8
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Budaya Manggarai
1. Pengertian dan unsur-unsur kebudayaan
1.1.Pengertian Koentjaningrat 1990: 181 mengartikan kata kebudayaan atau
dalam bahasa Inggris culture berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah. Kata buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari
budi, dapat diartikan sebagai budi atau akal. Kebudayaan juga dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal.
Bakker 1984: 22 mendefinisikan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan penciptaan, penertiban, dan pengolahan nilai-nilai
insani. Sedangkan dari segi antropologi kebudayaan dalam Subagyo dan Sudartomo 2009: 323 menyatakan bahwa kebudayaan
diartikan sebagai tata kehidupan, way of life, kelakuan. Dari situ dapat diartikan bahwa semua hal yang berkaitan dengan hasil
ciptaan manusia sebagai subyek masyarakat adalah kebudayaan. 1.2.Unsur
–Unsur kebudayaan Unsur-unsur kebudayaan menurut J.W.M. Bakker 1984: 37-50
terbagi menjadi dua yaitu:
1.2.1. Kebudayaan subjektif
Dipandang dari aspirasi fundamental yang ada pada manusia, nilai-nilai batin dalam kebudayaan subjektif terdapat dalam
perkembangan kebenaran, kebajikan dan keindahan. 1.2.2.
Kebudayaan objektif Nilai-nilai objektif yang disebut juga hasil kebudayaan, alat,
aspek-aspek dan
unsur-unsur kebudayaan
itu dapat
disistematisasikan menurut beberapa prinsip pembagian seperti berikut:
1.2.2.1. Ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan meliputi sains ilmu-ilmu eksakta dan humaniora sastra, filsafat, sejarah, dll.
1.2.2.2. Teknologi
Berdasarkan pengetahuan alam, terknik bertujuan untuk memfaedahkan sumber-sumber alam agar terjaminlah
makanan, perumahan, komunikasi, dll yang perlu untuk derajat hidup yang layak.
1.2.2.3. Kesosialan
Kesosialan sebagai sifat, unsur, asas, dan alat demikian erat berhubungan dengan kebudayaan,
sehingga hanya dapat dibedakan secara konseptual saja. Kesosialan meliputi fungsi dalam institusi-institusi
asasi sebagai keluarga monogram, masyarakat adil dan
makmur, desa dan kota, bangsa dan negara. Bahasa, dengan wujud ilmu komunikasi dan kesusteraan
mencakup bahasa daerah, pantun, syair, novel-novel, dan lain sebagainya.
1.2.2.4. Ekonomi
Lapangan ekonomi lazimnya dibagi dalam tiga sektor, dan yang masing-masing sektor mencerminkan
dengan cukup baik corak suatu kebudayaan dan orientasi pokoknya. Tiga sektor tersebut saling berkaitan satu
sama lain dan melengkapi kehidupan manusia sehingga kehidupan manusia terus meningkat ke arah yang lebih
baik. Sektor primer mencurahkan tenaga ekstraksi yang
terdiri atas pertambangan, pertanian, peternakan, dan perikanan. Sektor sekunder mengolah bahan mentah
yang diproduksi dalam sektor primer dan meliputi industri, kerajinan dan pembangunan. Sektor tersier
meliputi segala macam pelayanan kepada masyarakat, meliputi pencaharian, distribusi, komunikasi, hukum,
keamanan, pendidikan, perguruan, kesehatan, kesenian dan hiburan.
1.2.2.5. Kesenian
Kesenian meliputi seni rupa, seni suara, seni tari, seni sastra dan dramatik.
1.2.2.6. Agama
Agama sebagai sistem obyektif, terdiri dari bahan ajaran pasal-pasal iman, peraturan moral, dan upacara-
upacara ibadat yang menjawab kepada tuntutan zaman. 2.
Budaya Manggarai 2.1.
Letak Geografis – Topografi dan Iklim Manggarai adalah suatu daerah yang terletak di barat pulau
Flores, NTT. Dulunya Manggarai hanya satu kabupaten, tetapi sekarang Manggarai telah dimekarkan menjadi tiga kabupaten
Nggoro, 2006: 23, yaitu Manggarai Timur Borong, Manggarai Ruteng, Manggarai Barat Labuan Bajo. Terpecahnya Manggarai
menjadi tiga kabupaten tidak menjadi masalah dalam rasa persaudaraan, budaya, dan kecintaan terhadap Manggarai.
Adapun letak geografis daerah Manggarai yaitu sebagai berikut: 1.
Bagian timur dibatasi oleh Kabupaten Ngada, 2.
Bagian barat dibatasi oleh Selat Sape, 3.
Bagian utara dibatasi oleh Laut Flores, 4.
Bagian selatan dibatasi oleh pulau Sumba Rahmat, 1985:18
Berdasarkan data makropola umum pembangunan NTT Rahmat, 1985: 8-9, Manggarai dapat di kategorikan sebagai
berikut: 1.
Manggarai terbentuk sejak zaman mesozoikum 140 juta tahun lalu dan terus ke zaman tertier lebih dari 65 juta tahun yang
lalu dan kuarter lebih dari 600.000 tahun yang lalu. Bahannya terdiri dari bahan endapan vulkanik.
2. Dari segi topografi Manggarai adalah daerah yang berbukit,
bergunung dan sebagiannya dataran padang. Dulu, moyang Manggarai mendirikan rumah-rumah kampung di bukit atau
Gambar 2.1 Peta Provinsi NTT
gunung sehingga kampung itu dalam bahasa Manggarainya ialah beo atau golo lonto. Golo artinya: bukit, gunung, kris. Mereka
mendirikan kampung di bukitgunung supaya terhindar dari serangan musuh. Verheijen 1991:23 menyatakan bahwa
dapatlah dimengerti bahwa orang Manggarai mendirikan kampungnya jauh dari pantai atau di pedalaman.
3. Manggarai tergolong memiliki iklim kering. Musim hujan
berkisar antara bulan DesemberJanuari sampai MaretApril, sedangkan musim kemarau berkisar antara bulan MeiJuni
sampai bulan OktoberNovember. 2.2.
Unsur-unsur Kebudayaan Manggarai 2.2.1.
Struktur dan kehidupan sosial Sistem kekerabatan yang berlaku di Manggarai bersifat
patrilineal garis keturunan ayah Verheijen, 1977: 99. Dari segi keturunan, seluruh warga
wa’u masih dibedakan atas berbagai kelompok, yaitu: kelompok keturunan sulung wae
tu’a, kelompok keturunan sesudahnya wae shera, dan kelompok keturunan bungsu wae koe. Selain kekerabatan dari
segi keturunan, kekerabatan dapat terjadi akibat perkawinan woe nelu, yaitu keluarga pemberi gadis disebut anak rona dan
keluarga penerima gadis disebut anak wina. Dalam sistem kekerabatan yang diciptakan dari pola perkawinan ini,
kedudukan anak rona sangat penting dan karena itu anak rona
sangat dihargai oleh anak wina dalam berbagai urusan adat, baik itu perkawinan maupun kematian.
Perkawinan antara muda mudi di Manggarai dapat terjadi antara pasangan yang berasal dari keturunan yang sama bukan
kandung Deki, 2011: 65. Selain perkawinan, ada juga acara kematian tae mata yang dikhususkan pada kematian manusia.
Tae mata mempunyai susunan acara yang cukup lengkap, yaitu: sejak kematian sampai malam
saung ta’a acara perpisahan secara resmi antara keluarga yang masih hidup dengan yang
sudah meninggal, dan kelas pesta kenduri Nggoro, 2006: 167. Pada prosesi kelahiran, dikenal dengan adanya deklarasi
bayi yang baru lahir dengan munculnya istilah entap dindingentap siding yang berarti memukul sekatbilik rumah
pada kamar keluarga yang sedang bersalin dengan sebutan istilah ata one sebutan untuk anak laki-laki yang berarti orang
dalam karena akan tinggal di kampung halaman dan mendapat warisan dari orang tua atau ata
pe’ang sebutan untuk anak perempuan, yang berarti orang luar karena setelah menikah,
anak perempuan akan mengikuti suaminya. Pelapisan sosial dalam masyarakat Manggarai pada zaman
dahulu terdiri atas tiga lapisan, yaitu golongan keraeng bangsawan,
ro’éng orang biasa, dan mendi budak Deki, 2011: 79. Dasar pelapisan itu adalah keturunan dari klan-klan
yang dianggap mempunyai sifat keaslian, senioritas, atau pengaruh politis. Ada juga lapisan-lapisan yang diklasifikasikan
ke dalam status dan strata sosial yang sama seperti Dalu dan Gelarang.
Ada beberapa tetua adat yang ada di masyarakat Manggarai yang menjadi penguasa atau pemimpin tradisional masyarakat
Manggarai dalam suatu kampung béogolo menurut Nggoro 2006: 76-81, yaitu:
2.2.1.1. Tu’a kiloTu’a Panga
Tu’a kilotu’a panga tu’a = ketua, kepala; kilo = keluarga, pasangan hidup, takaran; panga = cabang kayu,
ranting. Istilah t u’a kilotu’a panga merujuk kepada jabatan
pemimpin adat dalam masyarakat yang dipilih bersama, atau bisa berarti sebagai kepala keluarga tingkat ranting kepala
subklan dalam suatu kampung. Untuk menjabat sebagai
tu’a kilotu’a panga mestinya memahami budaya, mampu berbicara, menetapkan adat
istiadat yang tepat, arif dan bijaksana sudah menikah, mampu memimpin, dan tak memandang usia.
Dalam penerapannya, keluarga ranting subklan bersatu dan mempunyai tanggung jawab yang sama dalam urusan
umum dalam suatu kampung seperti: penti acara syukuran, lodok uma werutente teno membuka kebun bundartanah
ulayat baru, pande kintal beo membuat pagar kompleks kampung.
2.2.1.2. Tu’a golo
Tu’a golo terdiri dari dua kata yaitu tu’a yang berarti ketua, kepala, pemimpin dan golo yang berarti bukit,
gunung, kris. Tu’a golo berarti kepala pemerintahan
kampung. Kriteria untuk menjadi tu’a golo adalah sudah
mencapai usia dewasa, sudah menikah, orang asli kampung tersebut, sehat jasmani maupun rohani, memahami adat
Manggarai, mampu memimpin, yang dipilih berdasarkan musyawarah dan mufakat warga kampung atau antara
tu’a- tu’a kilo, dan bisa juga dipilih secara aklamasi.
Tugas dan wewenang tu’a golo adalah untuk memimpin
sidang warga kampung menyangkut kepentingan warga kampung misalnya dalam hal membuat pagar kompleks
kampung, mengadakan rehabilitasi rumah adatmembangun rumah adat pande cuwir kole mbaru tembong pande mbaru
tembong weru, bersih kubur we’ang boa, membersihkan
air minum barong wae teku. 2.2.1.3.
Tu’a teno Tu’a teno adalah kepala pembagian tanah ulayat. Tu’a
berarti ketuakepala; teno berarti kayu teno. Tu’a teno dipilih
secara musyawarah karena tu’a teno mewakili tuan tanah
dari kerabat lain. Tuan tanah adalah pemilik tanah dalam arti merekalah yang pertama tinggal, menetap di lokasi atau
sekitar tanah tersebut, sehingga dapat mamahami status kepemilikan tanah, sejarah tanah tersebut, dan biasanya
menjadi tu’a teno. Tu’a teno haruslah memiliki sikap
demokrasi, fleksibel seperti ciri-ciri kayu teno yang elastis. 2.2.1.4.
Tongka Arti kata tongka adalah takaran dan juru bicara
perkawinan. Kata tongka bisa digunakan dalam dua aspek pada bahasa Manggarai. Sebagai arti juru bicara perkawinan,
tongka sering dilibatkan dalam acara perkawinan baik dari keluarga laki-laki maupun keluurga perempuan yang
bertugas untuk mewakili masing-masing keluarga besar dalam acara pernikahan.
2.2.2. Ilmu pengetahuan
Masyarakat Manggarai sejak dulu sudah mengenal sastra khususnya sastra lisan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Sastra lisan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam masyarakat Manggarai. Ada dua bentuk sastra yang sudah
menjadi lazim, yakni prosa naratif yang terungkap dalam berbagai kisah rakyat tombo nunduk dan tombo turuk dan puisi
lirik yang diekspresikan melalui peribahasa, tamsil-tamsil go
’et, syair-syair doa torok tae atau tudak dan syair-syait lagu
dere rakyat Janggur, 2010. Sejarah lisan maupun tradisi lisan merupakan sebuah perilaku budaya yang harus dilakoni setiap
warga generasi sebagai jati diri sejarah tanah air dan keturunannya Jacob, 1990: 442.
2.2.3. Bahasa Manggarai
Bahasa Manggarai menjadi umum dan hampir dikuasai oleh semua orang Manggarai di berbagai wilayah. Menurut KoO
1984: 25, pembagian bahasa di Manggarai dapat ditelusuri dari klasifikasi kata “tidak”. Masyarakat Manggarai Tengah dan
Manggarai Barat menggunakan kata toe untuk mengatakan tidak, masyarakat Rongga menggunakan kata mbaen, sedangkan
masyarakat Rembong menggunakan kata pae. Perbedaan yang lebih mencolok terletak pada kosa kata, dialek, dan konsonan-
vokal yang dimiliki tiap daerah. 2.2.4.
Teknologi Masyarakat Manggarai di masa lalu sudah mengenal bahkan
mampu menghasilkan peralatan atau perkakas yang dibutuhkan untuk kehidupannya. Begitupun teknologi pembuatan minuman
tradisional juga sudah dikenal di masyarakat Manggarai, yakni proses pembuatan atau mencampur air enau dengan kulit damar
sehingga menghasilkan alkohol berkadar tinggi seperti arak atau tuak. Masyarakat Manggarai sejak dulu juga sudah mengenal
cara pembuatan obat-obatan yang berasal dari daun-daunan,
misalnya londek jembu yaitu pucuk daun jambu untuk mengobati sakit perut, kayu sita untuk pengombatan disentri.
Ada beberapa unsur yang termaksud dalam peralatan dan teknologi Manggarai menurut Dagur 1990, yaitu:
1 rumah adat mbaru tembong atau mbaru niang yang berbentuk kerucut dan bersegi lima yang terdiri atas tiga bagian
utama, yaitu ngaung bagian bawah rumah yang memiliki kolong,
bate ka’eng tempat tinggal, dan wuwung atap yang terbuat dari ijuk untuk atapnya, dan papan untuk dindingnya. 2
alat-alat produksi tradisional, meliputi: kope parang, beci tofa, ngencung lesung, alu, lewing tana periuk dari tanah
liat. 3 senjata untuk berperang, meliputi: kope banjar parang panjang, korung dan vokad rombak, kiris keris, panah. 4
pakaian dan perhiasan, meliputi baju dan kain lipa seperti baju kembiang, towe mbiris, selendang slampe, towe songke, sapu
curuk, lalong-ndeki, golo, dan nggorong Verheijen, 1977: 54. Sedangkan perhiasan yang dipakai seperti gelang nekar, cake,
meloso, tuni mbero, tubi rapa, anting-anting, bali-belo hiasan kepala wanita seperti mahkota, luju dan retu. 5 berbagai bentuk
wadah, meliputi: langok, joreng, cecer tempat penyimpanan padi atau jagung yang berukuran besar, roto atau beka wadah
yang berfungsi sebegai tempat penyimpanan jagung yang berukuran kecil, bakul, doku, lide, luni, tongka, lorang. 6 alat
transportasi umumnya menggunakan tenaga sendiri, hewan kerbau atau kuda dan sampan.
2.2.5. Sistem mata pencaharian
Masyarakat Manggarai sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Tahah yang digarap oleh orang Manggarai adalah
unik adanya. Tanah ulayat dalam istilah Manggarai disebut lingko dan menggarap tanah ulayat disebut tente teno. Tente
tenolodok uma weru berarti membuka kebun bundar kebun ulayat baru oleh sekelompok masyarakat atau suatu warga
kampung yang dipimpin oleh tua teno kepala pembagi tanah ulayat Nggoro, 2006. Terdapat tiga jenis aktivitas yang
berkaitan dengan mata pencaharian masyarakat Manggarai, yaitu: bekerja di ladang atau sawah, berburu, beternak.
2.2.6. Kesenian
Menurut Nggoro 2006, kesenian masyarakat Manggarai yang berupa seni pertunjukkan diekspresikan melalui seni
musik, seni tari, dan seni rupa. Di Manggarai juga tumbuh dan berkembang berbagai jenis kesenian khas daerah ini seperti seni
pertunjukan tari, musik, nyayian, seni arsitektur rumah, berupa benda-benda indah, atau kerajinan.
2.2.6.1. Seni pertunjukan
2.2.6.1.1. Caci
Menurut Nggoro, nama caci sendiri berasal dari dua kata yaitu ca yang berarti satu dan ci artinya uji. Jadi caci
bermakna uji satu lawan satu untuk membuktikan siapa yang benar dan salah. Kelengkapan caci adalah perisai giliq,
tali larik yang kemudian digunakan sebagai cambuk serta pelindung kepala pangga.
Caci sudah merupakan puncak kebudayaan Manggarai yang unik dan sarat makna: seni gerak lomes, nilai etika
sopan santun, nilai estektika, muatan nilai persatuan, ekspresi sukacita, nilai sportivitas, serta penanaman percaya
diri. Tarian caci biasanya dilagakan di depan rumah adat, antara Mbaru gendang dan Compang dan ditarikan atau
dimainkan oleh para lelaki ata reba. Diiringi musik dari gong dan gendang, sebagian besar pemusiknya adalah kaum
hawa, dan sekelompok orang memainkan danding lagu dan tarian.
2.2.6.1.2. Tari-tarian dan Nyayian
Tari-tarian yang terdapat dalam budaya Manggarai adalah Tarian Rangkuk Alu, Sae, Ronda, Tarian Dundung
Dake, Sanda, Mbata, dan Nenggo.
2.2.6.1.3. Alat musik
Alat musik yang digunakan dalam budaya orang Manggarai adalah gong dan gendang.
2.2.6.2. Kerajinan
2.2.6.2.1 Tenun ikat
Tenun ikat yang dimiliki oleh orang Manggarai biasa disebut dengan lipa songke. Songke ini sendiri tidak hanya
bisa dijadikan sarung lipa songke, tetapi juga bisa dijadikan selendang songke, topi songke songkok, dan banyak
jenisnya. Kain songke adalah hasil kerajinan tangan wanita Manggarai Dagur, 1990.
Menurut Dagur 1990, Warna dasar hitam pada songke melambangkan sebuah arti kebesaran dan keagungan orang
Manggarai serta kepasrahan bahwa semua manusia akhirnya akan kembali pada Yang Maha Kuasa, sedangkan aneka
motif pada kain songke mengandung banyak makna sesuai motif itu sendiri seperti motif wela kawong bermakna
interdependensi antara manusia dengan alam sekitarnya. Motif ranggong laba-laba bersimbol kejujuran dan kerja
keras. Motif ju’i garis-garis batas pertanda keberakhiran
segala sesuatu, yaitu segala sesuatu ada akhirnya, ada batasnya. Motif ntala bintang terkait dengan harapan.
Motif wela runu bunga runu, yang melambangkan sikap
atau etos bahwa orang Manggarai bagaikan bunga kecil tapi memberikan keindahan dan hidup di tengah-tengah kefanaan
ini. 2.2.6.2.2
Anyaman Kerajinan wanita-wanita Manggarai lainnya selain lipa
songke adalah anyaman dari daun pandan seperti loce tikar, tange bantal, lancing tempat menyimpan hasil pertanian,
luni karung kecil, potang sarang ayam, doku tempat tampi beras Nggoro, 2006.
2.2.7 Seni arsitektur
2.2.7.1 Mbaru gendang
Mbaru gendang mbaru: rumah. Mbaru gendang biasa juga disebut dengan mbaru tembong tembong: gong. Arti
budaya mbaru gendang atau mbaru tembong adalah rumah adat yang berbentuk kerucut niang.
Konstruksi mbaru tembong ini beratapkan ijuk wunut yang berbentuk sepeti kerucut, di ujung atap rumah dipasang
tanduk kerbau rangga kaba. Simbol ini sebagai lambang kejantanan dan betapa pentingnya kerbau dalam aktivitas
orang Manggarai. Selain itu, mbaru tembong ini digunakan untuk rapat umum warga kampung dan dibangun cukup
besar untuk satu keluarga besar. Letak mbaru tembong sendiri harus berada di sentral kampung, bagian depan pintu
mbaru tembong langsung berhadapan dengan halaman kampung natas, dan berdekatan dengan compang tempat
sesajian ditengah kampung Nggoro, 2006: 31-32. 2.2.7.2
Compang Compang merupakan tempat sesajian yang terletak di
halaman kampung atau sekitarnya. Compang berbentuk lingkaran yang menyerupai meja persembahan, terbuat dari
tumpukkan tanah dan batu-batuan. Di tengah compang tumbuh pohon besar langke.
2.2.8 Kepercayaan
Masyarakat Manggarai pada tempo dulu menganut kepercayaan animisme dan dinamisme percaya pada roh-roh
halusdewa Nggoro: 2006. Diyakini bahwa roh halus itu tinggal di pohon-pohon besar langke seperti di sumber air one
ulu wae, di rawa-rawa one temek, dan di hutan lebat puar mesepoco, sehingga tempat tersebut dianggap mempunyai
sumber kekuatan yang disebut pong Verheijen, 1991:233. Kemudian leluhur orang Manggarai berupaya menanam kembali
bibit pohon besar itu langke agar tumbuh di tengah kampung yang disebut compang.
B. Sistem penggarapan tanah ulayat tente teno