Status Gizi Balita Evaluasi Pemenuhan Hak atas Pangan dan Gizi di Indonesia dalam Tiga Dekade Terakhir

Perkembangan Status Gizi Masyarakat di Indonesia Status Gizi Tolak ukur yang dapat mencerminkan status gizi masyarakat adalah status gizi pada anak balita yang diukur dengan berat badan dan tinggi badan menurut umur dan dibandingkan dengan standar baku rujukan WHO 2005. Selain itu, keadaan gizi masyarakat juga dapat diketahui dari keadaan berat badan lahir rendah BBLR dan besarnya masalah kekurangan gizi mikro pada kelompok rentan, yaitu gangguan akibat kurang yodium GAKY, anemia gizi besi AGB, dan kurang vitamin A KVA. Akhir-akhir ini permasalahan gizi lebih kegemukan dan obesitas juga terus meningkat Bappenas 2010b.

a. Status Gizi Balita

Status gizi pada anak balita sering digunakan untuk melihat status gizi masyarakat secara umum karena status gizi pada masa ini sangat menentukan kualitas hidup dan kesehatan untuk sepanjang hidupnya Bappenas 2010b. Secara umum status gizi balita menurut indeks BBU membaik pada periode 1986-2010. Pada tahun 1986 dan 1987, data status gizi balita yang dikeluarkan Susenas menggunakan standar baku Harvard. Menurut BPS 1986, status gizi balita dengan baku Harvard diklasifikasikan menjadi gizi buruk di bawah 60 baku, gizi kurang 60 s.d. 69,9 baku, gizi sedang 70 s.d. 79,9 baku, dan gizi baik 80 baku ke atas. Prevalensi kekurangan gizi 70 baku Harvard menurun sekitar 2 dari 12,9 pada tahun 1986 menjadi 10,97 pada tahun 1987. Periode 1989-2010, data status gizi balita yang dikeluarkan Susenas mulai menggunakan standar baku WHO-NCHS. Standar baku WHO-NCHS mengklasifikasikan status gizi balita BBU menjadi gizi buruk Z-skor -3 SD, gizi kurang - 3 ≤ Z-skor -2 SD, gizi baik - 2 SD ≤ Z-skor ≤ 2 SD, dan gizi lebih Z-skor 2 SD. Selama periode tersebut, kekurangan gizi gizi buruk dan gizi kurang menurun dari 37,47 menjadi 17,9. Walaupun demikian, kasus gizi buruk cenderung berfluktuasi dan secara agregat tidak mengalami penurunan berarti. Pada periode 2000 hingga 2005, terjadi peningkatan prevalensi kekurangan gizi BBU pada balita dan pada tahun 2005 menjadi 28,04. Pada periode ini kenaikan terutama disebabkan oleh meningkatnya prevalensi gizi buruk terutama sejak tahun 2001 yang meningkat dari 6,3 menjadi 8,8 pada tahun 2005. Dengan angka ini, maka pada tahun 2005 diperkirakan terdapat 5,7 juta anak balita yang mengalami kekurangan gizi dan 1,8 juta diantaranya mengalami gizi buruk. Hasil Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2007, yaitu sebuah survei yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI, menunjukkan bahwa kekurangan gizi pada balita telah menurun secara signifikan menjadi 18,4. Dengan demikian dalam kurun waktu dua tahun sejak 2005, kekurangan gizi menurun hampir 10 poin. Dengan angka ini, maka tujuan RPJMN sebesar 20 pada tahun 2009 dan target MDGs sebesar 18,7 pada tahun 2015 telah tercapai. Berdasarkan hasil Riskesdas 2010, besarnya prevalensi gizi buruk dan gizi kurang secara nasional masing-masing adalah 4,9 dan 13. Terjadi penurunan prevalensi kekurangan gizi jika dibandingkan dengan tahun 2007. Akan tetapi, penurunan tersebut tergolong lambat dalam kurun waktu 3 tahun 0,4. Hasil Susenas oleh BPS tahun 1989 menunjukkan bahwa prevalensi gizi buruk dan kurang di Indonesia masing-masing sebesar 6,3 dan 31,17. Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia mengalami peningkatan dalam upaya perbaikan gizi selama tiga dekade terakhir. Walaupun angka ini menurun dibandingkan hasil Susenas tahun 1989, tetapi menunjukkan bahwa anak balita gizi buruk masih menjadi masalah kesehatan masyarakat utama. Jika di suatu daerah ditemukan gizi buruk 1 maka termasuk dalam masalah berat Depkes 2000. Perkembangan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang menurut indeks berat badan menurut umur BBU di Indonesia selama tiga dekade terakhir 1986- 2010 secara lebih rinci dapat dilihat pada Gambar 12. Sumber: BPS, Susenas 1986-2005, Riskesdas 2007 dan 2010 Ket. : Tahun 1986-1987, menggunakan standar Median Baku Harvard Tahun 1989-2010, menggunakan standar Baku WHO-NCHS Gambar 12 Perkembangan prevalensi kekurangan gizi pada balita di Indonesia tahun 1986-2010 1.7 1.23 6.3 7.23 11.56 10.51 8.11 7.53 6.3 7.47 8.55 8.3 8.8 5.4 4.9 11.2 9.74 31.17 28.34 20.02 19 18.25 17.13 19.8 19.35 19.62 19.2 19.24 13 13 12.9 10.97 37.47 35.57 31.58 29.51 26.36 24.66 26.1 26.82 28.17 27.5 28.04 18.4 17.9 5 10 15 20 25 30 35 40 1986 1987 1989 1992 1995 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2007 2010 Prevalensi Gizi Buruk Prevalensi Gizi Kurang Prevalensi Gizi Buruk + Kurang Dengan memperhatikan gambar di atas tampak adanya penurunan prevalensi gizi buruk dan kurang sebesar 20 dalam kurun waktu 1989-2010. Ini berarti setiap tahun pemerintah hanya dapat menekan angka gizi buruk dan kurang rata-rata ± 1,6. Menurut Riskesdas 2010, walaupun secara nasional terjadi penurunan prevalensi masalah gizi pada balita, tetapi masih terdapat kesenjangan antar provinsi. Dari 33 provinsi di Indonesia, masih terdapat 18 provinsi yang memiliki prevalensi gizi kurang dan buruk di atas angka prevalensi nasional. Namun demikian, semua provinsi di Indonesia masih memiliki prevalensi underweight gizi kurang+buruk di atas batas “non-public health problem” menurut WHO, yaitu 10. Gizi buruk terjadi karena kekurangan gizi tingkat berat yang bila tidak ditangani dengan segera dapat mengakibatkan kematian. Untuk itu, surveilans gizi buruk perlu dilakukan dengan semakin baik sehingga upaya untuk menanggulangi anak balita dengan gizi buruk semakin dapat ditingkatkan Bappenas 2010b. Menurut Bappenas 2005, suatu bangsa dikatakan semakin maju apabila tingkat pendidikan penduduknya semakin baik, derajat kesehatan tinggi, usia harapan hidup panjang, dan pertumbuhan fisiknya optimal. Di negara maju anak- anak tumbuh lebih cepat daripada di negara berkembang karena asupan gizi yang lebih baik dapat menunjang tumbuh kembang anak. Terdapat hubungan yang erat antara pertumbuhan fisik dengan perkembangan mental anak usia dini. Anak berstatus gizi baik dan sehat akan merespon perubahan lingkungan lebih aktif yang selanjutnya dapat mempercepat perkembangan mental anak. Tampaknya upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk memperbaiki gizi anak-anak Indonesia belum dikatakan optimal. Hal ini terlihat dari angka gizi buruk yang masih berfluktuatif. Walaupun terjadi penurunan kekurangan gizi BBU secara signifikan, kekurangan gizi kronis TBU masih terlihat cukup tinggi yaitu dilihat dari 35,6 balita mengalami stunting Z-skor -2 SD berdasarkan Riskesdas 2010. Tinggi badan menurut umur yang rendah merupakan indikator malnutrisi kronis yang paling umum digunakan. Sebanyak 15 provinsi memiliki prevalensi stunting di atas angka prevalensi nasional. Bila dibandingkan dengan batas “non public health problem” menurut WHO untuk masalah stunting sebesar 20, maka semua provinsi masih dalam kondisi bermasalah kesehatan masyarakat. Dari beberapa survei, prevalensi anak balita stunting masih tergolong tinggi. Masih sekitar 26-40 anak balita di Indonesia diklasifikasikan pendek Tabel 6. Tinggi badan rata-rata anak balita ini umumnya mendekati kondisi normal hanya sampai 5-6 bulan, setelah usia enam bulan rata-rata tinggi badan anak balita lebih rendah dari kondisi normal Bappenas 2007b. Menurut Bappenas 2010b, anak yang memiliki status gizi kurang atau buruk underweight berdasarkan pengukuran BBU dan pendek atau sangat pendek stunting berdasarkan pengukuran TBU yang sangat rendah dibanding standar WHO mempunyai resiko kehilangan tingkat kecerdasan atau intelligence quotient IQ sebesar 10-15 poin. Tabel 6 Prevalensi pendekstunting anak balita 2SD dari beberapa jenis survei Survei Prevalensi Stunting IBT Indonesia Bagian Timur, Tahun 1991 4 Provinsi 44,5 Suvita Survei Nasional Vit. A,Tahun 1992 15 Provinsi 41,4 SKIA Survei Kesehatan Ibu dan Anak, Tahun 1995 Nasional 45,9 JPS Jaring Pengaman Sosial, Tahun 199899 43,8 SKIA Survei Kesehatan Ibu dan Anak, Tahun 2001 Nasional 34,3 SKRT Survei Kesehatan Rumah Tangga, Tahun 2004 Nasional 25,8 Studi Masalah Gizi Mikro, Puslitbang Gizi Tahun 2006 10 Provinsi 36,2 Riskesdas 2007 36,8 Riskesdas 2010 35,6 Kajian gizi kurang lainnya adalah dari beberapa survei yang melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan BBTB. Berat badan menurut tinggi badan yang rendah merupakan indikator malnutrisi akut yang paling sensitif dan paling umum digunakan. Seperti terlihat pada Tabel 7 prevalensi gizi kurang menurut BBTB kurus wasting, Z-skore -2 SD berkisar antara 7-16. Tabel 7 Prevalensi kuruswasting anak balita 2SD dari beberapa jenis survei Survei Prevalensi Wasting IBT Indonesia Bagian Timur, Tahun 1991 4 Provinsi 9,7 Suvita Survei Nasional Vit. A,Tahun 1992 15 Provinsi 8,6 SKIA Survei Kesehatan Ibu dan Anak, Tahun 1995 Nasional 13,4 SKRT Survei Kesehatan Rumah Tangga, Tahun 1995 Nasional 11,6 JPS Jaring Pengaman Sosial, Tahun 1999 13,7 SKIA Survei Kesehatan Ibu dan Anak, Tahun 2001 Nasional 15,6 SKRT Survei Kesehatan Rumah Tangga, Tahun 2004 Nasional 10,3 Studi Masalah Gizi Mikro, Puslitbang Gizi Tahun 2006 10 Provinsi 7,1 Riskesdas 2007 13,6 Riskesdas 2010 13,3 Prevalensi kurus dan sangat kurus wasting berdasar BBTB pada anak balita tidak turun bermakna selama 3 tahun terakhir. Menurut hasil Riskesdas 2010, sebanyak 13,3 anak balita masih ditemukan kurus dan sangat kurus. Terdapat 19 provinsi yang memiliki prevalensi kekurusan di atas angka prevalensi nasional. Menurut United Nations High Commissioner for Refugees UNHCR masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi BBTB kurus antara 10,1- 15,0, dan dianggap kritis bila di atas 15,0. Pada tahun 2010, secara nasional prevalensi BBTB kurus pada balita masih 13,3. Hal ini berarti bahwa masalah kekurusan di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Dari 33 provinsi, ada 5 provinsi yang masuk kategori “moderate” prevalensi ≤10, 19 provinsi termasuk kategori “serius” prevalensi antara 10,1 sampai 15, dan 9 provinsi termasuk dalam kategori kategori kritis prevalensi 15.

b. Berat Badan Lahir Rendah BBLR