BAB 7 Hak Asasi Manusia (HAM)

(1)

BAB 7

Hak Asasi Manusia (HAM)

Pengertian HAM

Menurut Teaching Human Rights yang diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Hak hidup, misalnya, adalah klaim untuk memperoleh dan melakukan segala sesuatu yang dapat membuat seseorang tetap hidup. Menurut Locke, hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai sesuatu yang bersifat kodrati, maka tidak ada kekuasaan apa pun di dunia yang dapat mencabut hak asasi setiap manusia. HAM adalah hak dasar setiap manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan.

Hak asasi manusia ini tertuang dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Menurut UU ini, hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Perkembangan HAM di Eropa

1. Sebelum Deklarasi Universal HAM 1948

Wacana awal HAM di Eropa dimulai dengan lahirnya Magna Charta yang membatasi kekuasaan absolut para penguasa atau raja-raja. Kekuasaan absolut raja, sperti menciptakan hukum tetapi tidak terikat dengan peraturan yang mereka buat, menjadi dibatasi dan kekuasaan mereka harus dipertanggungjawabkan secara hukum. Sejak lahirnya Magna Charta (1215), raja yang melanggar aturan harus diadili dan mempertanggungjawabkan kebijakan pemerintahannya di hadapan parlemen. Magna Charta telah menyulut ide tentang keterikatan penguasa kepada hukum dan mempertanggungjawabkan kekuasaan mereka kepada rakyat. Lahirnya Magna Charta merupakan cikal bakal lahirnya monarki konstitusional.

Empat abad kemudian, tepatnya pada 1689, lahir Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM) di Inggris. Lalu muncul istilah equality before the law, kesetaraan manusia di muka umum. Menurut Bill of Rights, asas persamaan manusia di hadapan umum harus diwujudkan berapa pun berat rintangan yang dihadapi, karena tanpa hak persamaan maka hak kebebasan mustahil dapat terwujud. Untuk mewujudkan kebebasan yang bersendikan persamaan hak warga negara tersebut, lahirnya sejumlah istilah dan teori sosial yang identik dengan perkembangan dan karakter masyarakat Eropa, dan selanjutnya Amerika: kontrak sosial (J.J. Rousseau), trias politica (Montesquieu), teori hukum kodrati (John Locke), dan hak-hak dasar persamaan dan kebebasan (Thomas Jefferson).


(2)

Teori kontrak sosial adalah teori yang menyatakan bahwa hubungan antara penguasa (raja) dan rakyat yang didasari oleh sebuah kontrak yang ketentuan-ketentuannya mengikat kedua belah pihak. Menurut kontrak sosial, penguasa diberi kekuasaan oleh rakyat untuk menyelenggarakan ketertiban dan menciptakan keamanan agar hak alamiah manusia terjamin dan terlaksana secara aman. Pada saat yang sama, rakyat akan menaati penguasa mereka sepanjang hak-hak alamiah mereka terjamin.

Triac politica adalah teori tentang sistem politik yang membagi kekuasaan pemerintahan negara dalam tiga komponen: pemerintah (eksekutif), parlemen (legislatif), dan kekuasaan peradilan (yudikatif).

Teori hukum kodrati adalah teori yang menyatakan bahwa di dalam masyarakat manusia ada hak-hak dasar manusia yang tidak dapat dilanggar oleh negara dan tidak diserahkan kepada negara. Menurut teori ini, hak dasar ini bahkan harus dilindungi oleh negara dan menjadi batasan bagi kekuasaan negara yang mutlak. Hak-hak tesebut terdiri dari hak atas kehidupan, hak atas kemerdekaan, dan hak atas milik pribadi.

Hak-hak dasar persamaan dan kebebasan adalah teori yang menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan sama dan merdeka. Manusia dianugerahi beberapa hak yang tidak terpisah-pisah, di antaranya hak kebebasan dan tuntutan kesenangan. Teori ini banyak dipengaruhi oleh Locke sekaligus menandai perkembangan HAM kemudian.

Pada 1789, lahir deklarasi Perancis. Deklarasi ini memuat aturan-aturan hukum yang menjamin hak asasi manusia dalam proses hukum. Prinsip presumption of innocent adalah bahwa orang-orang yang ditangkap dianggap tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Prinsip ini kemudian dipertegas oleh prinsip-prinsip HAM lain.

Perkembangan HAM selanjutnya ditandai oleh munculnya wacana empat hak kebebasan manusia (the four freedoms) di Amerika Serikat pada 6 Januari 1941, yang diproklamirkan oleh Presiden Theodore Roosevelt. Keempat hak ini yaitu: hak kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat; hak kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya; hak bebas dari kemiskinan; dan hak bebas dari rasa takut.

Tiga tahun kemudian, dalam Konferensi Buruh Internasional di Philadelphia, Amerika Serikat, dihasilkan sebuah deklarasi HAM. Deklarasi Philadelphia 1944 ini memuat pentingnya menciptakan perdamaian dunia berdasarkan keadilan sosial dan perlindungan seluruh manusia apa pun rs, kepercayaan, dan jenis kelaminnya. Deklarasi ini juga memuat prinsip HAM yang menyerukan jaminan setiap orang untuk mengejar pemenuhan kebutuhan materiil dan spiritual secara bebas dan bermartabat serta jaminan keamanan ekonomi dan kesempatan yang sama. Kemudian dijadikan dasar perumusan Deklarasi Universal HAM (DUHAM) yang dikukuhkan oleh PBB dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada 1948.

Menurut DUHAM, terdapat lima jenis hak asasi yang dimiliki oleh setiap individu: hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi); hak legal (hak jaminan perlindungan hukum); hak


(3)

sipil dan politik; hak substensi (hak jaminan adanya sumber daya untuk menunjang kehidupan); dan hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Menurut Pasal 3-21 DUHAM, hak personal, hak legal, hak sipil, dan politik meliputi: 1. Hak untuk hidup, kebebasan, dan keamanan pribadi.

2. Hak bebas dari perbudakan dan penghambaan.

3. Hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan maupun hukuman yang kejam, tak berperkemanusiaan ataupun merendahkan derajat kemanusiaan.

4. Hak untuk memperoleh pengakuan hukum di mana saja secara pribadi. 5. Hak untuk pengampunan hukum secara efektif.

6. Hak bebas dari penangkapan, penahanan, atau pembuangan yang sewenang-wenang. 7. Hak untuk peradilan yang independen dan tidak memihak.

8. Hak untuk praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah.

9. Hak bebas dari campur tangan yang sewenang-wenang terhadap kekuasaan pribadi, keluarga, tempat tinggal, maupun surat-surat.

10. Hak bebas dari serangan terhadap kehormatan dan nama baik. 11. Hak atas perlindungan hukum terhadap serangan semacam itu. 12. Hak bergerak.

13. Hak memperoleh suaka. 14. Hak atas satu kebangsaan.

15. Hak untuk menikah dan membentuk keluarga. 16. Hak untuk mempunyai hak milik.

17. Hak bebas berpikir, berkesadaran, dan beragama. 18. Hak bebas berpikir dan menyatakan pendapat. 19. Hak untuk berhimpun dan berserikat.

20. Hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan dan hak atas akses yang sama terhadap pelayanan masyarakat.

Adapun hak ekonomi, sosial, dan budaya meliputi: 1. Hak atas jaminan sosial.

2. Hak untuk bekerja.

3. Hak atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama. 4. Hak untuk bergabung ke dalam serikat-serikat buruh. 5. Hak atas istirahat dan waktu senggang.

6. Hak atas standar hidup yang pantas di bidang kesehatan dan kesejahteraan. 7. Hak atas pendidikan.

8. Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang berkebudayaan dari masyarakat.

2. Setelah Deklarasi Universal HAM 1948

Secara garis besar, perkembangan pemikiran tentang HAM pasca-Perang Dunia II dibagi mrenjadi empat kurun generasi.

Generasi pertama. Menurut generasi ini pengertian HAM hanya berpusat pada bidang hukum dan politik. Dampak Perang Dunia II sangat mewarnai pemikiran generasi ini, di mana totaliterisme dan munculnya keinginan negara-negara yang baru merdeka untuk menciptakan


(4)

tertib hukum yang baru sangat kuat. Seperangkat hukum yang disepakati sangat sarat dengan hak-hak yuridis, seperti hak untuk hidup, hak untuk tidak menjadi budak, hak untuk tidak disiksa dan ditahan, dan sebagainya. Selain dari hak-hak tersebut, hak nasionalitas, hak pemilikan, hak pemikiran, hak beragama, hak pendidikan, hak pekerjaan, dan kehidupan budaya juga mewarnai pemikiran HAM generasi pertama ini.

Generasi kedua. Pada era ini pemikiran HAM tidak saja menuntut hak yuridis seperti yang dikampanyekan generasi pertama, tetapi juga menyerukan hak-hak sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Pada generasi kedua ini lahir dua konvensi HAM Internasional di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, serta konvensi bidang sipil dan hak-hak politik sipil (international covenant on economic, social, and cultural rights dan international covenant on civil and political rights). Kedua konvensi tersebut disepakati dalam sidang umum PBB 1966.

Generasi ketiga. Generasi ini menyerukan wacana kesatuan HAM antara hak ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum dalam satu bagian integral yang dikenal dengan istilah hak-hak melaksanakan pembangunan (the rights of development), sebagaimana dinyatakan oleh Komisi Keadilan Internasional (International Commission of Justice). Pada era generasi ketiga ini peranan negara tampak begitu dominan.

Generasi keempat. Di era ini ditandai oleh lahirnya pemikiran kritis HAM. Pemikiran HAM generasi keempat dipelopori oleh negara-negara di kawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi HAM yang dikenal dengan Declaration od the Basic Duties of Asia People and Government. Lebih maju dari generasi sebelumnya, deklarasi ini tidak saja mencakup tuntutan struktural, tetapi juga menyerukan terciptanya tatanan sosial yang lebih berkeadilan. Tidak hanya masalah hak asasi, deklarasi HAM Asia ini juga berbicara tentang masalah kewajiban asasi yang harus dilakukan oleh setiap negara. Secara positif deklarasi ini mengukuhkan keharusan imperatif setiap negara untuk memenuhi hak asasi rakyatnya. Dalam kerangka ini, pelaksanaan dan penghormatan atas hak asasi manusia bukan saja urusan orang perorangan, tetapi juga merupakan tugas dan tanggung jawab negara.

3. Perkembangan HAM di Indonesia

Secara garis besar, perkembangan pemikiran HAM di Indonesia dapat dibagi ke dalam dua periode: sebelum kemerdekaan (1908-1945) dan sesudah kemerdekaan.

a. Periode Sebelum Kemerdekaan (1980-1945)

Pemikiran HAM dalam periode sebelum kemerdekaan dapat dijumpai dalam sejarah kemunculan organisasi pergerakan nasional, seperti Boedi Oetomo (1908), Sarekat Islam (1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis Indonesia (1920), Perhimpunan Indonesia (1925), dan Partai Nasional Indonesia (1927). Puncak perdebatan HAM yang dilontarkan oleh para tokoh pergerakan nasional, seperti Soekarno, Agus Salim, Mohammad Natsir, Mohammad Yamin, K.H. Mas Mansur, K.H. Wahid Hasyim, dan Mr. Maramis, terjadi dalam sidang BPUPKI. Dalam sidang tersebut para tokoh nasional berdebat dan berunding merumuskan dasar-dasar ketatanegaraan dan kelengkapan negara.


(5)

Inti dari perjuangan Boedi Oetomo adalah perjuangan akan kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui organisasi massa dan konsep perwakilan rakyat. Mohammad Hatta, Nazir Pamontjak, Ahmad Soebardjo, A. Maramis, lebih menekankan perjuangan HAM melalui wacana hak menentukan nasib sendiri.

Tjokro Aminoto, H. Samanhudi, dan Agus Salim menyerukan pentingnya usaha-usaha untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial yang dilakukan pemerintah kolonial.

b. Periode Setelah Kemerdekaan

Perdebatan tentang HAM terus berlanjut sampai periode pasca-kemerdekaan Indonesia: 1945-1950, 1950-1959, 1959-1966, 1966-1998, dan periode HAM Indonesia kontemporer (pasca-Orde Baru).

1. Periode 1945-1950

Sepanjang periode ini, wacana HAM bisa dicirikan pada: a. Bidang sipil dan politik, melalui:

 UUD 1945 (Pembukaan, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Penjelasan Pasal 24 dan 25);

 Maklumat Pemerintah 1 November 1945;  Maklumat Pemerintah 3 November 1945;  Maklumat Pemerintah 14 November 1945;  KRIS, khususnya Bab V, Pasal 7-33; dan  KUHP Pasal 99.

b. Bidang ekonomi, sosial, dan budaya, melalui:

 UUD 1945 (Pasal 27, Pasal 31, Pasal 33, Pasal 34, Penjelasan Pasal 31-32)  KRIS Pasal 36-40

2. Periode 1950-1959

Periode 1950-1959 dikenal dengan masa demokrasi parlementer. Sejarah pemikiran HAM pada masa ini dicatat sebagai masa yang sangat kondusif bagi sejarah perjalanan HAM di Indonesia. Menurut catatan Bagir Manan, masa gemilang sejarah HAM Indonesia pada masa ini tercermin pada lima indikator HAM:

1. Munculnya partai-partai politik dengan beragam ideologi. 2. Adanya kebebasan pers.

3. Pelaksanaan pemilihan umum secara aman, bebas, dan demokratis. 4. Kontrol parlemen atas eksekutif.

5. Perdebatan HAM secara bebas dan demokratis.

Tercatat pada periode ini Indonesia meratifikasi dua konvensi internasional HAM, yaitu:

1. Konvensi Genewa (1949) yang mencakup perlindungan hak bagi korban perang, tawanan perang, dan perlindungan sipil di waktu perang.


(6)

2. Konvensi tentang Hak Politik Perempuan yang mencakup hak perempuan untuk memilih dan dipilih tanpa perlakuan diskriminasi, serta hak perempuan untuk menempati jabatan publik.

3. Periode 1959-1966

Periode ini merupakan masa berakhirnya Demokrasi Liberal, digantikan oleh sistem Demokrasi Terpimpin yang terpusat pada kekuasaan Presiden Soekarno. Demokrasi Terpimpin tidal lain sebagai bentuk penolakan Presiden Soekarno terhadap sistem Demokrasi Parlementer yang dinilainya sebagai produk Barat. Menurut Soekarno, Demokrasi Parlementer tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia.

Sistem Demokrasi Terpimpin kekuasaan terpusat di tangan presiden. Parlemen dikendalkan oleh presiden. Kekuasaan Presiden Soekarno bersifat absolut, bahkan dinobatkan sebagai Presiden RI seumur hidup. Akibat langsung dari model pemerintahan yang sangat individual ini adalah pemasungan hak-hak asasi warga negara.

4. Periode 1966-1998

Pada mulanya, lahirnya Orde Baru menjanjikan harapan baru bagi penegakan HAM di Indonesia. Orde Baru telah menorehkan sejarah hitam pelanggaran HAM di Indonesia. Janji-janji Orde Baru tentang pelaksanaan HAM di Indonesia mengalami kemunduran sangat pesat sejak awal 1970-an hingga 1980-an. Setelah mendapatkan mandat konstitusional, pemerintah Orde Baru mulai menunjukkan watak aslinya sebagai kekuasaan yang anti-HAM yang dianggapnya sebagai produk Barat. Sikap ini sesungguhnya tidak berbeda dengan argumen yang pernah dikemukakan Presiden Soekarno ketika menolak prinsip dan praktik Demokrasi Parlementer, yakni sikap apologis dengan cara mempertentangkan demokrasi dan prinsip HAM yang lahir di Barat dengan budaya local Indonesia. Orde Baru memandang HAM dan demokrasi sebagai produk Barat yang individualistis dan bertentangan dengan prinsip gotong royong dan kekeluargaan yang dianut oleh bangsa Indonesia. Di antara butir penolakan Pemerintah Orde Baru terhadap konsep universal HAM yaitu:

a. HAM adalah produk pemikiran Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila.

b. Bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang lahir lebih dahulu dibandingkan dengan deklarasi universal HAM.

c. Isu HAM sering kali digunakan oleh negara-negara Barat untuk memojokkan negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.

Sepanjang pemerntahan Presiden Soeharto tidak dikenal istilah partai opsisi, bahkan sejumlah gerakan yang berlawanan dengan kebijakan pemerintah dinilai sebagai anti-pembanguan bahkan anti-Pancasila. Kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok, Kedung Ombo Lampung, Aceh adalah segelintir daftar pelanggaran HAM yang pernah dilakukan oleh negara di era Orde Baru.


(7)

Kehadiran Komnas HAM adalah untuk memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM, memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM, membantu pengembangan dan pelaksanaan HAM yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Sayangnya, penegakan HAM tidak berdaya dalam mengungkap pelanggaran-pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh negara.

Sikap akomodatif lainnya ditunjukkan dengan dukungan pemerintah meratufikasi tiga konvensi HAM:

1. Konvensi tentangPenghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, melalui UU No. 7 Tahun 1984;

2. Konvensi Anti-Apartheid dalam Olahraga, melalui UU No. 48 Tahun 1993; dan 3. Konvensi Hak Anak, melalui Keppres No. 36 Tahun 1990.

Sikap akomodatif Pemerintah Orde Baru tuntutan HAM masyarakat belum sepenuhnya diserasikan dengan pelaksanaan HAM oleh negara. Akumulasi pelanggaran HAM negara semasa periode ini tercermin dengan tuntutan mundur Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan yang disuarakan oleh kelompok reformis dan mahasiswa pada 1998, isu ini disuarakan pertama kali oleh Dr. Amin Rais, tokoh intelektual Muslim Indonesia yang sangat kritis terhadap kebijakan Pemerintah Orde Baru.

5. Periode Pasca-Orde Baru

Tahun 1998 adalah era paling penting dalam sejarah HAM di Indonesia. Lengsernya tampuk kekuasaan Orde Baru sekaligus menandai berakhirnya rezim militer Indonesia dan datangnya era baru demokrasi dan HAM. Pada tahun ini, Presiden Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie. Menyusul berakhirnya pemerintahan Orde Baru, pengkajian terhadap kebijakan Pemerintahan Orde Baru yang bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM mulai dilakukan kelompok reformis dengan membuat perundang-undangan baru yang menjunjung prinsip-prinsip HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan. Pemerintah di era Reformasi ini juga melakukan ratifikasi terhadap instrumen HAM Internasional untuk mendukung pelaksanaan HAM di Indonesia. Lahirnya Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM merupakan salah satu indikator keseriusan pemerintahan era Reformasi akan penegakan HAM.

Kesungguhan pemerintahan B.J Habibie dalam perbaikan pelaksanaan HAM ditunjukkan dengan pencanangan program HAM yang dikenal dengan istilah Rencana Aksi Nasional HAM, pada Agustus 1998. Agenda HAM ini bersandarkan pada empat pilar, yaitu: 1. Persiapan pengesahan perangkat internasional di bidang HAM; 2. Diseminasi informasi dan pendidikan bidang HAM; 3. Penentuan skala prioritas pelaksanaan HAM; dan 4. Pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang HAM yang telah diratifikasi melalui perundang-undangan nasional.

Pada tahun 2001, Indonesia juga menandatangani dua Protokol Hak Anak, yakni protokol yang terkait dengan larangan perdagangan, prostitusi, dan pornografi anak, serta protokol yang terkait dengan keterlibatan anak dalam konflik bersenjata. Pada tahun yang sama pemerintah membuat beberapa pengesahan UU di antaranya tentang perlindungan anak, pengesahan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, dan penerbitan Keppres tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM Indonesia Tahun 2004-2009.


(8)

Pada 17 Februari 2011, MK mengeluarkan putusan judicial review atas Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa anak di luar nikah hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Hak Asasi Manusia: Antara Universalitas dan Relativitas

Sekalipun substansi HAM bersifat universal mengingat sifatnya sebagai pemberian Tuhan, dunia tidak pernah sepi dari perdebatan dalam pelaksanaan HAM. Hamper semua negara sepakat dengan prinsip universal HAM, tetapi memiliki perbedaan pandangan dan cara pelaksanaan HAM. Partikularitas HAM terkait dengan kekhususan yang dimiliki suatu negara atau kelompok sehingga tidak sepenuhnya dapat melaksanakan prinsip-prinsip HAM universal.

Perdebatan antara universalitas dan particular HAM tercermin dalam dua teori yang saling berlawanan: teori relativisme kultural dan teori universalitas HAM. Teori relativitisme kultural berpandangan bahwa nilai-nilai moral dan budaya bersifat partikular. Para penganut relativisme kultural yang mendukung kontekstualisasi HAM cenderung melihat universalitas HAM sebagai imperialisme kebudayaan Barat.

Di sisi lain, kelompok kdua (universalitas HAM) yang berpegang pada teori radikal universalitas HAM berargumen bahwa perbedaan kebudayaan bukan berarti membenarkan perbedaan konsepsi HAM. Menurut teori ini semua nilai termasuk nilai-nilai HAM adalah bersifat universal dan tidak bisa dimodifikasi untuk menyesuaikan adanya perbedaan budaya dan sejarah suatu negara. Kelompok ini menganggap hnya ada satupaket pemahaman mengenai HAM, bahwa nilai-nilai HAM berlaku sama di mana pun dan kapan pun serta dapat diterapkan pada masyarakat yang mempunyai latar belakang budaya dan sejarah yang berbeda.

Pelanggaran dan Pengadilan HAM

Unsur lain dalam HAM adalah masalah pelanggaran dan pengadilan HAM. Secara jelas UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mendefinisikan hal tersebut. Pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh individu maupun oleh insitusi negara dan insitusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya.

Pelanggaran HAM dikelompokkan pada dua bentuk, yaitu: 1. Pelanggaran HAM berat; dan 2. Pelanggaran HAM ringan. Pelanggaran HAM berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Adapun bentuk pelanggaran HAM ringan selain dari kedua bentuk pelanggaran HAM berat tersebut.

Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, dan agama. Kejahatan genosida dilakukan dengan cara:


(9)

b. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok.

c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik selurug atau sebagiannya.

d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok.

e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Adapun kejahatan kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan serangan yangmeluas dan sistematis. Adapun serangan yang dimaksud ditujukan secaral langsung terhadap penduduk sispil berupa:

a. Pembunuhan. b. Pemusnahan. c. Perbudakan.

d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.

e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan; pokok hukum internasional.

f. Penyiksaan.

g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual seksual lain yang setara.

h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis, kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.

i. Penghilangan orang secara paksa.

j. Kejahatan apartheid, penindasan dan dominasi suatu kelompok ras atas kelompok ras lain untuk mempertahankan dominasi dan kekuasaannya.

Sebagai salah satu upaya untuk memenuhi rasa keadilan, maka pengadilan atas pelanggaran HAM kategori berat, seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan diberlakukan asas retroaktif. Dengan demikian, pelanggaran HAM kategori berat dapat diadili dengan membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan keputusan presiden dan berada di lingkungan pengadilan umum.

Selain Pengadilan HAM Ad Hoc, dibentuk juga Komisi Kebenaran dan Rekonsilisasi (KKR). Komisi ini dibentuk sebagai lembaga ekstrayudisial yang bertugas untuk menegakkan kebenaran untuk mengungkap penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau, melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa.

Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan seseorang yang berumur di bawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan. Dalam pelaksanaan Peradilan HAM, Pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara Pengadilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-undang Pengadilan HAM.


(10)

Upaya mengungkap pelanggaran HAM dapat juga melibatkan peran serta masyarakat umum. Kepedulian warga negara terhadap pelanggaran HAM dapat dilakukan melalui upaya-upaya pengembangan komunitas HAM atau penyelenggaraan tribunal (forum kesaksian untuk mengungkap dan menginvestigasi sebuah kasus secara mendalam) tentang pelanggaran HAM.

Islam dan HAM

Islam adalah agama universal yang mengajarkan keadilan bagi semua manusia tanpa pandang bulu. Sebagai agama kemanusiaan, Islam meletakkan manusia pada posisi yang sangat mulia. Dalam Islam, sebagaimana dinyatakan oleh Abu A’la al-Maududi, HAM adalah ahk kodrati yang dianugerahkan Allah SWT kepada setiap manusia dan tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh kekuasaan atau badan apa pun.

Menurut kalangan ulama Islam, terdapat dua konsep tentang hak dalam Islam: hhhak manusia, dan hak Allah. Hak Allah melandasi hak manusia demikian juga sebaliknya, sehingga dalam praktiknya tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Dengan ungkapan lain, hak Tuhan dan hak manusia dalam Islam terkandung dalam ajaran ibadah sehari-hari. Islam tidak memisahkan antara hak Allah dan hak manusia.

Adapun hak manusia, seperti hak kepemilikan, setiap manusia berhak untuk mengelola harta yang dimilikinya. Islam menekankan bahwa pada setiap hak manusia terdapat hak Allah; meskipun seseorang berhak memanfaatkan hartanya, tetapi ia tidak boleh menggunakan harta keluarganya untuk tujuan yang bertentangan dengan ajaran Allah. Kewajiban mengeluarkan zakat bagi setiap Muslim byang mampu merupakan contoh lain dari ajaran Islam tentang kepedulian sosial yang harus dijalankan. Menurut Maududi, ajaran tentang HAM yang terkandung dalam piagam Magna Charta tercipta 600 tahun setelah kedatangan Islam di negeri Arabia.

Terdapat tiga bentuk Hak Asasi Manusia dalam Islam. Pertama, hak dasar, sesuatu dianggap hak dasar apabila hak tersebut dilanggar, bukan hanya membuat manusia sengsara, tetapi juga hilang eksistensinya, bahkan hilang harkat kemanusiaannya. Kedua, hak sekunder, yakni hak-hak yang apabila tidak dipenuhi akan berakibat pada hilangnya hak-hak dasarnya sebagai manusia. Ketiga, hak tersier, yakni hak yang tingkatannya lebih rendah dari hak premier dan hak sekunder.

Terdapat dua prinsip pokok HAM dalam Piagam Madinah. Pertama, semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku bangsa. Kedua, hubungan antara komunitas Muslim dengan nonmuslim didasarkan pada prinsip-prinsip: 1. Berinteraksi secara baik dengan sesame tetangga; 2. Saling memabntu dalam menghadapi musuh bersama; 3. Membela mereka yang teraniaya; 4. Saling menasihati; 5. Menghormati kebebasan beragama. Pandangan inklusif kemanusiaan Piagam Madinah kemudian menjadi semangat deklarasi HAM Islam di Kairo, deklarasi ini dikenal dengan nama deklarasi Kairo yang lahir pada 5 Agustus 1990.


(11)

Disemangati oleh pesan inklusif Piagam Madinah, lahirnya deklarasi Kairo mengandung ketentuan HAM sebagai berikut:

1. Hak persamaan dan kebebasan; 2. Hak hidup;

3. Hak perlindungan diri; 4. Hak kehormatan pribadi; 5. Hak berkeluarga;

6. Hak kesetaraan wanita dengan pria; 7. Hak anak dari orang tua;

8. Hak mendapatkan pendidikan; 9. Hak kebebasan beragama; 10. Hak kebebasan mencari suaka; 11. Hak memperoleh pekerjaan; 12. Hak memperoleh perlakuan sama; 13. Hak kepemilikan; dan

14. Hak tahanan dan narapidana.

1. Islam dan Gender

Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berkembang di masyarakat yang berupaya membuat perbedaan peran, perilaku, mentalitas, dan karakter emosional antara laki-laki dan perempuan. Ketidakadilan gender dapat dilihat dalam berbagai bentuk:

1. Marginalisasi perempuan, yakni pengucilan perempuan dari kepemilikan akses, fasilitas, dan kesempatan sebagaimana dimiliki oleh laki-laki. Misalnya, kesempatan perempuan untuk meneruskan sekolah ke jenjang lebih tinggi cenderung lebih kecil ketimbang laki-laki. Di sektor pekerjaan, marginalisasi ini biasanya ditemukan dalam bentuk pengucilan perempuan dari jenis pekerjaan tertentu, peminggiran perempuan kepada jenis pekerjaan yang tidak stabil, berupah rendah, dan kurang mengandung keterampilan; pemusatan perempuan pada jenis pekerjaan tertentu (feminisasi pekerjaan), dan pembedaan upah perempuan.

2. Penempatan perempuan pada posisi tersubordinasi, yakni menemparkan perempuan pada prioritas yang lebih rendah ketimbang laki-laki. Kasus seperti ini kerap terjadi dalam hal pekerjaan, sehingga perempuan sulit memperoleh kesempatan mendapatkan posisi yang sejajar dengan laki-laki.

3. Stereotipisasi perempuan¸ yakni pencitraan atas perempuan yang berkonotasi negatif. Dalam banyak kasus pelecehan seksual, misalnua perempuan sering kali dijadikan penyebab karena pencitraan mereka yang suka bersolek dan penggoda.

4. Kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan ini timbul akibat anggapan umum bahwa laki-laki pemegang supremasi dan dominasi atas semua sektor kehidupan.

5. Beban kerja yang tidak proporsional. Pandangan bahwa perempuan sebagai makhluk Tuhan kelas dua yang dibentuk oleh dominasi laki-laki pada akhirnya memarginalkan peran perempuan yang seharusnya diperlakukan oleh manusia yang memiliki kesamaan hak dan kewajiban. Pandangan ini tidak saja meminggrikan peran perempuan tetapi juga ketidakadilan beban kerja atas perempuan: selain menjalani fungsi reproduksi seperti


(12)

hamil, melahirkan, dan menyusui, perempuan juga dibebani pekerjaan domestic lainnya seperti memasak, mengurus keluarga, dan sebagainya.

Dalam wacana hubungan Islam dan kesetaraan gender, Islam memandang perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti laki-laki. Kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama di hapadan Allah (Q.S 4:3). Keduanya diciptakan dari satu nafs, di mana yang satu tidak memiliki keunggulan atas yang lain.

2. Islam dan Kebebasan Beragama

Kebebasan berkeyakinan merupakan salah satu ajaran Islam yang sangat sarat dengan prinsip universal HAM tentang kebebasan manusia untuk beragama atau sebaliknya. Dalam perspektif membangun toleransi antar-umat beragama, ada lima prinsip yang bisa dijadikan pedoman semua pemeluk agama dalam kehidupan sehari-hari:

1. Tidak satu pun agama yang mengajarkan penganutnya untuk menjadi jahat.

2. Adanya persamaan yang dimiliki agama-agama, misalnya ajaran tentang berbuat baik kepada sesama.

3. Adanya perbedaan mendasar yang diajarkan agama-agama. Diantaranya, perbedaan kitab suci, Nabi, dan tata cara ibadah.

4. Adanya bukti kebenaran agama.

5. Tidak boleh memaksa seseorang menganut suatu agama atau suatu kepercayaan.

3. Islam, HAM, dan Isu Lingkungan Hidup

Selain sebagai agama yang menjunjung tinggi pirnsip-prinsip keadilan gender dan kebebasan berkeyakinan, Islam sangat mengecam segala perbuatan manusia yang merusak ekosistem bumi atau lingkungan hidup (QS. 30:41). Sejalan dengan pandangan ini, munculnya isu-isu tentang HAM dan lingkungan hidup, salah satunya isu tentang perubahan iklim, adalah sangat selaras dengan prinsip ajaran Islam tentang alam dan kehidupan. Hubungan antara perusakan lingkungan dengan HAM adalah bahwa kerusakan suatu ekosistem bumi dapat mengancam kelangsungan hidup suatu kelompok masyarakat.

Tindakan merusak kelestarian lingkungan hidup merupakan bagian dari pelanggaran HAM. Masih banyak pihak yangkurang menyadari bahwa perusakan alam, penggundulan hutan, dan industrialisasi dalam skala besar misalnya, dapat berakibat pada perubahan iklim dan cuaca dalam skala luas yang melampaui batas-batas negara. Perubahan iklim yang disebabkan industrialisasi di negara-negara maju, misalnya, akan sangat berpengaruh pada kehidupan ekonomi negara atau masyarakat yang hidup di kawasan maritim.


(1)

Kehadiran Komnas HAM adalah untuk memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM, memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM, membantu pengembangan dan pelaksanaan HAM yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Sayangnya, penegakan HAM tidak berdaya dalam mengungkap pelanggaran-pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh negara.

Sikap akomodatif lainnya ditunjukkan dengan dukungan pemerintah meratufikasi tiga konvensi HAM:

1. Konvensi tentangPenghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, melalui UU No. 7 Tahun 1984;

2. Konvensi Anti-Apartheid dalam Olahraga, melalui UU No. 48 Tahun 1993; dan 3. Konvensi Hak Anak, melalui Keppres No. 36 Tahun 1990.

Sikap akomodatif Pemerintah Orde Baru tuntutan HAM masyarakat belum sepenuhnya diserasikan dengan pelaksanaan HAM oleh negara. Akumulasi pelanggaran HAM negara semasa periode ini tercermin dengan tuntutan mundur Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan yang disuarakan oleh kelompok reformis dan mahasiswa pada 1998, isu ini disuarakan pertama kali oleh Dr. Amin Rais, tokoh intelektual Muslim Indonesia yang sangat kritis terhadap kebijakan Pemerintah Orde Baru.

5. Periode Pasca-Orde Baru

Tahun 1998 adalah era paling penting dalam sejarah HAM di Indonesia. Lengsernya tampuk kekuasaan Orde Baru sekaligus menandai berakhirnya rezim militer Indonesia dan datangnya era baru demokrasi dan HAM. Pada tahun ini, Presiden Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie. Menyusul berakhirnya pemerintahan Orde Baru, pengkajian terhadap kebijakan Pemerintahan Orde Baru yang bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM mulai dilakukan kelompok reformis dengan membuat perundang-undangan baru yang menjunjung prinsip-prinsip HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan. Pemerintah di era Reformasi ini juga melakukan ratifikasi terhadap instrumen HAM Internasional untuk mendukung pelaksanaan HAM di Indonesia. Lahirnya Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM merupakan salah satu indikator keseriusan pemerintahan era Reformasi akan penegakan HAM.

Kesungguhan pemerintahan B.J Habibie dalam perbaikan pelaksanaan HAM ditunjukkan dengan pencanangan program HAM yang dikenal dengan istilah Rencana Aksi Nasional HAM, pada Agustus 1998. Agenda HAM ini bersandarkan pada empat pilar, yaitu: 1. Persiapan pengesahan perangkat internasional di bidang HAM; 2. Diseminasi informasi dan pendidikan bidang HAM; 3. Penentuan skala prioritas pelaksanaan HAM; dan 4. Pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang HAM yang telah diratifikasi melalui perundang-undangan nasional.

Pada tahun 2001, Indonesia juga menandatangani dua Protokol Hak Anak, yakni protokol yang terkait dengan larangan perdagangan, prostitusi, dan pornografi anak, serta protokol yang terkait dengan keterlibatan anak dalam konflik bersenjata. Pada tahun yang sama pemerintah membuat beberapa pengesahan UU di antaranya tentang perlindungan anak, pengesahan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, dan penerbitan Keppres tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM Indonesia Tahun 2004-2009.


(2)

Pada 17 Februari 2011, MK mengeluarkan putusan judicial review atas Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa anak di luar nikah hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Hak Asasi Manusia: Antara Universalitas dan Relativitas

Sekalipun substansi HAM bersifat universal mengingat sifatnya sebagai pemberian Tuhan, dunia tidak pernah sepi dari perdebatan dalam pelaksanaan HAM. Hamper semua negara sepakat dengan prinsip universal HAM, tetapi memiliki perbedaan pandangan dan cara pelaksanaan HAM. Partikularitas HAM terkait dengan kekhususan yang dimiliki suatu negara atau kelompok sehingga tidak sepenuhnya dapat melaksanakan prinsip-prinsip HAM universal.

Perdebatan antara universalitas dan particular HAM tercermin dalam dua teori yang saling berlawanan: teori relativisme kultural dan teori universalitas HAM. Teori relativitisme kultural berpandangan bahwa nilai-nilai moral dan budaya bersifat partikular. Para penganut relativisme kultural yang mendukung kontekstualisasi HAM cenderung melihat universalitas HAM sebagai imperialisme kebudayaan Barat.

Di sisi lain, kelompok kdua (universalitas HAM) yang berpegang pada teori radikal universalitas HAM berargumen bahwa perbedaan kebudayaan bukan berarti membenarkan perbedaan konsepsi HAM. Menurut teori ini semua nilai termasuk nilai-nilai HAM adalah bersifat universal dan tidak bisa dimodifikasi untuk menyesuaikan adanya perbedaan budaya dan sejarah suatu negara. Kelompok ini menganggap hnya ada satupaket pemahaman mengenai HAM, bahwa nilai-nilai HAM berlaku sama di mana pun dan kapan pun serta dapat diterapkan pada masyarakat yang mempunyai latar belakang budaya dan sejarah yang berbeda.

Pelanggaran dan Pengadilan HAM

Unsur lain dalam HAM adalah masalah pelanggaran dan pengadilan HAM. Secara jelas UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mendefinisikan hal tersebut. Pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh individu maupun oleh insitusi negara dan insitusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya.

Pelanggaran HAM dikelompokkan pada dua bentuk, yaitu: 1. Pelanggaran HAM berat; dan 2. Pelanggaran HAM ringan. Pelanggaran HAM berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Adapun bentuk pelanggaran HAM ringan selain dari kedua bentuk pelanggaran HAM berat tersebut.

Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, dan agama. Kejahatan genosida dilakukan dengan cara:


(3)

b. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok.

c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik selurug atau sebagiannya.

d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok.

e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Adapun kejahatan kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan serangan yangmeluas dan sistematis. Adapun serangan yang dimaksud ditujukan secaral langsung terhadap penduduk sispil berupa:

a. Pembunuhan. b. Pemusnahan. c. Perbudakan.

d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.

e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan; pokok hukum internasional.

f. Penyiksaan.

g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual seksual lain yang setara.

h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis, kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.

i. Penghilangan orang secara paksa.

j. Kejahatan apartheid, penindasan dan dominasi suatu kelompok ras atas kelompok ras lain untuk mempertahankan dominasi dan kekuasaannya.

Sebagai salah satu upaya untuk memenuhi rasa keadilan, maka pengadilan atas pelanggaran HAM kategori berat, seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan diberlakukan asas retroaktif. Dengan demikian, pelanggaran HAM kategori berat dapat diadili dengan membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan keputusan presiden dan berada di lingkungan pengadilan umum.

Selain Pengadilan HAM Ad Hoc, dibentuk juga Komisi Kebenaran dan Rekonsilisasi (KKR). Komisi ini dibentuk sebagai lembaga ekstrayudisial yang bertugas untuk menegakkan kebenaran untuk mengungkap penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau, melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa.

Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan seseorang yang berumur di bawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan. Dalam pelaksanaan Peradilan HAM, Pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara Pengadilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-undang Pengadilan HAM.


(4)

Upaya mengungkap pelanggaran HAM dapat juga melibatkan peran serta masyarakat umum. Kepedulian warga negara terhadap pelanggaran HAM dapat dilakukan melalui upaya-upaya pengembangan komunitas HAM atau penyelenggaraan tribunal (forum kesaksian untuk mengungkap dan menginvestigasi sebuah kasus secara mendalam) tentang pelanggaran HAM.

Islam dan HAM

Islam adalah agama universal yang mengajarkan keadilan bagi semua manusia tanpa pandang bulu. Sebagai agama kemanusiaan, Islam meletakkan manusia pada posisi yang sangat mulia. Dalam Islam, sebagaimana dinyatakan oleh Abu A’la al-Maududi, HAM adalah ahk kodrati yang dianugerahkan Allah SWT kepada setiap manusia dan tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh kekuasaan atau badan apa pun.

Menurut kalangan ulama Islam, terdapat dua konsep tentang hak dalam Islam: hhhak manusia, dan hak Allah. Hak Allah melandasi hak manusia demikian juga sebaliknya, sehingga dalam praktiknya tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Dengan ungkapan lain, hak Tuhan dan hak manusia dalam Islam terkandung dalam ajaran ibadah sehari-hari. Islam tidak memisahkan antara hak Allah dan hak manusia.

Adapun hak manusia, seperti hak kepemilikan, setiap manusia berhak untuk mengelola harta yang dimilikinya. Islam menekankan bahwa pada setiap hak manusia terdapat hak Allah; meskipun seseorang berhak memanfaatkan hartanya, tetapi ia tidak boleh menggunakan harta keluarganya untuk tujuan yang bertentangan dengan ajaran Allah. Kewajiban mengeluarkan zakat bagi setiap Muslim byang mampu merupakan contoh lain dari ajaran Islam tentang kepedulian sosial yang harus dijalankan. Menurut Maududi, ajaran tentang HAM yang terkandung dalam piagam Magna Charta tercipta 600 tahun setelah kedatangan Islam di negeri Arabia.

Terdapat tiga bentuk Hak Asasi Manusia dalam Islam. Pertama, hak dasar, sesuatu dianggap hak dasar apabila hak tersebut dilanggar, bukan hanya membuat manusia sengsara, tetapi juga hilang eksistensinya, bahkan hilang harkat kemanusiaannya. Kedua, hak sekunder, yakni hak-hak yang apabila tidak dipenuhi akan berakibat pada hilangnya hak-hak dasarnya sebagai manusia. Ketiga, hak tersier, yakni hak yang tingkatannya lebih rendah dari hak premier dan hak sekunder.

Terdapat dua prinsip pokok HAM dalam Piagam Madinah. Pertama, semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku bangsa. Kedua, hubungan antara komunitas Muslim dengan nonmuslim didasarkan pada prinsip-prinsip: 1. Berinteraksi secara baik dengan sesame tetangga; 2. Saling memabntu dalam menghadapi musuh bersama; 3. Membela mereka yang teraniaya; 4. Saling menasihati; 5. Menghormati kebebasan beragama. Pandangan inklusif kemanusiaan Piagam Madinah kemudian menjadi semangat deklarasi HAM Islam di Kairo, deklarasi ini dikenal dengan nama deklarasi Kairo yang lahir pada 5 Agustus 1990.


(5)

Disemangati oleh pesan inklusif Piagam Madinah, lahirnya deklarasi Kairo mengandung ketentuan HAM sebagai berikut:

1. Hak persamaan dan kebebasan; 2. Hak hidup;

3. Hak perlindungan diri; 4. Hak kehormatan pribadi; 5. Hak berkeluarga;

6. Hak kesetaraan wanita dengan pria; 7. Hak anak dari orang tua;

8. Hak mendapatkan pendidikan; 9. Hak kebebasan beragama; 10. Hak kebebasan mencari suaka; 11. Hak memperoleh pekerjaan; 12. Hak memperoleh perlakuan sama; 13. Hak kepemilikan; dan

14. Hak tahanan dan narapidana.

1. Islam dan Gender

Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berkembang di masyarakat yang berupaya membuat perbedaan peran, perilaku, mentalitas, dan karakter emosional antara laki-laki dan perempuan. Ketidakadilan gender dapat dilihat dalam berbagai bentuk:

1. Marginalisasi perempuan, yakni pengucilan perempuan dari kepemilikan akses, fasilitas, dan kesempatan sebagaimana dimiliki oleh laki-laki. Misalnya, kesempatan perempuan untuk meneruskan sekolah ke jenjang lebih tinggi cenderung lebih kecil ketimbang laki-laki. Di sektor pekerjaan, marginalisasi ini biasanya ditemukan dalam bentuk pengucilan perempuan dari jenis pekerjaan tertentu, peminggiran perempuan kepada jenis pekerjaan yang tidak stabil, berupah rendah, dan kurang mengandung keterampilan; pemusatan perempuan pada jenis pekerjaan tertentu (feminisasi pekerjaan), dan pembedaan upah perempuan.

2. Penempatan perempuan pada posisi tersubordinasi, yakni menemparkan perempuan pada prioritas yang lebih rendah ketimbang laki-laki. Kasus seperti ini kerap terjadi dalam hal pekerjaan, sehingga perempuan sulit memperoleh kesempatan mendapatkan posisi yang sejajar dengan laki-laki.

3. Stereotipisasi perempuan¸ yakni pencitraan atas perempuan yang berkonotasi negatif. Dalam banyak kasus pelecehan seksual, misalnua perempuan sering kali dijadikan penyebab karena pencitraan mereka yang suka bersolek dan penggoda.

4. Kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan ini timbul akibat anggapan umum bahwa laki-laki pemegang supremasi dan dominasi atas semua sektor kehidupan.

5. Beban kerja yang tidak proporsional. Pandangan bahwa perempuan sebagai makhluk Tuhan kelas dua yang dibentuk oleh dominasi laki-laki pada akhirnya memarginalkan peran perempuan yang seharusnya diperlakukan oleh manusia yang memiliki kesamaan hak dan kewajiban. Pandangan ini tidak saja meminggrikan peran perempuan tetapi juga ketidakadilan beban kerja atas perempuan: selain menjalani fungsi reproduksi seperti


(6)

hamil, melahirkan, dan menyusui, perempuan juga dibebani pekerjaan domestic lainnya seperti memasak, mengurus keluarga, dan sebagainya.

Dalam wacana hubungan Islam dan kesetaraan gender, Islam memandang perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti laki-laki. Kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama di hapadan Allah (Q.S 4:3). Keduanya diciptakan dari satu nafs, di mana yang satu tidak memiliki keunggulan atas yang lain.

2. Islam dan Kebebasan Beragama

Kebebasan berkeyakinan merupakan salah satu ajaran Islam yang sangat sarat dengan prinsip universal HAM tentang kebebasan manusia untuk beragama atau sebaliknya. Dalam perspektif membangun toleransi antar-umat beragama, ada lima prinsip yang bisa dijadikan pedoman semua pemeluk agama dalam kehidupan sehari-hari:

1. Tidak satu pun agama yang mengajarkan penganutnya untuk menjadi jahat.

2. Adanya persamaan yang dimiliki agama-agama, misalnya ajaran tentang berbuat baik kepada sesama.

3. Adanya perbedaan mendasar yang diajarkan agama-agama. Diantaranya, perbedaan kitab suci, Nabi, dan tata cara ibadah.

4. Adanya bukti kebenaran agama.

5. Tidak boleh memaksa seseorang menganut suatu agama atau suatu kepercayaan.

3. Islam, HAM, dan Isu Lingkungan Hidup

Selain sebagai agama yang menjunjung tinggi pirnsip-prinsip keadilan gender dan kebebasan berkeyakinan, Islam sangat mengecam segala perbuatan manusia yang merusak ekosistem bumi atau lingkungan hidup (QS. 30:41). Sejalan dengan pandangan ini, munculnya isu-isu tentang HAM dan lingkungan hidup, salah satunya isu tentang perubahan iklim, adalah sangat selaras dengan prinsip ajaran Islam tentang alam dan kehidupan. Hubungan antara perusakan lingkungan dengan HAM adalah bahwa kerusakan suatu ekosistem bumi dapat mengancam kelangsungan hidup suatu kelompok masyarakat.

Tindakan merusak kelestarian lingkungan hidup merupakan bagian dari pelanggaran HAM. Masih banyak pihak yangkurang menyadari bahwa perusakan alam, penggundulan hutan, dan industrialisasi dalam skala besar misalnya, dapat berakibat pada perubahan iklim dan cuaca dalam skala luas yang melampaui batas-batas negara. Perubahan iklim yang disebabkan industrialisasi di negara-negara maju, misalnya, akan sangat berpengaruh pada kehidupan ekonomi negara atau masyarakat yang hidup di kawasan maritim.