Tujuan Penulisan Kerangka Konseptual dan Pendekatan

2 jelas bahwa terjadi saling pengaruh yang sangat kuat antara peristiwa-peristiwa lokal dan nasional dalam konteks sejarah Negara KeSultanan Serdang. Unit analisis studi ini adalah pertumbuhan negara, tetapi mengingat luasnya problematika di seputar Ketatanegaraan Melayu di Negara KeSultanan Serdang , maka sasaran buku ini akan dibatasi pada Sumber Hukum Material Daulat –Durhaka, Sistem Demokrasi atau Kedaulatan KeSultanan, Asas Pembagian Kekuasaan, Hakikat Pemisahan Diri dari KeSultanan Deli, Sejarah Perkembangan Ketatanegaraan KeSultanan, Bentuk dan Sistem Pemerintahan, Struktur, Sistem dan Susunan Kelembagaan Negara dalam memperjuangkan, mengembangkan dan mempertahankan Negara KeSultanan Serdang.

3. Tujuan Penulisan

Buku ini memiliki konsekuensi mendebukukan lembaga-lembaga kekuasaan, sumber ekonomi, kultur dan saluran yang dipakai oleh tokoh-tokoh elite Negara KeSultanan Serdang. Secara tematis buku ini termasuk studi sejarah politik, maka di dalamnya akan dijelaskan pola-pola distribusi kekuasaan yang terkait dengan struktur sosial pada masa itu. Pola distribusi kekuasaan merupakan proses politik yang didalamnya menyangkut kompleksitas hubungan : pemimpin dan pengikut, kekuasaan dan ideologi, ideologi dan mobilisasi, solidaritas dan loyalitas. 4 Rentang waktu yang ditelusuri selama dua ratus delapan belas tahun yakni dari tahun 1728 sampai tahun 1946. Tahun 1728 diambil sebagai awal studi karena pada tahun inilah Negara KeSultanan Serdang didirikan di Rantau Panjang. Meskipun demikian akan dibicarakan juga peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum tahun 1728, yakni merentang sampai tahun 1720. Ini dimaksudkan untuk menekankan pentingnya kesinambungan sejarah dalam menerangkan munculnya ide-ide pendirian Negara KeSultanan Serdang. Perhatian khusus diberikan pada dekade 1946-an sebagai proses runtuhnya Negara KeSultanan Serdang. Proses itu terjadi dalam bingkai transformasi struktur masyarakat yang masih bersifat feodal dan kesukuan ke struktur masyarakat demokratis. Dengan kata lain, proses keruntuhan Negara KeSultanan Serdang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peristiwa Revoluasi Nasional.

4. Kerangka Konseptual dan Pendekatan

Untuk menganalisis dinamika Negara KeSultanan Serdang sebagai proses politik, yang berkaitan dengan pola-pola susunan dan bentuk negara; sumber ketatanegaraan, azas ketatanegaraan, sejarah ketatanegaraan, bentuk dan sistem pemerintahan; tugas-tugas dan hubungan antar kelembagaan negara perlu dipergunakan pendekatan dan konsep-konsep ilmu tata negara, 5 di luar disiplin sejarah. Peminjaman konsep-konsep ini diharapkan dapat memperjelas fenomena sejarah yang akan didebukukan. Salah satu pendekatan yang relevan adalah pendekatan sosio-legal. Melalui pendekatan ini Negara KeSultanan Serdang akan dipandang sebagai negara yang berdaulat. Agar pembahasan tidak keluar dari sasaran, maka perlu disepakati beberapa kerangka konseptual. Konsep negara berangkali perlu mendapat penegasan lebih lanjut. Menurut Soenarko, 6 negara adalah organisasi sosial yang memiliki daerah, warga negara, dan kekuasaan, sedangkan Patrick Dunleavy dan Bremdan O’Leary memandang negara sebagai lembaga sosial yang yang bertugas menjaga keteraturan sosial atau stabilitas sosial. Secara organisatoris negara adalah suatu tipe pemerintahan yang ditandai dengan lima kriteria. Pertama, negara secara jelas memisahkan lembaga atau seperangkat lembaga, juga dibedakan dari masyarakat lainnya dalam hal menciptakan identifikasi publik dan lingkungan pribadi. 4 Sartono Kartodirdjo. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah Jakarta : Gramedia, 1992, hlm. 46-47. 5 Ibid , hlm.120-123 6 Soenarko, Susunan Negara Kita Sejak Penyerahan Kedaulatan, Jakarta : Djambatan, 1951, hlm. 10-13. 3 Kedua, negara adalah penguasa atau kekuasaan tertinggi di wilayahnya, dan hukum publik dibentuk oleh pejabat negara dan didukung oleh monopoli kekuasaan formal. Ketiga, kedaulatan negara diperluas di atas semua individu dalam wilayah kekuasaan negara, dan ditetapkan secara sama juga bagi mereka yang menduduki jabatan formal di pemerintah. Keempat, pegawai negara kebanyakan direkrut dan dilatih untuk membentuk suatu gaya birokratis. Kelima, negara memiliki kemampuan untuk mengumpulkan dana dalam rangka membiayai aktivitas negara untuk kepentingan rakyat. 7 Jhon Schwarzmantel menyatakan, bahwa negara adalah asosiasi politik utama central political association. Negara baik yang kuno maupun modern adalah alat kekuasaan dan alat pemaksa. Aspek pemaksa yang menjadi ciri utama satu negara ditunjukkan dengan adanya kontrol negara terhadap semua warga yang secara tipikal melibatkan pemaksaan coercion. Negara modern muncul sebagai alat kekuasaan khusus, dan terpisah dari kelompok tertentu yang secara kebetulan menguasai negara pada saat tertentu. Oleh karena itu negara adalah seperangkat iNegara KeSultanan Serdang itusi yang merupakan alat kekuasaan khusus. 8 Dalam mempelajari sejarah suatu negara, penting sekali untuk dianalisis hubungan antara negara dan masyarakat. Suatu negara eksis karena adanya hubungan dengan masyarakat. Pieere Rosanvallon sebagaimana dikutip oleh Schwarzmantal menyebutkan, bahwa ada empat aspek hubungan negara- masyarakat sipil civil society. Pertama, menurut idel demokrasi, negara dibentuk sebagai suatu negara bangsa berfungsi sebagai suatu iNegara KeSultanan Serdang rumen pemersatu. Negara membentuk bangsa, menciptakan, memperkuat ikatan sosial. Ketiga, negara sebagai welfare state adalah alat untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Keempat, negara sebagai pengatur ekonomi dan pengendali ekonomi. Hal ini adalah suatu tugas yang mengharuskan adanya campur tangan dalam ekonomi untuk menjamin tersedianya barang-barang, seperti lapangan kerja yang cukup, stabilitas moneter, dan pertumbuhan ekonomi. 9 Untuk memahami dengan jelas bagaimana sebenarnya bentuk negara Negara KeSultanan Serdang, perlu dipergunakan perpaduan konsep Negara Kesatuan dan Federal yang penulis interpretasikan sebagai Uni Serikat 10 . Negara kesatuan merupakan suatu negara yang merdeka dan berdaulat di mana seluruh negara yang berkuasa hanyalah satu Pemerintah Pusat yang mengatur seluruh daerah. Negara kesatuan dapat pula berbentuk dengan sistem Serdang Asliisasi – segala sesuatu dalam negara itu langsung diatur dan diurus Pemerintah Pusat dan daerah-daerah tinggal melaksanakannya. Negara kesatuan dengan sistem deSerdang Asliisasi –kepala daerah diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri otonomi daerah yang dinamakan daerah swatantra 11 . Negara federal digolongkan dengan apa yang dikenali dengan istilah “prinsip federal”. Prinsip federal adalah cara pembagian kekuasaan agar tiap pemerintahan umum pusat dan regional daerah berada dalam suatu lingkungan yang sederajat. Faktor-faktor yang mendorong kelompok komunitas membentuk sistem pemerintahan federal adalah 1 untuk mendapat keamanan militer, keuntungan ekonomi dan karena adanya keterikatan geografis, 2 adanya perbedaan kepentingan ekonomi, perasaan terisolasi karena faktor geografi dan 7 Patrick Dunleavy and Bremdan O’Leary, Theories of The State, The Politics of Liberal Democracy, London: Macmilan and Education Ltd, 1991, hlm. 1-3. 8 Jhon Schwarzmantel, The State in Contemporary Society an Introduction, New York, London, Toronto, Sidney, Tokyo, Singapore Harvester Wheatseaf, 1994, hlm. 7-8. 9 Ibid, hlm.9 10 Negara Uni Serikat merupakan negara yang memiliki kekuasaan untuk mengatur seluruh wilayah satu negara berada pada beberapa wilayah yang menjadi bagian dari negara. Hubungan kekuasaan kedaulatan yang disepakati dalam negara ini adalah pembagian dan kerjasama kekuasaan menurut tingkatan. Artinya wilayah-wilayah yang menjadi bagian dari negara ini mempunyai hak dan wewenang untuk mengatur, menentukan dan menyelenggarakan urusan rumah tangganya. 11 C.S.T. Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta : Bumi Aksara, 1985, hlm. 4 4 ketidaksamaan lembaga-lembag sosial dan politik. 12 Dengan adanya perbedaan itu, sebuah komunitas sosial tergerak untuk mempertahankan kemerdekaan regional dalam kesatuan. Masih dalam batasan konsep federal, Kranenburg 13 menyatakan, bahwa negara-negara bagian suatu federasi memiliki wewenang membentuk undang-undang dasar sendiri serta mengatur bentuk organisasi politik sendiri dalam batas-batas kostitusi federal. Di samping itu pemerintah federal memiliki hak penuh untuk masalah hubungan luar negeri dan mencetak uang. Sebaliknya negara bagian mempunyai hak untuk mengurus masalah kebudayaan, kesehatan dan masalah sosial lainnya yang tidak boleh dicampuri oleh pemerintah federal. 14 Selain memakai pendekatan ekonomi politik, buku ini juga menggunakan pendekatan kesukuan. Pemakaian konsep ini diharapkan dapat mengungkapkan ketegangan etnis dan konflik yang menyertai proses perkembangan Negara Negara KeSultanan Serdang. Geertz menyatakan, bahwa kesukuan adalah sebagian dari ikatan primordial, yang bersifat kekeluargaan akibat adanya ikatan biologis, seperti keluarga besar, garis keturunan dan sebagainya. Ikatan primordial itu sendiri diartikan sebagai perasaan yang lahir dari dalam kehidupan sosial berdasarkan hubungan keluarga, keagamaan, bahasa, dan kebiasaan-kebiasaan tertentu. Selanjutnya dijelaskan bahwa adsanya konflik langsung antara ikatan-ikatan primordial dan ikatan-ikatan kebangsaan mengakibatkan timbulnya gagasan-gagasan kesukuan, kedaerahan, perkauman dan sebagainya. 15 Kesukuan akan hadir sebagai dasar menentukan identitas sosial suatu masyarakat mencapai tingkat kemajekan budaya. Komposisi etnis masyarakat Negara KeSultanan Serdang sebagaiman diperlihatkan dalam sensun 1930, tidak saja majemuk multietnis dan multiras, tetapi secara mendasar berubah didominasi kaum pendatang. Tidak berlebihan kiranya apabila Kemala Chandra Kirana 16 menyatakan, bahwa salah satu faktor yang memicu munculnya gerakan Negara Negara KeSultanan Serdang adalah meluasnya peranan kaum pendatang, terutama dalam penguasaan tanah. Mengingat banyaknya konflik yang menyertai proses sejarah NEGARA KESULTANAN SERDANG, perlu dipergunakan teori konflik. Konflik dapat dilihat sebagai interaksi antara dua atau lebih kelompok kekuatan yang memiliki kepentingan yang berlawanan. Inter aksi akan meningkat menjadi konflik. Jadi konflik merupakan bentuk paling ekstrem dalam persaingan atau kompetisi. 17 Selain itu konflik juga dapat terjadi karena adanya kepentingan ekonomis, politik dan ideologi. Suatu sistem sosial dikatana berada dalam keadaan konflik, bila sistem itu mempunyai dua atau lebih tujuan yang saling bertentangan. Konflik juga dirumuskan sebagai proses perjuangan mencapai nilai dan tuntutan atas status kekuasaan dan sumber daya yang bertujuan untuk mengatasi, merusak atau menghancurkan saingannya. Secara konvensional, konflik dirumuskan sebagai kejadian atau peristiwa, pertarungan dengan atau tanpa kekerasan. Dengan demikian perlu dicari kausalitasnya baik sebab-sebab situasional maupun sebab- sebab langsung. 18 12 A. Arthur Chiller, The Formation of Federal Indonesia, The HagueBandung : W. van Hoeve Ltd, 1995 hlm. 25-26 13 Kranenburg, Ilmu Negara Umum, Jakarta : Pradya Paramita, 1983, hlm. 163-168 14 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia, 1986 hlm. 163-168 15 Cliffford Geertz, “Ikatan-ikatan Primordial dan Politik Kebangsaan di Negara-negara Baru”, dalam Juwono Sudarsono, ed, Pembangunan Politik dan Perubahan Politik, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1991, hlm. 3-5. 16 Kemala Chandra Kirana, “Geertz dan Masalah Kesukuan”, Dalam Prisma No.2 thn. Ke-xviii, Jakarta : LP3ES, 1989. 17 Sebagai rujukan lihat Ralf Dahrendorf, Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Indunstri : Sebuah Analisis Kritik, Jakarta : Rajawali Press, 1986, hlm. 191. Anthony Giddens dan David Held, Pendekatan Klasik dan Kontemporer Mengenai Kelompok, Kekuasaan dan Konflik, Jakarta : Rajawali Press, 1987, hlm. 169, 18 Nel J. Smelser, Theory of Collecive Behavior, New York, The Free Press, 1971, hlm. 169. 5 Di samping itu, karena periode ini masuk dalam masa revolusi nasional, maka perlu dipakati teori revolusi integratif. Geertz merumuskan revolusi integratif sebagai berhimpunnya kelompok-kelompok primordial yang tradisional dan berdiri sendiri, ke dalam unit kemasyarakatan yang lebih besar dan kerangka acuannya bukan lokal, tetapi lingkup bangsa, dalam arti seluruh masyarakat di bawah perlindungan suatu pemerintahan baru. 19 Oleh karen itu revolusi integratif adalah suatu proses yang memunculkan kelompok-kelompok primordial ini menjadi kesatuan politik yang lebih besar dan bercabang pengorganisasiannya. Wawasan kelompok primordial ini menjadi lebih luas dari lingkup lokal ke lingkup negara nation state yang supra lokal. Ikatan primordial dalam penjelasan Geertz diperluas ke tingkat politik nasional. Apa yang sebelumnya merupakan suatu kesatuan politik dengan ukuran kecil, memiliki otonomi relatif dan bersifat primordial, selanjutnya dianggap terbaur integrate ke dalam kesatuan politik yang tunggal. Ciri-ciri kesatuan yang baru adalah adanya pemisahan antara bidang kepentingan golongan dengan bidang kepentingan umum berdasarkan kewarganegaraan. Sementara itu menurut pandangan Liddle 20 integrasi nasional memiliki dua dimensi. Pertama, dimensi horizontal yaitu masalah yang ditimbulkan oleh adanya perbedaan suku, rasa, agama, aliran dan sebagainya. Kedua, adalah dimensi vertikal yaitu masalah yang muncul dan berkembang menjadi terbentuknya jurang, pemisah antara golongan elit nasional yang lebih kecil jumlahnya dengan massa rakyat yang besar jumlahnya. Kedua dimensi ini menurut pendapatnya mempengaruhi pembentukan nation state.

5. Telaah Pustaka