Demikian juga Hadis yang diriwayatkan oleh ibn Umar dalam kitab al-Bukhârî, sebagai berikut.
اََ ث دَح ُد مَُُ
ُنْب ِبَأ
ٍرْكَب يِم دَقُمْلا
، اََ ث دَح
رِمَتْعُم ْنَع
ِدْيَ بُع ِل
ْنَع ٍعِفاَن
، ِنَع
ِنْبا َرَمُع
، ِنَع
ِِّب لا ىلص
ل يلع
ملسو ُ نَأ
َناَك ُضِّرَعُ ي
َُتَلِحاَر يِّلَصُيَ ف
اَهْ يَلِإ ُتْلُ ق
َتْيَأَرَ فَأ اَذِإ
ِت بَ ُباَكِّرلا
َلاَق َناَك
ُذُخْأَي َذَ
ا َلْح رلا
ُُلِّدَعُ يَ ف يِّلَصُيَ ف
َلِإ ِِتَرِخآ
، ْوَأ
َلاَق خَؤُم
ِِر ،
َناَكَو ُنْبا
َرَمُع ،
َيِضَر ُ َا
َُْع ،
ُُلَعْفَ ي .
ٔٙ
Dibolehkan kita mengerjakan salat fardu di atas kendaraan, apabila kendaraan itu menghadap kiblat. Walaupun kendaraan itu sedang berjalan,
seperti kapal dan lain-lainnya. Dan apabila salat tidak dapat dilakukan sambil berdiri, karena keadaan kendaraan tidak mengizinkan, maka
dibolehkan kita mengerjakan sambil duduk. Kendaraan yang dapat disamakan dengan kapal adalah kereta api,
motor, trem dan yang semisalnya. Karena itu, Apabila seorang mengerjakan salat dalam kendaraaan, hendaklah menghadap qiblat dan berdiri, selama
masih ada kemungkinan untuk berdiri itu. Apabila kapal menghadap ke timur, hendaklah orang yang salat itu memutarkan badannya kearah barat.
Tetapi jika tidak mungkin memutarkan badan, dibolehkan ia menghadap kemana saja kendaraan itu menghadap. Ruku
’ dan sujud dilakukan menurut kemungkinan.
17
ِنَثَدَحَو نَع
ِكِلاَم نَع
ِدْبَع ِل
ِنْب ٍراَيِد
ْنَع ِدْبَع
ِل ِنب
رَمُع :
نَأ َلْوُسَر
ِل ى لَص
ُل ِيَلَع
َو َمَلَس
َناَك يِلَصُي
ىَلَع ِِتَلِحاَر
ِي رٍفَسلا
َثيَح تَه جَوَ ت
ِِب َلاَق
ُدبَع ِل
ِنب ٍراَيِد
َناَكَو ُدبَع
ِل ُنب
رَمُع ُلَعفَي
َكِلَذ ِنَثَدَحَو
نَع ٍكِلاَم
نَع َي ََ
َنب ديِعَس
َلاَق ُتيَأَر
سَنَأ
16
Is ’ `I î -Mugîrah al Bukhârî, al-Jâmi’ - h, juz 1 Kairo: Dâr al-Sya
’ b, 1987, h. 135.
17
Hasbi as Shidiqi, Pedoman t , Jakarta: Ikapi, 1983, h. 457 dan 458.
نب كِلاَم
ِي ٍرَفَسلا
َوُ َو يِلَصُي
ىَلَع ٍراَِْ
َوُ َو ُ جَوَ تُم
َلِإ ِرَغ
ِةَلبِقلا ُعُكرَي
ُدُجسَيَو ءاَمِإ
نِم ِرَغ
نَأ َعَضَي
َُهجَو ىَلَع
ٍءيَش
ٔٛ
َح د َ ث
َا ََْ
َي ُنب
ُم َسو
ى َح
د َ ث َا
َش َب َبا ُة
ُنب ُس َو
ٍرا َح
د َ ث َا
ُع َم ُر ْب
ُن رلا
َم ِحا
َ بلا ْل
ِخ ي
َع ْن
َك ِث ٍْر
ِنب ِز َي
دا َع
ْن َع ْم
ٍرو ْب
ِن ُع
ْث َم َنا
ْب ِن
َ ي ْع َلى
ْب ِن
ُم ر َة
َع ْن
َأ ِب ْي ِ
َع ْن
َج ِِِّد
ِه :
َأ ن ُهم
َك ُنا
او َم
َع لا
ِب َص
لى ُل
َع َل ْي ِ
َو َس ل
َم ِي
َم ِس
ٍْر َف ْ نا
َ ت ُه او
ِإ َل
َم ِض
ْي ٍق َو
َح َض
َر ِت
صلا ُةا
َف َم
َط ُراو
سلا َم
َءا ِم
ْن َ ف ْو
ِق ِه م
َو َ بلا
َلة ِم
ْن َأ
ْس َف ٍل
ِم ْ ُه
ْم َف َأ
ذ َن
َر ُس ْو ُل
ِل َص
لى ُل
َع َل ْي ِ
َو َس ل
َم ُ َو
ُ َو َ
َع َل ى
َر ِحا
َل ِت ِ
َو َأ َق َما
ُ َأ ْو
َأ َق
َما َ
َ ف َ ت َق د
َم َع َل
ى َر
ِحا َل ِت
ِ َف
َص ل
ى ِِِ
ْم ُ ي ْو
ِم ُئ
ِإ َْم ًءا
َْي َع ُل
سلا ُج
َدو َأ
ْخ َف َض
ِم َن
رلا ُك ْو
ِع
ٜٔ
Apabila kesempatan bersuci dengan cara berwudhu tidak dapat memungkinkan untuk mengerjakannya, karena di atas kendaraan yang
sedang berjalan atau tidak ada air untuk berwudhu, maka dapat diganti dengan tayamum.
20
Bila juga tidak memungkinkan berwudhu di atas kendaraan maka dapat dilakukan dengan cara bertayamum. Cara tayamum yakni dengan
menepuk-nepuk tangan kepada dinding, kaca, atau kursi kendaraan. Lalu usapkan kewajah kemudian yang satu mengusap sampai pergelangan.
C. Pendapat Ulama Tentang Salat di Kendaraan
Dengan semakin banyaknya masyarakat, semakin banyak juga permasalahan yang mereka alami dalam upaya untuk memenuhi kewajiban
salat . Salah satu dari sekian banyak permasalahan tentang salat tersebut adalah salat di atas kendaraan. Oleh sebab itu penulis ingin mengutip
pendapat para ulama terhadap salat yang dilakukan di atas kendaraan.
18
Mâlik bin `Anas Abû Abdullah al-Asbahî, Mu a` al-Imâm Mâlik, juz 1 Mesir: Dâr
Ihyâ, 1951, h. 151.
19
Muhammad ‘Îs ‘Îs -Tirmidzî, Sunan al- Tirmidzî, juz 2 Beirut: Dâr Ihyâ,
t.t., h. 266.
20
Zakiah Drajat, t Menjadikan Hidup Bermakna, Jakarta: Ruhama, 1996, h. 84.
1. Seorang yang melakukan salat di atas kendaraan, karena sulitnya kondisi
untuk dapat melakukan secara sempurna, maka kondisi tersebutlah yang menyebabkan terjadinya izin untuk melakukan beberapa kekurangan,
dan syariat telah mengetahui hal tersebut, dengan kata lain syariat merestui terjadinya kekurangan itu, oleh sebab itu syariat tidak
memerintahkan pelakunya untuk mengulangi salat nya kembali, baik dengan cara mengqadha atau lainnya
21
2. Menurut imam al-Nawawi, salat yang dilakukan di atas kendaraan
diperbolehkan dengan syarat ketika dalam perjalanannya tidak bertujuan untuk maksiat. Seperti perjalanan yang bertujuan untuk mencuri,
membunuh seseorang, berzina, dan maksiat-maksiat lainnya maka ibadah salat yang dilakukannya itu tidak sah. Imam Nawawi
mengatakan bahwa salat yang boleh dilakukan di atas kendaraan adalah salat sunah serta diberikannya kemudahan jika tidak ditemukannya air
untuk bersuci maka dibolehkan utuk bertayamum. 3.
I Sy f ’ e pe p t, salat di atas kendaraan hukumnya tidak boleh akan tetapi pada kondisi kendaraan yang kita tumpangi berhenti
sehingga kita memungkinkan untuk ruku, dan sujud maka salat nya sah untuk dilaksanakan. Adapun salat sunah yang dilakukan di atas
kendaraan maka diperbolehkan salat sekira ia menghadap kendaraannya melaju, karena seorang tersebut tidak mampu untuk menghadap kiblat.
Begitu pula ketika seorang musafir yang dalam perjalanannya ia tidak dapat melakukan ruku dan juga sujud secara sempurna maka
21
Syarif Hidayatullah Husain, Salat Dalam Madzhab Ahlul Bait Jakarta: Lentera, 2007, hal. 267.
diperbolehkan untuk melakukannya dengan isyarat seperti melakukan sujud lebih rendah dari pada ruku. Pada hakikatnya tidak diperbolehkan
salat selain menghadap kiblat baik muqim atau musafir kecuali pada posisi khauf.
22
Bila melakukan sebagian salat dalam kondisi sangat takut dengan melewatkan sebagian kewajibannya, seperti menghadap kiblat,
lalu merasa aman di tengah salat , maka ia menyempurnakanya dengan melengkapi kewajiban-kewajibannya. Bila sedang mengendarai
kendaraan dengan tidak menghadap kiblat, maka ia turun lalu menghadap ke arah kiblat dan melanjutkan salat nya, karena salat yang
telah dilakukan sebelum merasa aman tetap sah, sehingga boleh melanjutkannya dengan cara salat orang yang merasa aman.
Sebagaimana halnya bila tidak ada kewajiban salat yang dilewatkan. Bila tidak menghadap kiblat ketika turun dari tunggangan atau
meninggalkan sebagian kewajiban setelah merasa aman, maka salat nya rusak. Bila memulai salat dengan rasa aman dan menyempurnakan
syarat dan wajibnya, lalu muncul rasa sangat takut, maka ia menyempurnakannya dengan cara yang di perlukan. Misalnya ia sedang
salat sambil berdiri di atas tanah dan menghadap kiblat, lalu ia merasa perlu menunggangi kendaraan dan membelakangi kiblat, maka ia
menyempurnakan salat nya dengan cara yang diperlukannya itu.
23
Sedangkan imam Maliki berpendapat bahwa salat di atas kendaraan dapat dilakukan dalam kondisi takut akan bahaya apabila seseorang
22
Muhammad bin `Idrîs al-S y f ’ , al-Umm, Beirut: Dâr al- ’ f , 1393, h. 97.
23
Ibn Qudamah, Al-Mugni, penerjemah Amir Hamzah, Jakarta: Pustaka Azam, 2007, h. 197 dan 198.
turun dari kendaraan, takut dari ancaman hewan buas, takut akan bahaya musuh.
4. Barang siapa yang berada di atas kapal sementara ia mampu untuk
menepi sehingga dapat memungkinkan melakukan salat dengan cara berdiri ruku dan juga sujud maka salat di atas kapal diperbolehkan
karena telah terpenuhinya syarat-syarat tersebut. Dan apabila syaratnya tidak terpenuhi seperti diharuskannya berdiri ketika salat karena berdiri
dalam salat merupakan salah satu dari rukun salat maka hal demikian tidak lah sah melakukannya.
24
5. Berkaitan dengan salat di kendaraan, Penafsiran imam Qurtubi terhadap
ayat 239 dari surat al-Baqarah
25
menjelaskan bahwa salat yang berada dalam posisi takut akan adanya ancaman bahaya terhadap nyawanya
maka terdapat keringanan bagi seseorang yang hendak melakukan ibadah salat pada saat posisi takut tersebut. Diantara keringanan yang
diperoleh ialah orang yang dalam perjalanan, serta orang yang berada di atas kendaraan yang keselamatannya terancam. Sehingga dalam praktek
salat nya ia diperbolehkan dengan melakukan isyarat seperti ketika tidak mampu melakukan ruku ataupun sujud maka dapat dilakukan dengan
cara menggerakan kepalanya serta diperbolehkan menghadapkan kepalanya kemana saja dia menghadap apabila memang tidak
memungkinkan untuk menghadap kiblat.
26
24
Al-Hanâfi, Al-Ikhtâ r ’ îl Mukhtâr, juz 1 Beirut: Dâr al-Kitab Alamiyah, 2005, h.
83.
25
َنوُمَلْعَ ت اوُنوُكَت َْل ام ْمُكَم لَع امَك َ َا اوُرُكْذاَف ْمُتِْمَأ اذِإَف ًانابْكُر ْوَأ ًلاجِرَف ْمُتْفِخ ْنِإَف
26
-Q ubî, al-Jâmi’ A k i al r’ , juz 3 Kairo: Dâr al-Kitab, 1964, h. 223.