Tree carbon stock analysis of urban forest landscape in DKI Jakarta

(1)

ANALISIS CADANGAN KARBON POHON

PADA LANSKAP HUTAN KOTA DI DKI JAKARTA

SOFYAN HADI LUBIS

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Analisis Cadangan

Karbon Pohon pada Lanskap Hutan Kota di DKI Jakarta” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir dari tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2013

Sofyan Hadi Lubis

NIM P052100171


(4)

(5)

RINGKASAN

SOFYAN HADI LUBIS. Analisis Cadangan Karbon Pohon pada Lanskap Hutan Kota di DKI Jakarta. Dibimbing oleh HADI SUSILO ARIFIN dan ISMAYADI SAMSOEDIN.

Meningkatnya persoalan lingkungan, seperti polusi udara dan peningkatan suhu di DKI Jakarta menyebabkan keberadaan hutan kota sangat penting untuk dikembangkan. Hutan kota (pohon) memiliki peran penting karena berfungsi sebagai penyimpan karbon dan penyerap karbon paling efesien di perkotaan. Hutan kota di DKI Jakarta memiliki persoalan dalam pengembangannya, selain aspek teknis seperti pemilihan jenis vegetasi yang tepat bagi peruntukannya juga dipengaruhi oleh aspek kebijakan.

Penelitian ini bertujuan (1) menganalisis cadangan karbon, serapan CO2

dan jenis pohon yang memiliki cadangan karbon potensial, dan (2) menganalisis faktor kebijakan yang mendukung pengembangn hutan kota. Penelitian dilakukan di DKI Jakarta dengan fokus pada tiga hutan kota yaitu hutan kota UI (Jakarta Selatan), hutan kota Srengseng (Jakarta Barat) dan hutan kota PT Jakarta Industrial Estate Pulogadung (Jakarta Timur). Lokasi penelitian ditentukan dengan

menggunakan metode purposive sampling, yaitu berdasarkan keterwakilan fungsi

utama jasa lanskap hutan kota. Pengumpulan data dilakukan dengan metode

survey. Pemilihan responden dilakukan dengan metode purposive sampling.

Penentuan sampling plot dilakukan dengan metode purposive sampling. Bentuk

plot yang digunakan adalah plot bujur sangkar dengan ukuran 20 m x 20 m.

Penentuan biomassa pohon dilakukan dengan metode non-destructive sampling

dan cadangan karbon pohon diperoleh dengan menggunkan rumus kandungan

biomassa. Nilai serapan CO2 diketahui dengan menggunakan perbandingan masa

molekul relatif CO2 yaitu 3.67 x cadangan karbon. Berat jenis kayu diperoleh dari

database wood density of trees world agroforestry. Analisis cadangan karbon

menggunakan pendekatan allometrik dan analisis faktor kebijakan pengembangan

hutan kota dengan pendekatan Analitical Hierarchy Process (AHP).

Jumlah cadangan karbon pohon terbesar terdapat pada hutan kota UI yaitu 178.82 ton/ha, diikuti oleh Srengseng sebesar 24.04 ton/ha dan PT JIEP sebesar 23.64 ton/ha. Faktor yang mempengaruhi peningkatan cadangan karbon antara

lain yaitu diameter batang, kerapatan pohon (density) dan umur pohon. Nilai

serapan CO2 terbesar dihasilkan dari hutan kota UI yaitu 634.40 ton/ha, diikuti oleh Srengseng sebesar 88.15 ton/ha dan PT JIEP sebesar 86.76 ton/ha. Informasi ini menggambarkan bahwa selain sebagai konservasi keanekaragaman hayati, serapan air dan lanskap estetika, ternyata hutan kota juga memiliki potensi dalam

mengurangi gas CO2 perkotaan. Sumbangan cadangan karbon pohon terbesar

pada tiga hutan kota dihasilkan dari pohon famili Fabaceae, antara lain yaitu

Acacia crassicarpa A.Cunn. Ex. Benth, Acacia mangium Wild, Paraserianthes falcataria L, Leucana leucophala L, Bauhinia pulpurea L, Delonix regia Boj. Ex Hook, Pterocarpus indicus Wild, Erythrina crista-galli L dan Abrus precarorius.

Prioritas kebijakan yang mendukung pengembangan hutan kota pada level faktor yaitu peningkatan kualitas hutan kota, level aktor yaitu pemerintah dan level alternatif yaitu evaluasi peraturan dan perluasan hutan kota.


(6)

(7)

SUMMARY

SOFYAN HADI LUBIS. Tree Carbon Stock Analysis of Urban Forest Landscape in DKI Jakarta. Supervised by HADI SUSILO ARIFIN and ISMAYADI SAMSOEDIN.

In order to reduce enviromental problem, such as air polutions and increasing of air temperature in DKI Jakarta caused the presence of urban forest is very neccessary. Tree has an inportant role becouse its function as store carbon and most efficient carbon sinks in urban areas. Urban forest in DKI Jakarta has problems in development, beside technical aspects are also affected by the goverment policy.

The objectives of research were (1) to analyze tree carbon stock, CO2

sequestration and tree species that have potential of carbon, and (2) to analyze policies that support the development of urban forest. The study was conducted at DKI Jakarta, which was focused on tree urban forests, i.e. University Indonesia (Jakarta Selatan), Srengseng (Jakarta Barat) and PT JIEP (Jakarta Timur). The research location was determined by using purposive sampling method, which is based on the representation of the main functions of the urban forest landscape services. Data was collected through survey method. The selection of respondents was conducted by purposive sampling. Sampling plots determination was done by purposive sampling method. Square plot with a size of 20 m x 20 m is used in this research. Determination of tree biomass is done by non-destructive sampling method and tree carbon stocks by using biomass content formula. CO2 uptake values was determined by using the comparative of relative molecular mass CO2 : 3.67 x carbon stocks. Wood density obtained from the database of wood density of trees world agroforestry. Carbon stock analysis was calculated by using allometric equation and urban policy analysis was executed by Analytical Hierarchy Process (AHP) approach.

The largest tree carbon stocks were found on UI urban forest was 178.82 ton/ha, Srengseng was 24.04 ton/ha and PT JIEP was 23.64 ton/ha. The largest

CO2 uptake generated from UI urban forest was 634.40 ton/ha, Srengseng was

88.15 ton/ha and PT JIEP was 86.76 ton/ha. Factors that affecting the enhancement of carbon stocks, i.e. stem diameter, tree density and the age of the trees. CO2 uptake value resulting from the biggest urban forest UI was 634.40 ton/ha, followed by Srengseng 88.15 ton/ha and PT JIEP 86.76 ton/ha. This information illustrates that in addition for conservation of biodiversity, water uptake and aesthetics landscape, urban forest also has the potential in reducing

CO2. Tree of fabaceae family, i.e. Acacia crassicarpa A.Cunn.Ex.Benth, Acacia

mangium Willd, Paraserianthes falcataria L, Leucaena leucocephala L, Bauhinia purpurea L, Delonix regia Boj Ex.Hook, Pterocarpus indicus Willd, Erythrina crista-galli L and Abrus precarorius are found that they have biggest contribution for tree carbon stocks in study sites.

Policy priorities the supporting the development of urban forest in level factor are increasing of urban forests quality, level actor are government and level alternative are rules evaluation and urban forest expantion.


(8)

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebahagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebahagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(10)

(11)

ANALISIS CADANGAN KARBON POHON

PADA LANSKAP HUTAN KOTA DI DKI JAKARTA

SOFYAN HADI LUBIS

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(12)

(13)

Judul Tesis : Analisis Cadangan Karbon Pohon pada Lanskap Hutan Kota di DKI Jakarta

Nama : Sofyan Hadi Lubis

NIM : P052100171

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. Dr. Ir. Ismayadi Samsoedin, M.Sc.

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Pengelolaan Sumberdaya Alam

dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(14)

(15)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya

penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Analisis Cadangan Karbon

Pohon pada Lanskap Hutan Kota di DKI Jakarta”. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Atas bimbingan, dukungan dan bantuan dalam penyelesaian tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. Ketua komisi pembimbing dan Dr.

Ir. Ismayadi Samsoedin, M.Sc. Anggota komisi pembimbing.

2. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Ketua program studi pengelolaan

sumberdaya alam dan lingkungan.

3. Dr. Tarsoen Waryono (staf pengajar UI dan pakar hutan kota), Ir.

Subarudi, M.Sc. (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Kementrian Kehutanan, Bogor), M. Sukarsa, ST, M.Ec.Dev. (Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta), Dr. Ir. Yulianti Bramasto, M.Si. (Balai Penelitian Benih Kehutanan, Bogor) dan Ir. Sugiarti, MSc. (Kebun Raya Bogor).

4. Dr. Ir. Supriyanto. Penguji luar komisi pada ujian tesis.

5. Ayah Maradingin Lubis, Ibu Ernawati, Nurhalimah, Rudi Agussalim,

Fatimarani, Abdul Aziz dan sanak saudara.

6. Cindy Aliffia, Steve Mualim, Zulkifli Ak, Dedi Fernando, Mursalin,

Amanda Widyarani dan Johan Rajagukguk.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat dalam mendukung kebijakan pemerintah, khususnya DKI Jakarta untuk pengembangan hutan kota dan memberikan kontribusi bagi masyarakat.

Bogor, April 2013


(16)

(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... i

DAFTAR GAMBAR ... i

DAFTAR LAMPIRAN ... i

I. PENDAHULUAN ... Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 2

Tujuan Penelitian ... ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

Kerangka Pemikiran ... 4

II. ANALISIS CADANGAN KARBON POHON HUTAN KOTA ... 5

Pendahuluan ... 5

Bahan dan Metode ... 6

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 6

Penentuan Lokasi Penelitian ... 7

Pengumpulan Data ... 7

Penentuan Sampling, Bentuk dan Jumlah Plot ... 7

Pengukuran Biomassa Pohon ... 8

Perhitungan Biomassa, Cadangan Karbon dan Serapan CO2 ... 9

Analisis Data ... 9

Hasil Penelitiaan ... 11

Analisis Situasional ... 11

Cadangan Karbon Pohon Hutan Kota ... 15

Pembahasan ... 20

Analisis Situasional ... 20

Analisis Cadangan Karbon Pohon Hutan Kota ... 21

III. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN HUTAN KOTA ... 23

Pendahuluan ... 23

Bahan dan Metode ... 24

Pengumpulan Data ... 24

Pemilihan Responden ... 24

Penentuan Prioritas Kebijakan Pengembangan Hutan Kota ... 24

Analisis Data ... 26

Hasil Penelitian ... 31

Hasil Pembobotan Faktor ... 31

Hasil Pembobotan Aktor ... 31

Hasil Pembobotan Alternatif ... 32

Pembahasan ... 32

Analisis Faktor pada Hirarki Pengambilan Keputusan ... 32

Analisis Aktor pada Hirarki Pengambilan Keputusan ... 33

Analisis Alternatf pada hirarki Pengambilan Keputusan ... 33

IV. SIMPULAN DAN SARAN ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36


(18)

(19)

DAFTAR TABEL

2.1. Persamaan allometrik ... 9

2.2. Hutan kota yang telah dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta ... 11

2.3. Cadangan karbon pada jenis pohon hutan kota UI ... 18

2.4. Cadangan karbon pada jenis pohon hutan kota Srengseng ... 18

2.5. Cadangan karbon pada jenis pohon hutan kota PT JIEP ... 19

3.1. Skala nilai yang digunakan dalam perbandingan berpasangan ... 29

3.2. Contoh pengisian matriks perbandingan ... 30

DAFTAR GAMBAR 1.1. Kerangka pikir penelitian ... 4

2.1. Peta lokasi hutan kota DKI Jakarta (a), hutan kota JIEP (b), hutan kota Srengseng (c) dan hutan kota UI (d) ... 6

2.2. Metode penyebaran plot dengan purposive sampling ... 7

2.3. Bentuk plot sampling petak kuadrat ... 7

2.4. Pengukuran diameter setinggi dada pada berbagai kondisi pohon ... 8

2.5. Kondisi areal hutan kota UI ... 13

2.6. Kondisi areal hutan kota Srengseng ... 14

2.7. Kondisi areal hutan kota PT JIEP ... 15

2.8. Potensi cadangan karbon hutan kota UI, Srengseng dan PT JIEP ... 15

2.9. Peningkatan cadangan karbon pohon berdasarkan kelas diameter ... 16

2.10. Sumbangan cadangan karbon pohon berdasarkan kelas famili pada hutan kota UI, Srengseng dan PT JIEP ... 17

2.11. Nilai serapan CO2 pohon hutan kota UI, Srengseng dan PT JIEP .... 19

3.1. Abstraksi struktur hirarki AHP ... 25

3.2. Skema hirarki kebijakan pengembangan hutan kota DKI Jakarta ... 26

3.3. Hasil pembobotan faktor ... 31

3.4. Hasil pembobitan aktor ... 31

3.5. Hasil pembobitan alternatif ... 32

DAFTAR LAMPIRAN

L.1. Kuisioner Analytical Hierarchy Process (AHP) ... 38


(20)

(21)

1. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Provinsi DKI Jakarta secara geografis dan administratif terbagi menjadi enam wilayah yang meliputi: Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Timur dan Kepulauan Seribu. Luas daratan DKI Jakarta yaitu 661.52 km2 dan lautan seluas 6.977.50 km2. Pada tahun 2010 penduduk DKI Jakarta mencapai 9.607.787 jiwa dan merupakan kota terpadat di Indonesia (Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta 2011).

Provinsi DKI Jakarta sebagai kota terpadat, metropolitan dan sekaligus kota jasa memiliki arah kebijakan pembangunan yang lebih cenderung kepada peningkatan kapasitas pelayanan infrastruktur, transportasi, pengembangan good governance, dan penguatan sektor industri serta perbankan (Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta 2011). Sementara dalam hal perbaikan kualitas lingkungan hidup, masih jauh dari yang diharapkan sehingga menyebabkan persoalan pada lingkungan perkotaan, seperti peningkatan polusi, peningkatan suhu udara, permasalahan kesehatan, kenyamanan dan estetika.

Meningkatnya permasalahan lingkungan hidup, menyebabkan keberadaan hutan kota di DKI Jakarta sangat penting. Hal ini dikarenakan fungsi dan jasa biologis pohon yang mampu melerai dan mengendalikan berbagai bentuk pencemaran lingkungan. Pohon berperan sangat penting tidak hanya sebagai penyimpan karbon (C-stock), tetapi secara alami juga berfungsi sebagai penyerap

karbon (C-sequestration) yang paling efesien. Keberadaan pohon menjadi

semakin penting ketika dunia dihadapkan pada persoalan perubahan iklim global

(global climate change), yang menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan hidup (enviromental degradation). Degradasi lingkungan kemudian diperburuk dengan meningkatnya populasi manusia akibat proses urbanisasi, dan industrialisasi serta tanah komersial yang menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan dan peningkatan pencemaran (Arifin and Nakagoshi 2011).

Menurunnya daya dukung lingkungan dan peningkatan pencemaran perkotaan, ternyata mendapat perhatian oleh masyarakat dan pemerintah, khususnya DKI Jakarta. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan lingkungan ini seperti yang tertuang pada Agenda-21 dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2010, yaitu melakukan pengembangan RTH dalam bentuk hutan kota (Samsoedin dan Waryono 2010).

Kesadaran pemerintah DKI Jakarta untuk melakukan pengembangan hutan kota didasari oleh pertimbangan hasil kajian fungsi dan jasa biologis pepohonan yaitu: (a) pohon dapat memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika, (b) meresapkan air, (c) menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota, (d) mendukung pelestarian keanekaragaman hayati dan (e) penelitian dan pendidikan (Samsoedin dan Waryono 2010). Selain pertimbangan tersebut, keberadaan hutan kota secara ideologi juga diamanahkan secara nasional dalam Undang - Undang Dasar 1945 dengan landasan konseptualnya termuat pada peraturan pemerintah No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota.

Dasar legalitas yang mendukung pembangunan hutan kota antara lain: UU No. 05 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, UU No. 05


(22)

Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, UU No. 04 Tahun 1992 tentang perumahan dan pemukiman, UU No. 24 Tahun 1992 tentang penataan ruang, UU No. 06 Tahun 1994 tentang konvensi kerangka kerja PBB mengenai perubahan iklim, PP No. 69 Tahun 1996 tentang pelaksanaan hak, kewajiban, bentuk dan tata cara masyarakat dalam penataan ruang, PP No. 47 Tahun 1997 tentang rencana tata ruang wilayah nasional, UU No. 23 Tahun 1997 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, PP No. 20 Tahun 2001 tentang pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintah daerah, PP No. 34 Tahun 2002 tentang penyusunan rencana pengelolaan, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, PP No. 35 Tahun 2002 tentang dana reboisasi dan PP 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

1.2. Rumusan Masalah

Meningkatnya pencemaran lingkungan perkotaan, seperti perubahan suhu merupakan fakta yang sedang terjadi di DKI Jakarta. Tahun 1970-an rata - rata suhu udara DKI Jakarta tercatat berkisar antara 26oC - 28oC dan telah berubah

menjadi 29.12oC – 31.26oC di tahun 2007 (Samsoedin dan Waryono 2010).

Persoalan lingkungan kota DKI Jakarta diperburuk dengan meningkatnya populasi manusia akibat proses urbanisasi dan industrialisasi yang menyebabkan peningkatan polusi udara dan menurunnya daya dukung lingkungan. Samsoedin dan Waryono (2010) mengatakan bahwa tahun 2002 - 2007 pencemaran udara CO2 di DKI Jakarta meningkat dari 187.4 mg/m2 menjadi 300.0 mg/m2. Salah satu upaya untuk meredam persoalan lingkungan tersebut adalah melalui keberadaan dan pengembangan hutan kota. Hutan kota menjadi salah satu alternatif penting dalam mengatasi pencemaran lingkungan kota, karena pepohonan secara alami dapat menyerap gas CO2 yang disimpan dalam bentuk karbon (C) dan dikeluarkan dalam bentuk oksigen (O2). Selain itu, hutan kota juga berfungsi sebagai wahana kenservasi flora dana fauna.

Pengembangan hutan kota menjadi isu penting seiring dikeluarkannya Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yaitu pada pasal 29 ayat 2 dijelaskan bahwa proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota (20 persen publik dan 10 persen privat) dengan persentase luas hutan kota minimal 10 persen dari wilayah perkotaan dan atau disesuaikan dengan kondisi wilayah setempat, seperti jumlah penduduk, tingkat pencemaran dan kondisi fisik kota (PP No. 63 Tahun 2002). Namun demikian, permasalahan utama dalam pengembangan hutan kota DKI Jakarta, diantaranya yaitu: (a) aspek teknis, seperti konsepsi dasar pemilihan jenis pohon hutan kota yang sesuai dengan peruntukannya, dan (b) aspek kebijakan hutan kota, seperti dukungan peraturan, peningkatan kuantitas dan kualitas hutan kota, evaluasi dan monitoring, dan pemahaman tentang keberadaan hutan kota.

Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mencari solusi dan menyusun rekomendasi kebijakan pengembangan hutan kota dalam upaya mewujudkan cadangan karbon potensial sehingga diperoleh pengembangan hutan kota yang berkelanjutan. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka yang menjadi fokus pertanyaan dalam penelitian ini yaitu:


(23)

1. Berapakah jumlah cadangan karbon pohon, nilai serapan CO2 dan jenis pohon hutan kota yang memiliki cadangan karbon potensial.

2. Faktor kebijakan apakah yang mendukung pengembangan hutan kota

sehingga diperoleh cadangan karbon pohon potensial.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang muncul di DKI Jakarta, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan yaitu:

1. Menganalisis cadangan karbon pohon, nilai serapan CO2 dan jenis pohon hutan kota yang memiliki cadangan karbon potensial.

2. Menganalisis faktor kebijakan yang mendukung pengembangan hutan kota

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini menghasilkan data dan informasi yang mendukung kebijakan pemerintah dalam pengembangan hutan kota, diantaranya:

1. Data dan informasi jumlah cadangan karbon pohon, nilai serapan CO2, dan jenis pohon hutan kota yang memiliki cadangan karbon potensial, yang selanjutnya dapat disesuaikan dan dipilih untuk pengembangan hutan kota.

2. Informasi mengenai faktor, aktor dan alternatif/solusi kebijakan yang dapat menjadi faktor pendorong dalam pengembangan hutan kota.

1.5. Kerangka Pemikiran

Pengembangan hutan kota semestinya diupayakan sesuai dengan kaidah PP No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, untuk itu perlu dilakukan analisis cadangan karbon pohon dan analisis faktor kebijakan pengembangan hutan kota. Analisis cadangan karbon pohon dilakukan melalui pendekatan allometrik dengan mengukur diameter batang dan tinggi pohon. Analisis faktor kebijakan dilakukan

melalui pendekatan Analitical Hierarchy Process (AHP) dengan menggunakan

bantuan kuisioner dan Software Expert Choice 11.

Analisis cadangan karbon pohon menghasilkan data jumlah cadangan karbon pohon, nilai serapan CO2, dan jenis pohon hutan kota yang memiliki cadangan karbon potensial. Analisis faktor kebijakan menghasilkan informasi tentang faktor, aktor dan alternatif kebijakan pengembangan hutan kota. Melalui analisis ini dihasilkan rekomendasi kebijakan pengembangan hutan kota dalam upaya mewujudkan cadangan karbon potensial sehingga diperoleh pengembangan hutan kota yang berkelanjutan (Gambar 1.1).


(24)

Gambar 1.1. Kerangka pikir penelitian

PENGEMBANGAN HUTAN KOTA YANG BERKELANJUTAN

Hutan Kota DKI Jakarta

Analisis Cadangan Karbon Pohon

Rekomendasi kebijakan pengembangan hutan kota dalam upaya mewujudkan cadangan karbon pohon potensial 

PP No. 63 Tahun 2002

Analisis faktor kebijakan pengembangan hutan kota Pengukuran diameter batang (≥ 10 cm)

dan tinggi pohon

Non-destructive Methods Allometric equestion

Analitical Hierarchy Process Methods  Software Expert Choice 11

Data jumlah C-stock pohon, nilai serapan CO2, dan jenis pohon hutan kota yang

memiliki C-stock potensial

Informasi faktor kebijakan pengembangan hutan kota


(25)

2. ANALISIS CADANGAN KARBON POHON HUTAN KOTA

2.1. PENDAHULUAN

Polusi dan suhu udara merupakan salah satu persoalan lingkungan yang sedang terjadi di DKI Jakarta. Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) menyatakan bahwa jumlah pulusi udara dari sektor industri dan transportasi telah mencapai 170 juta ton emisi CO2, sementara untuk suhu udara telah mencapai 29.12 oC – 31.26 oC di tahun 2007. Persoalan kualitas udara ini menyebabkan keberadaan hutan kota sangat penting untuk dikembangkan. Hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanak hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang (PP No. 63 Tahun 2002).

Hutan kota menjadi salah satu upaya penting dalam mengatasi pencemaran lingkungan karena berhubungan dengan jasa biologis pohon yang mampu melerai pencemaran lingkungan perkotaan. Hutan kota memiliki fungsi untuk menjaga iklim mikro perkotaan, memberikan nilai estetika, meresapkan air, menciptakan keseimbangan lingkungan serta pelestarian keanekaragaman hayati. Selain itu, pohon pada hutan kota juga memiliki fungsi sebagai penyimpan karbon melalui perolehan biomassa. Biomassa (standing crop) adalah total berat atau volume organisme dalam suatu area tertentu (IPCC 2003). Biomassa juga didefinisikan sebagai total jumlah materi hidup di atas permukaan pada suatu pohon dan dinyatakan dengan satuan ton berat kering per satuan luas (Brown 1997).

Biomassa pohon bertambah seiring dengan pertumbuhan tanaman. Pada proses pertumbuhannya, tanaman melakukan proses fotosintesis dengan menyerap

CO2 dari atmosfer dan mengubahnya menjadi karbon organik (karbohidrat

sederhana). Melalui proses metabolisme, senyawa karbohidrat tersebut dirubah menjadi lipid, asam nukleat, protein dan molekul organik lainya. Molekul organik tersebut dirubah menjadi daun, batang, akar, buah, jaringan dan sistem organ lainnya. White and Plashett (1981) menyebutkan bahwa biomassa bagian-bagian pohon didistribusikan sebesar 60 - 65 % pada bagian batang, 5 % pada bagian tajuk, 10 - 15 % pada bagian daun dan cabang, 5 - 10 % pada bagian tunggak dan 5 % pada bagian akar. Brown (1997) mengemukakan bahwa hampir 50 % biomassa pohon tersusun atas unsur karbon, dimana unsur tersebut dapat dilepas ke atmosfer dalam bentuk CO2 apabila hutan dibakar atau ditebang habis. Menurut Hygreen and Bowyer (1993) satu potong kayu memiliki (49 % C), (06 % H), (44 % O) dan (0.1 % abu).

Biomassa memiliki kaitan dengan cadangan karbon, yaitu dengan mengukur jumlah cadangan karbon pada suatu lahan dapat menggambarkan

banyaknya CO2 di amosfer yang diserap oleh pohon (Rahayu et al. 2007).

Berhubungan dengan upaya pengembangan lingkungan bersih, maka jumlah CO2 di udara harus dikendalikan dengan jalan meningkatkan jumlah serapan CO2 oleh tanaman sebanyak mungkin, dan menekan pelepasan emisi CO2 ke udara serendah mungkin. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis jumlah cadangan karbon pohon, nilai serapan CO2 dan jenis pohon yang memiliki cadangan karbon potensial, sebagai upaya untuk mencari solusi dan menyusun rekomendasi kebijakan pengembangan hutan kota.


(26)

2.2. BAHAN DAN METODE

2.2.1. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah peta dasar hutan kota UI, Srengseng dan PT JIEP yang berfungsi untuk mengetahui sebaran plot sesuai dengan strata tegakan. Alat yang digunakan adalah phi band untuk mengukur diameter pohon, meteran panjang untuk mengukur plot sampling, klinometer

untuk mengukuran tinggi pohon, GPS (Global Positioning System) untuk

menentukan posisi koordinat dan menyesuaikan ketepatan lokasi pengambilan sampel pohon sesuai dengan lokasi plot yang telah ditetapkan sebelumnya, tali rapia untuk membatasi plot, patok untuk penanda plot, kamera untuk mengambil gambar-gambar yang terkait dengan penelitian dan tally sheet untuk mencatat dan mengklasifikasi data yang telah diamati.

2.2.2. Metode

2.2.2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Provinsi DKI Jakarta (Gambar 2.1). Hutan kota yang diamati terdiri dari tiga hutan kota yang telah dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta, yaitu: hutan kota Universitas Indonesia (UI) yang berada di wilayah Jakarta Selatan dengan luas 52.40 ha, hutan kota Srengseng yang berada di wilayah Jakarta Barat dengan luas 15.00 ha, dan hutan kota PT Jakarta Industrial Estate Pulogadung (PT JIEP) yang berada di Jakarta Timur dengan luas 8.90 ha. Penelitian ini dilakukan selama enam bulan, yaitu Februari 2012 - Agustus 2012.

Sumber: Samsoedin dan Waryono, 2010

Gambar 2.1. Peta lokasi hutan kota DKI Jakarta (a), hutan kota PT JIEP (b), hutan kota Srengseng (c) dan hutan kota UI (d)

(a) (d)

(c) (b)


(27)

2.2.2.2. Penentuan Lokasi Penelitian

Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan metode purposive sampling, yaitu tiga hutan kota dipilih secara sengaja berdasarkan keterwakilan fungsi utama jasa lanskap hutan kota yaitu: (1) hutan kota sebagai konservasi keanekaragaman hayati maka dipilih hutan kota UI sebagai perwakilannya, (2) hutan kota sebagai estetika atau rekreasi maka dipilih hutan kota Srengseng sebagai perwakilannya, dan (3) hutan kota sebagai penyangga lingkungan industri maka dipilih hutan kota PT JIEP sebagai perwakilannya. Pemusatan pada tiga hutan kota juga didasarkan atas pertimbangan kelayakan waktu penelitian.

2.2.2.3. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey. Data diperoleh dari pengukuran langsung di lapangan, wawancara dengan stakeholder hutan kota dan pengumpulan data dari lembaga atau instansi yang terkait dengan penelitian.

2.2.2.4. Penentuan Sampling, Bentuk dan Jumlah Plot

Penentuan sampling plot menggunakan metode purposive sampling yang terlebih dahulu dilakukan pengamatan lapang (ground cheek) untuk melihat dan memastikan kesesuaian penempatan plot (Gambar 2.2). Intensitas sampling yang

digunakan yaitu 1 % dan bentuk plot yang digunakan adalah bujur sangkar

(Gambar 2.3). Bentuk plot bujur sangkar merupakan bentuk plot yang relatif sering digunakan dalam analisa vegetasi hutan di Indonesia. Jumlah plot yang dipergunakan sebanyak 43 plot dengan ukuran 20 m x 20 m (SNI 2011).

Gambar 2.2. Metode penyebaran plot dengan purposive sampling

Gambar 2.3. Bentuk plot sampling petak kuadrat

20 m x 20 m

10 m x 10 m

5 m x 5 m 2 m x 2 m Jalan


(28)

2.2.2.5. Pengukuran Biomassa Pohon

Tahapan pengukuran biomassa pohon dilakukan yaitu (1) identifikasi nama jenis, (2) mengukur diameter batang setinggi dada atau pada ketinggian 1.3 meter dari atas permukaan tanah (Gambar 2.4), (3) mencatat data dbh dan nama jenis ke dalam tally sheet, dan (4) menghitung biomassa pohon (SNI 2011).

   

Pohon normal: DBH diukur 1.3 meter dari permukaan

tanah

Pohon miring: DBH diukur 1.3 meter dari permukaan tanah terdekat atau searah

kemiringan pohon

Pohon normal pada tanah miring: DBH diukur 1.3

meter dari permukaan tanah tertinggi

  Pohon cacat: jika 1.3 meter

tepat berada pada batang cacat (gembung), DBH diukur pada batas bagian yang mulai normal, diatas

atau dibawah tergantung yang terdekat

Pohon cabang: jika 1.3 meter tepat berada pada awal percabangan, DBH diukur dibagian bawah cabang yang

masih normal

Pohon cabang: jika 1.3 meter berada di atas cabang, ukur DBH di

kedua cabang dan dianggap 2 batang

Gambar 2.4. Pengukuran diameter setinggi dada pada berbagai kondisi pohon

   

Pohon berakar penunjang: DBH diukur 1.3 meter dari batas atas akar penunjang

Pohon berbanir: DBH diukur 20 cm dari batas banir


(29)

2.2.2.5. Perhitungan Biomassa, Cadangan Karbon dan Serapan CO2

Penentuan biomassa pohon hutan kota dilakukan dengan metode sampling

tanpa pemanenan (non-destruktive sampling, yaitu menggunakan persamaan

allometrik berdasarkan spesies tanaman yang sudah ada (Kusmana et al. 1992). Persamaan allometrik merupakan suatu fungsi atau persamaan matematika, yang menunjukkan hubungan antara bagian tertentu dari mahluk hidup dengan bagian lain atau fungsi tertentu dari makhluk hidup tersebut. Persamaan ini digunakan untuk menduga parameter tertentu dengan menggunakan parameter lainnya yang lebih mudah diukur yaitu diameter dan tinggi (Hairiah et al. 2011). Menggunakan persamaan allometrik yang sudah ada memiliki kelebihan yaitu tidak melakukan pemanenan atau pengrusakan terhadap pohon, lebih efesien terhadap waktu dan biaya. Selain itu, metode ini sesuai dengan acuan pasal 26 ayat 2 PP No. 63 Tahun 2003 tentang larangan melakukan pengrusakan terhadap pohon hutan kota.

Perhitungan cadangan karbon pohon hutan kota dilakukan dengan menggunakan rumus kandungan biomassa yang dikembangkan oleh IPCC (2006) yaitu Cb = B x % C organik. Nilai serapan CO2 diketahui dengan menggunakan perbandingan masa molekul relatif O2 (44) dan masa atom relatif C (12) yaitu 3.67 x cadaangan karbon. Nilai berat jenis kayu, diakses melalui database wood density of trees word agroforestry (http://www.worldagroforestry.org), FAO (http://www.fao.org) dan situs dunia tumbuhan (http://www.plantamor.com).

2.2.2.6. Analisis Data

a. Analisis Potensi Biomassa

Analisis pendugaan bimassa pohon hutan kota menggunakan persamaan allometrik berdasarkan spesies tanaman (Tabel 2.1). Jika persamaan allometrik

berdasarkan spesies tidak tersedia, maka digunakan persamaan (Chave et al.

2005). Persamaan allometrik ini dipilih karena merupakan hasil pengembangan dari persamaan allometrik sebelumnya dan juga menyerupai curah hujan lokasi penelitian. Curah hujan merupakan salah satu komponen iklim yang sangat penting dalam pendugaan biomassa karena berkaitan dengan komposisi bahan organik. Meningkatnya curah hujan akan menyebabkan proses dekomposisi berlangsung cepat. Formulasi umum yang digunakan dalam pendugaan biomassa adalah sebagai berikut:

Y = a. DBH b ... (1) Keterangan:

Y : Above ground biomass (kg)

DBH : Diameter Breast High (1.3 meter)

a : Koefisien Konversi

b : Koefisien allometrik

Tabel 2.1. Persamaan allometrik

Jenis Tegakan Persamaan allometrik Sumber

Jati Y = 0.153 D2.39 Hairiah et al., (2011)


(30)

Lanjutan Tabel 2.1. Persamaan allometrik

Jenis Tegakan Persamaan allometrik Sumber

Akasia Y = 0.0000478 D2.76 Hairiah et al., (2011)

Sengon Y = 0.027 D2.23 Hairiah et al., (2011)

Karet Y = 419-16.9D + 0.322 D2 Hairiah et al., (2011)

Puspa Y = 0.0000932.51 Krisnawati et al., (2012)

Pohon lain * Y = 0.112 (π D2H)0.92 Chave at al., (2005) Pohon lain ** Y = 0.051 x π D2H Chave at al., (2005) Pohon lain *** Y = 0.0776 x (π D2H)0.94 Chave at al., (2005)

Keterangan:

Y = Biomassa pohon (kg per pohon) D = DBH (cm)

H = Tinggi pohon (m)

π = BJ kayu (g per cm3)

* Persamaan allometrik dengan curah hujan < 1.500 (kering)

** Persamaan allometrik dengan curah hujan 1.500 – 4.000 (lembab) *** Persamaan allometrik dengan curah hujan > 4.000 (basah)

b. Analisis Cadangan Karbon

Analisis cadangan karbon pohon hutan kota menggunakan pendekatan kandungan biomassa yang dikembangkan oleh IPCC (2006). Formulasi umum yang digunakan adalah sebagai berikut:

C = 0.5 x W ... (2) Keterangan:

C : Cadangan Karbon (tC)

W : Biomassa (kg)

0.5 : Koefisien kadar karbon pada tumbuhan

c. Analisis Serapan CO2

Analisis serapan CO2 dihitung dengan menggunakan data carbon stock

dengan formulasi yang digunakan adalah sebagai berikut: EC = 3.67 x ΔCLC-D ... (3)

Keterangan:

EC : Serapan CO2 (tCO2)

3.6 : Ratio atomic carbon dioxide terhadap carbon: 44/12 (tCO2 e/ton C)


(31)

2.3. HASIL PENELITIAN

2.3.1. Analisis Situasional

Provinsi DKI Jakarta selain memiliki penduduk yang padat, juga memiliki persoalan-persoalan lingkungan seperti peningkatan polusi udara, sampah dan banjir. Maka dari itu, pemerintah sebagai aktor utama harus memiliki strategi atau apaya dalam mengatasi pencemaran lingkungan tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah yaitu melalui pengembangan hutan kota. Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta (2011) menyatakan bahwa tahun 1991 - 2011 pemerintah DKI Jakarta telah memiliki 14 hutan kota seluas 149.18 ha yang telah dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta. 14 hutan kota tersebut tersebar di lima wilayah administrasi yaitu: Jakarta Selatan seluas 57.04 ha, Jakarta Barat seluas 15.00 ha, Jakarta Pusat seluas 5.68 ha, Jakarta Utara seluas 12.28 ha, dan Jakarta Timur seluas 59.18 ha (Tabel 2.2).

Tabel 2.2. Hutan kota yang telah dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta

No Hutan Kota Luas (ha) SK Gubernur Wilayah

1. Universitas Indonesia 52.40 No. 3487/2004 Jakarta Selatan

2. Blok P 1.64 No. 869/2004 Jakarta Selatan

3. LPA Srengseng 15.00 No. 202/1996 Jakarta Barat

4. Kemayoran 4.60 No. 339/2002 Jakarta Pusat

5. Masjid Istiqlal 1.08 No. 182/2005 Jakarta Pusat

6. Waduk Sunter Utara 8.20 No. 317/1999 Jakarta Utara 7. Tepian Banjir Kanal Barat 2.49 No. 197/2005 Jakarta Utara 8. Berikat Nusantara Marunda 1.59 No. 196/2005 Jakarta Utara 9. PT. JIEP Pulo Gadung 8.90 No. 870/2004 Jakarta Timur 10. Bumi Perkemahan Cibubur 27.32 No. 872/2004 Jakarta Timur 11. Situ Rawa Dongkal 4.00 No. 207/2005 Jakarta Timur 12. Komplek Kopassus Cijantung 1.75 No. 868/2004 Jakarta Timur 13. Mabes TNI Cilangkap 14.43 No. 871/2004 Jakarta Timur 14. Komplek Lanud Halim

Perdana Kusuma 3.50 No. 338/2002 Jakarta Timur

Sumber: (Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta 2011)

Hutan kota di wilayah Jakarta Selatan terdiri dari hutan kota UI seluas 52.50 ha dan Blok P seluas 1.64 ha. Hutan kota Blok P berdasarkan SK Gubernur No. 869 Tahun 2004 berfungsi sebagai kawasan hijau penyangga lingkungan perkantoran dan konservasi keanekaragaman hayati. Wilayah Jakarta pusat hanya memiliki 2 hutan kota yang telah dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta yaitu


(32)

hutan kota Kemayoran dan Masjid Istiqlal. Hutan kota Kemayoran memiliki luas 15.00 ha, dengan fungsi sebagai sebagai kawasan hijau penyangga perkotaan dan satwa liar perkotaan. Hutan kota Masjid Istiqlal memiliki luas 1.08 ha, dengan fungsi sebagai kawasan hijau penyangga bangunan fisik sarana ibadah dan pengendali lingkungan fisik perkotaan.

Wilayah Jakarta Utara memiliki 3 hutan kota, diantaranya hutan kota Waduk Sunter Utara, Banjir Kanal Barat dan Berikat Nusantara Marunda. Hutan kota Waduk Sunter Utara memiliki luas 8.20 ha, dengan fungsi sebagai wahana penyangga perairan. Hutan kota Banjir Kanal Barat memiliki luas 2.49 dan hutan kota Berikat Nusantara Marunda sebesar 1.59 ha, dengan fungsi sebagai kawasan penyangga lingkungan industri.

Hutan kota di wilayah Jakarta Timur merupakan hutan kota yang paling banyak mendapatkan SK Gubernur DKI Jakarta. Wilayah ini memiliki 6 hutan kota yang terdiri dari hutan kota PT JIEP, Bumi Perkemahan Cibubur, Situ Rawa Dongkal, Komplek Kopassus Cijantung, Mabes TNI Cilangkap, dan Komplek Lanaud Halim Perdana Kusuma. Hutan kota PT JIEP memiliki luas 8.90 ha. Hutan kota Bumi Perkemahan Cibubur seluas 27.32 ha, dengan fungsi sebagai kawasan konservasi keanekaragaman hayati. Hutan kota Situ Rawa Dongkal seluas 3.28 ha, dengan fungsi sebagai kawasan penyangga perairan dan sangtuari liar. Hutan kota Komplek Lanud Halim Perdana Kusuma seluas 3.60 ha, dengan fungsi sebagai kawasan penyangga lingkungan kedirgantaraan dan plasma nuftah.

Hutan kota yang menjadi fokus penelitian terdiri dari hutan kota UI, Srengseng dan PT JIEP. Hutan kota UI memiliki luas 55.40 ha yang ditetapkan berdasarkan SK Rektor UI No. 84/SK/12/1988, kemudian diperbaharui dengan SK Gubernur No. 3487 Tahun 1999. Hutan kota UI difungsikan sebagai kawasan resapan air, koleksi pelestarian plasma nutfah, penelitian dan rekreasi. Berdasarkan letak geografisnya hutan kota UI terletak pada 06020’45” LS dan 106049’15” BT, berada di wilayah Jakarta Selatan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Provinsi DKI Jakarta dan selebihnya masuk pada wilayah Depok, Provinsi Jawa Barat sebesar 34.6 ha. Hutan kota UI sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Jagakarsa, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Beji Timur Kota Depok dan sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Pondok Cina.

Konfigurasi fisik kawasan hutan kota UI merupakan hamparan landai dengan kisaran kemiringan lereng 3 - 8 % (76.40 ha), dan bergelombang ringan dengan kisaran lereng 8 - 25 % (13.60 ha), dengan ketinggian tempat 39 - 74 m dpl. Jenis tanah kawasan ini adalah latosol merah dengan tekstur halus, peka terhadap erosi dan memiliki kedalaman efektif 90 - 100 cm. Suhu rata-rata harian hutan kota UI sebesar 27 0C, kelembaban udara rata-rata tahunan 85 %, curah hujan rata-rata 2.478 mm/tahun dan jumlah hari hujan rata-rata tahunan 75 - 155 hari (Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta 2011).

Berdasarkan pengamatan dilapangan, secara umum kondisi hutan kota UI tergolong baik. Hutan kota UI memiliki pepohonan yang kompak, rapat dan jenis pohon yang beranekaragam serta memiliki diameter batang yang cukup besar. Pada areal hutan kota UI juga terdapat danau yang berfungsi sebagai muara aliran air serta objek rekreasi bagi mahasiswa dan masyarakat sekitar (Gambar 2.5).


(33)

Gambar 2.5. Kondisi areal hutan kota UI: pohon yang kompak dan rapat (a), spesies pohon beranekaragam (b), diameter batang besar (c) dan danau sebagai objek rekreasi (d)

Hutan kota Srengseng memiliki luas 15.00 ha, dengan fungsi sebagai kawasan resapan air, pelestarian plasma nutfah dan wisata. Hutan kota ini terletak pada 06012’32” LS dan 106045’50” BT yang berada di wilayah kota Jakarta Barat, Kelurahan Srengseng, Kecamatan Kemangan, Provinsi DKI Jakarta. Konfigurasi fisik kawasan ini merupakan hamparan datar dengan kisaran kemiringan lereng 0-3 % (7.40 ha) dan landai 8 - 25 % (2.10 ha) pada ketinggian 27 - 0-34 m dpl. Jenis tanah kawasan merupakan bagian dari formasi alluvial, dengan sebahagian besar berupa liat dan debu, kedalaman efektif 90 - 100 cm dan bertekstur halus. Suhu rata-rata harian hutan kota ini yaitu 26.6 oC, kelembaban udara rata-rata tahunan 78-80 %, curah hujan rata-rata 1.865,5 mm/tahun dan jumlah hari hujan rata-rata tahunan yaitu 142 hari (Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta 2011).

Secara umum kondisi hutan kota Srengseng tergolong cukup baik. Hutan kota Srengseng memiliki pohon yang kompak, rapat dan jenis pohon yang cukup beragam. Pada areal hutan kota Srengseng terdapat danau indah, taman bermain, sarana olahraga dan lain-lain. Namun, pada tapak lain, masih ditemukan sampah domestik pada areal hutan kota Srengseng (Gambar 2.6).

Sumber foto: Dok. Lubis, 2012

(a) (b)


(34)

Gambar 2.6. Kondisi areal hutan kota Srengseng: pohon yang kompak dan rapat (a), danau sebagai objek rekreasi (b), taman bermain (c) dan sampah domestik (d).

Hutan Kota PT JIEP memiliki luas 8.90 ha, dengan fungsi sebagai kawasan hijau penyangga lingkungan industri. Hutan kota ini terletak pada 06012’24” LS dan 106054’55” BT yang berada di wilayah kota Jakarta Timur, Kelurahan Rawa Terate, Kecamatan Cakung, Provinsi DKI Jakarta. Sebelah barat berbatasan dengan Jalan Rawa Sumur Barat, sebelah timur Jalan Pulo Buatan, sebelah utara Jalan Pulo Gadung dan sebelah selatan Jalan Pulo Agung.

Konfigurasi fisik kawasan ini merupakan hamparan dataran rendah dengan kisaran kemiringan lereng 0 - 8 % hingga tapak yang telah direkayasa (galian atau timbunan), dengan ketinggian tempat 7.4 m dpl. Kawasan hutan kota PT JIEP merupakan bagian dari formasi alluvial yang tersusun atas kerikil, pasir dan lempung yang berwarna kelabu. Tanah pada kawasan ini sebahagian besar terbentuk dari bahan Pedosolik dan Tanah Glei. Tanah Pedosolik merupakan jenis tanah yang bersifat gembur, mempunyai perkembangan penampang, tidak begitu teguh, dan peka terhadap pengikisan, serta miskin unsur hara. Suhu rata-rata harian kawasan hutan kota PT JIEP yaitu 27.5oC dengan kelembaban udara rata-rata tahunan yaitu 78.0 %. Curah hujan rata-rata-rata-rata 241.3 mm/tahun (Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta 2011).

Secara umum kondisi hutan kota PT JIEP kurang baik. Pertumbuhan pohon kurang kompak dan jenis pohon kurang beragam. Pada areal hutan kota juga terdapat kegiatan pertanian sayur, penggalian lubang-lubang yang berfungsi sebagai pasokan air pertanian dan sampah domestik (Gambar 2.7).

Sumber foto: Dok. Lubis, 2012

(a) (b)


(35)

Gambar 2.7. Kondisi areal hutan kota PT JIEP: pertumbuhan pohon yang kurang baik (a), kegiatan pertanian sayur (b), penggalian lubang (c) dan sampah domestik (d)

2.3.2. Cadangan Karbon Pohon Hutan Kota

Jumlah cadangan karbon pohon terbesar terdapat pada hutan kota UI sebesar 178.82 ton/ha dengan perolehan biomassa sebesar 345.72 ton/ha, kemudian disusul oleh hutan kota Srengseng sebesar 24.04 ton/ha dengan biomassa sebesar 48.04 ton/ha, dan hutan kota PT JIEP sebesar 23.64 ton/ha dengan biomassa sebesar 47.29 ton/ha (Gambar 2.8).

Gambar 2.8. Potensi cadangan karbon hutan kota UI, Srengseng dan PT JIEP 

Sumber foto: Dok. Lubis, 2012

(a) (b)

(c) (d)

0 50 100 150 200 250 300 350 400

Hutan Kota Universitas Indonesia

Hutan Kota Srengseng

Hutan Kota PT JIEP

ton/ha Biomassa


(36)

Cadangan karbon pohon pada tiga lokasi hutan kota mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan diameter batang. Peningkatan cadangan karbon hutan kota UI pada kelas diameter 10 – 19.0 cm sebesar 2.0 ton/ha, diameter 19.0 – 29.9 cm sebesar 5.2 ton/ha, diameter 30 – 39.9 cm sebesar 8.4

ton/ha dan ≥ 40 cm sebesar 150.1 ton/ha. Hutan kota Srengseng pada kelas

diameter 10 – 19.0 cm sebesar 5.34 ton/ha, diameter 19.0 – 29.9 cm sebesar 8.60 ton/ha, tapi pada kelas diameter 30 – 39.9 cm mengalami penurunan sebesar 3.68 ton/ha dan naik kembali pada kelas diameter ≥ 40 cm sebesar 6.40 ton/ha. Hutan kota PT JIEP pada kelas diameter 10 – 19.0 cm sebesar 5.70 ton/ha, diameter 19.0 – 29.9 cm sebesar 6.20 ton/ha, tapi pada kelas diameter 30 – 39.9 cm mengalami penurunan sebesar 4.33 ton/ha dan naik kembali pada kelas diameter ≥ 40 cm sebesar 7.57 ton/ha (Gambar 2.9).

 

Gambar 2.9. Peningkatan cadangan karbon pohon berdasarkan kelas diameter

Sumbangan cadangan karbon terbesar pada hutan kota UI, Srengseng dan

PT JIEP dihasilkan dari pohon famili fabaceae, antara lain yaitu Acacia

crassicarpa A. Cunn. Ex Benth, Acacia mangium Willd, Paraserianthes falcataria L, Leucaena leucocephala L, Bauhinia purpurea L, Delonix regia Boj. Ex Hook, Pterocarpus indicus Willd, Erythrina crista-galli L, dan Abrus precatorius L. Sumbangan cadangan karbon juga terdapat pada famili Lamiaceae, Meliaceae, Lythraceae, Clusiaceae, dan Annonaceae. Pada famili lainnya yaitu Sterculiaceae, Malvaceae, Moraceae, Euphorbiaceae, Theaceae, Bombacaceae, Apocynaceae, Sapindaceae, Dipterocarpaceae, Muntingiaceae, Euphorbiaceae, Sapotaceae, Combretaceae, Colophyllaceae, Gnetaceae dan Burseraceae (Gambar 2.10).

145 150 155

0 5 10 15 20 25

10 - 19,9 20 - 29,9 30 - 39,9 ≥ 40

Cadangan Karbon

(ton/ha)

Kelas diameter batang

HK UI HK Srengseng HK PT JIEP


(37)

 

 

Gambar 2.10. Sumbangan cadangan karbon pohon berdasarkan famili pada hutan kota UI (atas), Srengseng (tengah) dan PT JIEP (bawah)

150  165

135  10

0 5 10 15 20 25

C-stock

(ton/ha)

Famili

0 2 4 6 8 10

C-stock (ton/ha)

Famili

0 2 4 6 8 10 12

C-stock

(ton/ha)


(38)

Tabel 2.3. Cadangan karbon pada jenis pohon hutan kota UI

No Nama Spesies Famili C-stock

(ton/ha) Lokal Botani

1 Bungur Lagerstroemia speciosa Auct Lythraceae 2,27

2 Matoa Pometia pinnata J.R. & J.G. Forster Sapindaceae 0,01

3 Dungun Heritiera littoralis Korth Sterculiaceae 0,45

4 Jati putih Gmelina arborea Roxb. Lamiaceae 16,03

5 dadab Erythrina crista-galli L. Fabaceae 0,01

6 Puspa Schima wallichii (Dc.) Korth Theaceae 0,10

7 Pacira Pachira aquatica Aubl. Malvaceae 0,29

8 Akasia daun kecil Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth. Fabaceae 1,68

9 Akasia daun besar Acacia mangium Willd. Fabaceae 112,15

10 Meranti Shorea selanica Blume Dipterocarpaceae 0,03

11 Nyamplung Calophyllum Inaphyllum L. Calophyllaceae 2,06

12 Nangka Artocarpus heterophyllus Lamk. Moraceae 0,24

13 Ketapang Terminalia catappa L. Combretaceae 0,01

14 Kapuk Ceiba pentandra L Bombacaceae 0,10

15 Jamuju Dacrycarpus imbricatus podocarpaceae 0,04

16 Bintaro Cerbera manghas L Apocynaceae 0,10

17 Sengon Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen Fabaceae 14,72

18 Karet Hevea brasiliensis Muell. Euphorbiaceae 0,47

19 Patai cina Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit Fabaceae 18,61

20 Mahoni daun kecil Swietenia mahagoni (L.) Jacq. Meliaceae 0,41

21 Kupu-kupu Bauhinia purpurea L. Fabaceae 2,04

22 Kruwing Dipterocarpus acutangulus Dipterocarpacae 0,05

Jumlah 171,86

Tabel 2.4. Cadangan karbon pada jenis pohon hutan kota Srengseng

No Nama Spesies Famili C-stock

(ton/ha) Lokal Botani

1 Kirai payung Filicium decipiens (Wt. & Arn.) Thw. Sapindaceae 0,08

2 Matoa Pometia pinnata J.R. & J.G. Forster Sapindaceae 0,10

3 Kersen Muntingia calabura L. Muntingiaceae 0,65

4 Jati Putih Gmelina arborea Roxb. Lamiaceae 4,98

5 Bintaro Cerbera manghas L Apocynaceae 0,33

6 Ketapang Terminalia catappa L. Combretaceae 0,14

7 Kapuk Ceiba pentandra L Bombacaceae 1,09

8 Kemiri Aleurites moluccana (L.) Willd. Euphorbiaceae 0,29

9 Mahoni daun besar Swietenia macrophylla King. Meliaceae 2,78

10 Saga Abrus precatorius L. Fabaceae 0,11

11 Asam Kandis Pithecellobium dulce (Roxb.) Benth. Clusiaceae 2,37

12 Patai Cina Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit Fabaceae 1,30

13 Mahoni daun kecil Swietenia mahagoni (L.) Jacq. Meliaceae 2,46

14 Sawo duren Manilkara kauki (Linn.) Dubard Sapotaceae 0,15


(39)

Lanjutan Tabel 2.4. Cadangan karbon pada jenis pohon hutan kota Srengseng

No Nama Spesies Famili C-stock

(ton/ha) Lokal Botani

16 Sengon Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen Fabaceae 1,35

17 Akasia daun besar Acacia mangium Willd. Fabaceae 2,22

18 Flamboyan Delonix regia (Boj. Ex Hook.) Raf. Fabaceae 3,36

Jumlah 24,02

Tabel 2.5. Cadangan karbon pada jenis pohon hutan kota PT JIEP

No Nama Spesies Famili C-stock

(ton/ha) Lokal Botani

1 Tanjung Mimusops elengi L. Sapotaceae 0,99

2 Bungur Lagerstroemia speciosa Auct Lythraceae 3,02

3 Dadab Erythrina crista-galli L. Fabaceae 0,42

4 Mahoni daun kecil Swietenia mahagoni (L.) Jacq. Meliaceae 5,47

5 Glodongan tiang Polyalthia longifolia Sonn. Annonaceae 1,94

6 Saga Abrus precatorius L. Fabaceae 0,08

7 Melinjo Gnetum gnemon L. Gnetaceae 0,88

8 Angsana Pterocarpus indicus Willd. Fabaceae 5,13

9 Kenari Canarium decumanum Gaerth. Burseracea 0,50

10 Mahoni daun besar Swietenia macrophylla King. Meliaceae 0,85

11 Petai cina Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit Fabaceae 1,50

12 Akasia daun kecil Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth. Fabaceae 2,85

Jumlah 23,64

Pohon hutan kota berperan penting tidak hanya sebagai penyimpan karbon (C-stock), tetapi secara alami juga berfungsi sebagai penyerap karbon CO2 yang paling efesien. Nilai serapan CO2 terbesar terdapat pada hutan kota UI sebesar 634.40 ton/ha, kemudian diikuti oleh Srengseng sebesar 88.15 ton/ha dan PT JIEP sebesar 86.76 ton/ha (Gambar 2.11).

 

Gambar 2.11. Nilai serapan CO2 pohon hutan kota UI, Srengseng dan PT JIEP

650 600 150 0 50 100 150 200 250 Hutan Kota Universitas Indonesia Hutan Kota Srengseng

Hutan Kota PT JIEP

ton/ha C-stock pohon


(40)

2.4. PEMBAHASAN

2.4.1. Analisis Situasional

Meningkatnya pencemaran lingkungan di DKI Jakarta, yang selanjutnya diperburuk dengan peningkatan populasi manusia akibat proses kotanisasi dan industrialisasi, menyebabkan keberadaan hutan kota sangat diperlukan. Hutan kota menjadi semakin penting seiring dengan dikeluarkannya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan PP No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota.

Provinsi DKI Jakarta memiliki 14 hutan kota yang telah dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta, dengan luas keseluruhan yaitu 149.18 ha. Jumlah hutan kota paling banyak tersebar di wilayah Jakarta Timur yaitu hutan kota PT JIEP, Bumi Perkemahan Cibubur, Situ Rawa Dongkal, Komplek Kopasssus Cijantung, Mabes TNI Cilangkap, dan Komplek Lanud Halim Perdana Kusuma. Hutan kota di wilayah Jakarta Timur sebahagian besar berada pada areal perkantoran dan industri serta beberapa hutan kota terdapat pada tanah hak. Fungsi hutan kota pada wilayah ini adalah sebagai kawasan hijau penyangga lingkungan perkantoran dan industri serta sebagai sangtuari liar (Dinas Kelautan dan Pertanian 2011).

Proporsi hutan kota paling banyak juga berada pada wilayah Jakarta Utara yaitu hutan kota Waduk Sunter Utara, Tepian Banjir Kanal Barat dan Berikat Nusantara Marunda. Fungsi hutan kota pada wilayah ini secara umum adalah sebagai kawasan penyangga perairan dan lingkungan industri. Hutan kota juga terdapat di wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat. Hutan kota di wilayah Jakarta Selatan terdiri dari hutan kota UI dan Blok P, yang secara umum berfungsi sebagai kawasan konservasi keanekaragaman hayati dan penyangga bangunan fisik perkotaan. Sementara wilayah Jakarta Pusat terdiri dari hutan kota Kemayoran dan Masjid Istiqlal, yang secara umum berfungsi sebagai kawasan penyangga lingkungan fisik perkotaan dan industri. Proporsi hutan kota paling sedikit berada di wilayah Jakarta Barat yaitu hutan kota Srengseng, yang berfungsi sebagai kawasan penyangga lingkungan fisik perkotaan, resapan air dan wisata (Dinas Pertanian dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta 2011).

Jika dilihat dari penyebaran hutan kota di DKI Jakarta, masih terdapat beberapa hutan kota yang ditemukan pada tanah hak. Keberadaan hutan kota pada tanah hak ini salah satunya dikarenakan keterbatasan aset Pemda DKI Jakarta dalam hal penguasaan atas tanah. Harga tanah yang mahal sehingga membuat Pemda kesulitan untuk melakukan pengembangan hutan kota. Berkaitan dengan kondisi umum, berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, terdapat persoalan pemeliharaan hutan kota pada areal tanah hak ini, seperti pertumbuhan pohon yang kurang baik, pengrusakan terhadap pohon, sampah dan lain sebagainya. Jika mengacu pada pasal 19 PP No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota, semestinya pemerintah dapat melakukan optimalisasi pengelolaan yang konsisten pada hutan kota. Optimalisasi pengelolaan dapat dilakukan dengan pemeliharaan hutan kota, seperti penyulaman pohon hutan kota, diversifikasi jenis pohon dan perbaikan kualitas tempat tumbuh. Pemerintah juga dapat melakukan perlindungan hutan kota, seperti perlindungan dari pengrusakan, kebakaran, hama dan penyakit.

Pengembangan hutan kota pada tanah hak juga dapat dilakukan dengan pemberian insentif kepada pihak pemilik hak (swasta) berupa penghargaan, kemudahan sarana dan prasarana dan diskon pembayaran Pajak Bumi Bangunan


(41)

(PBB). Pemberian insentif ini bertujuan untuk memberikan semangat kepada pihak pemilik hak agar lebih optimal dan konsisten dalam menjaga hutan kota di areal usaha mereka. Pada lain pihak, melalui pemberian insentif ini maka akan semakin mempermudah Pemda dalam melakukan percepatan perluasan hutan kota seperti yang diamanatkan oleh peraturan perundangan.

Hutan kota UI memiliki pohon yang kompak dan jenis pohon yang beranekaragam. Pada hutan kota ini juga terdapat diameter batang yang cukup besar sehingga memberikan kontribusi cadangan karbon yang tinggi yaitu 172.86 ton/ha. Tingginya cadangan karbon pada hutan kota UI dipengaruhi oleh diamter batang dan kondisi iklim yang mendukung bagi pertumbuhan pohon. Jumlah cadangan karbon pohon UI juga salah satunya dipengaruhi oleh umur pohon hutan kota yaitu 25 tahun. Sementara pada hutan kota Srengseng memiliki umur pohon 18 tahun dan PT JIEP 10 tahun. Perbedaan umur pohon ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi cadangan karbon pohon (Hairiah et al. 2011). Hutan kota Srengseng memiliki pohon yang kompak dan jenis pohon yang cukup beragam, selain itu hutan kota Srengseng juga memiliki cadangan karbon sebesar 24.02 ton/ha. Berbeda dengan hutan kota PT JIEP yang memiliki pertumbuhan pohon yang kurang baik, jenis pohon kurang beranekaragam dan cadangan karbon pohon yang rendah yaitu 23.63 ton/ha.

Faktor lain yang juga mempengaruhi cadangan karbon pohon adalah terkait dengan aspek pemeliharaan pohon hutan kota itu sendiri. Berdasarkan pengamatan pada tiga lokasi hutan kota, masih ditemukan masyarakat yang melakukan pengrusakan pada beberapa pohon hutan kota. Pengrusakan pohon tersebut akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan batang yang selanjutnya akan mempengaruhi peningkatan cadangan karbon pohon. Jika mengacu pada pasal 26 ayat 2 PP No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota, sudah jelas terdapat larangan merambah atau merusak hutan kota.

2.4.2. Analisis Cadangan Karbon Pohon Hutan Kota

Berdasarkan analisis potensi cadangan karbon pohon pada tiga lanskap hutan kota DKI Jakarta (hutan kota UI, Srengseng dan PT JIEP), maka diperoleh total cadangan karbon pohon sebesar 220.52 ton. Jumlah cadangan karbon pohon terbesar terdapat pada hutan kota UI yaitu 172.86 ton/ha dengan perolehan biomassa sebesar 345.72 ton/ha, kemudian disusul oleh hutan kota Srengseng yaitu 24.04 ton/ha dengan biomassa sebesar 48.04 ton/ha, dan hutan kota PT JIEP yaitu 23.64 ton/ha dengan biomassa sebesar 47.29 ton/ha. Nilai cadangan karbon pohon ini menunjukkan bahwa lanskap hutan kota selain memiliki fungsi sebagai konservasi keanekaragaman hayati, hidrologi dan estetika juga memiliki andil dan fungsi sebagai penyimpan karbon. Jika dilihat pada hutan kota UI terdapat jumlah cadangan karbon yang tinggi yaitu 172.86 ton/ha. Nilai cadangan karbon pohon sebesar ini sudah dapat dikategorikan sebagai hutan alam tropis, yang memiliki cadangan karbon berkisar antara 161 - 300 ton/ha (Murdiyarso et al. 1994).

Berdasarkan analisis cadangan karbon pohon pada tiga lanskap hutan kota di DKI Jakarta maka diperoleh rata-rata cadangan karbon pohon sebesar 73.51 ton/ha. Namun jika dikonversi ke luas lahan hutan kota seluas 149.18 ha (14 hutan kota yang telah dikukuhkan oleh Gubernur Jakarta), maka akan menghasilkan cadangan karbon pohon yang lebih besar yaitu 10.892,52 ton. Nilai cadangan karbon semakin meningkat ketika target 10 % perluasan hutan kota yang


(42)

diamanatkan dalam PP No. 63 Tahun 2002 dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Hal ini sesuai dengan hasil analisis CITY green yang menyatakan bahwa kapasitas cadangan karbon pohon berbanding lurus dengan persentase peningkatan luas lahan. Dwivedi (2009) dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa setiap km2 hutan kota akan menghasilkan cadangan karbon 1.254.4 ton.

Cadangan karbon pohon pada tiga lokasi mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan diameter batang pohon. Hal ini sesuai dengan Kusmana et al. (1992) yang mengatakan bahwa salah satu faktor penting yang menentukan besarnya cadangan karbon pohon adalah diameter batang. Rayahu et al. (2007) juga menjelaskan bahwa cadangan karbon pada komunitas hutan, salah satunya dipengaruhi oleh diameter batang. Namun demikian, jika dilihat berdasarkan kelas diameter pada hutan kota Srengseng dan PT JIEP terdapat perbedaan, yaitu terjadi penurunan cadangan karbon pohon pada kelas diameter 30 – 39.9 cm. Penurunan cadangan karbon pohon dikarenakan sedikitnya jumlah pohon atau kerapatan yang ditemukan pada kelas diameter batang tersebut. Hal ini sesuai dengan Rahayu et al. (2007) yang mengatakan bahwa selain diameter batang, kerapatan pohon juga mempengaruhi peningkatan cadangan karbon melalui peningkatan biomassa.

Sumbangan cadangan karbon pohon terbesar pada hutan kota UI, Srengseng dan PT JIEP dihasilkan dari pohon famili Fabaceae, di antaranya yaitu Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth, Acacia mangium Willd, Paraserianthes falcataria L, Leucaena leucocephala L, Bauhinia purpurea L, Delonix regia Boj. Ex Hook, Pterocarpus indicus Willd, Erythrina crista-galli L, dan Abrus precatorius L. Jenis pohon ini memiliki pertumbuhan diameter yang cukup cepat sehingga menyebabkan jumlah cadangan karbon pohon tinggi. Familli fabaceae juga merupakan jenis tumbuhan yang memiliki toleransi yang luas terhadap suhu, kelembaban, dan keadaan tanah serta kompetisi unsur hara sehingga sangat memungkinkan terjadi perkembangan yang baik serta memiliki diameter batang yang cukup besar (Nova et al. 2011).

Biomassa memiliki hubungan dengan cadangan karbon, yaitu dengan mengukur jumlah cadangan karbon pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh pohon. Berdasarkan analisis yang dilakukan, maka diperoleh nilai serapan CO2 terbesar dihasilkan dari hutan kota UI yaitu 634.40 ton/ha, kemudian diikuti oleh hutan kota Srengseng sebesar 88.15 ton/ha dan PT JIEP sebesar 86.76 ton/ha. Informasi ini menggambarkan bahwa hutan kota selain berfungsi sebagai konservasi keanekaragaman hayati, ternyata juga memiliki andil dan fungsi dalam mengurangi keberadan gas CO2 perkotaan.

Pohon hutan kota berperan penting tidak hanya sebagai penyimpan karbon, tetapi secara alami juga berfungsi sebagai penyerap karbon CO2 yang paling efesien. Jumlah emisi CO2 yang semakin meningkat di DKI Jakarta saat sekarang ini harus diimbangi dengan jumlah penyerapannya sehingga dapat mengurangi efek rumah kaca atau pemanasan. Jenis pohon yang baik sebagai

penyerap CO2 yang ditemukan pada hutan kota, antara lain yaitu Acacia

crassicarpa A. Cunn. Ex Benth, Acacia mangium Willd, Paraserianthes falcataria L, Leucaena leucocephala L, Bauhinia purpurea L, Delonix regia Boj. Ex Hook, Pterocarpus indicus Willd, Erythrina crista-galli L, Abrus precatorius L, Swietenia macrophylla King, Gmelina arborea Roxb, Pithecellobium dulce Roxb, Mimusops elengi L, Schima wallichii Dc. Korth, Lagerstroemia speciosa Auct, Artocarpus heterophyllus L dan Pometia pinnata J.R. & J.G. Forster.


(43)

3. ANALISIS FAKTOR KEBIJAKAN PENGEMBANGAN HUTAN KOTA

3.1. PENDAHULUAN

DKI Jakarta merupakah provinsi yang memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia yaitu 9.607.787 jiwa (BPS Provinsi DKI Jakarta 2010). Besarnya penduduk di wilayah ini menyebabkan banyak terdapat pencemaran lingkungan, seperti peningkatan polusi dan peningkatan suhu udara. Jumlah polusi udara dari sektor transportasi dan industri di Jakarta pada tahun 2007 telah mencapai 170 juta ton emisi CO2 dan akan terus meningkat seiring dengan perkembangan jumlah penduduk dan aktivitas industri. Sementara untuk peningkatan suhu di tahun 2007 sudah mencapai 29.12 oC – 31.26oC. Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah pencemaran lingkungan ini yaitu melalui keberadaan dan kelestarian hutan kota. Hutan kota menjadi salah satu alternatif dalam mengatasi pencemaran lingkungan ini dikarenakan pepohonan secara alami dapat menyerap gas CO2 dari atmosfer yang disimpan dalam bentuk karbon dan dikeluarkan dalam bentuk oksigen.

Manfaat hutan kota sebagai salah satu jasa lanskap perkotaan sebenarnya telah dirasakan oleh masyarakat dan pemerintah sejak lama. Hal ini dapat dilihat ketika DKI Jakarta secara resmi melakukan penanaman pohon pada saat pemerintah Indonesia menjadi tuan rumah Kongres Kehutanan Dunia ke-7 pada tahun 1978. Penanaman pohon di atas lahan 5 ha pada lingkungan Gedung Wanabakti menjadi awal sejarah dicanangkannya hutan kota di seluruh Indonesia. Berawal dari kegiatan tersebut, maka bermunculan gerakan penanaman pohon di DKI Jakarta, diantaranya Gerakan Sejuta Pohon, Pembangunan Hutan Kota UI Depok, Hutan Kota Kemayoran, Hutan Kota Mabes ABRI Cilangkap dan Hutan Kota Bumi Perkemahan Cibubur (Samsoedin dan Waryono, 2010).

Seiring dengan pesatnya laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan infrastruktur kota di DKI Jakarta, maka ruang terbuka hijau (RTH) dan hutan kota sering menjadi korban. Pada tahun 1965, DKI Jakarta memiliki RTH lebih dari 35 % tetapi jumlah ini terus berkurang sampai dengan 9.3 % pada tahun 2003 dan diperkirakan akan menjadi 6.2 % pada tahun 2007 akibat komersialisasi ruang dan industrialisasi, padahal jika mengacu pada pasal 29 ayat 2 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dijelaskan bahwa proporsi RTH paling sedikit 30 % (20 % publik dan 10 % privat) dengan presentase luas hutan kota minimal 10 % dari luas wilayah perkotaan dan disesuaikan dengan kondisi wilayah setempat, seperti jumlah penduduk, tingkat pencemaran dan kondisi fisik kota (PP No. 63 Tahun 2002).

Melihat permasalahan ini, pemerintah DKI Jakarta mencoba melakukan upaya peningkatan jumlah RTH dan hutan kota seperti melakukan penutupan SPBU yang berlokasi di kawasan hijau, penertiban bangunan-bangunan liar di sempadan sungai dan membangun hutan kota skala kecil di berbagai wilayah. Akan tetapi masih terdapat persoalan-persoalan dalam pengembangan hutan kota diantaranya yaitu persepsi stakeholder yang berbeda-beda terhadap hutan kota, lahan negara yang semakin terbatas, mahalnya harga tanah, tidak adanya insentif bagi masyarakat yang menanam pohon pada lahan miliknya, sulitnya mencari sumber dana, penegakan hukum dan sanksi yang masih lemah, kuranya sosialisasi


(44)

dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dilakukan penelitian ini sebagai salah satu upaya untuk mencari solusi dan prioritas kebijakan yang dapat mendukung pengembangan hutan kota.

3.2. BAHAN DAN METODE

3.2.1. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah kuisioner yang berfungsi sebagai panduan dan media input data ketika wawancara dengan responden, peta dasar hutan kota UI, peta dasar hutan kota Srengseng dan peta dasar hutan kota PT JIEP. Alat yang digunakan adalah Softwere Experrt Choice 11 untuk analisis

input indepth interview dan Kamera untuk mengambil gambar-gambar yang terkait dengan penelitian.

3.2.2. Metode

3.2.2.1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey. Data diperoleh dari

focus group discussion (FGD) tentang kebijakan hutan kota, wawancara dengan

stakeholder hutan kota dan pengumpulan data dari lembaga atau instansi yang terkait dengan penelitian.

3.2.2.2. Pemilihan Responden

Pemilihan responden AHP dilakukan dengan metode purposive sampling.

Responden pada penelitian ini merupakan individu atau lembaga yang dianggap mengerti persoalan hutan kota, dan mempunyai kemampuan dalam memberikan masukan kepada para pengambil kebijakan pengembangan hutan kota. Responden tersebut berasal dari Dinas Kelautan dan Pertanian Bidang Kehutanan Provinsi DKI Jakarta, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Kementerian Kehutanan RI-Bogor, Balai Penelitian Benih Kehutanan-Bogor, Kebun Raya Bogor serta pihak pengelola hutan kota UI, Srengseng dan PT JIEP.

3.2.2.3. Penentuan Prioritas Kebijakan Pengembangan Hutan Kota

Penentuan prioritas kebijakan pengembangan hutan kota dilakukan dengan metode Analitical Hierarchy Process (AHP). AHP merupakan metode atau alat yang dapat digunakan oleh seseorang pengambil keputusan untuk memahami kondisi suatu sistem, membantu melakukan prediksi dan pengambilan keputusan (Saaty 1993). AHP juga merupakan metode yang memodelkan prioritas permasalahan yang tidak terstruktur seperti dalam bidang sosial, kebijakan dan ilmu manajemen. Metode AHP memiliki kelebihan, yaitu sederhana dan tidak banyak asumsi dan juga cocok untuk menyelesaikan permasalahan yang bersifat strategis dan makro. AHP memasukkan pertimbangan dan nilai-nilai pribadi dan logis. Proses ini tergantung pada imajinasi, pengalaman dan pengetahuan untuk menyusun hirarki suatu masalah berdasarkan logika, instuisi, dan pengalaman untuk memberikan pertimbangan.


(45)

Te yaitu men persoalan prioritas, konsistens secara log dengan te elemen p memberik elemen la penilaian terendah. Cir hirarki un sederhana menyeluru harus mam (4) hirark keputusan (1) hirark pada level (2) hirarki pada level tinggi, (3) dibanding penambah elemen lai erdapat tiga nggambarka menjadi u yaitu mene si logis, yai gis dan dipe knik kompa pada suatu kan bobot n

ainya. Tah untuk me ri pemecaha ntuk mengur a, yaitu: (1

uh, (2) hira mpu mengid ki harus ma n. Keuntung i mewakili l yang lebih i memberik l yang lebi ) sistem ak gkan dalam han elemen

in (Saaty 19

G

prinsip das an dan meng

unsur-unsur entukan per tu menjami eringkatkan. arasi berpa u tingkatan numerik da hap selanjut enentukan an masalah raikan sistem 1) hirarki arki harus m

dentifikasi ampu meng gan digunak

suatu siste h tinggi dap kan informa

h rendah d kan menjadi m bentuk la pada struk 993).

ambar 3.1.

sar pada AH guraikan m r yang ter ringkat elem in bahwa se . Tahapan te

sangan (pa

n hirarki (

an memban tnya adala elemen ya dengan me m yang kom

harus mam mampu me

faktor yang gidentifikasi

kannya hira em yang da pat dipenga asi rinci me dan member i lebih efisi ain, dan (4 ktur yang te

Abstraksi s

HP, yaitu (1 asalah seca rpisah (Gam men menur emua eleme erpenting d irwise comp (level). Pe ndingkan a ah melakuk ang memili enggunakan mpleks men mpu meng emperhitung g berhubung i alternatif arki dalam apat menera aruhi priori engenai stru rikan gamb ien jika dis 4) bersifat

elah tersusu

truktur hira

) penyusuna ara hirarki d

mbar 3.1), rut kepentin en – elemen dalam AHP

parison) ter nilaian dil antara satu kan sintesa

iki priorita n AHP adala

njadi eleme ggambarkan gkan keputu gan dengan yang berhu pemecahan angkan bag

tas pada le uktur dan fu baran pada

susun dalam stabil dan un tidak ak

arki AHP

an skema h dengan mem

, (2) pene ngannya da n dikelompo adalah pen rhadap elem lakukan de elemen de a terhadap as tertinggi ah digunaka en - elemen n sistem s

usan, (3) h n keputusan ubungan de n masalah y gaimana pri

vel dibawa ungsi dari s level yang m bentuk h n fleksibel kan mengga hirarki mecah etapan an (3) okkan ilaian men - engan engan hasil i dan annya yang secara hirarki n, dan engan yaitu: oritas ahnya, istem lebih hirarki yaitu anggu


(46)

3.2.2.4. Analisis Data a. Penyusunan Hirarki

Analisis kebijakan pengembangan hutan kota dilakukan dengan metode AHP melalui bantuan kuisioner dan Software Expert Choise 11. Tujuannya adalah menentukan prioritas kebijakan yang mendukung pengembangan hutan kota. Landasan utama pengisian kuisioner adalah struktur hirarki dengan komponen yang telah disusun berdasarkan pendapat ahli atau pakar hutan kota (Gambar 3.2).

Gambar 3.2. Skema hirarki kebijakan pengembangan hutan kota DKI Jakarta

Berdasarkan pendapat ahli atau pakar hutan kota pada saat focus group discussion (FGD) dan wawancara langsung dengan dengan stakeholder, maka faktor yang dianggap mempengaruhi pengembangan hutan kota yaitu:

(1). Dukungan Peraturan

Dukungan peraturan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dukungan peraturan perundangan tertulis (aspek legal) tentang hutan kota atau yang terkait baik langsung maupun tidak langsung, yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Hirarkinya yaitu: UUD 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri dan Peraturan Daerah. Selain itu, dukungan peraturan ini juga dapat diartikan sebagai panduan teknis penyelenggaraan hutan kota yang menyertakan andil cadangan karbon didalamnya, sehingga diperoleh fungsi hutan kota yang optimal.

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN HUTAN KOTA YANG MENDUKUNG

POTENSI CADANGAN KARBON

Dukungan Peraturan (0,35) Peningkatan Kualitas Hutan Kota (0,49) Evaluasi dan Kontrol (0,16) Evaluasi Peraturan (0,25) Perluasan Hutan Kota (0,20) Pemerintah (0,61) Masyarakat (0,23) Swasta (0,16) Pemilihan Jenis Pohon (0,10) Dukungan Dana (0,13) Sanksi (0,04) Insentif (0,19) Sosialisasi (0,11) Sasaran Faktor Aktor Alternatif


(47)

Fungsi peraturan hutan kota ini adalah untuk mengatur substansi hutan kota, sehingga dapat dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan dalam pengembangan hutan kota. Artinya peraturan hutan kota adalah sebagai instrumen kebijakan dalam bentuk apapun, baik penetapan, pengesahan, pencabutan dan perubahan. Peraturan ini semakin penting dalam penerapannya karena setiap tindakan harus didasari pada asas legalitas hutan kota itu sendiri. Hal ini berarti ketika stakeholder ingin melakukan tindakan terhadap hutan kota maka harus sesuai dengan aturan main yang telah ditetapkan.

(2). Peningkatan Kualitas Hutan Kota

Peningkatan kualitas hutan kota yang dimaksud dalam penelitian ini adalah optimalisasi mutu dan kesesuaian hutan kota dengan peraturan dan pedoman. Peningkatan kualitas hutan kota juga dapat diartikan sebagai suatu sistem verifikasi dan perawatan hutan kota dari suatu tingkat kualitas antara lain, yaitu: (a) penyusunan pengelolaan hutan kota (tujuan, program-program, kelembagaan dan dukungan dana), (b) pemeliharaan hutan kota (optimalisasi fungsi dan manfaat, deversifikasi jenis pohon, dan kualitas tempat tumbuh), (c) perlindungan hutan kota (perlindungan dari pengrusakan, kebakaran dan hama penyakit), (d) serta pemanfaatan hutan kota (pemanfaatan untuk wisata, rekreasi, olahraga, pendidikan, konservasi keanekaragaman flora dan fauna, penelitian, potensi cadangan karbon dan serapan CO2).

(3). Evaluasi dan Monitoring Hutan Kota

Evaluasi dan monitoring hutan kota yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tindakan korektif dan pengawasan terhadap pengelolaan, pemeliharaan, perlindungan, dan pemanfaatan hutan kota ke arah pengembangan ekonomi. Evaluasi dan monitoring berfungsi untuk menilai kekurangan dan kekuatan hutan kota sebagai salah satu upaya dalam mengatasi pencemaran lingkungan, sehingga diperoleh kebijakan yang terbaik dalam pengembangan hutan kota.

Berdasarkan pendapat ahli atau pakar hutan kota pada saat focus group discussion (FGD) dan wawancara langsung dengan dengan stakeholder, maka aktor yang dianggap terlibat dalam pengembangan hutan kota yaitu:

(1). Pemerintah

Pemerintah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah organisasi atau lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah yang menjalankan fungsinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemerintah adalah pihak yang memiliki kewenangan dan berperan penting dalam menentukan kebijakan pengembangan hutan kota. Pemerintah harus bisa menengahi berbagai kepentingan stakeholder

sehingga tidak terjadi konflik dalam pengembangan hutan kota. (2). Masyarakat

Masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah individu atau sekelompok manusia yang memiliki kepedulian atau kepentingan terhadap keberadaan dan pengembangan hutan kota. Masyarakat merupakan pihak penting


(48)

dalam pengembangan hutan kota, karena selain sebagai penikmat jasa hutan kota, masyarakat juga bisa menjadi mitra pemerintah dalam optimalisasi perluasan lahan dan monitoring terhadap pengelolaan hutan kota.

(3). Swasta

Swasta yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pihak yang berasal dari lembaga non pemerintah yang memiliki kepedulian terhadap pengembangan hutan kota. Pihak swasta menjadi salah satu aktor dalam pengembangan hutan kota, dikarenakan pihak swasta juga memiliki tanggung jawab dalam menjaga kualitas lingkungan hidup dan sekaligus penunjang dalam pencapaian target hutan kota yang diamanatkan pada PP No. 63 Tahun 2002. Pihak swasta bisa juga berperan sebagai salah satu sumber dana dalam pengembangan hutan kota.

Berdasarkan pendapat ahli atau pakar hutan kota pada saat focus group discussion (FGD) dan wawancara langsung dengan dengan stakeholder, maka alternatif yang dianggap mempengaruhi pengembangan hutan kota yaitu:

(1). Evaluasi Peraturan

Evaluasi peraturan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah melakukan penyesuaian atau telaah terhadap kebijakan yang dianggap kurang sesuai dengan pemahaman stakeholder dan konsep hutan kota itu sendiri. Evaluasi peraturan ini juga mengupayakan lahirnya peraturan daerah tentang hutan kota yang dapat dijadikan acuan dalam pengembangan hutan kota.

(2). Peluasan Hutan Kota

Peningkatan kualitas hutan kota yang dimaksud dalam penelitian ini adalah optimalisasi peningkatan ratio hutan kota oleh pemerintah DKI Jakarta yang belum capai target 10 persen dari RTH yang ditetapkan sesuai dengan amanat PP No. 63 Tahun 2002.

(3). Pemilihan Jenis Pohon

Pemilihan jenis pohon yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mengupayakan pemilihan jenis pohon yang sesuai dengan tipe atau fungsi hutan kota. Jenis pohon yang memiliki cadangan karbon potensial dapat diupayakan sebagai salah satu nilai tambah dalam fungsi hutan kota yang tertuang pada pasal 3 PP No. 63 Tahun 2002, sehingga fungsi hutan kota sebagai sebuah ekosistem akan lebih optimal.

(4). Dukungan Dana

Dukungan dana yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemudahan dana untuk melakukan pengembangan hutan kota. Dukungan dana untuk masyarakat lebih kepada dukungan teknis (tunjangan sarana dan prasarana). Dana berfungsi untuk mempermudah proses pelaksanaan pengembangan hutan kota.


(1)

3. Ketentuan tentang tata cara peran serta masyarakat diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.

Pasal 34

1. Peningkatan peran serta masyarakat dilakukan melalui : a. pendidikan dan pelatihan;

b. penyuluhan;

c. bantuan teknis dan insentif.

2. Ketentuan lebih lanjut tentang pengaturan pemberian bantuan teknis dan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur dengan Peraturan Daerah.

Pasal 35

1. Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan hutan kota dapat berbentuk : a. penyediaan lahan untuk penyelenggaraan hutan kota;

b. penyandang dana dalam rangka penyelenggaraan hutan kota; c. pemberian masukan dalam penentuan lokasi hutan kota;

d. pemberian bantuan dalam mengidentifikasi berbagai potensi dalam masalah penyelenggaraan hutan kota;

e. kerjasama dalam penelitian dan pengembangan;

f. pemberian informasi, saran, pertimbangan atau pendapat dalam penyelenggaraan hutan kota;

g. pemanfaatan hutan kota berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

h. bantuan pelaksanaan pembangunan;

i. bantuan keahlian dalam penyelenggaraan hutan kota;

j. bantuan dalam perumusan rencana pembangunan dan pengelolaan; k. menjaga, memelihara dan meningkatkan fungsi hutan kota.

2. Tata cara peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan hutan kota diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.

BAB V PEMBIAYAAN

Pasal 36

Biaya penyelenggaraan hutan kota berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau sumber dana lainnya yang sah.


(2)

56

  BAB VI S A N K S I

Pasal 37

Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 26 dikenakan sanksi yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.

BAB VII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 38

Hutan kota yang telah ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku dan segera menyesuaikan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

BAB VIII P E N U T U P

Pasal 39

Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur hutan kota yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 40

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 12 Nopember 2002 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta

Pada tanggal 12 Nopember 2002

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd.

BAMBANG KESOWO


(3)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Batang Lingkin pada 28 Januari 1986 sebagai anak pertama dari lima bersaudara yang terdiri dari ayah Maradingin Lubis dan Ibu Ernawati. Empat Saudara, yaitu Nurhalimah Lubis, Rudi Agussalim Lubis, Fatimahrani Lubis, dan Abdul Azzis Lubis.

Latar belakang pendidikan dimulai dari SDN 66 Batang Lingkin (1992 - 1998), MTsN Simpang IV Pasaman Barat (1998 - 2001) dan SMAN 2 Medan (2001 - 2004). Penulis melanjutkan pendidikan di Politeknik Pertanian Universitas Andalas Padang, Program Studi Agribisnis Pertanian (2004 - 2007) dan meneruskan pada program ekstensi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian (2007 - 2010). Penulis diterima di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (2007 - 2013).

Selama mengikuti pendidikan di PSL-IPB, penulis aktif dalam organisasi mahasiswa, yaitu Forum Wacana Pascasarjana dan Ecologica PSL-IPB. Penulis juga pernah mengikuti Training “Climate Change Mitigation and Adaptation for Agricultural Productivity In Southeast Asia”, kerjasama The Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology (SEAMEO BIOTROP) dan Indonesia Network Agroforestry Education (INAFE) dan kegiatan Asia Forum Carbon Abdate, Dewan Nasional Perubahan Iklim, Indonesia. Selain itu, penulis juga bekerja pada PT. Alas Consultans (2012).

Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. dan Dr. Ir. Ismayadi Samsoedin, M.Sc. penulis dilibatkan dalam penelitian “Kajian Jenis Pohon Potensial untuk Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan”, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Kementerian Kehutanan RI, Bogor. Penulis juga dilibatkan dalam penelitian “Landscape Ecology” kerjasama Fakultas Pertanian IPB – ETH Zurich – National University


(4)

 

RINGKASAN

SOFYAN HADI LUBIS. Analisis Cadangan Karbon Pohon pada Lanskap Hutan Kota di DKI Jakarta. Dibimbing oleh HADI SUSILO ARIFIN dan ISMAYADI SAMSOEDIN.

Meningkatnya persoalan lingkungan, seperti polusi udara dan peningkatan suhu di DKI Jakarta menyebabkan keberadaan hutan kota sangat penting untuk dikembangkan. Hutan kota (pohon) memiliki peran penting karena berfungsi sebagai penyimpan karbon dan penyerap karbon paling efesien di perkotaan. Hutan kota di DKI Jakarta memiliki persoalan dalam pengembangannya, selain aspek teknis seperti pemilihan jenis vegetasi yang tepat bagi peruntukannya juga dipengaruhi oleh aspek kebijakan.

Penelitian ini bertujuan (1) menganalisis cadangan karbon, serapan CO2

dan jenis pohon yang memiliki cadangan karbon potensial, dan (2) menganalisis faktor kebijakan yang mendukung pengembangn hutan kota. Penelitian dilakukan di DKI Jakarta dengan fokus pada tiga hutan kota yaitu hutan kota UI (Jakarta Selatan), hutan kota Srengseng (Jakarta Barat) dan hutan kota PT Jakarta Industrial Estate Pulogadung (Jakarta Timur). Lokasi penelitian ditentukan dengan

menggunakan metode purposive sampling, yaitu berdasarkan keterwakilan fungsi

utama jasa lanskap hutan kota. Pengumpulan data dilakukan dengan metode

survey. Pemilihan responden dilakukan dengan metode purposive sampling.

Penentuan sampling plot dilakukan dengan metode purposive sampling. Bentuk

plot yang digunakan adalah plot bujur sangkar dengan ukuran 20 m x 20 m.

Penentuan biomassa pohon dilakukan dengan metode non-destructive sampling

dan cadangan karbon pohon diperoleh dengan menggunkan rumus kandungan

biomassa. Nilai serapan CO2 diketahui dengan menggunakan perbandingan masa

molekul relatif CO2 yaitu 3.67 x cadangan karbon. Berat jenis kayu diperoleh dari

database wood density of trees world agroforestry. Analisis cadangan karbon

menggunakan pendekatan allometrik dan analisis faktor kebijakan pengembangan

hutan kota dengan pendekatan Analitical Hierarchy Process (AHP).

Jumlah cadangan karbon pohon terbesar terdapat pada hutan kota UI yaitu 178.82 ton/ha, diikuti oleh Srengseng sebesar 24.04 ton/ha dan PT JIEP sebesar 23.64 ton/ha. Faktor yang mempengaruhi peningkatan cadangan karbon antara

lain yaitu diameter batang, kerapatan pohon (density) dan umur pohon. Nilai

serapan CO2 terbesar dihasilkan dari hutan kota UI yaitu 634.40 ton/ha, diikuti

oleh Srengseng sebesar 88.15 ton/ha dan PT JIEP sebesar 86.76 ton/ha. Informasi ini menggambarkan bahwa selain sebagai konservasi keanekaragaman hayati, serapan air dan lanskap estetika, ternyata hutan kota juga memiliki potensi dalam

mengurangi gas CO2 perkotaan. Sumbangan cadangan karbon pohon terbesar

pada tiga hutan kota dihasilkan dari pohon famili Fabaceae, antara lain yaitu Acacia crassicarpa A.Cunn. Ex. Benth, Acacia mangium Wild, Paraserianthes falcataria L, Leucana leucophala L, Bauhinia pulpurea L, Delonix regia Boj. Ex

Hook, Pterocarpus indicus Wild, Erythrina crista-galli L dan Abrus precarorius.

Prioritas kebijakan yang mendukung pengembangan hutan kota pada level faktor yaitu peningkatan kualitas hutan kota, level aktor yaitu pemerintah dan level alternatif yaitu evaluasi peraturan dan perluasan hutan kota.


(5)

(6)

 

SUMMARY

SOFYAN HADI LUBIS. Tree Carbon Stock Analysis of Urban Forest Landscape in DKI Jakarta. Supervised by HADI SUSILO ARIFIN and ISMAYADI SAMSOEDIN.

In order to reduce enviromental problem, such as air polutions and increasing of air temperature in DKI Jakarta caused the presence of urban forest is very neccessary. Tree has an inportant role becouse its function as store carbon and most efficient carbon sinks in urban areas. Urban forest in DKI Jakarta has problems in development, beside technical aspects are also affected by the goverment policy.

The objectives of research were (1) to analyze tree carbon stock, CO2

sequestration and tree species that have potential of carbon, and (2) to analyze policies that support the development of urban forest. The study was conducted at DKI Jakarta, which was focused on tree urban forests, i.e. University Indonesia (Jakarta Selatan), Srengseng (Jakarta Barat) and PT JIEP (Jakarta Timur). The research location was determined by using purposive sampling method, which is based on the representation of the main functions of the urban forest landscape services. Data was collected through survey method. The selection of respondents was conducted by purposive sampling. Sampling plots determination was done by purposive sampling method. Square plot with a size of 20 m x 20 m is used in this research. Determination of tree biomass is done by non-destructive sampling

method and tree carbon stocks by using biomass content formula. CO2 uptake

values was determined by using the comparative of relative molecular mass CO2 :

3.67 x carbon stocks. Wood density obtained from the database of wood density of trees world agroforestry. Carbon stock analysis was calculated by using allometric equation and urban policy analysis was executed by Analytical Hierarchy Process (AHP) approach.

The largest tree carbon stocks were found on UI urban forest was 178.82 ton/ha, Srengseng was 24.04 ton/ha and PT JIEP was 23.64 ton/ha. The largest

CO2 uptake generated from UI urban forest was 634.40 ton/ha, Srengseng was

88.15 ton/ha and PT JIEP was 86.76 ton/ha. Factors that affecting the enhancement of carbon stocks, i.e. stem diameter, tree density and the age of the

trees. CO2 uptake value resulting from the biggest urban forest UI was 634.40

ton/ha, followed by Srengseng 88.15 ton/ha and PT JIEP 86.76 ton/ha. This information illustrates that in addition for conservation of biodiversity, water uptake and aesthetics landscape, urban forest also has the potential in reducing

CO2. Tree of fabaceae family, i.e. Acacia crassicarpa A.Cunn.Ex.Benth, Acacia

mangium Willd, Paraserianthes falcataria L, Leucaena leucocephala L, Bauhinia purpurea L, Delonix regia Boj Ex.Hook, Pterocarpus indicus Willd, Erythrina crista-galli L and Abrus precarorius are found that they have biggest contribution for tree carbon stocks in study sites.

Policy priorities the supporting the development of urban forest in level factor are increasing of urban forests quality, level actor are government and level alternative are rules evaluation and urban forest expantion.