D. Ringkasan Hasil Analisis
Analisis hasil wawancara dengan narasumber menunjukkan bahwa: 1.
Waktu terbentuknya lingko lodok. a.
Asal usul leluhur orang Manggarai Penghuni pertama daerah Manggarai tidak dapat diketahui
secara pasti Hemo, 1987. Dikalangan masyarakat Manggarai sendiri berkembang cerita tentang nenek moyang mereka secara
lisan dan turun temurun dengan berbagai versi yang berbeda setiap klan
wa’u. Menurut Hemo 1987, penelitian tentang masa prasejarah dan masa setelahnya di Manggarai yang dilakukan oleh
para ahli dan tim arkeolog nasional Indonesia, menemukan bahwa adanya kerangka-kerangka binatang, kerangka manusia, tulang ikan
dan burung, kulit kerang, alat-alat dari batu, perunggu, perhiasan, tembikar, keramik dan alat-alat rumah tangga yang ditemukan di
gua-gua liang. Ahli-ahli tersebut antara lain: R. Van Heekern
Penelitian dilakukan di beberapa tempat di Ngada dan Manggarai. Hasil penelitiannya berupa kerangka manusia,
tulang belulang binatang, alat-alat dari batu, perhiasan dan sebagainya.
Th. Verhoeven Th. Verhoeven telah menemukan kerangka manusia di Liang
Momer Labuan Bajo, Liang Panas Longgo, Liang Bajo,
Liang Boto, Liang Bua dan Liang Rundung. Penemuan- penemuan lain berupa alat-alat dari batu, perhiasan,
kerangka binatang dan alat-alat perunggu. Mgr. Wilhelmus Van Bekhum menulis tentang benda-benda
perunggu dan bangunan megalithik di daerah Manggarai. Dr. Sartono Kartodirdjo dalam penelitiannya menemukan
kerangka manusia yang diperkirakan hidup 3500 tahun yang lalu.
Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan di Manggarai menunjukkan bahwa ada kehidupan di Manggarai sejak zaman
prasejarah. Selain itu, beberapa ahli menyebutkan bahwa penghuni pertama Manggarai yang merupakan pendatang dan berasal dari
barat karena adanya penyebaran penduduk Indonesia pada masa lampau yang menyebar dari barat hingga ke pasifik Hemo, 1987.
Verheijen 1991 dalam penelitiannya menemukan beberapa subklan yang moyangnya berasal dari Bugis, Goa, Makassar,
Serang, Bima, Boneng, Kabo, dengan beberapa pertimbangan seperti unsur bahasa yang mempunyai kesamaan antara suku
Manggarai dengan Goa, Makassar, dan Bugis; bentuk rumah panggung dan menenun. Hal-hal ini belum cukup menegaskan asal-
usul leluhur orang Manggarai, baik dari tahun mereka tinggal, cara hidup, kesenian, budaya dan sebagainya, karena tidak adanya jejak
atau sumber tertulis seperti prasasti yang ditinggalkan para leluhur.
b. Waktu pembuatan lingko lodok
Usaha melindungi diri dari cuaca ekstrim dan serangan binatang buas menyebabkan manusia mencari tempat perlindungan
seperti di gua-gua dan sering berpindah-pindah dari satu gua ke gua yang lainnya, namun gua yang dipilih adalah gua-gua yang dekat
dengan mata air dan letaknya tidak jauh dari tempat berburu dan hasil hutan yang bisa dikumpulkan sebagai sumber makanan.
Kehidupan di gua akan berubah ke pola kehidupan berbentuk pemukiman menetap setelah ditemukan cara-cara membudidayakan
tanaman. Munculnya pemukiman sederhana berkembang menjadi kampung beo. Tempat yang dipilih sebagai beo adalah bukit-bukit
atau dataran tinggi dengan pertimbangan strategi keamanan terhadap musuh. Pemukiman-pemukiman tersebut kemudian
menjadi wilayah teritorial desa yang mempunyai tanah garapan yang disebut lingko Hemo, 1987.
Perkembangan pemerintahan pada masa kira-kira tahun 1500 sampai masuknya Belanda merupakan kelanjutan pemerintahan dari
masa sebelumnya Hemo, 1988. Jauh sebelum kedatangan orang Bima abad ke 16 dan Goa abad ke 18 sebagai penjajah lokal dan
Belanda sebagai bangsa Eropa, Manggarai telah memiliki sistem pemerintahan sendiri yang otonom dan teratur. Setiap beo memiliki
sistem pemerintahan yang sama dengan struktur yang jelas, yaitu tu’a golo, tu’a teno dan tu’a panga Deki, 2011. Dari sistem
pemerintahan tradisional seperti ini orang Manggarai mulai menjalankan pola pemerintahan yang didasarkan pada lima prinsip
yang berhubungan satu dengan lainnya, yaitu mbaru bate ka’eng
tempat tinggal; uma bate duat kebunlingko tempat pencari nafkah; natas bate labar halaman kampung; wae bate teku mata
air; dan compang altar persembahan. Adanya pemerintahan tradisional di Manggarai dan adanya
lima prinsip pola pemerintahan menandakan bahwa sejak adanya pemerintahan tradisional di Manggarai sebelum tahun 1500,
masyarakat Manggarai sudah mulai menerapkan pembagian tanah ulayat dengan sistem lodok lingko lodok. Namun tidak diketahui
secara pasti waktu yang tepat masyarakat Manggarai mulai menjalankan pemerintahan tradisional dan mulai menerapkan
pembagian lingko dengan sistem lodok karena tidak adanya sumber tertulis atau peninggalan leluhur.
2. Sejarah terbentuknya lingko lodok yaitu:
Lingko merupakan salah satu syarat terbentuknya sebuah kampung. Syarat lainnya adalah
mbaru bate ka’eng tempat tinggal, wae bate teku mata air, natas bate labar halaman untuk acara-acara adat,
compang tempat persembahan, dan boa kuburan. Lingko lodok ini dibuat karena nenek moyang orang Manggarai
ingin membagi tanah ulayat secara adil dan bisa dimiliki oleh semua orang Manggarai, sehingga berdasarkan adat istiadat dan
kepercayaan yang sudah mereka anut sejak dulu, maka nenek moyang membuat lingko lodok seperti bentuk rumah gendang yang
memiliki pusat atau titik sentral, sehingga lingko lodok berbentuk seperti lingko yang ada sekarang, atas dasar hasil kesepakatan dalam
forum lonto leok duduk melingkar dalam rumah adat untuk bermusyawarah tentang suatu hal di mbaru gendang. Setelah lingko
selesai dibuat, barulah nenek moyang menyadari bahwa lingko lodok yang dibuat menyerupai sarang laba-laba.
3. Ada beberapa tahap dalam pembagian lingko lodok, yaitu:
a. Tahap persiapan
Para tetua adat berkumpul dan bermusyawarah di rumah gendang untuk menetukan lokasi lingko yang akan dibuat, menetapkan
jumlah anggota masyarakat yang akan mendapat bagian dalam lingko, dan menyiapkan bahan-bahan untuk kebutuhan ritus-ritus
pembukaan lingko. Adapun orang yang bisa mendapat bagian dalam lingko lodok adalah
tetua adat, warga asli kampung, pendatang yang menetap di kampung tersebut, warga lain yang secara khusus meminta agar
mendapat bagian yang disebut “tipa manuk lele tuak” dan keturunan anak perempuan atau anak koa.
b. Tahap pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan ini diawali dengan upacara di rumah gendang dan compang sebagai bentuk penghormatan dan
meminta restu kepada naga golo serta para leluhur agar pembagian yang akan dilaksanakan di lingko berjalan dengan
lancar. Kemudian berlanjut pada penentuan titik tengah atau lodok di
lahan yang sudah di tentukan gambar 4.1. Penentuan lodok ini tidak memiliki aturan atau pedoman yang harus diikuti. Lodok
ditentukan berdasarkan perkiraan tetua adat pada lahan tersebut. Setelah penentuan lodok, diadakan upacara yang bertujuan untuk
mengundang leluhur dan roh penjaga tanah agar tidak ada hambatan dalam prosesnya dari mulai pembukaan lingko sampai
saat panen dan seterusnya. Bahan yang digunakan saat upacara adalah telur ayam kampung dan daun ngelong. Telur dan daun
ngelong ini dipercaya sebagai sumber kesuburan bagi orang Manggarai.
Kemudian pada gambar 4.2 menunjukan bahwa pada lodok tersebut dibuat sebuah lubang yang digunakan untuk
.
Lodok
Gambar 4.1 Sketsa lodok
menancapkan kayu teno. Pada lubang tersebut diletakan telur dan daun ngelong, dan dilakukan upacara leang sose. Pada
upacara ini seekor babi menjadi persembahan, disembelih dan darahnya diteteskan pada lubang yang telah dibuat sebelumnya.
Setelah itu barulah upacara tente teno dilaksanakan dimana, kayu teno yang sudah dikeluarkan kulitnya dan ujung atas kayu
teno dibentuk menyerupai gasing ditancapkan kelubang tersebut. Kayu teno yang ditancapkan pada lubang tersebut harus
memecahkan telur yang diletakkan pada lubang tersebut.
Setelah itu, dibuat dua garis lurus sampe di cicing menggunakan tali kayu teno yang melalui dan berpotongan di kayu teno. Garis
lurus ini ditandai menggunakan tali kayu teno, sehingga lahan
tersebut terbagi dalam 4 bagian dan dinamakan langang waga.
Langang waga ini menjadi langang utama yang mempermudah tu’a teno dalam pembagian moso kepada masyarakat gambar
4.3.
.
Kayu teno Lubang
pada tanah
Gambar 4.2 Sketsa penancapan kayu teno
Kemudian seutas tali dililitkan pada kayu kecil yang ditancapkan di langang waga sehingga tali tersebut berbentuk lingkaran di
luar kayu teno. Tali tersebut dinamakan lengker gambar 4.4 dan biasanya menggunakan tali kayu teno. Besar lengker sangat
tergantung pada jumlah masyarakat yang akan mendapat bagian dalam lingko lodok. Semakin banyak masyarakat yang terdaftar,
maka semakin besar pula lengker yang dibuat, begitupun sebaliknya
Pada gambar 4.5, setelah lengker dibuat, pembagian dilanjutkan dengan membagi lahan kepada masyarakat dengan cara, jari
tangan diletakkan di lengker dan kayu ditancapkan dibagian kiri dan kanan jari tersebut, ukuran jari tersebut yang telah ditandai
.
Langang waga
Gambar 4.3 Sketsa langang waga
.
Lengker
Gambar 4.4 Sketsa Lengker
oleh kayu di samping kanan dan kiri jari diperuntukkan satu keluarga. Cara yang sama juga dilakukan untuk keluarga-
keluarga lainnya. Kayu yang ditancapkan di kiri dan kanan jari tadi berukuran satu pagat dan jika sudah selesai membagi
permoso, kayu-kayu itu akan membentuk lingkaran dan
dinamakan lance dan jarak antara satu lance ke lance lainnya lainnya dinamakan sor moso yang dijadikan patokan ukuran
moso.
Pada kegiatan sor moso tersebut, masyarakat ikut terlibat langsung dengan duduk melingkar mengikuti moso masing-
masing yang telah dibagi oleh tu’a teno gambar 4.7
.
Lance
Gambar 4.5 Sketsa lance
Proses selanjutnya adalah pembuatan langang. Proses ini dimulai dengan sor moso atau pembuatan lance, kemudian dari
kedua lance ditancapkan kayu yang lebih tinggi di belakangnya.
Penancapan dua kayu masing-masing di belakang lance ditancapkan sedemikian hingga kayu teno pada lodok tidak
terlihat dari kayu terakhir yang ditancapkan, begitu seterusnya
.
Gambar 4.7 Sketsa pembuatan langang menggunakan kayu Gambar 4.6 Proses pembagian moso kepada masyarakat Dagur, 2004
sampai pada kayu terakhir pada cicing. Kayu terakhir merupakan kayu terpanjang dari kayu lain di depannya dan jarak antara dua
kayu terakhir merupakan yang paling besar dari jarak kayu lainnya, gambar 4.7. Kayu-kayu tersebut dinamakan lander
yang pada akhirnya akan membentuk langang pada lingko lodok.
Selain menggunakan kayu sebagai penanda pada langang lander, tali juga bisa digunakan untuk membuat lander dengan
cara yang sama seperti membuat langang menggunakan kayu, hanya saja kayu yang digunakan hanya sampai pada lance.
Setelah itu, tali diikatkan dari kayu teno pada lodok dan lance kemudian tali direntangkan sampai pada kayu terakhir pada
cicing gambar 4.8. Tali yang digunakan dalam pembuatan lander biasanya menggunakan tali dari kayu teno.
.
Gambar 4.8 Sketsa pembuatan langang menggunakan tali Lander dari tali
Proses pembuatan lander akan diteruskan pada semua lance sehingga akan membentuk langang-langang pada lingko lodok
gambar 4.9. Konsep lurus pada langang adalah ketika kayu teno pada lodok tidak terlihat lagi jika dilihat dari kayu terakhir
yang ditancapkan. Setelah langang selesai dibuat, masyarakat bisa mendapatkan ukuran moso yang diterimanya.
.
Moso Cicing
Gambar 4.10 Lingko sembong
.
Gambar 4.9 Sketsa langang
c. Tahap akhir
Acara pembagian lingko lodok ini berakhir sampai pada penancapan kayu di bagian cicing lingko lodok. Pada gambar 4.10 cicing yang
merupakan batas terluar lingko lodok ditandai dengan pembuatan pagar pada ujung langang. Satu lingko lodok yang utuh dinamakan
lingko sembong gambar 4.10. Proses berikutnya seperti membersihkan moso dan penanaman tanaman dilakukan kemudian
dan dilakukan oleh masing-masing keluarga yang sudah mendapat bagian dalam lingko lodok.
4.
Lingko salang cue merupakan lingko yang dibuat karena adanya
masyarakat yang sudah terdaftar namun tidak mendapat bagian pada lingko sembong. Selain itu, lingko salang cue juga merupakan lingko
yang dibuat karena adanya lahan sisa dari dua atau tiga lingko sembong yang saling berdekatan. Sistem pembagian lingko ini sama dengan
sistem pembagian lingko sembong hanya saja pada lingko salang cue dalam pembagiannya tidak menggunakan langang waga.
Galong
Banta
Gambar 4.11 sketsa lingko sembong dan lingko salang cue
.
.
Sungai Lingko salang cue
5. Jumlah penerima moso dalam pembagain lingko lodok.
Sistem lingko lodok awalnya merupakan sistem berladang yang berpindah-pindah. Ketika kesuburan tanah suatu lingko mulai
berkurang, masyarakat akan berpindah ke lahan lain dan membuka lingko di lahan yang baru, dan hak terhadap lingko lodok lama
dikembalikan kepada tu’a teno sebagai orang yang bertanggung jawab
terhadap lingko-lingko dalam suatu beo. Pada saat penduduk dalam suatu beo belum berkembang, satu lingko
lodok bisa mencakup semua warga beo, karena semakin besar lengker maka jumlah penerima moso semakin banyak, begitupun sebaliknya.
Sedangkan pada masa penduduk semakin bertambah dan kebutuhan akan lahan garapan semakin banyak, maka lingko-lingko yang telah
digunakan sebelumnya dibagi lagi kepada masyarakat dan menjadi hak pribadi hak milik dengan mendaftarkan diri kepada tetua-tetua adat
dan jumlah masyarakat penerima moso dalam satu lingko mengikuti jumlah moso pada bekas lingko sebelumnya dan untuk menandakan
pusat lingko lodok pada lahan tersebut, tidak lagi menggunakan kayu teno. Jika tidak terlihat lagi bekas-bekas moso pada lingko tersebut maka
pembagian lingko akan dilakukan mengikuti tahapan-tahapan pembagian lingko dan mengikuti semua upacara-upacaranya. Namun,
banyaknya penerima moso dalam suatu lingko selalu berdasarkan kesepakatan bersama masyarakat, sehingga lingko-lingko yang ada
sekarang merupakan bekas lingko yang sudah digunakan nenek moyang pada masa lampau.
6. Kepemilikan moso
Seperti yang sudah dijelaskan pada poin 5, sistem berladang orang Manggarai pada zaman dahulu merupakan sistem berladang berpindah-
pindah sesuai dengan tingkat kesuburan tanah. Ketika masih menganut sistem ladang berpindah-pindah, moso pada lingko lodok tidak bisa
menjadi warisan suatu keluarga. Namun, sejak sistem ladang berpindah- pindah berubah menjadi sistem ladang menetap, saat itu moso
merupakan warisan turun temurun, tetapi waktu tepatnya belum bisa diketahui secara pasti karena kurangnya informasi dan sumber tertulis.
7. Masa pemerintahan raja-raja di Manggarai Deki, 2011
Table 4.5 Masa pemerintahan raja-raja di Manggarai No Nama raja masa pemerintahan Keterangan
1 Bagoeng
1924-1930 Disahkan menjadi raja melalui dokumen
Gouvernements-Besluit No. 19, 2 Mei 1924 2
Alexander Baroek 1931-1949 Disahkan menjadi raja Manggarai terakui
Belanda pada tanggal 13 November 1930 berdasarkan Gouvernements-Besluit No. 56,
3 Februrari 1931 Membuka lahan persawahan di berbagai
tempat dengan sawah percontohan. 3
Constantinus Ngamboet 1949-1960
Sejak C. Ngamboet, gelar raja ditiadakan dan diganti dengan kepala Swapraja.
Ngamboet belajar di Schakel School- Ndao dan OSVIA di Makassar.
8. Dalam kepercayaan orang Manggarai yang masih menganut
kepercayaan dinamisme dan animisme, penancapan kayu teno ke tanah dianggap sebagai penyatuan antara laki-laki dunia adikodrati dan
perempuan tanah atau bumi yang menghasilkan sebuah kehidupan baru. Dunia adikodrati yang dimaksudkan adalah dunia supranatural
yang dianggap sebagai Dia yang mencipta dan yang menjadikan para leluhur orang Manggarai. Selain itu orang Manggarai percaya bahwa
ada suatu kekuatan yang tak terjangkau oleh kemampuan otak manusia yang menciptakan leluhur dan turunannya serta seluruh alam semesta.
9. Pemilihan kayu teno sebagai alat untuk menunjukkan titik sentral lingko
bukan tanpa alasan. Kayu teno dipilih dengan beberapa alasan, yaitu: a.
Kayu teno bersifat lunak dan halus yang menggambarkan atau mengajarkan kepada manusia agar hati manusia lembut seperti kayu
teno dan mengandung makna kesuburan bagi orang Manggarai. b.
Kayu teno merupakan kayu yang multi fungsi, yaitu: menurut kepercayaan orang Manggarai, bahwa kayu teno merupakan kayu
yang bisa mengusir roh-roh jahat yang ada di dalam rumah, misalnya pada atap rumah digunakan kayu teno, selain itu digunakan sebagai
pelindung. Kulit kayu teno juga bisa digunakan dan dibuat menjadi Melanjutkan pembukaan areal persawahan
yang telah dibuka oleh pendahulunya, menambah pembukaan jalan baru, dan
dikenal sangat dekat dengan rakyat.
baju bagi orang Manggarai jaman dahulu, tali kayu teno digunakan untuk membuat lengker dan langang dalam pembuatan lingko.
c. Sebelum menancapkan kayu teno pada pembuatan lingko, biasanya
terlebih dahulu menggali sebuah lubang ditanah sebagai tempat untuk menancapkan kayu teno tersebut. Kayu teno diibaratkan laki-
laki dan lubang pada tanah diibaratkan sebagai perempuan “tanan
wa, awangn eta ” yang berarti: penyatuan yang dilandasi keyakinan
trasidional antara perempuan tanah atau bumi dengan laki-laki dunia adikodrati yang bisa menciptakan atau melahirkan
kehidupan baru. 10.
Langang waga merupakan langang utama dalam lingko lodok. Maksud dibentuknya langang waga yaitu untuk mempermudah dalam
pembagian lingko lodok dan mempertegas adanya lodok. Selain itu, walaupun panjang langang waga tidak sama, langang waga mempunyai
keistimewaan yaitu langang waga saling berpotongan melalui lodok tidak seperti langang yang lain.
11. Panjang langang pada lingko lodok tidak selalu sama panjang karena
panjang langang ditentukan oleh keluarga penerima moso itu sendiri dan atas persetujuan dari
tu’a golo dan tu’a teno dengan beberapa pertimbangan seperti jumlah anggota keluarga dan kemampuan
penerima moso. Selain itu, panjang langang juga tidak sama panjang karena bertabrakan dengan lingko lainnya dan berbatasan dengan
sungai. Walaupun panjang langang tidak sama panjang setiap keluarga,
masyarakat yang menerima moso tetap merasa adil dalam pembagian lingko lodok. Rata-rata panjang langang lingko lodok adalah 75-100
meter setelah diukur pada jaman sekarang. 12.
Titik sentral dalam pengertian orang Manggarai merupakan titik tengah suatu areal yang akan dijadikan lingko lodok. Titik sental pada lingko
lodok tidak sama dengan titik pusat pada lingkaran dalam arti sesungguhnya. Karena pada lingkaran, titik pusat lingkaran merupakan
sebuah titik yang memiliki jarak yang sama dengan semua titik pada keliling lingkaran sedangkan titik sentral pada lingko lodok tidak
memiliki jarak yang sama terhadap batas terluar lingko lodok cicing. Namun, karena orang Manggarai menanggap lingko lodok sebagai
lingkaran mengikuti bentuk rumah adat maka titik sentral pada lingko lodok juga merupakan titik pusat lingko lodok.
13. Besar moso yang diterima masyarakat
Besar moso yang diterima masing-masing keluarga dalam pembagian lingko lodok diukur menggunakan jari tangan yang
ditempelkan di tanah tempat pembagian dilaksanakan. Masing-masing keluarga mendapat bagian berdasarkan kedudukannya dalam
masyarakat. Ukuran jari paling besar empat sampai lima jari tangan menjadi
ukuran untuk tu’a golo, tu’a teno atau orang-orang yang dihormati di
masyarakat. Kemudian, ukuran sedang dua sampai tiga jari diperuntukkan penduduk asli di kampung tersebut. Ukuran paling kecil
satu sampai dua jari, merupakan ukuran bagi pendatang ata long, orang-orang dari luar kampung yang ingin mendapat bagian di lingko
lodok tipa manuk lele tuak, atau menantu laki-laki yang tinggal di itu kampung tersebut.
Ukuran-ukuran moso jari tangan tersebut hanyalah patokan umum dalam pembagian moso lahan garapan, karena yang diperhatikan
adalah permintaan dan kemampuan dari penerima moso. Dalam artian, para tetua bisa saja meminta dan mendapatkan moso yang lebih kecil
dari patokan umum empat sampai lima jari yang harus diterimanya misalnya tiga jari, kemudian masyarakat bisa mendapatkan bagian yang
lebih kecil dari para tetua misalnya dua atau satu jari. Masyarakat tidak akan bisa mendapatkan ukuran yang sama dengan para tetua adat dalam
ukuran moso, karena sebagai pemimpin masyarakat tetua adat merupakan orang yang paling dihormati dan dihargai sehingga bentuk
penghargaan masyarakat kepada para tetua adat adalah dengan memberikan atau memperbolehkan ukuran moso para tetua adat lebih
besar dan tidak sama dengan masyarakat biasa. 14.
Sistem pengukuran dalam lingko lodok masih menggunakan alat ukur tradisional orang Manggarai, seperti jari tangan, pagat merupakan
sistem ukur dengan cara merentangkan jari jempol dan jari tengah dan mempunyai panjang kurang lebih 20 cm ukuran tangan orang dewasa
dan depa merupakan sistem ukur dengan cara merentangkan kedua
tangan dan mempunyai panjang kurang lebih dua meter ukuran tangan orang dewasa.
15. Ritus-ritus yang berhubungan dengan lingko lodok bermuara pada lodok
karena orang Manggarai percaya bahwa kebun dan segala isinya berasal dari penyatuan dunia adikodrati dengan ibu bumi pada proses tente teno
dan juga merupakan anugerah sang pencipta. Ritus leang sose pada
penancapan kayu teno yang dilumuri dengan darah hewan kurban melambangkan peresmian penyatuan dunia adikodrati dan bumitanah
sebagai ibu dan memberi persembahan kepada naga golo agar kesuburan dan hasil yang berlimpah bisa didapatkan. Selain sebagai
sumber hidup, lodok juga dipercaya merupakan cerminan seorang raja atau pemimpin yang bisa mengayomi masyarakatnya dan bisa
menyelesaikan masalah-masalah dengan bijaksana. 16.
Gambaran lingko lodok sendiri pada dasarnya merupakan gambaran dari rumah gendang dan memiliki langang yang berpotongan dan bermuara
di satu titik yaitu lodok. Sedangkan cicing yang dipagari oleh masing pemilik moso menyebabkan lingko lodok berbentuk bulat dan menurut
filosofi orang Manggarai, bulat mengandung makna persatuan dan kesatuan yang tidak terpisahkan. Selain itu, makna bulat dalam
pengertian orang Manggarai adalah dalam kehidupan bermasyarakat, harus saling membantu, mendukung dan hidup berdampingan satu
dengan lainnya.
17. Lingko lodok tidak hanya ada di lahan persawahan atau dataran rendah
tetapi pembagian lingko lodok juga terjadi di perbukitan atau dataran tinggi yang berada di seluruh daratan Manggarai.
18. Daerah persawahan lingko lodok yang berada di Desa Meler, Cancar,
Kabupaten Manggarai biasa disebut dengan lingko lodok Meler yang memiliki luas daerah 223 ha yang terdiri atas 11 lingko sembong, 8
lingko salang cue dan sawah petak. 19.
Nilai-nilai yang terkandung dalam lingko lodok adalah: a.
Nilai ekonomi Nenek moyang orang Manggarai pada jaman dahulu sudah bisa
berpikir efisien dan efektif. Efektif: masyarakat membangun lingko lodok yang diadaptasi dari bentuk rumah adat yang berbentuk
lingkaran, dan dalam pembagiannya sangat mudah karena hanya berdasarkan ukuran moso, dan tidak terlalu berpatokan pada luas
moso yang diterima masing-masing orang. Efisien: masyarakat yang memiliki lahan garapan di lingko lodok
moso, tidak perlu membuat pagar pada semua sisi di moso melainkan hanya membuat pagar pada bagian cicing saja. Hal ini
tentu saja sebuah langkah penghematan bagi pemilik moso karena tidak perlu membuang banyak tenaga, waktu, dan biaya dalam
membuat pagar. Hal inilah mengapa dalam pembuatan lingko sangat efektif dan efisien.
b. Hukum
Ada hukum tersendiri dari langang. Jika ada yang melanggar akan mendapat sanksi, misalnya langangnya digeser sedikit supaya
bagiannya lebih besar, akan ditindak sesuai hukum yang berlaku, dan dibawa ke rumah gendang serta diselesaikan oleh
tu’a golo dan tu’a teno. Jika terbukti bersalah maka ia akan didenda satu ekor babi.
Hal ini mengajarkan kepada orang Manggarai bahwa “neka daku
data, data daku” artinya jangan mengklaim milik sendiri sebagai milik orang, dan mengklaim milik orang sebagai milik sendiri.
c. Teknis
Pembagian lingko lodok yang melalui beberapa tahap. d.
Sosial budaya Walaupun ukuran moso berbeda, tidak ada keluhan dari masyarakat
dan pembagian lingko lodok dirasa adil karena sesuai dengan kemampuan masing-masing penerima moso.
20. Makna yang terkandung dari lingko lodok adalah:
a. Sumber kehidupan
Orang Manggarai percaya bahwa kebun dan segala isinya berasal dari persatuan adikodrati dengan ibu bumi yang menghasilkan
kehidupan baru. Jadi, lingko lodok merupakan sebagai sumber hidup yang berasal dari sang pencipta.
b. Keharmonisan
Ungkapan “gendangn one, lingkon pe’ang,” menggambarkan bahwa ada keharmonisan, kekeluargaan dalam kehidupan orang
Manggarai. Keharmonisan itu tidak hanya terjadi di rumah tetapi juga terjadi disemua bagian kehidupan orang Manggarai. Nilai-nilai
keharmonisan itu juga tertuang dalam pepatah atau ungkapan Manggarai
“nai ca anggit, tuka ca leleng” yang berarti memiliki satu tujuan dalam suatu kelompok masyarakat. Memiliki rasa keluargaan
yang tinggi, selalu bermusyawarah dalam segala permasalahan atau dalam istilah Manggarai,
“cama lewang ngger pe’ang cama po’eng ngger one.
” Selain itu ada istilah “neka behas neho kena, koas neho kota” yang berarti “jangan merusak pagar” dengan kata lain bahwa
setiap anggota masyarakat harus memagari diri dengan baik terhadap pengaruh negatif dari luar demi menjaga agar lingkaran
harmoni jangan terputus dan merusak harmoni kehidupan secara keseluruhan.
21. Keuntungan dan kerugian bekerja pada lingko lodok tergantung pada
orang yang bekerja di lingko lodok itu sendiri. Selain itu bisa menghemat tenaga, waktu dan biaya dalam pembuatan pagar di bagian
cicing. 22.
Lingko lodok bisa saja hilang keberadannya karena beberapa faktor, yaitu:
a. Alam
Masyarakat yang mendapat bagian di lingko lodok bisa bekerja di sawah lingko lodok karena masih ada sumber air. Jika suatu saat
nanti tidak ada sumber air, masyarakat akan alih fungsikan lahan dari persawahan ke perkebunan.
b. Manusia
Bangun pemukiman di areanya Pembagian lingko lodok ini tidak ada lagi pada masa sekarang karena
sudah tidak ada lagi lahan komunal yang bisa dijadikan lingko lodok sehingga lingko lodok ini harus tetap dilestarikan keberadaannya karena
lingko lodok ini menyangkut dengan warisan leluhur dan budaya orang Manggarai yang mengandung banyak pesan dan makna kepada orang
Manggarai. Selain itu pemerintah seharusnya bisa mencegah agar masyarakat tidak mengalihfungsikan lahan misalnya membangun
bendungan dan
diharapkan generasi
sekarang bisa
terus mensosialisasikan dan menjaga kelestarian lingko lodok ini.
E. Pembahasan