51 5.
Penetapan tanah hak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dilakukan tanpa melalui proses penunjukan dan pembangunan.
6. Tanah hak yang dapat dimintakan penetapannya sebagai hutan kota
sebagaimana dimaksud pada ayat 1, harus memenuhi kriteria sebagai berikut a.
terletak di wilayah perkotaan dari suatu KabupatenKota atau provinsi untuk Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta;
b. merupakan ruang terbuka hijau yang didominasi pepohonan;
c. mempunyai luas yang paling sedikit 0,25 dua puluh lima perseratus
hektar dan mampu membentuk atau memperbaiki iklim mikro, estetika, dan berfungsi sebagai resapan air.
7. Penetapan dan perubahan peruntukan tanah hak sebagai hutan kota dilakukan
dengan Keputusan Bupati Walikota. 8.
Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, penetapan dan perubahan peruntukan tanah hak sebagai hutan kota dilakukan dengan keputusan Gubernur Daerah
Khusus Ibukota Jakarta. 9.
Penetapan dan perubahan peruntukan tanah hak sebagaimana dimaksud pada ayat 7 dilakukan berdasarkan permohonan dari pemegang hak.
Pasal 20 1.
Perubahan peruntukan hutan kota yang berada pada tanah negara disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan serta ditetapkan dengan
Peraturan Daerah. 2.
Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, perubahan peruntukkan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 disesuaikan dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta serta ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
3. Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 didasarkan pada
hasil penelitian terpadu. Bagian Kelima
Pengelolaan Paragraf 1
Umum Pasal 21
1. Pengelolaan huta kota dilakukan sesuai dengan tipe dan bentuk hutan kota
agar berfungsi secara optimal berdasarkan penetapan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
2. Pengelolaan hutan kota sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi tahapan
kegiatan : a.
penyusunan rencana pengelolaan; b.
pemeliharaan; c.
perlindungan dan pengamanan;
52 d.
pemanfaatan; dan e.
pemantauan dan evaluasi.
Pasal 22 1.
Pengelolaan hutan kota yang berada di atas tanah negara dapat dilakukan oleh: a.
Pemerintah Daerah; dan atau b.
Masyarakat. 2.
Pengelolaan hutan kota yang berada pada tanah hak dilakukan oleh pemegang hak.
3. Pengelolaan hutan kota sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat dilakukan
oleh masyarakat bukan pemegang hak atau Pemerintah Daerah melalui perjanjian dengan pemegang hak.
Paragraf 2 Penyusunan Rencana Pengelolaan
Pasal 23 Penyusunan rencana pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat 2
huruf a disusun berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan yang meliputi: a.
penetapan tujuan pengelolaan; b.
penetapan program jangka pendek dan jangka panjang; c.
penetapan kegiatan dan kelembagaan; dan d.
penetapan sistem monitoring dan evaluasi. Paragraf 3
Pemeliharaan Pasal 24
Pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat 2 huruf b dilaksanakan dalam rangka menjaga dan mengoptimalkan fungsi dan manfaat hutan kota melalui
optimalisasi ruang tumbuh, diversifikasi tanaman dan peningkatan kualitas tempat tumbuh.
Paragraf 4 Perlindungan dan Pengamanan
Pasal 25 1.
Perlindungan dan pengamanan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat 2 huruf c bertujuan untuk menjaga keberadaan dan kondisi hutan
kota agar tetap berfungsi secara optimal. 2.
Perlindungan dan pengamanan hutan kota sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan melalui upaya :
53 a.
pencegahan dan penanggulangan kerusakan lahan; b.
pencegahan dan penanggulangan pencurian fauna dan flora; c.
pencegahan dan penanggulangan kebakaran; dan d.
pengendalian dan penanggulangan hama dan penyakit. Pasal 26
1. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan perubahan
dan atau penurunan fungsi hutan kota. 2.
Setiap orang dilarang : a.
membakar hutan kota; b.
merambah hutan kota; c.
menebang, memotong, mengambil, dan memusnahkan tanaman dalam hutan kota, tanpa izin dari pejabat yang berwenang;
d. membuang benda-benda yang dapat mengakibatkan kebakaran atau
membahayakan kelangsungan fungsi hutan kota; dan e.
mengerjakan, menggunakan, atau menduduki hutan kota secara tidak sah.
Paragraf 5 Pemanfaatan
Pasal 27 1.
Hutan kota dapat dimanfaatkan untuk keperluan : a.
pariwisata alam, rekreasi dan atau olah raga; b.
penelitian dan pengembangan; c.
pendidikan; d.
pelestarian plasma nutfah; dan atau e.
budidaya hasil hutan bukan kayu. 2.
Pemanfaatan hutan kota sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsi hutan kota sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3.
Paragraf 6 Pemantauan dan Evaluasi
Pasal 28 1.
Pemantauan dan evaluasi sebaga imana dimaksud dalam Pasal 21 ayat 2 huruf e dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja pengelola melalui penilaian
kegiatan pengelolaan secara menyeluruh. 2.
Hasil penilaian kegiatan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dipergunakan sebagai bahan penyempurnaan terhadap pengelolaan hutan kota.
3. Pemantauan dan evaluasi dilakukan secara periodik.
54 Pasal 29
1. Kriteria dan standar pengelolan hutan kota diatur dengan Keputusan Menteri.
2. Pedoman pengelolaan hutan kota diatur dengan Peraturan Daerah.
BAB III PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 30 1.
Menteri melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan hutan kota yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah
2. Menteri dapat melimpahkan pembinaan atas penyelenggaraan hutan kota di
KabupatenKota kepada Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3. Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi pemberian
pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan supervisi. 4.
4 Pemerintah Daerah melakukan pembinaan terhadap pengelolaan hutan kota yang dilakukan oleh masyarakat.
Pasal 31 1.
Menteri melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan hutan kota yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
2. Menteri dapat melimpahkan pengawasan atas penyelenggaraan hutan kota di
KabupatenKota kepada Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3. Gubernur atau Bupati Walikota melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan hutan kota di wilayah kerjanya. 4.
Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dilakukan bersama-sama masyarakat secara terkoordinasi dengan instansi
pemerintah yang terkait. Pasal 32
Pelaksanaan lebih lanjut tentang pengawasan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
BAB IV PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 33 1.
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah KabupatenKota mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan hutan kota.
2. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan sejak
penunjukan, pembangunan, penetapan, pengelolaan, pembinaan dan pengawasan.
55 3.
Ketentuan tentang tata cara peran serta masyarakat diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.
Pasal 34 1.
Peningkatan peran serta masyarakat dilakukan melalui : a.
pendidikan dan pelatihan; b.
penyuluhan; c.
bantuan teknis dan insentif. 2.
Ketentuan lebih lanjut tentang pengaturan pemberian bantuan teknis dan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf c diatur dengan Peraturan
Daerah. Pasal 35
1. Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan hutan kota dapat berbentuk :
a. penyediaan lahan untuk penyelenggaraan hutan kota;
b. penyandang dana dalam rangka penyelenggaraan hutan kota;
c. pemberian masukan dalam penentuan lokasi hutan kota;
d. pemberian bantuan dalam mengidentifikasi berbagai potensi dalam
masalah penyelenggaraan hutan kota; e.
kerjasama dalam penelitian dan pengembangan; f.
pemberian informasi, saran, pertimbangan atau pendapat dalam penyelenggaraan hutan kota;
g. pemanfaatan hutan kota berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku; h.
bantuan pelaksanaan pembangunan; i.
bantuan keahlian dalam penyelenggaraan hutan kota; j.
bantuan dalam perumusan rencana pembangunan dan pengelolaan; k.
menjaga, memelihara dan meningkatkan fungsi hutan kota. 2.
Tata cara peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan hutan kota diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.
BAB V PEMBIAYAAN
Pasal 36 Biaya penyelenggaraan hutan kota berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah atau sumber dana lainnya yang sah.
56 BAB VI
S A N K S I Pasal 37
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 26 dikenakan sanksi yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.
BAB VII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 38 Hutan kota yang telah ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini
dinyatakan tetap berlaku dan segera menyesuaikan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
BAB VIII P E N U T U P
Pasal 39 Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundang-
undangan yang mengatur hutan kota yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya
peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 40 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 12 Nopember 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Nopember 2002 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd. BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 119 TAHUN 2002
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Batang Lingkin pada 28 Januari 1986 sebagai anak pertama dari lima bersaudara yang terdiri dari ayah Maradingin Lubis dan Ibu
Ernawati. Empat Saudara, yaitu Nurhalimah Lubis, Rudi Agussalim Lubis, Fatimahrani Lubis, dan Abdul Azzis Lubis.
Latar belakang pendidikan dimulai dari SDN 66 Batang Lingkin 1992 - 1998, MTsN Simpang IV Pasaman Barat 1998 - 2001 dan SMAN 2 Medan
2001 - 2004. Penulis melanjutkan pendidikan di Politeknik Pertanian Universitas Andalas Padang, Program Studi Agribisnis Pertanian 2004 - 2007 dan
meneruskan pada program ekstensi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian 2007 - 2010. Penulis
diterima di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 2007 - 2013.
Selama mengikuti pendidikan di PSL-IPB, penulis aktif dalam organisasi mahasiswa, yaitu Forum Wacana Pascasarjana dan Ecologica PSL-IPB. Penulis
juga pernah mengikuti Training “Climate Change Mitigation and Adaptation for Agricultural Productivity In Southeast Asia”, kerjasama The Southeast Asian
Regional Centre for Tropical Biology SEAMEO BIOTROP dan Indonesia Network Agroforestry Education INAFE dan kegiatan Asia Forum Carbon
Abdate, Dewan Nasional Perubahan Iklim, Indonesia. Selain itu, penulis juga bekerja pada PT. Alas Consultans 2012.
Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. dan Dr. Ir. Ismayadi Samsoedin, M.Sc. penulis dilibatkan dalam penelitian “Kajian Jenis
Pohon Potensial untuk Pengembangan Hutan KotaLanskap Perkotaan”, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Kementerian
Kehutanan RI, Bogor. Penulis juga dilibatkan dalam penelitian “Landscape Ecology” kerjasama Fakultas Pertanian IPB – ETH Zurich – National University
of Singapore, Singapore. Pada tanggal 15 – 23 Maret 2013, penulis diikut sertakan dalam kegiatan Wokshop and Seminar “Designing the Ciliwung River an Urban
Landscape Study of Kampung Melayu” di Jakarta dan Singapore.
1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Provinsi DKI Jakarta secara geografis dan administratif terbagi menjadi enam wilayah yang meliputi: Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta
Selatan, Jakarta Timur dan Kepulauan Seribu. Luas daratan DKI Jakarta yaitu 661.52 km
2
dan lautan seluas 6.977.50 km
2
. Pada tahun 2010 penduduk DKI Jakarta mencapai 9.607.787 jiwa dan merupakan kota terpadat di Indonesia Dinas
Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta 2011. Provinsi DKI Jakarta sebagai kota terpadat, metropolitan dan sekaligus
kota jasa memiliki arah kebijakan pembangunan yang lebih cenderung kepada peningkatan kapasitas pelayanan infrastruktur, transportasi, pengembangan good
governance , dan penguatan sektor industri serta perbankan Dinas Kelautan dan
Pertanian Provinsi DKI Jakarta 2011. Sementara dalam hal perbaikan kualitas lingkungan hidup, masih jauh dari yang diharapkan sehingga menyebabkan
persoalan pada lingkungan perkotaan, seperti peningkatan polusi, peningkatan suhu udara, permasalahan kesehatan, kenyamanan dan estetika.
Meningkatnya permasalahan lingkungan hidup, menyebabkan keberadaan hutan kota di DKI Jakarta sangat penting. Hal ini dikarenakan fungsi dan jasa
biologis pohon yang mampu melerai dan mengendalikan berbagai bentuk pencemaran lingkungan. Pohon berperan sangat penting tidak hanya sebagai
penyimpan karbon C-stock, tetapi secara alami juga berfungsi sebagai penyerap karbon C-sequestration yang paling efesien. Keberadaan pohon menjadi
semakin penting ketika dunia dihadapkan pada persoalan perubahan iklim global global climate change
, yang menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan hidup enviromental degradation. Degradasi lingkungan kemudian diperburuk
dengan meningkatnya populasi manusia akibat proses urbanisasi, dan industrialisasi serta tanah komersial yang menyebabkan menurunnya daya dukung
lingkungan dan peningkatan pencemaran Arifin and Nakagoshi 2011.
Menurunnya daya dukung lingkungan dan peningkatan pencemaran perkotaan, ternyata mendapat perhatian oleh masyarakat dan pemerintah,
khususnya DKI Jakarta. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan lingkungan ini seperti yang tertuang pada Agenda-21 dan
Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW DKI Jakarta 2010, yaitu melakukan pengembangan RTH dalam bentuk hutan kota Samsoedin dan Waryono 2010.
Kesadaran pemerintah DKI Jakarta untuk melakukan pengembangan hutan kota didasari oleh pertimbangan hasil kajian fungsi dan jasa biologis pepohonan
yaitu: a pohon dapat memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika, b meresapkan air, c menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan
fisik kota, d mendukung pelestarian keanekaragaman hayati dan e penelitian dan pendidikan Samsoedin dan Waryono 2010. Selain pertimbangan tersebut,
keberadaan hutan kota secara ideologi juga diamanahkan secara nasional dalam Undang - Undang Dasar 1945 dengan landasan konseptualnya termuat pada
peraturan pemerintah No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota.
Dasar legalitas yang mendukung pembangunan hutan kota antara lain: UU No. 05 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, UU No. 05
2 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, UU
No. 04 Tahun 1992 tentang perumahan dan pemukiman, UU No. 24 Tahun 1992 tentang penataan ruang, UU No. 06 Tahun 1994 tentang konvensi kerangka kerja
PBB mengenai perubahan iklim, PP No. 69 Tahun 1996 tentang pelaksanaan hak, kewajiban, bentuk dan tata cara masyarakat dalam penataan ruang, PP No. 47
Tahun 1997 tentang rencana tata ruang wilayah nasional, UU No. 23 Tahun 1997 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, UU No. 22 Tahun 1999
tentang pemerintahan daerah, UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, PP No. 20 Tahun 2001 tentang pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan
pemerintah daerah, PP No. 34 Tahun 2002 tentang penyusunan rencana pengelolaan, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, PP No. 35 Tahun 2002
tentang dana reboisasi dan PP 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
1.2. Rumusan Masalah
Meningkatnya pencemaran lingkungan perkotaan, seperti perubahan suhu merupakan fakta yang sedang terjadi di DKI Jakarta. Tahun 1970-an rata - rata
suhu udara DKI Jakarta tercatat berkisar antara 26
o
C - 28
o
C dan telah berubah menjadi 29.12
o
C – 31.26
o
C di tahun 2007 Samsoedin dan Waryono 2010. Persoalan lingkungan kota DKI Jakarta diperburuk dengan meningkatnya populasi
manusia akibat proses urbanisasi dan industrialisasi yang menyebabkan peningkatan polusi udara dan menurunnya daya dukung lingkungan. Samsoedin
dan Waryono 2010 mengatakan bahwa tahun 2002 - 2007 pencemaran udara CO
2
di DKI Jakarta meningkat dari 187.4 mgm
2
menjadi 300.0 mgm
2
. Salah satu upaya untuk meredam persoalan lingkungan tersebut adalah melalui keberadaan
dan pengembangan hutan kota. Hutan kota menjadi salah satu alternatif penting dalam mengatasi pencemaran lingkungan kota, karena pepohonan secara alami
dapat menyerap gas CO
2
yang disimpan dalam bentuk karbon C dan dikeluarkan dalam bentuk oksigen O
2
. Selain itu, hutan kota juga berfungsi sebagai wahana kenservasi flora dana fauna.
Pengembangan hutan kota menjadi isu penting seiring dikeluarkannya Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yaitu pada pasal 29
ayat 2 dijelaskan bahwa proporsi Ruang Terbuka Hijau RTH paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota 20 persen publik dan 10 persen privat dengan
persentase luas hutan kota minimal 10 persen dari wilayah perkotaan dan atau disesuaikan dengan kondisi wilayah setempat, seperti jumlah penduduk, tingkat
pencemaran dan kondisi fisik kota PP No. 63 Tahun 2002. Namun demikian, permasalahan utama dalam pengembangan hutan kota DKI Jakarta, diantaranya
yaitu: a aspek teknis, seperti konsepsi dasar pemilihan jenis pohon hutan kota yang sesuai dengan peruntukannya, dan b aspek kebijakan hutan kota, seperti
dukungan peraturan, peningkatan kuantitas dan kualitas hutan kota, evaluasi dan monitoring, dan pemahaman tentang keberadaan hutan kota.
Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mencari solusi dan menyusun rekomendasi kebijakan pengembangan hutan kota dalam upaya
mewujudkan cadangan karbon potensial sehingga diperoleh pengembangan hutan kota yang berkelanjutan. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka yang
menjadi fokus pertanyaan dalam penelitian ini yaitu:
3 1.
Berapakah jumlah cadangan karbon pohon, nilai serapan CO
2
dan jenis pohon hutan kota yang memiliki cadangan karbon potensial.
2. Faktor kebijakan apakah yang mendukung pengembangan hutan kota
sehingga diperoleh cadangan karbon pohon potensial.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang muncul di DKI Jakarta, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan yaitu:
1. Menganalisis cadangan karbon pohon, nilai serapan CO
2
dan jenis pohon hutan kota yang memiliki cadangan karbon potensial.
2. Menganalisis faktor kebijakan yang mendukung pengembangan hutan kota
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini menghasilkan data dan informasi yang mendukung kebijakan pemerintah dalam pengembangan hutan kota, diantaranya:
1. Data dan informasi jumlah cadangan karbon pohon, nilai serapan CO
2
, dan jenis pohon hutan kota yang memiliki cadangan karbon potensial,
yang selanjutnya dapat disesuaikan dan dipilih untuk pengembangan hutan kota.
2. Informasi mengenai faktor, aktor dan alternatifsolusi kebijakan yang
dapat menjadi faktor pendorong dalam pengembangan hutan kota.
1.5. Kerangka Pemikiran
Pengembangan hutan kota semestinya diupayakan sesuai dengan kaidah PP No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, untuk itu perlu dilakukan analisis
cadangan karbon pohon dan analisis faktor kebijakan pengembangan hutan kota. Analisis cadangan karbon pohon dilakukan melalui pendekatan allometrik dengan
mengukur diameter batang dan tinggi pohon. Analisis faktor kebijakan dilakukan melalui pendekatan Analitical Hierarchy Process AHP dengan menggunakan
bantuan kuisioner dan Software Expert Choice 11.
Analisis cadangan karbon pohon menghasilkan data jumlah cadangan karbon pohon, nilai serapan CO
2
, dan jenis pohon hutan kota yang memiliki cadangan karbon potensial. Analisis faktor kebijakan menghasilkan informasi
tentang faktor, aktor dan alternatif kebijakan pengembangan hutan kota. Melalui analisis ini dihasilkan rekomendasi kebijakan pengembangan hutan kota dalam
upaya mewujudkan cadangan karbon potensial sehingga diperoleh pengembangan hutan kota yang berkelanjutan Gambar 1.1.
4 Gambar 1.1. Kerangka pikir penelitian
PENGEMBANGAN HUTAN KOTA YANG BERKELANJUTAN
Hutan Kota DKI Jakarta
Analisis Cadangan Karbon Pohon
Rekomendasi kebijakan pengembangan hutan kota dalam upaya mewujudkan cadangan karbon pohon potensial
PP No. 63 Tahun 2002
Analisis faktor kebijakan pengembangan hutan kota
Pengukuran diameter batang ≥ 10 cm
dan tinggi pohon
Non-destructive Methods Allometric equestion
Analitical Hierarchy Process Methods Software Expert Choice 11
Data jumlah C-stock pohon, nilai serapan CO
2
, dan jenis pohon hutan kota yang memiliki C-stock potensial
Informasi faktor kebijakan pengembangan hutan kota
5
2. ANALISIS CADANGAN KARBON POHON HUTAN KOTA
2.1. PENDAHULUAN
Polusi dan suhu udara merupakan salah satu persoalan lingkungan yang sedang terjadi di DKI Jakarta. Kementrian Lingkungan Hidup KLH menyatakan
bahwa jumlah pulusi udara dari sektor industri dan transportasi telah mencapai 170 juta ton emisi CO
2
, sementara untuk suhu udara telah mencapai 29.12
o
C – 31.26
o
C di tahun 2007. Persoalan kualitas udara ini menyebabkan keberadaan hutan kota sangat penting untuk dikembangkan. Hutan kota adalah suatu
hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanak hak, yang ditetapkan
sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang PP No. 63 Tahun 2002.
Hutan kota menjadi salah satu upaya penting dalam mengatasi pencemaran lingkungan karena berhubungan dengan jasa biologis pohon yang mampu melerai
pencemaran lingkungan perkotaan. Hutan kota memiliki fungsi untuk menjaga iklim mikro perkotaan, memberikan nilai estetika, meresapkan air, menciptakan
keseimbangan lingkungan serta pelestarian keanekaragaman hayati. Selain itu, pohon pada hutan kota juga memiliki fungsi sebagai penyimpan karbon melalui
perolehan biomassa. Biomassa standing crop adalah total berat atau volume organisme dalam suatu area tertentu IPCC 2003. Biomassa juga didefinisikan
sebagai total jumlah materi hidup di atas permukaan pada suatu pohon dan dinyatakan dengan satuan ton berat kering per satuan luas Brown 1997.
Biomassa pohon bertambah seiring dengan pertumbuhan tanaman. Pada proses pertumbuhannya, tanaman melakukan proses fotosintesis dengan menyerap
CO
2
dari atmosfer dan mengubahnya menjadi karbon organik karbohidrat sederhana. Melalui proses metabolisme, senyawa karbohidrat tersebut dirubah
menjadi lipid, asam nukleat, protein dan molekul organik lainya. Molekul organik tersebut dirubah menjadi daun, batang, akar, buah, jaringan dan sistem organ
lainnya. White and Plashett 1981 menyebutkan bahwa biomassa bagian-bagian pohon didistribusikan sebesar 60 - 65 pada bagian batang, 5 pada bagian
tajuk, 10 - 15 pada bagian daun dan cabang, 5 - 10 pada bagian tunggak dan 5 pada bagian akar. Brown 1997 mengemukakan bahwa hampir 50
biomassa pohon tersusun atas unsur karbon, dimana unsur tersebut dapat dilepas ke atmosfer dalam bentuk CO
2
apabila hutan dibakar atau ditebang habis. Menurut Hygreen and Bowyer 1993 satu potong kayu memiliki 49 C, 06
H, 44 O dan 0.1 abu. Biomassa memiliki kaitan dengan cadangan karbon, yaitu dengan
mengukur jumlah cadangan karbon pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO
2
di amosfer yang diserap oleh pohon Rahayu et al. 2007. Berhubungan dengan upaya pengembangan lingkungan bersih, maka jumlah CO
2
di udara harus dikendalikan dengan jalan meningkatkan jumlah serapan CO
2
oleh tanaman sebanyak mungkin, dan menekan pelepasan emisi CO
2
ke udara serendah mungkin. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan
menganalisis jumlah cadangan karbon pohon, nilai serapan CO
2
dan jenis pohon yang memiliki cadangan karbon potensial, sebagai upaya untuk mencari solusi
dan menyusun rekomendasi kebijakan pengembangan hutan kota.
6
2.2. BAHAN DAN METODE
2.2.1. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah peta dasar hutan kota UI,
Srengseng dan PT JIEP yang berfungsi untuk mengetahui sebaran plot sesuai dengan strata tegakan. Alat yang digunakan adalah phi band untuk mengukur
diameter pohon, meteran panjang untuk mengukur plot sampling, klinometer untuk mengukuran tinggi pohon, GPS Global Positioning System untuk
menentukan posisi koordinat dan menyesuaikan ketepatan lokasi pengambilan sampel pohon sesuai dengan lokasi plot yang telah ditetapkan sebelumnya, tali
rapia untuk membatasi plot, patok untuk penanda plot, kamera untuk mengambil gambar-gambar yang terkait dengan penelitian dan tally sheet untuk mencatat dan
mengklasifikasi data yang telah diamati. 2.2.2. Metode
2.2.2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Provinsi DKI Jakarta Gambar 2.1. Hutan kota yang diamati terdiri dari tiga hutan kota yang telah dikukuhkan oleh Gubernur
DKI Jakarta, yaitu: hutan kota Universitas Indonesia UI yang berada di wilayah Jakarta Selatan dengan luas 52.40 ha, hutan kota Srengseng yang berada di
wilayah Jakarta Barat dengan luas 15.00 ha, dan hutan kota PT Jakarta Industrial Estate Pulogadung PT JIEP yang berada di Jakarta Timur dengan luas 8.90 ha.
Penelitian ini dilakukan selama enam bulan, yaitu Februari 2012 - Agustus 2012.
Sumber: Samsoedin dan Waryono, 2010 Gambar 2.1. Peta lokasi hutan kota DKI Jakarta a, hutan kota PT JIEP b, hutan
kota Srengseng c dan hutan kota UI d a
d c
b
7
2.2.2.2. Penentuan Lokasi Penelitian
Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan metode purposive sampling, yaitu tiga hutan kota dipilih secara sengaja berdasarkan keterwakilan fungsi utama
jasa lanskap hutan kota yaitu: 1 hutan kota sebagai konservasi keanekaragaman hayati maka dipilih hutan kota UI sebagai perwakilannya, 2 hutan kota sebagai
estetika atau rekreasi maka dipilih hutan kota Srengseng sebagai perwakilannya, dan 3 hutan kota sebagai penyangga lingkungan industri maka dipilih hutan kota
PT JIEP sebagai perwakilannya. Pemusatan pada tiga hutan kota juga didasarkan atas pertimbangan kelayakan waktu penelitian.
2.2.2.3. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey. Data diperoleh dari pengukuran langsung di lapangan, wawancara dengan stakeholder hutan kota dan
pengumpulan data dari lembaga atau instansi yang terkait dengan penelitian. 2.2.2.4. Penentuan Sampling, Bentuk dan Jumlah Plot
Penentuan sampling plot menggunakan metode purposive sampling yang terlebih dahulu dilakukan pengamatan lapang ground cheek untuk melihat dan
memastikan kesesuaian penempatan plot Gambar 2.2. Intensitas sampling yang digunakan yaitu 1 dan bentuk plot yang digunakan adalah bujur sangkar
Gambar 2.3. Bentuk plot bujur sangkar merupakan bentuk plot yang relatif sering digunakan dalam analisa vegetasi hutan di Indonesia. Jumlah plot yang
dipergunakan sebanyak 43 plot dengan ukuran 20 m x 20 m SNI 2011.
Gambar 2.2. Metode penyebaran plot dengan purposive sampling
Gambar 2.3. Bentuk plot sampling petak kuadrat
20 m x 20 m 10 m x 10 m
5 m x 5 m 2 m x 2 m
Jalan Plot sampling
8
2.2.2.5. Pengukuran Biomassa Pohon
Tahapan pengukuran biomassa pohon dilakukan yaitu 1 identifikasi nama jenis, 2 mengukur diameter batang setinggi dada atau pada ketinggian 1.3
meter dari atas permukaan tanah Gambar 2.4, 3 mencatat data dbh dan nama jenis ke dalam tally sheet, dan 4 menghitung biomassa pohon SNI 2011.
Pohon normal: DBH diukur 1.3 meter dari permukaan
tanah Pohon miring: DBH diukur
1.3 meter dari permukaan tanah terdekat atau searah
kemiringan pohon Pohon normal pada tanah
miring: DBH diukur 1.3 meter dari permukaan
tanah tertinggi
Pohon cacat: jika 1.3 meter tepat berada pada batang
cacat gembung, DBH diukur pada batas bagian
yang mulai normal, diatas atau dibawah tergantung
yang terdekat Pohon cabang: jika 1.3 meter
tepat berada pada awal percabangan, DBH diukur
dibagian bawah cabang yang masih normal
Pohon cabang: jika 1.3 meter berada di atas
cabang, ukur DBH di kedua cabang dan
dianggap 2 batang
Gambar 2.4. Pengukuran diameter setinggi dada pada berbagai kondisi pohon
Pohon berakar penunjang: DBH diukur 1.3 meter dari batas atas akar penunjang
Pohon berbanir: DBH diukur 20 cm dari batas banir
9
2.2.2.5. Perhitungan Biomassa, Cadangan Karbon dan Serapan CO
2
Penentuan biomassa pohon hutan kota dilakukan dengan metode sampling tanpa pemanenan non-destruktive sampling, yaitu menggunakan persamaan
allometrik berdasarkan spesies tanaman yang sudah ada Kusmana et al. 1992. Persamaan allometrik merupakan suatu fungsi atau persamaan matematika, yang
menunjukkan hubungan antara bagian tertentu dari mahluk hidup dengan bagian lain atau fungsi tertentu dari makhluk hidup tersebut. Persamaan ini digunakan
untuk menduga parameter tertentu dengan menggunakan parameter lainnya yang lebih mudah diukur yaitu diameter dan tinggi Hairiah et al. 2011. Menggunakan
persamaan allometrik yang sudah ada memiliki kelebihan yaitu tidak melakukan pemanenan atau pengrusakan terhadap pohon, lebih efesien terhadap waktu dan
biaya. Selain itu, metode ini sesuai dengan acuan pasal 26 ayat 2 PP No. 63 Tahun 2003 tentang larangan melakukan pengrusakan terhadap pohon hutan kota.
Perhitungan cadangan karbon pohon hutan kota dilakukan dengan menggunakan rumus kandungan biomassa yang dikembangkan oleh IPCC 2006
yaitu C
b
= B x C organik. Nilai serapan CO
2
diketahui dengan menggunakan perbandingan masa molekul relatif O
2
44 dan masa atom relatif C 12 yaitu 3.67 x cadaangan karbon. Nilai berat jenis kayu, diakses melalui database wood
density of trees word agroforestry http:www.worldagroforestry.org, FAO http:www.fao.org dan situs dunia tumbuhan http:www.plantamor.com.
2.2.2.6. Analisis Data
a. Analisis Potensi Biomassa
Analisis pendugaan bimassa pohon hutan kota menggunakan persamaan allometrik berdasarkan spesies tanaman Tabel 2.1. Jika persamaan allometrik
berdasarkan spesies tidak tersedia, maka digunakan persamaan Chave et al. 2005. Persamaan allometrik ini dipilih karena merupakan hasil pengembangan
dari persamaan allometrik sebelumnya dan juga menyerupai curah hujan lokasi penelitian. Curah hujan merupakan salah satu komponen iklim yang sangat
penting dalam pendugaan biomassa karena berkaitan dengan komposisi bahan organik. Meningkatnya curah hujan akan menyebabkan proses dekomposisi
berlangsung cepat. Formulasi umum yang digunakan dalam pendugaan biomassa adalah sebagai berikut:
Y = a. DBH
b
........................................... 1 Keterangan:
Y : Above ground biomass kg
DBH : Diameter Breast High 1.3 meter a :
Koefisien Konversi
b : Koefisien allometrik
Tabel 2.1. Persamaan allometrik
Jenis Tegakan Persamaan allometrik
Sumber
Jati Y = 0.153 D
2.39
Hairiah et al., 2011
Mahoni Y = 0.048 D
2,68
Hairiah et al., 2011
10 Lanjutan Tabel 2.1. Persamaan allometrik
Jenis Tegakan Persamaan allometrik
Sumber
Akasia Y = 0.0000478 D
2.76
Hairiah et al., 2011
Sengon Y = 0.027 D
2.23
Hairiah et al., 2011
Karet Y = 419-16.9D + 0.322 D
2
Hairiah et al., 2011
Puspa Y =
0.000093
2.51
Krisnawati et al., 2012
Pohon lain Y = 0.112
π D
2
H
0.92
Chave at al., 2005
Pohon lain Y = 0.051 x
π D
2
H Chave at al., 2005
Pohon lain Y = 0.0776 x
π D
2
H
0.94
Chave at al., 2005
Keterangan: Y = Biomassa pohon kg per pohon
D = DBH cm H = Tinggi pohon m
π = BJ kayu g per cm
3
Persamaan allometrik dengan curah hujan 1.500 kering Persamaan allometrik dengan curah hujan 1.500 – 4.000 lembab
Persamaan allometrik dengan curah hujan 4.000 basah b. Analisis Cadangan Karbon
Analisis cadangan karbon pohon hutan kota menggunakan pendekatan kandungan biomassa yang dikembangkan oleh IPCC 2006. Formulasi umum
yang digunakan adalah sebagai berikut: C = 0.5 x W ................................................. 2
Keterangan: C
: Cadangan Karbon tC W
: Biomassa kg 0.5
: Koefisien kadar karbon pada tumbuhan c. Analisis Serapan CO
2
Analisis serapan CO
2
dihitung dengan menggunakan data carbon stock dengan formulasi yang digunakan adalah sebagai berikut:
EC = 3.67 x ΔCLC-D ..................................... 3
Keterangan: EC
: Serapan CO
2
tCO
2
3.6 : Ratio atomic carbon dioxide terhadap carbon: 4412 tCO
2
eton C ΔCLC-D : Carbon stock
11
2.3. HASIL PENELITIAN
2.3.1. Analisis Situasional
Provinsi DKI Jakarta selain memiliki penduduk yang padat, juga memiliki persoalan-persoalan lingkungan seperti peningkatan polusi udara, sampah dan
banjir. Maka dari itu, pemerintah sebagai aktor utama harus memiliki strategi atau apaya dalam mengatasi pencemaran lingkungan tersebut. Salah satu upaya yang
dapat dilakukan pemerintah yaitu melalui pengembangan hutan kota. Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta 2011 menyatakan bahwa tahun
1991 - 2011 pemerintah DKI Jakarta telah memiliki 14 hutan kota seluas 149.18 ha yang telah dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta. 14 hutan kota tersebut
tersebar di lima wilayah administrasi yaitu: Jakarta Selatan seluas 57.04 ha, Jakarta Barat seluas 15.00 ha, Jakarta Pusat seluas 5.68 ha, Jakarta Utara seluas
12.28 ha, dan Jakarta Timur seluas 59.18 ha Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Hutan kota yang telah dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta
No Hutan Kota
Luas ha SK Gubernur
Wilayah 1.
Universitas Indonesia 52.40
No. 34872004 Jakarta Selatan
2. Blok P
1.64 No. 8692004
Jakarta Selatan 3.
LPA Srengseng 15.00
No. 2021996 Jakarta Barat
4. Kemayoran
4.60 No. 3392002
Jakarta Pusat 5.
Masjid Istiqlal 1.08
No. 1822005 Jakarta Pusat
6. Waduk Sunter Utara
8.20 No. 3171999
Jakarta Utara 7.
Tepian Banjir Kanal Barat 2.49
No. 1972005 Jakarta Utara
8. Berikat Nusantara Marunda
1.59 No. 1962005
Jakarta Utara 9.
PT. JIEP Pulo Gadung 8.90
No. 8702004 Jakarta Timur
10. Bumi Perkemahan Cibubur
27.32 No. 8722004
Jakarta Timur 11.
Situ Rawa Dongkal 4.00
No. 2072005 Jakarta Timur
12. Komplek Kopassus Cijantung
1.75 No. 8682004
Jakarta Timur 13.
Mabes TNI Cilangkap 14.43
No. 8712004 Jakarta Timur
14. Komplek Lanud Halim
Perdana Kusuma 3.50
No. 3382002 Jakarta Timur
Sumber: Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta 2011
Hutan kota di wilayah Jakarta Selatan terdiri dari hutan kota UI seluas 52.50 ha dan Blok P seluas 1.64 ha. Hutan kota Blok P berdasarkan SK Gubernur
No. 869 Tahun 2004 berfungsi sebagai kawasan hijau penyangga lingkungan perkantoran dan konservasi keanekaragaman hayati. Wilayah Jakarta pusat hanya
memiliki 2 hutan kota yang telah dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta yaitu
12 hutan kota Kemayoran dan Masjid Istiqlal. Hutan kota Kemayoran memiliki luas
15.00 ha, dengan fungsi sebagai sebagai kawasan hijau penyangga perkotaan dan satwa liar perkotaan. Hutan kota Masjid Istiqlal memiliki luas 1.08 ha, dengan
fungsi sebagai kawasan hijau penyangga bangunan fisik sarana ibadah dan pengendali lingkungan fisik perkotaan.
Wilayah Jakarta Utara memiliki 3 hutan kota, diantaranya hutan kota Waduk Sunter Utara, Banjir Kanal Barat dan Berikat Nusantara Marunda. Hutan
kota Waduk Sunter Utara memiliki luas 8.20 ha, dengan fungsi sebagai wahana penyangga perairan. Hutan kota Banjir Kanal Barat memiliki luas 2.49 dan hutan
kota Berikat Nusantara Marunda sebesar 1.59 ha, dengan fungsi sebagai kawasan penyangga lingkungan industri.
Hutan kota di wilayah Jakarta Timur merupakan hutan kota yang paling banyak mendapatkan SK Gubernur DKI Jakarta. Wilayah ini memiliki 6 hutan
kota yang terdiri dari hutan kota PT JIEP, Bumi Perkemahan Cibubur, Situ Rawa Dongkal, Komplek Kopassus Cijantung, Mabes TNI Cilangkap, dan Komplek
Lanaud Halim Perdana Kusuma. Hutan kota PT JIEP memiliki luas 8.90 ha. Hutan kota Bumi Perkemahan Cibubur seluas 27.32 ha, dengan fungsi sebagai
kawasan konservasi keanekaragaman hayati. Hutan kota Situ Rawa Dongkal seluas 3.28 ha, dengan fungsi sebagai kawasan penyangga perairan dan sangtuari
liar. Hutan kota Komplek Lanud Halim Perdana Kusuma seluas 3.60 ha, dengan fungsi sebagai kawasan penyangga lingkungan kedirgantaraan dan plasma nuftah.
Hutan kota yang menjadi fokus penelitian terdiri dari hutan kota UI, Srengseng dan PT JIEP. Hutan kota UI memiliki luas 55.40 ha yang ditetapkan
berdasarkan SK Rektor UI No. 84SK121988, kemudian diperbaharui dengan SK Gubernur No. 3487 Tahun 1999. Hutan kota UI difungsikan sebagai kawasan
resapan air, koleksi pelestarian plasma nutfah, penelitian dan rekreasi. Berdasarkan letak geografisnya hutan kota UI terletak pada 06
20’45” LS dan 106
49’15” BT, berada di wilayah Jakarta Selatan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Provinsi DKI Jakarta dan selebihnya masuk pada wilayah
Depok, Provinsi Jawa Barat sebesar 34.6 ha. Hutan kota UI sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Jagakarsa, sebelah selatan berbatasan dengan
Kecamatan Beji Timur Kota Depok dan sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Pondok Cina.
Konfigurasi fisik kawasan hutan kota UI merupakan hamparan landai dengan kisaran kemiringan lereng 3 - 8 76.40 ha, dan bergelombang ringan
dengan kisaran lereng 8 - 25 13.60 ha, dengan ketinggian tempat 39 - 74 m dpl. Jenis tanah kawasan ini adalah latosol merah dengan tekstur halus, peka
terhadap erosi dan memiliki kedalaman efektif 90 - 100 cm. Suhu rata-rata harian hutan kota UI sebesar 27
C, kelembaban udara rata-rata tahunan 85 , curah hujan rata-rata 2.478 mmtahun dan jumlah hari hujan rata-rata tahunan 75 - 155
hari Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta 2011. Berdasarkan pengamatan dilapangan, secara umum kondisi hutan kota UI
tergolong baik. Hutan kota UI memiliki pepohonan yang kompak, rapat dan jenis pohon yang beranekaragam serta memiliki diameter batang yang cukup besar.
Pada areal hutan kota UI juga terdapat danau yang berfungsi sebagai muara aliran air serta objek rekreasi bagi mahasiswa dan masyarakat sekitar Gambar 2.5.
13 Gambar 2.5. Kondisi areal hutan kota UI: pohon yang kompak dan rapat a,
spesies pohon beranekaragam b, diameter batang besar c dan danau sebagai objek rekreasi d
Hutan kota Srengseng memiliki luas 15.00 ha, dengan fungsi sebagai kawasan resapan air, pelestarian plasma nutfah dan wisata. Hutan kota ini terletak
pada 06 12’32” LS dan 106
45’50” BT yang berada di wilayah kota Jakarta Barat, Kelurahan Srengseng, Kecamatan Kemangan, Provinsi DKI Jakarta. Konfigurasi
fisik kawasan ini merupakan hamparan datar dengan kisaran kemiringan lereng 0- 3 7.40 ha dan landai 8 - 25 2.10 ha pada ketinggian 27 - 34 m dpl. Jenis
tanah kawasan merupakan bagian dari formasi alluvial, dengan sebahagian besar berupa liat dan debu, kedalaman efektif 90 - 100 cm dan bertekstur halus. Suhu
rata-rata harian hutan kota ini yaitu 26.6
o
C, kelembaban udara rata-rata tahunan 78-80 , curah hujan rata-rata 1.865,5 mmtahun dan jumlah hari hujan rata-rata
tahunan yaitu 142 hari Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta 2011. Secara umum kondisi hutan kota Srengseng tergolong cukup baik. Hutan
kota Srengseng memiliki pohon yang kompak, rapat dan jenis pohon yang cukup beragam. Pada areal hutan kota Srengseng terdapat danau indah, taman bermain,
sarana olahraga dan lain-lain. Namun, pada tapak lain, masih ditemukan sampah domestik pada areal hutan kota Srengseng Gambar 2.6.
Sumber foto: Dok. Lubis, 2012
a b
c d
14 Gambar 2.6. Kondisi areal hutan kota Srengseng: pohon yang kompak dan rapat
a, danau sebagai objek rekreasi b, taman bermain c dan sampah domestik d.
Hutan Kota PT JIEP memiliki luas 8.90 ha, dengan fungsi sebagai kawasan hijau penyangga lingkungan industri. Hutan kota ini terletak pada
06 12’24” LS dan 106
54’55” BT yang berada di wilayah kota Jakarta Timur, Kelurahan Rawa Terate, Kecamatan Cakung, Provinsi DKI Jakarta. Sebelah barat
berbatasan dengan Jalan Rawa Sumur Barat, sebelah timur Jalan Pulo Buatan, sebelah utara Jalan Pulo Gadung dan sebelah selatan Jalan Pulo Agung.
Konfigurasi fisik kawasan ini merupakan hamparan dataran rendah dengan kisaran kemiringan lereng 0 - 8 hingga tapak yang telah direkayasa galian atau
timbunan, dengan ketinggian tempat 7.4 m dpl. Kawasan hutan kota PT JIEP merupakan bagian dari formasi alluvial yang tersusun atas kerikil, pasir dan
lempung yang berwarna kelabu. Tanah pada kawasan ini sebahagian besar terbentuk dari bahan Pedosolik dan Tanah Glei. Tanah Pedosolik merupakan jenis
tanah yang bersifat gembur, mempunyai perkembangan penampang, tidak begitu teguh, dan peka terhadap pengikisan, serta miskin unsur hara. Suhu rata-rata
harian kawasan hutan kota PT JIEP yaitu 27.5
o
C dengan kelembaban udara rata- rata tahunan yaitu 78.0 . Curah hujan rata-rata 241.3 mmtahun Dinas Kelautan
dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta 2011. Secara umum kondisi hutan kota PT JIEP kurang baik. Pertumbuhan
pohon kurang kompak dan jenis pohon kurang beragam. Pada areal hutan kota juga terdapat kegiatan pertanian sayur, penggalian lubang-lubang yang berfungsi
sebagai pasokan air pertanian dan sampah domestik Gambar 2.7.
Sumber foto: Dok. Lubis, 2012
a b
c d