a. Alam
Masyarakat yang mendapat bagian di lingko lodok bisa bekerja di sawah lingko lodok karena masih ada sumber air. Jika suatu saat
nanti tidak ada sumber air, masyarakat akan alih fungsikan lahan dari persawahan ke perkebunan.
b. Manusia
Bangun pemukiman di areanya Pembagian lingko lodok ini tidak ada lagi pada masa sekarang karena
sudah tidak ada lagi lahan komunal yang bisa dijadikan lingko lodok sehingga lingko lodok ini harus tetap dilestarikan keberadaannya karena
lingko lodok ini menyangkut dengan warisan leluhur dan budaya orang Manggarai yang mengandung banyak pesan dan makna kepada orang
Manggarai. Selain itu pemerintah seharusnya bisa mencegah agar masyarakat tidak mengalihfungsikan lahan misalnya membangun
bendungan dan
diharapkan generasi
sekarang bisa
terus mensosialisasikan dan menjaga kelestarian lingko lodok ini.
E. Pembahasan
Berdasarkan paparan sebelumnya, peneliti dapat mengkategorikan beberapa unsur matematika dan budaya yang terkandung dalam lingko lodok, yaitu:
1. Merancang bangun.
Merancang bangun dalam hal ini yaitu merancang lingko lodok untuk pertama kali. Lingko lodok terbentuk karena nenek moyang ingin
membagi tanah ulayat secara adil dan berdasarkan budaya orang
Manggarai. Bentuk rumah adat yang berbentuk kerucut menjadi pilihan bentuk lingko lodok hingga saat ini.
Bagian-bagian dalam lingko lodok juga dirancang sedemikian hingga sehingga masyarakat masing-masing dapat merasakan
keutungannya seperti bentuk moso karena masyarakat tidak perlu memagari semua sisi pada moso, masyarakat hanya perlu memagari
bagian cicing saja sehingga bisa menghemat tenaga, waktu dan biaya dalam pembuatannya. Selain itu pada perancangannya, masyarakat
menentukan banyaknya jumlah keluarga yang mendapat bagian dalam lingko lodok. Hal ini dilakukan agar jumlah keluarga bisa
diperhitungkan sesuai dengan besar lahan yang menjadi tempat pembuatan lingko lodok dan juga memperhitungkan bahan-bahan yang
akan digunakan untuk ritus-ritus pelaksanaan pembukaan lingko lodok. 2.
Mengukur Pengukuran dalam pembagian lingko lodok menggunakan
pengukuran tradisional menggunakan jari tangan, pagat, dan depa. Ukuran jari tangan digunakan untuk mengukur besar moso yang akan
dimiliki oleh masing-masing keluarga. Ukuran paling besar yaitu empat sampai lima jari, ukuran ini biasanya untuk
tu’a golo, tu’a teno atau orang-orang yang dihormati di masyarakat, sedangkan ukuran sedang
yaitu dua sampai tiga jari yang diperuntukkan penduduk asli kampong tersebut, dan ukuran paling kecil yaitu satu sampai dua jari, yang
digunakan untuk ukuran lahan para pendatang ata long, orang-orang
dari luar kampung yang ingin mendapat bagian di lingko lodok tipa manuk lele tuak, atau menantu laki-laki yang tinggal di kampung
tersebut. Tabel 4.6 Pengukuran Tradisional
Ukuran tradisional
Ukuran Kesetaraan
Ciku Ukuran dari ujung jari tengah sampai siku
orang dewasa. Satu ciku ca ciku setara
dengan ± 50 cm
Pagat Ukuran telapak tangan orang dewasa yang
direntangkan. Diukur dari jari tengah sampai ibu jari.
Satu pagat ca pagat setara dengan
± 20 cm.
Depa Ukuran dari ujung jari tengah salah satu
lengan orang dewasa sampai ujung jari tengah lengan lainnya.
Satu depa ca depa setara dengan
± 2 m.
Moso Moso berarti jari tangan. Moso digunakan
sebagai alat ukur dalam pembagian lingko lodok dalam sor moso.
Satu moso ca moso setara dengan
± 2 cm.
Dalam pengukuran lingko lodok, moso yang dimaksud adalah jari tangan yang akan menjadi alat dalam sor moso, sedangkan berkaitan
dengan garapan dalam lingko lodok, moso mengandung arti lahan garapan. Tidak hanya keempat ukuran di atas, dalam pembagian lingko
lodok masih ada cara-cara mengukur lainnya seperti cara mengukur panjang langang dimana panjang langang sesuai dengan kemampuan
dan kesanggupan keluarga yang akan mendapat moso. Selain itu panjang cicing mengikuti besar moso yang diterima sehingga ukurannya
tidak selalu sama setiap moso. Dalam penentuan lodok pun tidak ada penentuan atau aturan khusus. Lahan yang akan dijadikan lingko
merupakan lahan yang subur dan dekat dengan mata air sehingga lodok ditentukan berdasarkan kesepakatan tetua adat dan masyarakat lebih
mudah ditentukan. 3.
Membilang Dalam kehidupan masyarakat Manggarai, konsep perbandingan
sudah mulai dikenal, seperti lebih panjang, lebih pendek, lebih banyak, lebih sedikit, lebih besar, lebih kecil, dan lain sebagainya. Dalam
kaitannya dengan lingko lodok, perbandingan yang lebih sering digunakan adalah lebih besar dan lebih kecil. Perbandingan ini juga
selalu berkaitan dengan membilang yang menggunakan pertanyaan “berapa besar” atau “capan dite?”, “asa, pisan dite?”
Patokan perbandingan lebih besar dan lebih kecil dalam lingko lodok adalah besarnya ukuran moso yang diminta dan diterima saat sor moso.
Semakin banyak moso yang digunakan dalam sor moso, maka semakin besar lahan garapan yang akan diterima, dan semakin sedikit moso yang
digunakan dalam sor moso, maka semakin kecil lahan garapan yang diterima. Dari konsep tersebut, masyarakat mulai bisa membandingkan
ukuran moso mereka dengan ukuran moso yang lainnya menggunakan patokan banyak moso jari tangan yang digunakan saat sor moso
4. Geometri
a. Ukuran panjang langang dan cicing
Dalam pengukuran panjang langang tidak ada aturan khusus yang harus diikuti oleh masyarakat. Panjang langang ditentukan
oleh penerima moso berdasarkan kemampuannya sendiri dan masing-masing penerima moso berhak menentukan panjang satu
langang pada moso yang menjadi bagiannya. Dalam artian, masyarakat tidak mengukur panjang langang yang akan
diterimanya, mereka hanya mengkira-kira ukuran yang akan mereka terima.
Ukuran panjang cicing memang tidak ditentukan ketika pembagian moso kepada masyarakat. Panjang cicing akan
menyesuaikan dengan ukuran moso saat sor moso. Semakin besar ukuran saat sor moso, semakin besar juga panjang cicing yang akan
diterima, begitupun sebaliknya, sehingga ukuran-ukuran dalam lingko lodok sangat berpengaruh terhadap besar moso yang diterima
saat sor moso. b.
Konsep lurus dalam pembuatan langang pada lingko lodok adalah ketika kayu teno pada lodok tidak terlihat jika dilihat dari kayu
terakhir yang telah ditancapkan. Konsep ini tidak hanya digunakan dalam pembuatan langang saja, tetapi dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Manggarai konsep lurus seperti ini masih digunakan
hingga sekarang. Contohnya, pembuatan pagar rumah atau kebun, membuat pembatas lahan, dalam pembuatan rumah, dll.
c. Cara menghitung luas moso
Moso sebagai lahan garapan masyarakat pada dasarnya tidak mempunyai luas, dalam artian masyarakat tidak pernah menghitung
luas moso dengan perhitungan menggunakan rumus-rumus matematika, seperti menghitung luas segitiga, persegi dan bangun
datar lainnya. Dalam lingko lodok, luas moso adalah ukuran moso pada saat sor moso. Misalnya seseorang mendapat moso dengan
ukuran sor moso sebesar dua jari sua moso, maka luas moso orang tersebut sebesar dua moso sama seperti ukuran moso yang
diterimanya saat sor moso, sehingga masyarakat setempat mengenal luas moso mereka dengan ukuran saat sor moso.
d. Pada dasarnya, lingko lodok berbentuk segi banyak karena adanya
penampang alam seperti sungai, berbatasan dengan lingko lain, dan topografi tetapi berdasarkan sejarah lingko lodok yang diadaptasi
dari rumah adat Manggarai yang berbentuk kerucut dan memiliki lantai alas berbentuk lingkaran, maka dalam pembahasan ini,
bentuk segi banyak pada lingko lodok disamakan atau disetarakan dengan lingkaran, dan disebut berbentuk bulatbundar oleh
masyarakat setempat. Berikut terdapat bagian-bagian lingkaran dan lingko lodok, yaitu:
.
O
A a
B b
Gambar 4.13 Lingkaran
.
Gambar 4.12 Lingko sembong p
O
r T
S
s E
D
u
Tabel 4.7 Kesetaraan Lingko Lodok dan Lingkaran
No Lingko lodok
Lingkaran
1 Titik O adalah lodok titik sentral lahan pada
lingko lodok Titik O merupakan titik pusat lingkaran
2 ST adalah langang waga pada lingko lodok
̅̅̅̅ adalah diameter lingkaran 3
OS dan OT adalah langang pada lingko lodok �
̅̅̅̅ dan �̅̅̅̅ adalah jari-jari lingkaran 4
Daerah p merupakan moso lahan garapan pada lingko lodok
Daerah u merupakan juring pada lengker Daerah b merupakan juring lingkaran
5 rs merupakan banta pematang
DE ̅̅̅̅ merupakan tali busur lingkaran
Selain itu, akan diuraikan lebih lengkap mengenai keterkaitan lingko lodok dengan matematika dari segi geometri Table 4.8 Keterkaitan Lingko lodok dengan Matematika dari Segi Geometri
No Gambar Unsur matematika
Unsur budaya a.
Gambar 4.14 lingko lodok Lingko lodok yang berbentuk lingkaran
karena mengikuti bentuk rumah adat Manggarai namun karena topografi
alam dan pembagiannya berdasarkan kemampuan
masyarakat sehingga
lingko lodok berbentuk segi banyak. Bulatbundar dalam pengertian orang Manggarai
adalah sesuatu yang berbentuk seperti lantai rumah adat namun jarak dari siri bongkok ke salah satu
titik terluar lantai tidak sama contoh bentuk lingko lodok. Lingko lodok dalam anggapan orang
Manggarai berbentuk lingkaran seperti bentuk rumah adat. Namun, karena adanya penampang
alam seperti sungai, berbatasan dengan lingko lain, dan topografi alam menyebabkan lingko lodok
dianggap lingkaran yang tidak simetris sehingga masyarakat Manggarai menyebut lingko lodok
berbentuk bulatbundar.
.
b. Gambar 4.15 Lengker
Lengker yang berbentuk lingkaran, lodok sebagai titik pusat pada lengker,
langang waga menjadi diameter pada lengker dan terdapat juring lingkaran
pada lengker. Lengker yang berbentuk lingkaran melambangkan
persatuan orang Manggarai dan digunakan sebagai tempat persembahan saat pembukaan lingko,
penggarapan lingko dan penti. Lodok sebagai titik sentral pada lingko lodok dipercaya sebagai sumber
hidup.
c. Gambar 4.16 Langang waga
Langang waga adalah langang utama dalam lingko lodok yang yang saling
berpotongan di satu titik lodok. Langang waga merupakan langang-langang utama
yang terdapat pada lingko lodok yang digunakan untuk mempermudah pembagian moso kepada
masyarakat. Langang ini dianggap istimewa karena dalam
pembuatannya melalui
dan saling
berpotongan di lodok. Pada postulat dalam geometri dikatakan bahwa melalui satu titik dapat
dibuat tidak berhingga banyak garis dan dua garis yang berpotongan, akan berpotongan di satu titik.
Postulat ini menunjukkan jika kita melambangkan sebuah titik dengan lodok dan dua garis dengan
.
langang waga, maka dengan melihat bentuk langang waga yang melalui berpotongan pada
lodok, maka postulat tersebut juga berlaku pada lingko lodok.
d. Gambar 4.17 moso pada lingko
lodok Moso yang berbentuk segitiga atau
berbentuk juring lingkaran dan galong petak-petak yang ada dalam moso
yang berbentuk segitiga dan segiempat. Kemudian terdapat bentuk juring pada
lengker. Moso yang berbentuk segitiga dalam kepercayaan
orang Manggarai melambangkan hubungan tiga dimensi manusia dengan Tuhan, sesama dan alam.
Selain itu, ukuran moso yang berbeda setiap keluarga tidak menjadi persoalan bagi masyarakat
yang menerima bagian karena dianggap adil dan sesuai dengan kemampuan dan kedudukan dalam
masyarakat, begitupun dengan panjang langang, dimana panjang langang ditentukan berdasarkan
kemampuan masing-masing penerima.
.
e. Gambar 4.18 lingko sembong dan
lingko salang
cue Lingko salang cue yang terbentuk dari
lahan sisa dimana terdapat dua atau lebih lingko
yang bersinggungan. Lingko
salang cue
juga bukan
merupakan lingko lodok yang utuh. Lingko salang cue tetap menjadi bagian penting
dari lingko lodok dimana lingko salang cue dibagi kepada masyarakat secara adil seperti pembagian
pada lingko sembong dan juga melambangkan kesatuan dan persaudaraan.
f. Gambar 4.19 kayu teno pada lodok
Ujung atas kayu teno yang dipotong membentuk gasing runcing.
Kayu teno yang berbentuk gasing melambangkan dunia adikodrati.
Menurut keyakinan orang Manggarai, seluruh tatanan kehidupan manusia disimbolkan dalam simbol-simbol baik dalam hubungan antar
manusia, dengan alam maupun dengan dunia adikodrati. Simbol-simbol tersebut memiliki nilai
– nilai yang dianggap sakral dan dihargai oleh seluruh masyarakat. Simbol-simbol tersebut dapat tampak secara material
dalam bentuk benda-benda tertentu, gambar, ukiran ataupun dalam bentuk ucapan seperti:
1. Kayu teno yang dibentuk seperti gasing mangka yang melambangkan
dunia adikodrati atau laki-laki, tanah atau bumi melambangkan seorang perempuan dan penancapan kayu teno ke tanah melambangkan
penyatuan antara dunia adikodrati dan bumi yang menghasilkan kehidupan baru.
2. Kayu teno yang melambangkan kesuburan.
3. Pada puncak atap rumah gendang terdapat ukiran wajah manusia yang
melambangkan orang Manggarai, terdapat tanduk kerbau yang melambangkan kekuatan orang Manggarai dan ujung atas kayu tersebut
berbentuk gasing mangka yamg melambangkan hubungan dengan dunia adikodrati.
4. Ungkapan “gendangn one, lingkon pe’ang” menggambarkan
keharmonisan dan kekeluargaan dalam kehidupan orang Manggarai, dsb.
Lingko lodok salah satu peninggalan yang banyak sekali memiliki simbol-simbol yang berhubungan dengan kehidupan orang Manggarai
seperti lodok yang menggambarkan sumber hidup dan menjadi titik persekutuan dari langang waga dan langang-langang lainnya dalam lingko,
kayu teno melambangkan kesuburan, lingko lodok dan lengker yang berbentuk lingkaran melambangkan persatuan yang tidak terpisahkan, tidak
saling membedakan dan keharmonisan dalam kehidupan tidak hanya dengan sesama manusia, tetapi juga kepada makluk hidup lain dan
hubungan terhadap Tuhan dan leluhur. Panjang langang yang berbeda tiap orang juga tidak menjadi persoalan bagi masyarakat yang mendapat bagian
dalam lingko lodok karena panjang langang selalu disesuaikan dengan kemampuan masing-masing penerima moso.
Moso yang berbentuk segitiga dan juring pada lengker melambangkan hubungan tiga dimensi dengan Tuhan, manusia dan alam.
Pembagian moso kepada masing-masing keluarga berdasarkan permintaan dan kemampuan penerima moso yang melambangkan demokrasi yang adil,
saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Setiap moso pada lingko lodok tidak mempunyai ukuran yang sama hal ini dikarenakan
pembagian moso mengikuti ukuran jari tangan saat pembagian, dan ukuran- ukuran tersebut merupakan ukuran dalam satuan tradisional.
Selain ukuran moso, ukuran-ukuran kayu teno, lance dan langang juga mengikuti ukuran tradisional yang diukur menggunakan depa dan
pagat. Namun ukuran ini masih menjadi perkiraan yang bersifat fleksibel dengan panjang depa dan pagat mengikuti ukuran tangan orang yang
mengukur. Hal ini tidak menjadi masalah karena berlandaskan kesepakatan
bersama dalam pengukurannya, sehingga pengukuran tradisional ini bisa disetarakan dengan ukuran pada satuan Internasional SI. Pengukuran-
pengukuran tradisional menjadi pengukuran yang digunakan hingga sekarang dan turun temurun oleh orang Manggarai.
Kegiatan mengukur tidak bisa dipisahkan dengan membilang dalam hal menanyakan berapa banyak atau berapa panjang. Kedua hal ini menjadi
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam menentukan besar moso dan panjang langang dalam pembagian lingko lodok.
Ritus-ritus yang dilakukan pada pembukaan lingko lodok juga mempunyai makna dalam pelaksanaannya seperti lonto leok di rumah
gendang untuk membicarakan pembukaan lingko, karena orang Manggarai sangat menghargai kebersamaan dan musyawarah. Selain itu upacara
pembukaan lingko lodok yang dimulai dari rumah gendang dan compang dengan maksud meminta restu dari naga golo agar semua kegiatan berjalan
lancar tanpa hambatan. Upacara leang sose melambangkan peresmian penyatuan dunia adikodrati dan bumitanah sebagai ibu dan memberi
persembahan kepada naga golo agar kesuburan dan hasil yang berlimpah bisa didapatkan. Upacara tente teno melambangkan perkawinan atau
penyatuan sakral antara dunia adikodrati dan bumi yang menghasilkan kehidupan baru bagi orang Manggarai.
Lingko lodok menjadi salah satu ikon budaya orang Manggarai yang sarat akan nilai dan makna. Nilai-nilai yang terkandung dalam lingko lodok,
yaitu nilai ekonomi karena dalam pembuatan lingko lodok sangat efektif dan
efisien, ada juga terkandung hukum yang mengikat masyarakat agar tidak curang dalam mengelola moso masing-masing. Teknis pembuatan dan
pembagian lingko lodok yang dirasa adil bagi orang Manggarai dan sosial budaya dimana semua ritus-ritus yang dilaksanakan sesuai dengan budaya
orang Manggarai. Makna yang terkandung dari lingko lodok adalah sebagai sumber hidup orang Manggarai dan merupakan keharmonisan.
Keharmonisan ini diungkapkan dalam beberapa ungkapan atau go’et
diungkapkan sebagai pedoman hidup bermasyarakat dalam kehipan orang Manggarai, seperti nai ca anggit tuka ca leleng yang berarti memiliki satu
tujuan dalam suatu kelompok masyarakat; cama lewang ngger pe’ang cama
po’eng ngger one, yang berarti selalu bermusyawarah jika ada masalah yang tidak bisa diselesaikan sendiri; dan neka behas neho kena, koas neho kota,
yang berarti setiap anggota masyarakat harus memagari diri dengan baik terhadap pengaruh negatif dari luar demi menjaga agar lingkaran harmoni
jangan terputus dan merusak harmoni kehidupan secara keseluruhan. Ungkapan gendangn one, lingkon pe
’ang memiliki kaitan yang erat antara lingko dengan rumah gendang, karena ada beberapa bagian rumah
gendang yang juga dimiliki oleh lingko lodok seperti: 1.
Siri bongkok mengandung arti tiang agung rumah. Pada siri bongkok inilah digantungkan gendang, tambur dan gong. Dengan adanya alat
musik tersebut yang digantung pada siri bongkok maka rumah tersebut dinamakan mbaru gendang atau mbaru tembong. Siri bongkok menjadi
istimewa sebagai tiang agung dan satu-satunya tiang tengah rumah adat
serta dijadikan pusat dalam pertemuan-pertemuan adat karena menjadi tempat tetua adat memimpin pertemuan dalam forum lonto leok. Selain
itu, siri bongkok menjadi titik sentral dalam rumah adat sedangkan pada lingko lodok, lodok menjadi titik sentral sebuah lingko lodok Lampiran
E 2.
Mangka kayu yang di potong berbentuk gasing yang berapa pada ujung atap rumah gendang memiliki makna yang sama dengan kayu
teno yang dipotong berbentuk gasing mangka, yaitu melambangkan hubungan dunia adikodrati gambar 4.20.
Gambar 4.20 lambang pada atap rumah gendang yang di potong berbentuk gasing
Gambar 4.21 Kayu teno pada lingko lodok yang di potong berbentuk gasing
3. Atap rumah adat wuwung yang berbentuk niang kerucut
melambangkan hubungan tiga dimensi manusia dengan Tuhan, sesama manusia dan alam yang juga dimiliki moso yang berbentuk segitiga.
Jika rumah gendang didatarkan maka akan berbentuk seperti lingko lodok, dan sebaliknya jika pada lodok ditancapkan sebuah tiang, akan
membentuk seperti rumah gendang. Segala sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan di lingko lodok akan bermuara pada lodok sebagai sumber hidup
dan segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakat budaya Manggarai akan Gambar 4.22 Atap rumah gendang yang berbentuk kerucut.
Gambar 4.23 Moso pada lingko lodok yang berbentuk segitiga
bermuara pada rumah gendang sebagai pusat dalam suatu beo. Hal diatas yang menyebabkan adanya hubungan atau kaitan yang erat antara gendang
sebagai pusat kiblat hidup orang Manggarai dengan lingko lodok sebagai tempat mencari nafkah. Karena itulah, rumah gendang menjadi inspirasi
dari bentuk lingko lodok. Pada dasarnya, pola pemikiran orang Manggarai bersifat simbolis
dan figuratif mengandung kiasan yang dinyatakan dalam simbol, gambar, tanda dan perbandingan Deki, 2011 seperti halnya dalam uraian diatas,
segala sesuatu yang berkaitan dengan lingko lodok baik makna hinga teknis pembuatannya didasarkan pada apa yang orang Manggarai yakini dan
percaya. Selain itu, pengukuran dan ungkapan-ungkapan tradisional berhubungan dengan kebiasaan yang sudah diturunkan secara turun
temurun dari leluhur orang Manggarai dan masih digunakan hingga sekarang. Hal ini menyebabkan orang Manggarai tidak menyadari bahwa
hasil budaya mereka mengandung unsur ilmu pengetahuan modern salah satunya adalah matematika walaupun dalam kenyataannya, matematika
tradisional dan pengetahuan yang berdasarkan pada pengalaman, penemuan dan mengikuti kebiasaan sudah berkembang dalam masyarakat Manggarai
mengikuti kepercayaan dan kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Matematika tradisional ini yang menuntun masyarakat pada pembentukan
lingko lodok dan memiliki kesetaraan dengan matematika modern, sehingga dengan adanya matematika baik matematika tradisional maupun modern
yang berkaitan dengan budaya lingko lodok, maka ada etnomatematika yang
terkandung dalam pembuatan dan pembagian lingko lodok pada masyarakat Manggarai.
F. Keterbatasan Penelitian