5.2 Konsep Kemitraan
Secara umum konsep kemitraan antara masyarakat nelayan dan berbagai pihak yang terlibat di dalamnya yakni dinas kelautan dan perikanan,
pihak yayasan dan bank didasarkan pada konsep tertulis. Dalam implementasinya, konsep kemitraan yang mendasarinya dapat ditinjau dari dua
aspek utama, yaitu aturan main dan organisasi pelaksana. Untuk mendapatkan gambaran mengenai kedua aspek tersebut, maka penjelasannya dirinci sebagai
berikut :
5.2.1 Aturan Main
Kelembagaan kelompok masyarakat pemanfaat KMP dalam bahasan ini didekati dengan analisis deskriptif yang menitikberatkan pada aspek batas
yuridiksi, hak kepemilikan dan aturan representatif. ♦ Batas yuridiksi. Banyak permasalahan dan isu dalam ekonomi berkaitan
dengan struktur dari batas yuridiksi. Konsep batas yuridiksi dapat memberi arti batas kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga
dalam mengatur sumberdaya. Dalam kasus pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di laut, batas yuridiksi memegang peranan penting dalam
menentukan penanggung dan keluaran. ♦ Hak Kepemilikan. Konsep hak kepemilikan selalu mengandung makna sosial,
yang mencakup hak right dan kewajiban obligation yang diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus antar anggota masyarakat dalam hal
kepentingannya terhadap sumberdaya. Implikasinya adalah 1 hak individu adalah merupakan tanggungjawab bagi orang lain, dan 2 kepemilikan adalah
sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya perikanan. ♦ Aturan representatif. Aturan representatif rule of representation mengatur
permasalahan siapa yang berhak berpartisiapsi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya
terhadap kinerja performance akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu,
aturan representatif menentukan alokasi dari distribusi sumberdaya yang langka, sehingga analisis kelembagaan mengenai alternatif aturan
reperesentatif akan berguna untuk memecahkan masalah efisiensi dalam pengambilan keputusan.
Kemitraan yang tebangun melalui program PEMP di Kota Ambon memilik aturan main didasarkan pada pedoman umum pelaksanaan PEMP. Secara lebih
rinci aturan main pelaksanaan kemitraan di Kota Ambon disajikan pada Tabel 28. Tabel 28. Aturan main dalam kelembagaan kemitraan
Dimensi Kelembagaan Kelompok Masyarakat Pemanfaat
Aspek yuridiksi :
1. Dinas kelautan dan perikanan kota Ambon
2. Konsultan Manajemen Kota
3. Tenaga Pendamping Desa 4. LEPP-M3
Property right :
1. Daerah penangkapan 2. Pemasaran
3. Bantuan 4. Resiko usaha
Aturan Representasi :
1. Forum komunikasi 2. Pengambilan keputusan
3. Penanganan konflik - Memberikan
bimbingan - Memfasilitasi
terbentuknya hubungan kemitraan antara
KMP dengan pengusaha, perorangan atau lembaga.
- Memilih calon anggota KMP - Melakukan
pelatihan pengembangan potensi diri,
kewirausahaan dan teknis penangkapan
- Melakukan pendampingan
dan pembinaan
- Melakukan pendampingan
- Sebagai fasilitator, dinamisator dan motivatior
- Mengembangankan kegaitan usaha KMP
- Perairan sekitar pulau Ambon - Bebas menjual ke lokasi pasar
mana saja - Memanfaatkan
bantuan dengan
baik -
Bila tidak mengembalikan pinjaman akan ditarik
- Ditingkat pengurus LEPP-M3 dan ketua kolompok
- Ditentukan oleh ketua kelompok - LEPP-M3 meminta dinas
kelautan dan perikanan memfasilitasi
Sumber : Data primer diolah, 2008
Mengenai aspek batas yuridiksi, semua peserta kemitraan terkait dalam kerangka saling membutuhkan dan saling menunjang guna mendapatkan
keuntungan. Pihak lain yang ikut terlibat pada prinsipnya untuk membina guna memperkuat peran dan posisi masing-masing. Kalaupun ada pihak tertentu yang
turut memperoleh manfaat berkat keterlibatannya tersebut, tidak boleh berada di luar konsep pembinaan. Meskipun demikian, dalam aspek yuridiksi ini tidak
nampak spesifikasi bantuan atau pembinaan dari setiap unsur terkait.
Keterlibatan sebagai pembina lebih bersifat normatif karena adanya kewajiban yang melekat pada instansi tersebut, tanpa disertai dengan perencanaan dan
aktivitas yang sistimatis dan terpadu. Kondisi ini menimbulkan sikap saling mengharap dan terjadinya tumpang tindih kegiatan pembinaan atau pemberian
bantuan. Sementara
dari aspek
property right, terkait dengan format hak dan kewajiban antar peserta kemitraan. Dalam proses penangkapan yang dilakukan
oleh KMP peserta kemitraan, maka wilayah penangkapan fishing ground hampir sama untuk semua KMP yaitu disekitar Pulau Ambon. Kondisi
penangkapan dilakukan pada sore hari. Hasil tangkapan yang didapatkan langsung dijual ke konsumen pada pasar lokal Kota Ambon, dan juga pada
industri perikanan yang terletak di desa Tulehu Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah.
Mencermati kondisi LEPP-M3 yang tidak menyediakan pasar bagi KMP, terpaksa nelayan menjual hasil tangkapannya pada beberapa pasar dengan
harga yang tidak terkontrol. Jika hasil tangkapan melimpah, KMP terpaksa menjual ke industri perikanan yang harganya rendah. Kondisi ini menyebabkan
kerugian pada KMP, hal ini disebabkan mereka tidak memiliki alternatif pasar yang lebih baik.
Mengenai pemberian bantuan berupa alat tangkap yakni jaring dan armada penangkapan berupa kapal melalui dana ekonomi produktif DEP
kepada KMP, telah dilakukan tetapi apa yang menjadi kebutuhan nelayan dalam pengadaan bantuan belum sepenuhnya terakomodir dengan baik. Sesuatu yang
dipandang baik oleh pemeritah dinas kelautan dan perikanan belum tentu benar-benar baik bagi KMP. Indikasi mengenai hal ini nampak dari pengadaan
bantuan yang diberikan masih kurang, sehingga KMP harus menambah dana bagi kebutuhan alat tangkap agar proses penangkapan dapat dilakukan. Dari
hasil penelitian ditemukan pula bahwa ada KMP di Dusun Seri yang tidak melakukan operasi penangkapan karena armada penangkapannya berupa
peruhu body belum dapat diadakan. Menyangkut segi resiko usaha, terdapat kemungkinan KMP tidak
memanfaatkan pinjaman tersebut secara benar tidak melakukan penangkapan. Hal ini terbukti dari hasil penelitian, dana yang diberikan kepada KMP
disalahgunakan untuk usaha lain. Sementara dari pihak LEPP-M3 yang mestinya berperan dalam mengontrol aktivitas yang dijalankan oleh KMP belum
sepenuhnya melakukan tugas ini, sehingga persoalan yang terjadi tidak segera ditangani, bahkan ada kecenderungan dari pihak pengurus LEPP-M3 yang tidak
serius dalam melakukan tugasnya. Dari hasil penelitian juga ditemukan bahwa ketika ada kapal penangkapan dari KMP yang rusak dan harus segara dilakukan
perbaikan, ternyata pihak LEPP-M3 tidak berupaya untuk melakukan perbaikan tersebut, sementara KMP masih berharap pihak LEPP-M3 untuk secara bersama
memikirkan upaya perbaikannya. Pengkajian terhadap aturan representatif dari LEPP-M3, maka yang
nampak adalah hanya terbatas pada masing-masing partisipan. Tidak ada wadah khusus yang menjadi forum komunikasi atau pengambilan keputusan secara
bersama. Pada situasi seperti ini, maka peserta kemitraan akan dirugikan, selain itu kalangan pembina tidak dapat menyalurkan aspirasinya dengan baik dalam
membela hak-hak kelompok masyarakat pemanfaat KMP. Selanjutnya, kinerja kemitraan tidak dapat terevaluasi dan berkembang berdasarkan nilai-nilai
kebersamaan. Situasi ini semakin memperburuk keadaan KMP, sebab yang terlibat dalam proses kemitaraan lebih banyak diperankan oleh ketua kelompok.
Padahal seyogyanya forum komunikasi akan sangat membantu dalam membicarakan secara bersama mengenai masalah-masalah yang dihadapi serta
upaya penanganannya. Upaya penanganan konflik yang terjadi, ternyata diperparah oleh
kerapuhan menajemen ditingkat KMP menjadikan nelayan tidak dapat berbuat banyak dalam mengatasinya. Pengaduan-pengaduan yang diajukan kurang
mendapat tanggapan baik dari pihak LEPP-M3 maupun dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon, karena mekanisme kerjanya kurang jelas, maka walupun
LEPP-M3 ingin membantu nelayan, namun tetap mengalami kesulitan. Sebagai contoh, pada saat kondisi kapal penangkapan nelayan kelompok babiritani Desa
Naku mengalami kerusakan, maka meraka mengajukan permohonan untuk ada upaya pengadaan kapal pengganti, tapi kenyataannya sampai saat ini belum ada
upaya yang dilakukan oleh pihak yang terkait untuk pengadaan kapal tersebut. Aturan main lainnya yang mendapat perhatian serius dalam pelaksanan
kemitraan adalah seleksi kepada nelayan peserta. Adapun seleksi yang kepada KMP di Kota Ambon dilakukan secara ketat oleh pihak konsultan manajemen
kota KMK yakni pihak yayasan Hualopu yang ditunjuk oleh dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon. Kriteria penyeleksian dititikberatkan pada dua hal pokok
yakni karakter dan keterampilan. Semua nelayan yang terseleksi adalah
mereka yang belum pernah terlibat dalam hutang piutang bersama perusahaan manapun. Nelayan yang terseleksi di tiap kecamatan ini kemudian
dikelompokkan dalam beberapa kelompok, dan dilakukan pembentukan kelompok, terutama pemilihan ketua kelompok.
Seleksi yang dilakukan oleh konsultan manajemen tetap mengacu pada kriteria yang ditetapkan dan merupakan syarat utama. Kriteria-kriteria tersebut
adalah : • kelompok nelayan yang menempati wilayah tersebut merupakan wilayah
potensial bagi pengembangan perikanan, • calon kelompok nelayan adalah mereka yang berprofesi sebagai nelayan dan
• memiliki motivasi dalam berusaha.
5.2.2 Organisasi Pelaksana