menghargai
kebenaran sekalipun berbeda pandangan. Dengan demikian pengetahuan tradisional mengandung tata nilai dalam masyarakat yang dianggap benar,
diyakini kebenarannya sekaligus diinginkan oleh masyarakat. Pengetahun tradisional juga merupakan gambaran virtue yang terdapat
pada masyarakat, sehingga jika pembangunan ini berhasil dan sesuai dengan keinginan masayarakat, maka pengetahuan tradisional ini harus diketahui dan
dikuasai oleh perencana program pemberdayaan dalam proses pembangunan, masyarakat lokal harus diterima sebagai partner yang sama yang membawa aset
tersendiri, yaitu berupa pengetahuan tradisional yang bermanfaat. Berkenaan dengan upaya pemberdayaaan masyarakat, maka budaya dari masyarakat harus
diteliti dan digali manfaat dari pengetahuan apa yang ada dibaliknya. Dengan demikian, jika ingin membangun sistem keberlanjutan, maka pengetahuan
tradisional dari masyarakat lokal harus diketahui dan dipahami terlebih dahulu. Berkaitan dengan kemitran yang terbangun melalui program PEMP yang
dilaksanakan di Kota Ambon, seyogyanya telah memiliki pedoman umum yang jelas dan struktur organisasi yang mantap, tapi yang perlu menjadi pertanyaan di
sini, bangunan kemitraan yang terbangun, dari sisi perencanaan apakah melibatkan nelayan yang merupakan subjek dari program ini?. Dari hasil kajian
yang dilakukan ternyata masyarakat nelayan sebagai penerima manfaat dari program ini belum dilibatkan dalam tataran perencanaan, walaupun proses
sosialisasi dari program ini telah dilakukan, tetapi proses tersebut belum memberikan hasil yang memadai, karena masyarakat nelayan, maupun
kelompok partisipan yang terlibat dalam kemitraan belum sepenuhnya rasa
memiliki terhadap program tersebut. Kecenderungan yang terjadi adalah program tersebut hanya berupa pembagian bantuan dari pemerintah tanpa memiliki aspek
keberlanjutan dari program tersebut. Sehingga dari hasil penelitian ditemukan bahwa kelompok masyarakat pemanfaat KMP yang dibentuk lewat konsultan
manajemen kota KMK banyak yang tidak dapat berusaha atau dapat dikatakan kondisi usaha penangkapan tidak lagi berjalan seperti yang diharapkan. Ini
berakibat dana DEP yang diberikan lewat LEPP-M3 guna membantu usaha penangkapan purse seine oleh KMP tidak dikembalikan, sehingga proses
perguliran dana bagi kelompok masyarakat nelayan lainnya tidak terjadi. Untuk mengatasi kondisi ini, maka hal yang perlu menjadi perhatian
terutama perencana program-program kemitraan bagi memberdayakan nelayan khususnya nelayan purse seine di Kota Ambon adalah mengenal dan memahami
lebih awal tentang kondisi dan keberadaan kelembagaan lokal yang telah ada di masyarakat, kemudian mengidentifikasi berbagai bentuk kerjasama yang telah
terbangun dan membudaya dalam masyarakat nelayan tersebut, sehingga intervensi yang dilakukan oleh perencana dari tingkat atas akan bisa tepat
sasaran dan bisa mencapai hasil yang maksimal. Kondisi kelembagaan lokal khusunya mencakup perikanan tangkap
usaha purse seine yang ada di Kota Ambon, adalah : 1 Kelembagaan bagi hasil. Kelembagaan ini merupakan adat kebiasaan masyarakat nelayan yang
telah terjadi sejak turun temurun. Sistim bagi hasil yang terjadi adalah pemilik modal dan operator. Pembagian antara operator juragan laut dan anak buah
kapal besarnya bagian untuk masing-masing nelayan disesuaikan dengan status mereka. 2. Kelembagaan pemasaran. Lembaga pemasaran yang penting bagi
nelayan di Kota Ambon adalah pedagang pengumpul yang dalam istilah setempat dinamakan ”papalele”. Pedagang pengumpul tersebut, tidak hanya
memberi kredit dalam bentuk uang tapi juga dalam bentuk alat produksi dan kebutuhan lainnya dengan jaminan nelayan harus menjual hasil tangkapannya
dengan harga yang telah disepakati sebelumnya, yang tentunya relatif rendah dari harga pasar, hal ini mencerminkan semakin lemahnya bargaining position
nelayan. Gambaran kondisi kelembagaan lokal yang ada di Kota Ambon
khususnya perikanan tangkap purse seine dirasakan bermanfaat bagi nelayan, selama kedua belah pihak yang telah menjalin hubungan kemitraan merasa tidak
dirugikan, walupun tidak dapat disangkal bahwa kondisi hubungan seperti ini
terkadang menjadi tidak seimbang ketika nelayan diperlakukan tidak sebanding dengan korbanan yang mereka berikan dalam usaha penangkapan tersebut.
Selain kelembagaan lokal yang telah ada dalam usaha perikanan purse seine di Kota Ambon maka kelembagaan sosial lainnya yang turut berperan dalam
mendukung usaha purse seine ini adalah lembaga keagamaan, pihak pemerintah desanegeri dan lembaga kepemudaan. Kelembagaan keagamaan selain
melakukan tugas dan fungsi pokok sebagai pembina rohani masyarakat, juga memiliki peranan yang cukup penting dalam memotivasi masyarakat dalam
peningkatan kesejahteraan mereka. Sementara pemerintah desanegeri melaksanakan fungsi dan wewenangnya sebagai fasilitator, dinamisator dalam
menggerakan potensi sumberdaya di desanegerinya. Begitu pula dengan lembaga kepemudaan berperan dalam menggerakkan masyarakat desa dalam
pelaksanaan dan pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki oleh desa tersebut. Berdasarkan kenyataan kondisi desanegeri yang ada di Kota Ambon
yang merupakan desanegeri adat terdapat platform dalam hal pengelolaan potensi sumberdaya yang ada didesanegerinya. Platform pengelolaan
sumberdaya tersebut dalam istilah setempat di namakan ”tiga tungku” yang terdiri atas lembaga pemerintah, raja adalah pemangku adat di desanegeri,
lembaga pendidikan dalam hal ini adalah guru dan lembaga agama yakni gereja. Hubungan keterkaitan antara ketiga lembaga yang merupakan paltform
pengelolaan sumberdaya yang terdapat di desanegeri di Kota Ambon dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 18. Hubungan keterkaitan platform ”tiga tungku” dalam pengelolaan sumberdaya di Kota Ambon
Keterangan : pengaruh kuat pengaruh lemah
Pemerintah Tokoh-Tokoh Adat
Gereja Guru
Pada Gambar 18. memperlihatkan bahwa keberadaan lembaga pemerintah lebih dominan pengaruhnya dan berperan penting dalam berbagai
kebijakan pembangunan di tingkat masyarakat, dibandingkan dengan pihak gereja dan unsur pendidikan yakni guru. Demikian pula pengaruh pihak gereja
lebih dominan dari unsur pendidikan guru. Walaupun berbeda tingkat pengaruh namun saling melengkapi dalam melakukan pembinaan dan pengembangan
masyarakat di desanegerinya. Keterkaitan hubungan platform tiga tungku memberikan makna bahwa
peranserta menjadi dasar bagi pengembangan masyarakat desanegeri di Kota Ambon. Agar terjadi hubungan yang harmonis di antara ketiga lembaga ini maka
perlu dibangun komunikasi intensif dan sinergis. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah praktek-praktek pemaksaan kehendak oleh ego sektoral
pembangunan dalam menjalankan kebijakannya di level desanegeri, sehingga masyarakat tidak dijadikan sebagai objek tetapi subjek pembangunan itu sendiri.
Dalam upaya untuk mengembangan sektor perikanan tangkap di Kota Ambon, maka pemahaman terhadap potensi sumberdaya yang terkandung
dalam perairan di Kota Ambon adalah sangat diperlukan. Diketahui bahwa Kota Ambon memiliki
lima wilayah ekologis antara lain : 1 Teluk Ambon Dalam TAD; 2 Teluk Ambon Luar TAL; 3 Teluk Baguala TB; 4 Pesisir Selatan
Kota Ambon PSKA. Perairan Teluk Ambon Dalam TAD umumnya tenang sepanjang tahun
sehingga kegiatan penangkapan ikan dapat dilakukan sepanjang tahun. Dari data potensi dan tingkat pemanfaatan, ada peluang peningkatan produksi
sumberdaya ikan pelagis kecil sebesar 48,21 dari MSY 169,11 ton per tahun yang dapat dimanfaatkan dengan baik dan terarah melalui aplikasi teknologi
penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan pada tingkat skala usaha kecil small scale fisheries.
Angka peluang pemanfaatan sebesar 169,11 ton per tahun tersebut dapat dipakai sebagai acuan untuk kebijakan pengembangan usaha pemanfaatan
kedepan, akan tetapi perlu diperhatikan beberapa hal, antara lain:
•
Perairan Teluk Ambon Dalam yang cukup tertutup dan adanya kecenderungan proses penyempitan di sekitar ambang teluk, selain
berpengaruh terhadap dinamika pertukaran massa air di perairan itu, juga berpengaruh pada proses emigrasi dan imigrasi populasi ikan yang berada
di dan dari Teluk Ambon Luar. Hal ini, akan berpengaruh pula terhadap ketersediaan sumberdaya ikan di perairan ini.
•
Jenis alat penangkapan yang produktif pukat cincin mini yang di masa lampau tidak dijumpai, sekarang telah dioperasikan di sana, sehingga akan
memperbesar laju pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan tersebut.
•
Sumberdaya ikan pelagis kecil pada perairan Teluk Ambon Dalam yang dominan adalah ikan puri Stelophorus sp yang merupakan spesies
berumur pendek short life species, yang dapat melimpah dalam kurun waktu yang pendek. Sebaliknya, juga dapat ambruk collapse dalam jangka
waktu yang panjang, yang menyebabkan terjadi overfishing selama jangka waktu tersebut. Keadaan ini terlihat pada hasil survei hidroakustik pada
Musim Barat di perairan itu. Jenis usaha perikanan yang disarankan untuk dikembangkan di perairan ini
adalah jaring insang hanyut drift gillnet untuk menangkap ikan lema Rastrelliger spp. dengan menggunakan ukuran mata jaring yang tidak
menyebabkan degradasi pada populasi ikan tersebut. Bagan dan redi perlu dipertahankan keberadaannya sebagai produsen ikan puri Stelophorus sp
hidup untuk menunjang industri perikanan huhate pole and line fishery. Namun jumlah dan penempatan bagan harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak
mengganggu arus lalu-lintas laut maupun areal-areal peruntukan pengembangan budidaya laut, sedangkan redi harus tetap dioperasikan pada lokasi-lokasi
tertentu sehingga tidak merusak habitat utama di pesisir perairan ini. Untuk menjaga kestabilan produksi usaha perikanan bagan dan redi dalam rangka
menunjang industri perikanan huhate, maka kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan Teluk Ambon Dalam, terhadap pengoperasian pukat
cincin mini di perairan ini perlu dikaji secara mendalam. Untuk perairan Teluk Ambon Bagian Luar jenis sumberdaya ikan pelagis
kecil, demersal maupun sumberdaya ikan karang masih memiliki peluang untuk ditingkatkan produksinya. Beberapa desa yang berada di pesisir Teluk Ambon
Luar ternyata belum sepenuhnya memanfaatkan wilayah perairan ini sebagai sumber pendapatan masyarakatnya. Untuk itu nelayan yang breada pada desa-
desa tersebut perlu diberdayakan dalam bidang perikanan tangkap supaya dapat meningkatkan pendapatan mereka. Beberapa jenis alat penangkapan ikan yang
masih sedikit beroperasi di wilayah ini dan dapat ditingkatkan jumlahnya yakni jaring insang hanyut untuk mengusahakan sumberdaya ikan pelagis kecil, jaring
insang lingkar untuk sumberdaya ikan pelagis dekat pantai, jaring insang dasar dan bubu untuk memanfaatkan sumberdaya ikan karang dan pancing tegak
untuk sumberdaya ikan demersal laut dalam seperti ikan bae Etelis marshi dan silapa Etelis oculatus maupun sumberdaya ikan pertengahan air seperti ikan
bobara Caranx spp. Permasalahan yang berkaitan dengan peningkatan jumlah unit-unit
penangkapan sumberdaya ikan pelagis adalah sampah yang hanyut di atau dekat permukaan air. Selain mengganggu aktifitas dan efektifitas penangkapan
ikan, kehadiran sampah juga mempengaruhi kehadiran ikan di perairan ini, serta estetikakeindahan teluk.
Penambahan unit pukat cincin di Teluk Ambon Luar perlu dikaji karena akan sejalan dengan penambahan unit-unit rumpon. Rumpon yang dipasang
secara menetap sebagai alat bantu penangkapan ikan pelagis kecil pada perikanan pukat cincin, terlihat cukup padat yakni 18 unit rumpon yang
cenderung memadati ke arah perairan pantai Jasirah Leitimur. Tingginya kepadatan rumpon di perairan ini akan berdampak negatif pada dua hal yaitu:
♦ Terjadinya persaingan yang kuat dalam menarik perhatian ikan untuk berkumpul di sekitar unit-unit rumpon tersebut sehingga terjadi tingginya
fluktuasi hasil tangkapan pada perikanan pukat cincin. Unit rumpon yang kalah bersaing dalam menarik perhatian ikan untuk berkumpul di sekitarnya
akan menyebabkan kerugian pada unit pukat cincin yang melakukan penangkapan di unit rumpon tersebut.
♦ Demikian pula letak atau jarak rumpon dari garis pantai dapat mempengaruhi hasil tangkapan unit-unit pukat cincin.
♦ Selain sebagai daerah penangkapan ikan, Teluk Ambon Luar juga merupakan perairan yang memiliki intensitas arus lalu-lintas laut yang tinggi,
baik lalu-lintas penyeberangan angkutan speed boat, maupun lalu-lintas kapal-kapal niaga yang melakukan bongkar muat di tiga pelabuhan di Kota
Ambon Gudang Arang, Yos Sudarso dan Lanal Halong. Tingginya kepadatan rumpon itu akan mengganggu arus lalu-lintas tersebut dapat
menyebabkan terjadi kecelakaan di laut. Sebaliknya, pemasangan rumpon pada jalur dengan intensitas lalu-lintas yang tinggi akan mengganggu
kehadiran ikan sehingga akan menurunkan produksi unit pukat cincin yang beroperasi di rumpon tersebut. Oleh karena itu penempatan rumpon di
perairan Teluk Ambon Luar harus ditata dengan baik.
Masyarakat pada beberapa desa pesisir yang berada di wilayah perairan Teluk Baguala masih belum banyak yang memanfaatkan perairan ini untuk
beraktifitas ekonomi. Akan tetapi Teluk Baguala adalah perairan yang tidak cukup luas untuk dapat dijadikan perairan yang potensial untuk melakukan
aktifitas penangkapan ikan, apalagi dengan tingginya intensitas lalu-lintas laut yang berlangsung di perairan ini.
Baik terhadap sumberdaya ikan pelagis kecil maupun sumberdaya ikan demersal masih dapat ditingkatkan produksinya di perairan Teluk Baguala.
Teknologi penangkapan yang masih mungkin dikembangkan adalah teknologi penangkapan ikan yang tidak terganggu oleh lalulintas transportasi laut atau
sebaliknya yang mengganggu lalulintas transportasi laut tersebut di wilayah perairan ini. Hal ini perlu mendapat perhatian untuk menghindari konflik antar
pengguna perairan ini. Alat pancing berangkai untuk menangkap ikan-ikan pelagis kecil dapat ditingkatkan jumlahnya, sedangkan alat pancing tegak dan
bubu laut dalam dapat dikembangkan untuk menangkap ikan demersal. Nelayan-nelayan yang berada di pesisir Selatan Pulau Ambon telah dapat
memanfaatkan ketersediaan sumberdaya ikan yang ada di perairan ini sebagai sumber pendapatannya. Nelayan-nelayan penangkap tuna dengan
menggunakan alat tangkap pancing tonda troll line telah dapat mengelola usaha perikanannya dengan baik, namun mereka kesulitan untuk dapat
mempertahankan kualitas hasil tangkapannya dengan baik. Baik sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar, demeral dan
sumberdaya ikan karang memiliki peluang yang besar untuk ditingkatkan produksinya. Teknologi penangkapan ikan yang disarankan untuk dikembangkan
di wilayah perairan pesisir Selatan Pulau Ambon yakni pancing tonda tuna, mini rawai tuna untuk menangkap ikan-ikan pelagis besar, jaring insang hanyut untuk
menangkap ikan-ikan pelagis kecil maupun pelagis besar, jaring lingkar untuk menangkap ikan-ikan demersal dan pelagis karang dan pancing berangkai untuk
menangkap ikan demersal laut dalam sampai pada kedalaman ± 300 meter.
Khusus untuk meningkatkan produksi dan efisiensi usaha perikanan tuna, maka perlu dikembangkan alat bantu penangkapan rumpon laut dalam Deep sea fish
aggregation device paling kurang tiga unit per musim di perairan ini. Penyediaan sarana penangkapan ikan yang lebih baik agar dapat mempertahankan
mutukualitas hasil tangkapan, sangat disarankan.
Kondisi Nelayan Perikanan Tangkap
• Bargaining position lemah • Kurangnya modal usaha
• Pengetahuan Keterampilan rendah • Kurangnya pembinaan
Faktor Pendorong Push Factors
• Sumberdaya Manusia • Sumberdaya Alam
• Sumberdaya Buatan • Sumberdaya sosial
Berdasarkan gambaran kelembagaan lokal yang ada di Kota Ambon, dan kondisi potensi pengembangan perikanan tangkap di Kota Ambon, maka
kelembagaan kemitraan yang dibangun harus didasarkan pada kondisi tersebut. Memang kehadiran kemitraan yang diprakarsai oleh pemerintah dalam hal ini
departemen kelautan dan perikanan melalui program PEMP yang dilaksanakan di Kota Ambon sejak Tahun 2001, paling tidak telah mengakomodir beberapa
stakeholders yang ada di lokasi sasaran program PEMP yakni ditingkat desa ada mitra desa yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat, tetapi kenyataannya mereka
belum dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan dalam struktur kelembagaan kemitraan yang terbangun, sehingga kondisi ini belum sepenuhnya
dapat menjamin berhasilnya program kemitraaan tersebut. Hal ini dapatlah dipahami bahwa kecenderungan yang terjadi adalah pihak pemerintah dalam hal
ini dinas kelautan dan perikanan merasa lebih memahami dan tahu tentang program tersebut, sementara penggalian terhadap potensi masyarakat
desanegeri harus dilakukan lebih awal sebelum merancangkan program kemitraan tersebut. Untuk itu adalah merupakan hal yang urgen, bahwa
pemahaman terhadap faktor pendorong push factor dan faktor penarik full factor mesti menjadi perhatian dalam melakukan upaya pemberdayaan terhadap
masyarakat nelayan khususnya nelayan perikanan tangkap. Faktor pendorong dan penarik dalam pemberdayaan nelayan disajikan pada Gambar 19.
Gambar 19. Faktor pendorong dan penarik dalam pemberdayaan nelayan
Faktor Penarik Pull Factors
• Pembeli • Lembaga Banknon Bank
Upaya untuk membangun konsep kemitraan yang dapat mengakomodir aspirasi dari masyarakat dapat dilakukan dengan terlebih dulu mempelajari
tentang potensi masyarakat itu sendiri. Potensi dimaksud berupa potensi sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan sumberdaya
sosialnya, yang dibarengi oleh pemahaman yang tepat tentang masalah yang tengah dihadapi oleh masyarakat nelayan itu sendiri, sehingga kemitraan yang
terbangun adalah tepat sasaran, yang pada gilirannya bangunan kemitraan yang dibuat akan dapat memberikan hasil yang baik.
Berdasarkan hasil identifikasi yang disajikan pada Tabel 46 dan 47 di atas, maka nampak bahwa pada setiap komponen sumberdaya dan kegiatan
kemitraan terdapat beberapa persoalan yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Untuk itu upaya mengatasinya perlu didekati secara sistematis dengan
melibatkan berbagai potensi sumberdaya yang tersedia. Berkaitan dengan itu maka, pada tahapan ini tidak bermaksud merinci secara detail tentang upaya
mengatasi setiap persoalan di atas, tetapi lebih kepada memberikan kerangka kelembagaan kemitraan yang mungkin dapat dilaksanakan secara bersama oleh
semua stakeholders dalam membangun kemitraan usaha ke depan yang lebih baik. Dengan pendekatan tersebut, maka selain dapat melahirkan rencana
pembenahan kinerja kemitraan yang realistis, juga dapat menumbuhkan perasaan memiliki dari setiap stakeholders yang terlibat di dalamnya.
Usulan yang dikemukan di sini lebih difokuskan sebagai upaya penciptaan kerangka kemitraan usaha masa depan dengan pola inti plasma.
Sebab pola inti plasma memiliki keunggulan yang dapat menjadi pilihan utama bagi pemerintah dalam kemitraan antara usaha besar dan usaha kecil atau
koperasi di bidang perikanan. Selain itu pada kasus kemitraan yang dibangun oleh LEPP-M3 melalui program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir,
kinerja kemitraannya masih rendah. Meskipun secara internal masih terdapat beberapa kelemahan mendasar seperti halnya kelompok masyarakat pemanfaat
masih didominasi oleh ketua kelompok dan tidak menyentuh sistem bagi hasil yang timpang, namun dalam konteks kemitraan dengan LEPP-M3, sebenarnya
dapat menjamin terciptanya hubungan usaha yang lebih berkelanjutan. Kerangka alternatif yang diusulkan pada prinsipnya terdiri atas tiga tahapan kegiatan.
Secara lebih jelasnya secara skematis ditampilkan pada Gambar 20.
Gambar 20. Kerangka alternatif kelembagaan dalam kemitraan Pada tahap awal, melalui prakarsa pemerintah semua pihak yang terkait
dengan kemitraan usaha dilibatkan dalam mengkaji secara bersama tentang persoalan atau kebutuhan semua stakeholders dalam upaya pengembangan
kelembagaan kemitraan usaha. Dalam kaitan ini yang dikutsertakan sebagai partisipan adalah unsur yang mewakili pemerintah, dinas kelautan dan perikanan
perusahaanindustri yang bergerak di bidang perikanan, masyarakat nelayan kelompok nelayan dan tengkulak, KUD, LEPP-M3, LSM, Perguruan Tinggi.
Agar tahapan ini dapat memberikan hasil yang memuaskan, maka implementasinya harus menggunakan pendekatan partisipatif dengan
menempatkan pemerintah hanya sebagai fasilitator. Dalam indentifikasi
Analisis Kebutuhan
Persoalan Kemitraan
Dinas Kelautan dan
Perikanan
Pemerintah Kota Ambon
Masyarakat nelayan
perikanan tangkap
Lembaga perbankan
LEPP-M3 Lembaga KUD
Perusahaan perikanan • PT. SMV
• PT. Maprodin • PT. Nusantara
Fishery
Tim terpadu sebagai tenaga
pendamping Lembaga
kemitraan alternatif
Nelayan peserta kemitraan
Monev oleh tim terpadu
Tahap I
Tahap II
Tahap III Perguruan
Tinggi
Pengelolaan, proses, fungsionalisasi yang efektif
dan efisien oleh kelompok nelayan
kebutuhan tersebut, perlu ditindak lanjuti dengan penyusunan agenda aksi dan pembentukan tim terpadu guna menfasilitasi pelaksanaan kemitraan usaha antar
nelayan dengan pihak pemodal dalam hal ini tengkulak atau bisa juga industri perikanan. Dengan demikian bentuk bantuan dan pembinaan serta aturan main
lainnya terdesain berdasarkan aspirasi semua partisipan. Hal ini dimaksudkan agar apapun yang akan dilakukan dalam kemitraan usaha harus tunduk pada
nilai-nilai yang disepakati bersama dan tidak ada satu pihak merasa lebih kuat terhadap pihak lainnya.
Tahapan kedua, tim terpadu membentuk lembaga kemitraan yang di dalamnya terdiri atas kelompok masyarakat nelayan, industriperusahaan
perikanan atau tengkulak yang berfungsi sebagai pemodal. Bila ada bantuan dari instansi pemerintah dalam hal ini pihak dinas kelautan dan perikanan kepada
masyarakat nelayan, maka pengelolaannya sebaiknya diserahkan terlebih dahulu kepada beberapa industri perikanan atau tengkulak yang telah berpengalaman
dalam mengelola usaha. Pada masa transisi ini nelayan calon peserta dimagangkan. Uji coba ini selain mentransfer ketrampilan mengelola kepada
nelayan calon peserta kemitraan, juga dimaksudkan untuk mengevaluasi berbagai kelemahan dan upaya mengatasinya.
Hasil magang ini sekaligus dapat menjadi dasar untuk menentukan nelayan yang pantas ikut dalam program kemitraan. Proses seleksi seperti ini
perlu dilakukan agar menghindari pengrekrutan nelayan yang hanya sekedar memanfaatkan kesempatan, untuk memperoleh bantuan, yang pada gilirannya
dapat merusakan kinerja kemitraan yang dibangun. Apabila nelayan calon peserta kemitraan dipandang mampu oleh tim
terpadu, maka pengelolaan bantuan segera dialihkan kepada kelompok nelayan. Penentuan industri perikanan atau tengkulak sebagai inti sebaiknya berdasarkan
hasil evaluasi kinerjanya pada masa uji coba berlangsung, dengan tetap mengakomodir dan memperhatikan aspirasi nelayan. Untuk menjamin agar
kemitraan usaha berlangsung sesuai dengan keinginan atau aspirasi semua stakeholders, dan nelayan benar-benar mampu mengelola fasilitas bantuan yang
diberikan, kehadiran tim terpadu sebagai fasilitator untuk jangka waktu tertentu tetap diperlukan. Melalui kerja tim terpadu tersebut, nelayan difasilitasi untuk
mampu memenuhi segala kebutuhannya secara mandiri melalui penguatan wadah kelompok dan koperasi.
Agar kerangka alternatif peningkatan kinerja kemitraan ini sejalan dengan upaya pelestarian sumberdaya perikanan, maka di antara nelayan dan industri
perikanan perlu diatur secara tegas tentang wilayah penangkapan masing- masing. Di samping itu, industri perikanan memberlakukan aturan bahwa tidak
akan menerima hasil tangkapan nelayan bila cara perolehannya dilakukan dengan cara destruktif, begitu pula yang dijual pada pasar lokal, dinas kelautan
dan perikanan dapat melakukan penyitaan. Hal ini tentunya tidak mudah untuk segera dipatuhi oleh kedua belah pihak, tetapi dengan otoritas yang dimiliki,
pemerintah daerah seyogyanya mendesain mekanisme pamaksaan dalam bentuk insentifdisinsentif tertentu terutama bagi industri perikanan.
8 KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan