Periode Pasca-Orde Baru BAB 7 Hak Asasi Manusia (HAM)

Kehadiran Komnas HAM adalah untuk memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM, memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM, membantu pengembangan dan pelaksanaan HAM yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Sayangnya, penegakan HAM tidak berdaya dalam mengungkap pelanggaran-pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh negara. Sikap akomodatif lainnya ditunjukkan dengan dukungan pemerintah meratufikasi tiga konvensi HAM: 1. Konvensi tentangPenghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, melalui UU No. 7 Tahun 1984; 2. Konvensi Anti-Apartheid dalam Olahraga, melalui UU No. 48 Tahun 1993; dan 3. Konvensi Hak Anak, melalui Keppres No. 36 Tahun 1990. Sikap akomodatif Pemerintah Orde Baru tuntutan HAM masyarakat belum sepenuhnya diserasikan dengan pelaksanaan HAM oleh negara. Akumulasi pelanggaran HAM negara semasa periode ini tercermin dengan tuntutan mundur Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan yang disuarakan oleh kelompok reformis dan mahasiswa pada 1998, isu ini disuarakan pertama kali oleh Dr. Amin Rais, tokoh intelektual Muslim Indonesia yang sangat kritis terhadap kebijakan Pemerintah Orde Baru.

5. Periode Pasca-Orde Baru

Tahun 1998 adalah era paling penting dalam sejarah HAM di Indonesia. Lengsernya tampuk kekuasaan Orde Baru sekaligus menandai berakhirnya rezim militer Indonesia dan datangnya era baru demokrasi dan HAM. Pada tahun ini, Presiden Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie. Menyusul berakhirnya pemerintahan Orde Baru, pengkajian terhadap kebijakan Pemerintahan Orde Baru yang bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM mulai dilakukan kelompok reformis dengan membuat perundang-undangan baru yang menjunjung prinsip-prinsip HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan. Pemerintah di era Reformasi ini juga melakukan ratifikasi terhadap instrumen HAM Internasional untuk mendukung pelaksanaan HAM di Indonesia. Lahirnya Tap MPR No. XVIIMPR1998 tentang HAM merupakan salah satu indikator keseriusan pemerintahan era Reformasi akan penegakan HAM. Kesungguhan pemerintahan B.J Habibie dalam perbaikan pelaksanaan HAM ditunjukkan dengan pencanangan program HAM yang dikenal dengan istilah Rencana Aksi Nasional HAM, pada Agustus 1998. Agenda HAM ini bersandarkan pada empat pilar, yaitu: 1. Persiapan pengesahan perangkat internasional di bidang HAM; 2. Diseminasi informasi dan pendidikan bidang HAM; 3. Penentuan skala prioritas pelaksanaan HAM; dan 4. Pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang HAM yang telah diratifikasi melalui perundang-undangan nasional. Pada tahun 2001, Indonesia juga menandatangani dua Protokol Hak Anak, yakni protokol yang terkait dengan larangan perdagangan, prostitusi, dan pornografi anak, serta protokol yang terkait dengan keterlibatan anak dalam konflik bersenjata. Pada tahun yang sama pemerintah membuat beberapa pengesahan UU di antaranya tentang perlindungan anak, pengesahan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, dan penerbitan Keppres tentang Rencana Aksi Nasional RAN HAM Indonesia Tahun 2004-2009. Pada 17 Februari 2011, MK mengeluarkan putusan judicial review atas Pasal 43 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa anak di luar nikah hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Hak Asasi Manusia: Antara Universalitas dan Relativitas Sekalipun substansi HAM bersifat universal mengingat sifatnya sebagai pemberian Tuhan, dunia tidak pernah sepi dari perdebatan dalam pelaksanaan HAM. Hamper semua negara sepakat dengan prinsip universal HAM, tetapi memiliki perbedaan pandangan dan cara pelaksanaan HAM. Partikularitas HAM terkait dengan kekhususan yang dimiliki suatu negara atau kelompok sehingga tidak sepenuhnya dapat melaksanakan prinsip-prinsip HAM universal. Perdebatan antara universalitas dan particular HAM tercermin dalam dua teori yang saling berlawanan: teori relativisme kultural dan teori universalitas HAM. Teori relativitisme kultural berpandangan bahwa nilai-nilai moral dan budaya bersifat partikular. Para penganut relativisme kultural yang mendukung kontekstualisasi HAM cenderung melihat universalitas HAM sebagai imperialisme kebudayaan Barat. Di sisi lain, kelompok kdua universalitas HAM yang berpegang pada teori radikal universalitas HAM berargumen bahwa perbedaan kebudayaan bukan berarti membenarkan perbedaan konsepsi HAM. Menurut teori ini semua nilai termasuk nilai-nilai HAM adalah bersifat universal dan tidak bisa dimodifikasi untuk menyesuaikan adanya perbedaan budaya dan sejarah suatu negara. Kelompok ini menganggap hnya ada satupaket pemahaman mengenai HAM, bahwa nilai-nilai HAM berlaku sama di mana pun dan kapan pun serta dapat diterapkan pada masyarakat yang mempunyai latar belakang budaya dan sejarah yang berbeda. Pelanggaran dan Pengadilan HAM Unsur lain dalam HAM adalah masalah pelanggaran dan pengadilan HAM. Secara jelas UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mendefinisikan hal tersebut. Pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh individu maupun oleh insitusi negara dan insitusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya. Pelanggaran HAM dikelompokkan pada dua bentuk, yaitu: 1. Pelanggaran HAM berat; dan 2. Pelanggaran HAM ringan. Pelanggaran HAM berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Adapun bentuk pelanggaran HAM ringan selain dari kedua bentuk pelanggaran HAM berat tersebut. Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, dan agama. Kejahatan genosida dilakukan dengan cara: a. Membunuh anggota kelompok. b. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok. c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik selurug atau sebagiannya. d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok. e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Adapun kejahatan kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan serangan yangmeluas dan sistematis. Adapun serangan yang dimaksud ditujukan secaral langsung terhadap penduduk sispil berupa: a. Pembunuhan. b. Pemusnahan. c. Perbudakan. d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa. e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang- wenang yang melanggar asas-asas ketentuan; pokok hukum internasional. f. Penyiksaan. g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual seksual lain yang setara. h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis, kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional. i. Penghilangan orang secara paksa. j. Kejahatan apartheid, penindasan dan dominasi suatu kelompok ras atas kelompok ras lain untuk mempertahankan dominasi dan kekuasaannya. Sebagai salah satu upaya untuk memenuhi rasa keadilan, maka pengadilan atas pelanggaran HAM kategori berat, seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan diberlakukan asas retroaktif. Dengan demikian, pelanggaran HAM kategori berat dapat diadili dengan membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat DPR dengan keputusan presiden dan berada di lingkungan pengadilan umum. Selain Pengadilan HAM Ad Hoc, dibentuk juga Komisi Kebenaran dan Rekonsilisasi KKR. Komisi ini dibentuk sebagai lembaga ekstrayudisial yang bertugas untuk menegakkan kebenaran untuk mengungkap penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau, melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa. Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan seseorang yang berumur di bawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan. Dalam pelaksanaan Peradilan HAM, Pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara Pengadilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-undang Pengadilan HAM. Upaya mengungkap pelanggaran HAM dapat juga melibatkan peran serta masyarakat umum. Kepedulian warga negara terhadap pelanggaran HAM dapat dilakukan melalui upaya- upaya pengembangan komunitas HAM atau penyelenggaraan tribunal forum kesaksian untuk mengungkap dan menginvestigasi sebuah kasus secara mendalam tentang pelanggaran HAM. Islam dan HAM Islam adalah agama universal yang mengajarkan keadilan bagi semua manusia tanpa pandang bulu. Sebagai agama kemanusiaan, Islam meletakkan manusia pada posisi yang sangat mulia. Dalam Islam, sebagaimana dinyatakan oleh Abu A’la al-Maududi, HAM adalah ahk kodrati yang dianugerahkan Allah SWT kepada setiap manusia dan tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh kekuasaan atau badan apa pun. Menurut kalangan ulama Islam, terdapat dua konsep tentang hak dalam Islam: hhhak manusia, dan hak Allah. Hak Allah melandasi hak manusia demikian juga sebaliknya, sehingga dalam praktiknya tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Dengan ungkapan lain, hak Tuhan dan hak manusia dalam Islam terkandung dalam ajaran ibadah sehari-hari. Islam tidak memisahkan antara hak Allah dan hak manusia. Adapun hak manusia, seperti hak kepemilikan, setiap manusia berhak untuk mengelola harta yang dimilikinya. Islam menekankan bahwa pada setiap hak manusia terdapat hak Allah; meskipun seseorang berhak memanfaatkan hartanya, tetapi ia tidak boleh menggunakan harta keluarganya untuk tujuan yang bertentangan dengan ajaran Allah. Kewajiban mengeluarkan zakat bagi setiap Muslim byang mampu merupakan contoh lain dari ajaran Islam tentang kepedulian sosial yang harus dijalankan. Menurut Maududi, ajaran tentang HAM yang terkandung dalam piagam Magna Charta tercipta 600 tahun setelah kedatangan Islam di negeri Arabia. Terdapat tiga bentuk Hak Asasi Manusia dalam Islam. Pertama, hak dasar, sesuatu dianggap hak dasar apabila hak tersebut dilanggar, bukan hanya membuat manusia sengsara, tetapi juga hilang eksistensinya, bahkan hilang harkat kemanusiaannya. Kedua, hak sekunder, yakni hak-hak yang apabila tidak dipenuhi akan berakibat pada hilangnya hak-hak dasarnya sebagai manusia. Ketiga, hak tersier, yakni hak yang tingkatannya lebih rendah dari hak premier dan hak sekunder. Terdapat dua prinsip pokok HAM dalam Piagam Madinah. Pertama, semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku bangsa. Kedua, hubungan antara komunitas Muslim dengan nonmuslim didasarkan pada prinsip-prinsip: 1. Berinteraksi secara baik dengan sesame tetangga; 2. Saling memabntu dalam menghadapi musuh bersama; 3. Membela mereka yang teraniaya; 4. Saling menasihati; 5. Menghormati kebebasan beragama. Pandangan inklusif kemanusiaan Piagam Madinah kemudian menjadi semangat deklarasi HAM Islam di Kairo, deklarasi ini dikenal dengan nama deklarasi Kairo yang lahir pada 5 Agustus 1990. Disemangati oleh pesan inklusif Piagam Madinah, lahirnya deklarasi Kairo mengandung ketentuan HAM sebagai berikut: 1. Hak persamaan dan kebebasan; 2. Hak hidup; 3. Hak perlindungan diri; 4. Hak kehormatan pribadi; 5. Hak berkeluarga; 6. Hak kesetaraan wanita dengan pria; 7. Hak anak dari orang tua; 8. Hak mendapatkan pendidikan; 9. Hak kebebasan beragama; 10. Hak kebebasan mencari suaka; 11. Hak memperoleh pekerjaan; 12. Hak memperoleh perlakuan sama; 13. Hak kepemilikan; dan 14. Hak tahanan dan narapidana.

1. Islam dan Gender