itu dibutuhkan suatu kelembagaan yang mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat yang mendiami wilayah pesisir untuk mencapai tujuan yang
dikehendaki. 2. Berkaitan dengan teknik sosialisasi, misalnya program-program sosialisasi
yang mampu mencapai tujuan masyarakat sasaran yang beragam baik dari segi pendidikan, ketrampilan, budaya dan usaha yang dilakukan. Kedua hal
tersebut mengimplikasikan bahwa pengembangan kapasitas kelembagaan sangat penting dan strategis dalam memberdayakan masyarakat.
Peningkatan dan pengembangan kapasitas kelembagaan diyakini akan memperlancar jalannya berbagai fungsi kelembagaan, baik fungsi-fungsi di
bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, hukum maupun di bidang lingkungan hidup. Berjalannya fungsi-fungsi kelembagaan dalam
bidang-bidang tersebut secara optimal dipahami akan mampu mengentaskan lembaga-lembaga yang ada dari krisis multidimensi. Fungsi-fungsi kelembagaan
tersebut secara statik ada di dalam mekanisme kelembagaan instutional arrangement dan secara dinamik ada di dalam mekanisme kelembagaan
instutional framework Purwaka, 2006.
2.3 Kemitraan
Haeruman dan Eryatno 2001 mengatakan bahwa kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil atau koperasi dengan usaha menengah
atau usaha besar dengan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan menguntungkan. Dari pengertian tersebut maka dalam kemitraan harus ada tiga
unsur utama, yaitu : 1 kerjasama antara usaha kecil disatu pihak dan usaha menengah atau usaha besar di pihak lain, 2 kewajiban pembinaan dan
pengembangan oleh pengusaha menengah dan pengusaha besar, 3 saling memerlukan, memperkuat dan menguntungkan. Selanjutnya dikatakan bahwa
kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip
saling membutuhkan dan saling membesarkan. Karena merupakan suatu strategi bisnis maka keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan
diantara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis. Dalam konteks ini pelaku-pelaku yang terlibat langsung dalam kemitraan tersebut harus memiliki
dasar-dasar etika bisnis yang dipahami bersama sebagai titik tolak dalam menjalankan kemitraan. Pemahaman etika bisnis sebagai landasan moral dalam
melaksanakan kemitraan merupakan suatu solusi dalam mengatasi kurang berhasilnya kemitraan yang ada selama ini. Komposisi kemitraan itu sangat
bervariasi, tapi merupakan representasi pelaku ekonomi seperti produsen, pedagang, eksportir, pengolah, pemerintah daerahpusat, perguruan tinggi,
lembaga rizet lain, lembaga swadaya masyarakat dan sebagainya. Berdasarkan pengalaman yang lalu, keikutsertaan sektor swasta dan
wakil dari masyarakat sangat berperan dalam meningkatkan dinamika suatu kemitraan. Bahkan kalau perlu lembaga kemitraan tersebut dipimpin oleh wakil
dari swasta atau wakil dari masyarakat. Hal ini akan sangat mempengaruhi kinerja kemitraan itu sendiri. Dengan prinsip duduk sama rendah dan berdiri
sama tinggi, para anggota akan lebih mengutarakan berbagai masalah atau tantangan yang dianggap menjadi ganjalan dalam membangun daerahnya
Haeruman dan Eryatno, 2001. Berdasarkan pengertiannya, kemitraan pada dasarnya harus terjadi
secara alamiah. Prinsip dasarnya adalah sukarela, saling memerlukan dan saling menguntungkan Sapuan,1996. Hal ini sejalan dengan pendapat Mirza 1996 di
mana kemitraan tidak dapat dianjurkan melalui moral suasion atau dipaksakan oleh pihak eksternal. Kemitraan dengan latar belakang ini hanya akan melahirkan
kemitraan serimonial yang tujuan dan targetnya hanya indah didengar. Pendapat tersebut sejalan dengan Silitonga 1996, dimana satu-satunya
prinsip kemitraan dalam dunia bisnis adalah keinginan untuk menciptakan profit sustainability di antara pelaku-pelaku kemitraan. Oleh karena itu di antara yang
bermitra harus ada prinsip risk and profit sharing. Empat prinsip berkembangnya kemitraan adalah kontinuitas, mutu produk, servis dan harga. Pelanggaran
prinsip akan menyebabkan pemutusan hubungan. Pengusaha di bidang pertanian selalu melakukan ikatan dengan mitra lainnya guna memperkecil resiko
melalui diversifikasi sumber barang. Dalam hal ini, walaupun menurut Hutabarat 1996 ikatan legal dalam kemitraan yang melibatkan kapital di satu pihak
diperlukan agar diperoleh ikatan resmi dan lebih serius dalam menjalankan usaha, akan tetapi cenderung menjadi bumerang bila kesepakatan tidak
dipenuhi. Kenyataan menunjukkan bahwa ikatan legal tidak menjamin kemitraan berlangsung dengan baik.
Prinsip mendasar dan utama dari bangunan kemitraan secara kelembagaan adalah saling percaya mutual trust di antara pihak-pihak yang
terliabt di dalamnya, Ada empat prinsip yang seharusnya menjadi spirit kemitraan
yakni; saling percaya dan menghormati, otonomi dan kedaulatan, saling mengisi, keterbukaan dan pertanggungjawaban Utama, 2005.
Kemitraan usaha adalah suatu gejala umum di antara pelaku bisnis. Kemitraan tidak hanya dikembangkan di Indonesia, tetapi juga diseluruh bangsa-
bangsa di dunia. Motivasi utama berjalannya kemitraan adalah bisnis murni, dimana setiap pelaku bisnis harus tetap berupaya mencari strategi untuk
meningkatkan efesiensi, produktivitas dan daya saing. Selain itu, kemitraan juga sesuai dengan amanat UUD 45 pasal 33 yang mengatakan bahwa perekonomian
disusun sebagai usaha bersama atas azas kekeluargaan, dan kemakmuran masyarakat yang lebih diutamakan. Jadi dalam kaitan ini, kemitraan ini menjadi
lebih strategis sifatnya di Indonesia. Kemitraan tidak lagi hanya merupakan strategi aliansi, tetapi juga merupakan strategi untuk menegakan katahanan
nasional yang ditopang oleh stabilitas ekonomi dan politik yang kokoh Tjakrawerdaya, 1997.
Menurut Sabrani 1996 melalui kemitraan usaha dapat ditransfer teknologi dan insentif. Di sini teknologi yang statis diubah menjadi lebih dinamis
serta terjalin arus transfer teknologi tepat guna. Selain itu melalui kemitraan pengusaha antar daerah akan terjadi arus kapital dari daerah pengembangan
yang maju ke daerah yang belum maju. Selanjutnya dikatakan bahwa kemitraan punya tujuan ganda, yaitu tujuan struktural berupa terwujudnya hubungan saling
membutuhkan, memperkuat dan menguntungkan antar usaha besar dan usaha kecilmenengah, serta tujuan kultural berupa perluasan wawasan, prakarsa dan
kreativitas, berani menanggung resiko sebagai tanggung jawab kemitraan, etos kerja dan kemampuan manajerial baru usaha kecilmenengah. Menurut
Soeroepati 1997 strategi memanfaatkan peluang opportunity dan menjawab tantangan challenge melalui pemberdayaan empowerment usaha kecil seperti
ini merupakan hal baru dalam kebijakan ekonomi Indonesia. Meskipun kemitraan usaha dibangun dengan tujuan saling memperkuat
dan menguntungkan, namun dalam banyak kasus hasilnya masih kurang menggembirakan. Menurut Prawirokusumo 1992, ada beberapa kendala dalam
pelaksanaan kemitraan usaha di Indonesia. a. perbedaan yang masih besar dalam banyak aspek antara usaha skala besar dengan usaha skala kecil. Usaha
skala kecil masih banyak yang tradisional dengan menggunakan peralatan yang masih sangat sederhana. b. usaha yang bersifat spesialisasi dan standarisasi
belum berkembang, sehingga kualitas produksi belum terjamin. c. unsur-unsur
bisnis seperti menjaga kualitas, menepati pesanan, delivery time yang tepat belum menjadi way of life sehingga kerjasama kurang berkembang. d. usaha
besar masih melakukan integrasi vertikal. e. masih adanya jarak antara usaha besar dengan yang lain, sehingga alih teknologi belum berkembang, di samping
itu kebiasaan penelitian dan pengembangan dilakukan sendiri oleh usaha besar. f. faktor-faktor penunjang belum berkembang, antara lain jaringan informasi,
infrastruktur pengembangan bisnis seperti incubator, program inisiasi, transportasi, komunikasi, hasil penelitian dan perpajakan. g. belum memadainya
perundang-undangan yang menjadi dasar pembinaan, pengembangan dan eksistensi usaha kecil.
Kemitraan pada hakekatnya merupakan wujud yang ideal dalam meningkatkan peranserta masyarakat dalam pembangunan. Kemitraan didasari
atas hubungan antar pelaku yang bertumpu pada ikatan usaha yang saling menunjang, saling menguntungkan dan saling menghidupi berdasarkan asas
kesetaran dan kebersamaan. Dengan kemitraan diharapkan akan dapat menumbuhkan dan menjamin keberlanjutan jaringan kelembagaan net working
untuk mendukung inisyatif masyarakat lokal dalam pengembangan ekonomi lokal Haeruman dan Eryatno, 2001.
Agar kemitraan usaha dapat mencapai sasaran, yaitu terciptanya suasana saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan
diantara partisipan, maka minimal ada tujuh syarat yang harus dipenuhi untuk mengarah pada integrasi vertikal. 1. Kepercayaan, setiap mitra harus saling
percaya terutama dalam informasi. 2. Interaktif, setiap mitra berinteraksi dengan frekwensi yang tinggi agar proses antar hubungan dapat berlangsung dengan
baik. 3. Keterbukaan, setiap mitra terbuka terhadap saran dan kritik serta informasi yang diperoleh, sehingga mitra saling membantu dalam membangun
produk. 4. Nilai bersama, setiap mitra mengembangkan nilai-nilai yang dapat diyakini bersama, sehingga dapat memberi motivasi dan semangat kerja yang
terarah terhadap tujuan. 5. Pandangan terhadap visi, setiap mitra harus mempunyai presepsi dan pandangan yang sama terhadap kemitraan, agar usaha
dapat dilaksanakan pada rel dan tujuan yang tepat. 6. Komitmen, partisipan harus peduli dan terdorong untuk memacu semangat kerja guna mencapai tujuan
kemitraan. 7. Koperatif, setiap mitra membangun situasi saling menguntungkan untuk menghasilkan produk Prawirokusumo, 1992.
Purnaningsih et al. 2006 mengatakan bahwa konsep kemitraan
mengacu pada konsep kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar disertai pembinaan, dengan memperhatikan prinsip saling
menguntungkan dan memperkuat. Pola kemitraan adalah bentuk-bentuk kerjasama antara usaha kecil dan usaha menengah atau usaha besar. Pola
kemitraan sebagai suatu inovasi mengandung pengertian bahwa telah terjadi proses pembaharuan terhadap pola kemitraan dalam banyak hal. Artinya pola
kemitraan bukan sesuatau yang baru tetapi telah mengalami proses perubahan dari waktu ke waktu hingga saat ini.
Ada berbagai bentuk pola kemitraan. Dalam hal ini setiap individu mempunyai pandangan yang berbeda tentang pola-pola kemitraan yang ada
tergantung dari sudut pandang masing-masing. Mirza 1996 mengajukan tiga bentuk kemitraanalliansi yaitu ; 1. Service alliance 2. Opportunity alliance yang
sering dirujuk sebagai joint ventura, 3. Stakeholder alliance. Sapuan 1996 membagi kemitraan usaha menjadi ; 1. Kemitraan pasif, di mana salah satu
mitra dari mitra lain tanpa harus ada kaitan usaha dan 2. Kemitraan aktif di mana antar mitra terdapat jalinan kerja sama sehingga terbentuk hubungan
bisnis yang sehat. Menurut Mulyadi 1999 terdapat tiga pola kemitraan yang berkembang
pada kegiatan agribisnis, yaitu 1. Pola kemitraan tradisional, yakni mengikuti pola hubungan patron client. Pelaku ekonomi yang berperan sebagai patron
adalah pemilik modal atau peralatan produksi strategis seperti; lahan, alat tangkap dan yang berperan sebagai clien adalah petani atau nelayan. 2. Pola
kemitraan program pemerintah, pola ini bercirikan pengembangan kemitraan secara vertikal, dimana model umum yang dianut adalah hubungan “bapak
angkat “. 3. Pola kemitraan pasar, pola ini berkembang dengan melibatkan petani sebagi pemilik aset, tenaga kerja dan peralatan produksi, dan pemilik
modal besar yang bergerak dibidang industri pengolah dan pemasaran hasil. Haeruman dan Eryatno 2001 mengatakan bahwa pola kemitraan
adalah salah satu konsep yang sudah banyak dikenal. Dalam pola ini diharapkan suatu lembaga mempu berfungsi sebagai penampung aspirasi para anggota
kemitraan tersebut. Perlu diingat bahwa salah satu fungsi dari lembaga kemitraan adalah harus mampu mencerminkan keikutsertaan para anggotanya
participatory approach dan mengikutsertakan masyarakat agar dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan di daerah mereka masing-masing.
2.4 Perikanan Tangkap