Kurang Vitamin A KVA

anemia cenderung semakin tinggi; pada bayi 6 bulan 61,3, bayi 6-11 bulan 64,8, dan anak usia 12-23 bulan 58. Selanjutnya prevalensi menurun untuk anak usia 2-5 tahun Bappenas 2007b. Sementara itu hasil survei yang dilakukan di 10 propinsi menunjukkan bahwa pada tahun 2006 prevalensi AGB pada anak balita relatif lebih rendah, yaitu 26,3. Prevalensi terendah ditemukan di Bali 19,8 dan tertinggi di Maluku 36,3.

e. Kurang Vitamin A KVA

Kurang vitamin A dikenal sebagai buta senja atau xerophthalmia “mata kering” yang dapat berlanjut kebutaan. Sejak tahun 1980-an, diketahui terjadi peningkatan angka kematian balita yang kurang vitamin A, bahkan sebelum terlihat tanda-tanda xerophthalmia. Kurang vitamin A dapat menyebabkan balita menjadi rentan terhadap penyakit infeksi Rimbawan Baliwati 2006. Survei Nasional Xerophthalmia 1978 menemukan prevalensi X1b bitot spot pada anak balita 1,3, dan pada tahun 1992 turun menjadi 0,33. Dengan keberhasilan ini maka kebutaan akibat KVA secara nasional sudah bukan masalah masyarakat lagi jika mengacu pada kriteria WHO xerophthalmia 0,5. Namun demikian, masih terdapat tiga provinsi dengan prevalensi di atas kriteria WHO. Provinsi tersebut adalah Sulawesi Selatan 2,9, Maluku 0,8, dan Sulawesi Tenggara 0,6. Ditinjau dari indikator subklinis yaitu berdasarkan kadar vitamin A dalam darah serum retinol 20 μgdl masih terdapat 50,2 balita menderita KVA subklinis. Dengan indikator ini, KVA masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena lebih tinggi dari batas ambang menurut International Vitamin A Consultative Group IVACG sebesar 15. Tabel 9 Perkembangan prevalensi xerophthalmia X1B tahun 1977-2006 Tahun Prevalensi Xerophthalmia XIB Sumber 197778 1,30 Dit Bina Gizi Masyarakat, Ditjen Binkesmas, Depkes RI, Survei Xerophthalmia 197778 1992 0,33 Dit Bina Gizi Masyarakat, Ditjen Binkesmas, Depkes RI, Survei Xerophtalmia Nasional Tahun 1992 di 15 Provinsi 2006 0,13 Susilowati dkk 2006, Studi Masalah Gizi Mikro di Indonesia Tahun 2006 di 10 Provinsi Pada tahun 1992, Indonesia telah dinyatakan bebas dari xeropthalmia, namun masih dijumpai 50,2 balita mempunyai serum retinol 20 μgdl, sebagai pertanda Kurang Vitamin A KVA Sub-Klinik. Berdasarkan hasil penelitian Puslitbang Gizi dan Makanan Kementerian Kesehatan RI di 10 provinsi di Indonesia, pada tahun 2006 prevalensi Xerophtalmia adalah 0,13 dan prevalensi anak balita dengan serum retinol 20 μgdl sekitar 14,6 yang berarti menunjukkan indikasi penurunan Tabel 10. Oleh karena itu, masalah kurang Vitamin A KVA sudah tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat lagi karena berada di bawah 15 batasan IVACG. Namun demikian perlu dicatat bahwa berdasarkan hasil tersebut juga ditemukan bahwa konsumsi intake vitamin A dari makanan hanya sekitar 20 dari rekomendasi AKG atau RDA. Tabel 10 Masalah gizi mikro di Indonesia berdasarkan studi masalah gizi mikro di 10 provinsi Masalah Gizi Indikator Prevalensi 1. KVA 1. Xerophthalmia 0,13 2. Serum retinol20 µgdl 14,6 2. Anemia Gizi Besi Balita Kadar Hb 11 grdl 26,3 3. Zinc 32 4. Asupan Zat Gizi Vit A 20 dari RDA Zat Besi 40 dari RDA Zink 30 dari RDA Sumber: Studi Masalah Gizi Mikro di 10 Provinsi, P3GM 2006 Hal ini mengindikasikan bahwa penurunan masalah KVA sangat dibantu oleh adanya program suplementasi bagi anak balita. Hasil Riskesdas tahun 2010 menunjukkan bahwa rata–rata nasional untuk suplementasi vitamin A mencapai 69,8 dengan cakupan tertinggi di Propinsi DIY 91,1 dan terendah di Papua Barat 49,3. Meski tidak seluruh anak balita tercakup program suplementasi, namun sekitar 7 dari 10 anak balita diperkirakan telah mendapat asupan vitamin A dosis tinggi setiap 6 bulan sekali. Menurut DKP 2009, dengan rendahnya intake asupan vitamin A dari pangan, ke depan program diversifikasi konsumsi pangan untuk mewujudkan gizi seimbang perlu diperkuat dengan meningkatkan konsumsi pangan sumber vitamin A dari pangan hewani, sayuran dan buah dan dari pangan-pangan yang difortifikasi dengan vitamin A.

f. Gizi Lebih