Persoalan Koordinasi dalam Kelembagaan Masyarakat ASEAN Indonesia

13 RPJMN 2015-2019 sebagai dokumen resmi perencanaan pembangunan nasional telah menyebutkan tentang ASEAN. RPJMN 2015-2019 dalam bab Politik Luar Negeri menyebutkan bahwa salah satu arah kebijakan bidang politik luar negeri adalah “meningkatkan kesiapan publik domestik dan meningkatnya peran kontribusi dan kepemimpinan Indonesia di ASEAN”. 42 Cara untuk mencapainya antara lain dengan “intervensi kebijakan pemerintah terkait Masyarakat ASEAN; penguatan kapasitas domestik dalam pembentukan Masyarakat ASEAN; penguatan kelembagaan untuk mendukung pemantapan pelaksanaan Masyarakat ASEAN; penguatan kemitraan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya ”. 43 Sementara itu, dalam bab Kerja Sama Ekonomi Internasional disebutkan bahwa arah kebijakan ekonomi ekonomi internasional adalah “mengutamakan kepentingan nasional dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, khususnya melalui peningkatan ekspor, pariwisata, dan investasi, bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat ”. 44 Salah satu strategi untuk mencapainya adalah dengan meningkatkan daya saing nasional untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Meskipun kelembagaan ASEAN telah disebutkan dalam RPJMN 2015-2019 sebagai dokumen perencanaan nasional, hal tersebut belum secara optimal mendukung persiapan pembentukan Masyarakat ASEAN, karena beberapa alasan. Pertama, belum ada grand strategy nasional mengenai Masyarakat ASEAN yang berperspektif helicopter view dengan mencakup ketiga pilar. Indonesia seharusnya memiliki grand strategy yang melihat keseluruhan pilar dan mengkonsolidasikan ketiganya, yang idealnya dirumuskan oleh Setnas ASEAN-Indonesia sebagai lembaga yang menaungi seluruh pilar. Saat ini setiap pilar bekerja sendiri- sendiri, tidak ada suatu strategi yang menjadi pegangan bersama, terlebih untuk isu cross-cutting yang melibatkan ketiga pilar, misalnya mengenai isu perdagangan manusia. Kedua, Indonesia belum memiliki guideline yang jelas mengenai kelembagaan dan pelaksanaan komitmen tiap pilar. MEA merupakan pilar yang lebih terdepan dalam hal ini, yaitu dengan adanya Inpres No. 11 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Komitmen Cetak Biru MEA Tahun 2011 yang memuat matriks berisi program, tindakan, keluaran, target penyelesaian, sasaran, dan penanggung jawab dari masing-masing komitmen yang berada dalam Cetak Biru. 45 Meskipun demikian, matriks tersebut belum menjamin semuanya berjalan optimal karena kurangnya pengawasan dalam menjaga kelangsungan komitmen. Perkembangan kelembagaan dan strategi MEA yang lebih kompleks dibandingkan dengan pilar yang lain dinilai sebagai hal yang wajar. Hal ini tidak hanya ditemui di Indonesia, di Thailand pun MEA merupakan pilar yang paling mendapatkan perhatian dibandingkan pilar lainnya karena dampaknya dianggap lebih terlihat dan dirasakan langsung tangible results. 46

1.2.2. Persoalan Koordinasi dalam Kelembagaan Masyarakat ASEAN Indonesia

Ketiadaan grand strategy yang jelas mengenai kelembagaan Masyarakat ASEAN, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, membuat proses koordinasi antar KementerianLembaga dan pemangku kepentingan lainnya menjadi tidak efektif. Reviu ini mengidentifikasi bahwa masalah koordinasi Masyarakat ASEAN meliputi ketidakjelasan garis koordinasi, adanya ego sektoralisme, adanya rasa tidak percaya, dan minimnya pertemuan nasional yang mempertemukan semua pihak. Pertama, belum terbangun pengertian di semua pihak mengenai garis koordinasi yang ada, mengenai siapa yang memegang kepemimpinan dan apa tugas masing-masing dalam kelembagaan Masyarakat ASEAN. Hal ini menimbulkan gap ekspektasi antara lembaga satu dengan lembaga lainnya. Sebagai contoh, Setnas ASEAN-Indonesia memandang bahwa Sekretariat Nasional lebih berfungsi untuk memberikan konsultasi nasional terkait Masyarakat ASEAN, oleh karena itu yang seharusnya lebih proaktif menjadi koordinator adalah para Kemenko. 47 Sementara itu, di lain pihak, berdasarkan wawancara mendalam dengan beberapa narasumber yang berasal dari Kementerian Koordinator, banyak narasumber yang menilai Setnas ASEAN-Indonesia adalah pihak yang seharusnya lebih proaktif dalam koordinasi nasional. Kedua, terdapat egosektoralisme di antara KL, terutama di lembaga yang sangat teknis. Egosektoralisme muncul ketika KL terlalu berfokus pada sektor yang mereka kerjakan saja, tanpa ada 42 Kementerian Perencanaan Pembangunan NasioanalBadan Perencanaan Pembangunan Nasional 2014, Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMN 2015- 2019, p. 5-43. 43 Ibid 44 Ibid, hal. 3-122 45 Presiden Republik Indonesia, Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Komitmen Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN Tahun 2011. 46 Berdasarkan wawancara mendalam dengan Yang Mulia Ibu Busadee Santipaks, Duta Besar Kerajaan Thailand untuk ASEAN, pada tanggal 30 Oktober 2015. 47 Berdasarkan wawancara mendalam dengan Bapak. Ngurah Swajaya, Ketua Pelaksana Harian Sekretariat Nasional ASEAN, pada tanggal 14 September 2015. 14 keinginan untuk memahami apa yang dikerjakan oleh sektor lainnya. Salah satu Kementerian Koordinator menyatakan bahwa mereka selalu mengundang Kementerian Koordinator lain dalam diseminasi tentang ASEAN, namun tidak ada yang datang. Sementara itu, bila mereka diundang oleh KL lain, mereka selalu datang. 48 Tantangan global dalam isu politik-keamanan, ekonomi, dan sosial-budaya semakin kompleks dengan munculnya isu-isu yang bersifat cross-cutting. Namun yang terjadi saat ini adalah antarpilar tidak bekerja sama. Ketiga, reviu ini mencatat adanya keraguan Kemlu terhadap biro yang menangani kerja sama internasional di KL lain. Menjelang bergulirnya MEA, banyak KL yang membuat biro kerja sama luar negeri. Hal ini di satu sisi diakui Kemlu dapat memudahkan proses kerja sama luar negeri. Namun, Kemlu sering tidak diinformasikan mengenai apa saja yang telah dilakukan oleh biro kerja sama luar negeri tersebut. Mereka sering kali baru melapor ke Kemlu bila terdapat masalah. Sementara itu, Komisi I DPR RI masih menganggap seluruh kerja sama luar negeri adalah tanggung jawab Kemlu. Kemlu adalah yang dimintai keterangan bila terdapat masalah, padahal masalah tersebut dilakukan oleh KL lain. Inilah yang memicu keraguan tersebut. 49 Keempat, minimnya pertemuan nasional secara berkala untuk koordinasi Masyarakat ASEAN. Minimnya pertemuan dapat menghambat terbentuknya jalur komunikasi, sehingga engagement antar pemangku kepentingan menjadi kurang. Forum pertemuan nasional ini seharusnya bisa menjadi mekanisme check and balances perkembangan tiap KL dalam melaksanakan komitmen Masyarakat ASEAN. Bahkan, FGD reviu ini mendapatkan apresiasi sebagai forum yang pertama kalinya mempertemukan para pemangku kepentingan, yaitu KL, pengusaha, dan akademisi untuk duduk bersama. Apresiasi tersebut mengindikasikan bahwa belum ada forum yang dapat mempertemukan mereka sebelumnya. 50

1.2.3. Permasalahan Setnas ASEAN-Indonesia