29 5. Insentif
Insentif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pemberian kompensasi kepada pihak masyarakat dan swasta yang bersedia melakukan kegiatan
pengembangan hutan kota di tanah hak atau lahan mereka. Insentif tidak hanya berupa uang tapi juga bisa dalam bentuk penghargaan, kemudahan usaha bagi
swasta, penurunan pajak dan menjalin mitra kerja. 6. Sanksi
Sanksi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hukuman kepada perusak hutan kota dan pemda yang tidak dapat mencapai target pengembangan
hutan kota. Hukuman bertujuan sebagai koreksi, menakuti, mendidik serta menanggulangi kerusakan terhadap hutan kota.
7. Sosialisasi
Sosialisasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebuah proses transfer kebiasaan oleh pemerintah atau pakar hutan kota. Fungsi sosialisasi hutan
kota adalah agar masyarakat memiliki pemahaman dan persepsi yang baik tentang hutan kota. Melalui sosialisasi, pemerintah juga dapat melakukan kerjasama
dalam pengembangan hutan kota. Sosialisasi hutan kota, tidak sekedar memberikan informasi tapi juga berupaya melakukan penyuluhan dan pembinaan
yang meliputi pemberian bimbingan, pelatihan dan supervisi.
b. Pengisian Matriks Perbandingan
Matriks perbandingan adalah matriks yang menggambarkan perbandingan kepentingan relatif antara satu elemen dengan elemen lainya pada level yang sama
maupun terhadap level di atasnya. Pengisian matriks perbandingan dilakukan berdasarkan pendapat ahli atau pakar hutan kota, dengan menilai tingkat
kepentingan suatu elemen terhadap elemen lainnya. Untuk menilai perbandingan tingkat kepentingan tersebut, maka digunakan pembobotan berdasarkan skala nilai
proses AHP Tabel 3.1 – 3.2.
Tabel 3.1. Skala nilai yang digunakan dalam perbandingan berpasangan
Nilai Perbandingan A dibandingkan dengan B
Definisi 1
A sama penting dengan B 3
A sedikit lebih penting dari B
1 3
Kebalikannya B sedikit lebih penting dari A 5
A jelas lebih penting dari B
1 5
Kebalikannya B jelas lebih penting dari A 7
A sangat jelas lebih penting daripada B 9
A mutlak lebih penting daripada B
1 9
Kebalikannya B mutlak lebih penting daripada A 2, 4, 6, 8 atau
½, ¼,
1 6
,
1 8
Diberikan apabila terdapat sedikit perbedaan dengan patokan di atas apabila ragu-ragu antara dua nilai
perbandingan yang berdekatan
30 Tabel 3.2. Contoh pengisian matriks perbandingan
Elemen A Elemen B
Pemerintah Masyarakat Swasta
Pemerintah 1 ...3
a
... ....4
b
.. Masyarakat
1 ....3......
Swasta 1
Keterangan: Nilai pada
a
: elemen pemerintah sedikit lebih penting dari masyarakat Nilai pada
b
: apabila ragu-ragu antara dua nilai perbandingan yang berdekatan, yaitu antara elemen pemerintah dengan swasta
catatan : konsistensi penilaian sangat penting untuk diperhatikan
Sebelum dilakukan pengisian pada matrik perbandingan maka terlebih dahulu pakar melakukan pengurutan prioritas kepentingan terhadap setiap elemen-
elemen aktor yaitu sebagai berikut: 1. Pemerintah
2. Masyarakat 3. Swasta
c. Menghitung Bobot Prioritas
Setelah semua nilai perbandingan dimasukkan ke dalam struktur hirarki, maka selanjutkan diproses pada Software Expert Choice 11 sehingga dihasilkan
bobot prioritas yang berurutan. d. Menghitung Tingkat Konsistensi
Konsistensi suatu matriks perbandingan diukur dengan rumus indek konsistensi CI
ά ⁄
, CI yaitu indeks konsistensi, ά
max
yaitu akar ciri maksimum dan n yaitu ukuran matriks. Nilai indeks konsistensi selanjutnya
diuji dengan cara membandingkan indeks konsistensi CI terhadap indeks random RI. Hasil perbandingan indeks konsistensi dengan indeks random
disebut rasio konsistensi Consistency Ratio, CR, dengan rumus CR = CIRI.
Jika CR ≤ 0,1 maka nilai perbandingan berpasangan pada matriks kriteria
yang diberikan sudah konsisten, tetapi jika CR 0,1 maka nilai perbandingan berpasangan pada matriks kriteria yang diberikan tidak konsisten dan harus segera
dilakukan penyesuaian dalam pengisian matriks perbandingan.
31
3.3. HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil AHP maka diperoleh nilai skala bobot atas level faktor, aktor dan alternatif dalam rangka pengambilan keputusan pengembangan hutan
kota. Nilai bobot tertinggi untuk elemen faktor terdapat pada peningkatan kualitas hutan kota sebesar 0.49, kemudian diikuti dengan dukungan peraturan sebesar
0.35 dan evaluasi dan kontrol hutan kota sebesar 0.16. Selanjutnya untuk elemen aktor terdapat pada pemerintah sebesar 0.61, kemudian diikuti dengan masyarakat
sebesar 0.23 dan swasta sebesar 0.16. Selanjutnya untuk elemen alternatif, nilai bobot tertinggi terdapat pada evaluasi peraturan sebesar 0.25, kemudian di ikuti
dengan perluasan hutan kota sebesar 0.20, insentif bagi masyarakatswasta sebesar 0.19, dukungan dana sebesar 0.13, sosialisasi sebesar 0.11, pemilihan jenis pohon
sebesar 0.10 dan sanksi sebesar 0.04 Gambar 3.3 – 3.5.
Gambar 3.3. Hasil pembobotan faktor
Gambar 3.4. Hasil pembobotan aktor
0.61 0.23
0.16
0.00 0.10
0.20 0.30
0.40 0.50
0.60 0.70
Pemerintah masyarakat
Swasta
Bobot Aktor
0.35 0.49
0.16
0.00 0.20
0.40 0.60
Dukungan Peraturan Peningkatan Kuantitas Hutan Kota
Evaluasi dan Kontrol Hutan Kota
Bobot Faktor
32 Gambar 3.5. Hasil pembobotan alternatif
3.4. PEMBAHASAN
3.4.1. Analisis Faktor pada Hirarki Pengambilan Keputusan
Berdasarkan analisis AHP terhadap kebijakan pengembangan hutan kota DKI Jakarta, maka diperoleh hasil pembobotan pada masing-masing level hirarki.
Pada level faktor ditemukan bobot tertinggi adalah peningkatan kualitas hutan kota sebesar 0.49 Gambar 3.2. Keputusan ini menjadi prioritas karena belum
optimalnya kualitas dan kesesuaian hutan kota dengan kebijakan yang telah ada. Hal ini dapat dilihat dari kurang optimalnya pengelolaan hutan kota, seperti
program-program pengelolaan, dukungan dana dan kelembagaan; pemeliharaan hutan kota seperti optimalisasi fungsi hutan kota, pemilihan jenis dan kualitas
tempat tumbuh; perlindungan dan pengamanan hutan kota seperti pengrusakan, membuang sampah, kebakaran dan hama penyakit; serta minimnya pemanfaatan
hutan kota kearah pengembangan ekonomi seperti pariwisata dan rekreasi.
Terkait dengan pemeliharaan hutan kota, berdasarkan pengamatan lapang masih ditemukan masyarakat yang membuang sampah domestik ke areal hutan
kota, seperti pada hutan kota Srengseng dan PT JIEP. Selain itu, ditemukan juga pengrusakan pada beberapa pohon hutan kota. Jika mengacu pada PP No. 63
Tahun 2002 tentang hutan kota, pada pasal 26 ayat 4 sudah jelas tertuang larangan membuang benda-benda yang dapat mengakibatkan kerusakan hutan kota dan
larangan merambah, menebang dan memotong hutan kota. Pasal ini kemudian dipertegas dengan pasal 37 tentang sanksi terhadap pengrusak hutan kota. Namun
demikian, peraturan ini belum optimal dilaksanakan oleh masyarakat dan adanya ketidaktegasan dari aparat terkait. Selain faktor kurangnya pedulian masyarakat
terhadap hutan kota, juga disebabkan kurangnya sosialisasi pemerintah terhadap fungsi dan manfaat hutan kota bagi masyarakat.
Belum adanya Peraturan Daerah tentang hutan kota juga merupakan salah satu kendala dalam optimalisasi peningkatan kualitas hutan kota di DKI Jakarta.
0.25 0.20
0.10 0.13
0.04 0.19
0.11
0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 Evaluasi Peraturan
Perluasan Hutan Kota Pemilihan Jenis Pohon Potensi C-stock
Dukungan Dana Sanksi
Insentif bagi Swasta dan Masyarakat Sosialisasi
Bobot Alternatif