Studi eksplorasi etnomatematika pada Lingko Lodok dalam budaya masyarakat Manggarai.

(1)

i

STUDI EKSPLORASI ETNOMATEMATIKA PADA LINGKO LODOK DALAM BUDAYA MASYARAKAT MANGGARAI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Matematika

Oleh:

Amelia Yulivania Senudin NIM : 121414071

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(2)

(3)

iii


(4)

iv

“Langkas haéng ntala

-

uwa haéng wulang”

Menerima, menjalani dan melepaskan

(Nandik Subintarto)

Skripsi ini saya persembahkan kepada Tuhan Yesus

Kedua orang tua,

KaThy, Tho dan Goido,

Prodi Pendidikan Matematika,

Semua yang membaca skipsi ini,

Terima

kasih…


(5)

(6)

vi ABSTRAK

Amelia Yulivania Senudin. Studi Eksplorasi Etnomatematika pada Lingko Lodok dalam Budaya Masyarakat Manggarai. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini membahas tentang eksplorasi etnomatematika pada lingko lodok sebagai hasil budaya masyarakat Manggarai. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mendeskripsikan lingko lodok dari sudut pandang budaya Manggarai dan dari sudut pandang matematika.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data yaitu melakukan wawancara langsung dengan subyek penelitian, dokumentasi dan studi pustaka. Wawancara dilakukan dengan empat orang narasumber yaitu tu’a golo Meler, sekretaris Desa Meler, staff Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai dan satu orang warga Desa Meler.

Hasil dari penelitian ini yaitu lingko lodok adalah peninggalan leluhur orang Manggarai yang merupakan adaptasi dari bentuk rumah adat Manggarai yang berbentuk bundar/bulat dan lingko lodok mengandung unsur matematika seperti sistem pengukuran tradisional, membilang, dan geometri.


(7)

vii ABSTRACT

Amelia Yulivania Senudin. 2016. Study Exploration about Ethnomathematics on Lingko Lodok in Manggaraian Culture. Mini Thesis. Yogyakarta: Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University.

This research discuss about the exploration of ethnomathematics at lingko lodok as the result of Manggaraian culture. This research is aimed to describe about lingko lodok from Manggaraian culture viewpoint and mathematics viewpoint.

The design of this research was descriptive qualitative method. The technique of data collection was directly interview with subject of research, documentation, and it is complete with the theoretical framework. The interview was conducted with four interviewees, they are tu’a golo of Meler, a secretary of Meler village, a staff of Manggaraian Tourism Department, and one of Meler Villager.

The results of this research found that lingko lodok is one of the ancestor relic of Manggaraian which is an adaptation from a traditional house of Manggaraian which have the shape round or circle and lingko lodok contains elements of traditional measurement system such as math, counting, and geometry.


(8)

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

dengan berkat dan rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

Studi Eksplorasi Etnomatematika pada Lingko Lodok dalam Budaya Masyarakat

Manggarai.

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Matematika, Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat

banyak bimbingan, motivasi, dan semangat dari berbagai pihak, sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini,

penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Dr. Marcellinus Andy Rudhito, S.Pd., selaku Ketua Jurusan

Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sanata

Dharma.

3. Bapak Dr. Hongki Julie, M.Si., selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Matematika, Universitas Sanata Dharma.

4. Bapak Beni Utomo, M.Sc., selaku Wakil Ketua Program Studi Pendidikan


(10)

x

pembimbing yang telah membimbing dan memotivasi penulis selama

bimbingan untuk menyelesaikan skripsi.

5. Bapak/Ibu karyawan pada Sekretariat JPMIPA Universitas Sanata Dharma.

6. Bupati Manggarai, Camat Ruteng, dan Kepala Desa Meler yang telah

memberikan ijin kepada peneliti untuk melakukan penelitian di Desa Meler.

7. Bpk. Ambros Rima, Bpk. Robertus Unggut, Bpk. Gabriel F. Gembira, dan

Bpk. Maksi yang telah bersedia menjadi subyek penelitian dalam skripsi ini.

8. Bapak Amir Senudin dan Mama Petronela Kurnia (epak dan emak) tercinta

yang selalu mendukung, memberi semangat dan doa yang tiada henti kepada

penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

9. Kathy Senudin, Ka Pany Su, Tho Senudin dan Goido Kurniawan,

kakak-kakak dan adikku yang terus membantu dan menyemangati penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini.

10.Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Ka Sera Letuna dan

Ka Evan Lahur yang telah mempermudah peminjaman buku-buku referensi.

11.Nat Hagul, Etok Sampur, Ichal Belok yang sudah bersedia menemani dan

membantu selama penelitian berlangsung, memberi semangat, masukan dan

saran kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

12.Sahabat - sahabat : Rista Barut, Mariani Dian, Trifosa Ester, Novika, Ar,

Gery, Wan, Nandik, Arby, Pepin, Acik, Epek, dan Teofilla, yang sudah

menemani saya selama ini, memberikan dukungan, dan motivasi. Terima


(11)

xi

13.Masyarakat Desa Meler dan pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu per

satu, tetapi telah memberikan bantuan, dukungan dan perhatian sampai

skripsi ini selesai.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih ada kekurangan. Untuk itu penulis

menerima segala bentuk kritik dan saran yang membangun untuk melengkapi

skripsi ini. Penulis juga berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.


(12)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN … ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... viii

KATA PENGANTAR. ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. IDENTIFIKASI MASALAH ... 4

C. BATASAN MASALAH ... 5

D. RUMUSAN MASALAH ... 5

E. TUJUAN PENELITIAN ... 5

F. BATASAN ISTILAH ... 6

G. MANFAAT PENELITIAN ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 8

A. BUDAYA MANGGARAI ... 8

1. Pengertian dan unsur-unsur kebudayaan ... 8

2. Budaya Manggarai ... 11

B. SISTEM PENGGARAPAN TANAH ULAYAT (TENTETENO) ... 25

1. Arti tente teno ... 26

2. Latar belakang tente teno... 26

3. Proses tente teno ... 28

4. Hasil tente teno ... 29

5. Randang lingko ... 30


(13)

xiii

1. Hakekat matematika ... 31

2. Etnomatematika ... 32

D. MATERI ... 34

E. KERANGKA BERPIKIR ... 35

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 37

A. JENIS PENELITIAN ... 37

B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ... 37

C. SUBYEK DAN OBJEK PENELITIAN ... 38

D. SUMBER DATA ... 38

E. JENIS DATA ... 38

F. METODE DAN INSTRUMEN PENGUMPULAN DATA... 39

G. TEKNIK ANALISIS DATA ... 40

H. PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN SECARA KESELURUHAN ... 42

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 44

A. DESKRIPSI PELAKSANAAN PENELITIAN ... 44

B. PENYAJIAN DATA ... 45

C. ANALISIS DATA ... 46

D. RINGKASAN HASIL ANALISIS ... 83

E. PEMBAHASAN ... 107

F. KETERBATASAN PENELITIAN ... 126

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 127

A. KESIMPULAN ... 127

B. SARAN ... 128

DAFTAR PUSTAKA ... 129


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Wawancara dengan Tu’a golo Meler………...…………. 47 Tabel 4.2 Wawancara dengan Staf Pemerintahan ………..………. 58 Tabel 4.3 Wawancara dengan Dekretaris Desa Meler ……...………….. 76 Tabel 4.4 Wawancara dengan Warga Desa Meler ……...…..………….. 79 Tabel 4.5 Masa Pemerintahan Raja-Raja di Manggarai …..……… 98 Tabel 4.6 Pengukuran Tradisional ……… 109 Tabel 4.7 Kesetaraan Lingko Lodok dan Lingkaran ………. 114 Tabel 4.8 Keterkaitan Lingko Lodok dengan Matematika dari Segi

Geometri ………...


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Peta Provinsi NTT……….……… 12

Gambar 2. 2 Lingko Lodok ……….… 25

Gambar 2. 3 Sketsa Lingko Lodok ………. 29

Gambar 2.4 Lingkaran dan Bidang Lingkaran……….. 34

Gambar 2.5 Lingkaran dan Bagiannya……….. 35

Gambar 4.1 Sketsa Lodok……….. 88

Gambar 4.2 Penancapan Kayu Teno ………. 89

Gambar 4.3 Sketsa Langang Waga …….……….. 90

Gambar 4.4 Sketsa Lengker ……….. 90

Gambar 4.5 Sketsa Lance ………. 91

Gambar 4.6 Proses Pembagian Moso ……….…... 92

Gambar 4.7 Sketsa Pembuatan Langang Menggunakan Kayu …………. 92

Gambar 4.8 Sketsa Pembuatan Langang Menggunakan Tali………….... 93

Gambar 4.9 Sketsa Langang ………. 94

Gambar 4.10 Lingko Sembong ……..……….. 94

Gambar 4.11 Sketsa Lingko Sembong dan Lingko Salang Cue ………….. 96

Gambar 4.12 Lingko Sembong………. 113

Gambar 4.13 Lingkaran……. ………. 113


(16)

xvi

Gambar 4.15 Lengker ……….………. 116

Gambar 4.16 Langang Waga..……… 116

Gambar 4.17 Sketsa Langang ……….………… 117

Gambar 4.18 Lingko Sembong dan Lingko Salang Cue……….….. 118

Gambar 4.19 Kayu Teno pada Lodok ……….……… 118

Gambar 4.20 Atap Rumah Gendang yang Berbentuk Gasing ……… 123

Gambar 4.21 Kayu Teno pada Lingko Lodok yang Berbentuk Gasing... 123

Gambar 4.22 Atap Rumah Gendang yang Berbentuk Kerucut ………... 124


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kehidupan manusia dengan kebiasaaan-kebiasaannya yang sering

dilakukan dan turun temurun pada setiap generasi dalam suatu kelompok

masyarakat tertentu lambat laun akan menjadi suatu budaya yang melekat

dalam kelompok masyarakat tersebut, sehingga setiap kelompok

masyarakat bisa memiliki budaya yang berbeda-beda. Manusia bisa saja

hidup berpindah-pindah tetapi budaya yang dianut atau dibuat dari lahir

tidak bisa dilupakan walaupun budaya dimana tempat ia tinggal bisa

mempengaruhi kehidupannya. Untuk itu, manusia yang berbudaya harus

bisa merekonstruksi hal-hal yang sangat esensial dari budaya tanpa

mengurangi nilai-nilai yang terkandung dalam budaya tersebut agar budaya

yang dianut atau dibuat tidak hilang eksistensinya. Mempelajari dan

mengulas secara spesifik tentang kebudayaan merupakan salah satu cara

untuk mendapatkan hakikat makna, wujud serta fungsi yang dapat

memberikan sumbangsih atau konstribusi dalam ilmu pengetahuan (Ndia,

2012).

Manusialah pelaku kebudayaan. Ia menjalankan kegiatannya untuk

sesuatu yang berharga dengan demikian kemanusiaannya semakin nyata

(Bakker, 1984). Melalui kegiatan kebudayaan sesuatu yang sebelumnya

hanya kemungkinan belaka bisa menjadi sesuatu yang berharga, unik, dan


(18)

sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi,

sistem mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian. Unsur-unsur

kebudayaan ini hampir dimiliki oleh semua kebudayaan di dunia, Indonesia

salah satunya. Unsur-unsur ilmu pengetahuan misalnya berhitung, keahlian

praktis untuk pelayaran laut, pembuatan rumah adat, dll. Unsur teknologi

misalnya kemampuan memakai panah, pelayaran dengan perahu cadik,

menenun, membatik, dll; unsur agama misalnya animise, mitologi bulan dan

matahari, pemujaan roh nenek moyang, selamatan, penghormatan

pepunden, dll; unsur kesenian misalnya wayang dengan lakon-lakon

purbakala, gamelan pelog; dan unsur bahasa misalnya mengolah sastra

kecil, peribahasa, dongeng, pepatah, dll; serta unsur-unsur lainnya (Bakker,

1984).

Sebagai salah satu negara yang dikenal dengan keberagaman budaya

yang memiliki keunikan tersediri dari setiap etniknya, budaya Indonesia

berkembang dari kesatuan daerah yang kecil mengarah ke kesatuan lokal

yang luas. Seiring dengan berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan,

kebudayaan daerah mulai hilang eksistensinya bahkan bisa lenyap karena

tidak adanya generasi yang bisa mempertahankan atau mewarisi

kebudayaan daerah tersebut. Salah satu budaya asli Indonesia yang masih

bertahan hingga sekarang adalah budaya menggarap tanah ulayat (tente teno

atau lodok uma weru) yang berasal dari Manggarai.

Budaya ini sudah dilakukan masyarakat Manggarai sejak dahulu.


(19)

tanah ulayat baru. Budaya lodok uma weru ini menjadi unik karena dalam

pembagiannya, lahan tidak dibagi dalam bentuk segiempat seperti biasanya,

namun dibagi dari sentral sebuah tanah ulayat, sehingga sekilas tanah ulayat

masyarakat Manggarai berbentuk seperti jaring laba-laba. Selain itu, budaya

Manggarai yang masih bertahan hingga sekarang adalah rumah adat (mbaru

gendang) di Wae Rebo yang berbentuk seperti kerucut, tenun ikat (lipa songke), tarian caci, sastra lisan, perhitungan tradisional, tukar menukar barang kebutuhan manusia dan lain sebagainya. Hal-hal yang berkaitan

dengan budaya Manggarai dalam aplikasinya mengunakan kebiasaan atau

kepercayaan setempat akan suatu hal. Setiap hasil budaya yang dihasilkan

mempunyai filosofi yang diyakini berkaitan dengan moral dan nilai-nilai

kehidupan masyarakat Manggarai yang dijadikan pedoman untuk hidup

bersama yang lebih sejahtera dan rukun. Selain memiliki filosofi tersendiri,

kebudayaan juga mengandung nilai-nilai atau unsur ilmu pengetahuan,

salah satunya adalah matematika. Sebagai ilmu, matematika berkaitan

dengan pola, baik pola bilangan maupun pola dalam geometri. Hal ini juga

berhubungan dengan pada matematika yang ada dalam budaya Manggarai,

hasil-hasil budaya masyarakat Manggarai sekilas berhubungan dengan

matematika dalam pola-pola geometri seperti rumah adat (mbaru gendang)

di Wae Rebo yang bentuknya seperti kerucut, motif-motif tenun ikat (lipa

songke), lingko lodok, dan lain sebagainya.

Pada budaya Manggarai, belum ada landasan ilmiah yang tertulis


(20)

setiap pengetahuan dan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat

Manggarai. Masalah-masalah kontekstual yang ada di masyarakat

Manggarai banyak berkaitan dengan matematika yang secara sadar dan

tidak sadar telah dilakukan sejak jaman leluhur masyarakat Manggarai dan

masyarakat Manggarai hanya mengikuti tradisi, kebiasaan dan budaya yang

sudah dilakukan secara turun temurun dari leluhurnya. Pada hakekatnya

matematika tumbuh dari keterampilan atau aktivitas lingkungan budaya,

sehingga matematika seseorang dipengaruhi oleh latar belakang budayanya

(Pinxten, 1994). Matematika yang berkembang dalam lingkungan

masyarakat atau etnomatematika merupakan adanya penerapan matematika

dalam budaya suatu etnik tertentu.

Berdasarkan paparan di atas, maka peneliti mengangkat

permasalahan tersebut melalui sebuah penelitian yang berjudul “STUDI EKSPLORASI ETNOMATEMATIKA PADA LINGKO LODOK

DALAM BUDAYA MASYARAKAT MANGGARAI”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti mengidentifikasikan

masalah sebagai berikut:

1. Belum ada landasan ilmiah yang tertulis pada hasil-hasil budaya

masyarakat Manggarai.

2. Kebudayaan lokal yang mulai hilang eksistensinya seiring dengan


(21)

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan di atas, peneliti

membatasi masalah yang akan diteliti agar penelitian bisa terlaksana dengan

baik, yaitu:

1. Lingko lodok yang akan diteliti adalah lingko lodok yang terletak di Desa

Meler, Cancar, Kab. Manggarai.

2. Landasan ilmiah atau landasan matematika tentang geometri

(khususnya pada lingkaran dan poligon) yang berkaitan dengan lingko

lodok.

3. Eksplorasi keterkaitan budaya lingko lodok dengan landasan

matematika.

D. Rumusan Masalah

1. Bagaimana lingko lodok dari sudut pandang budaya Manggarai?

2. Bagaimana hubungan/kaitan lingko lodok dengan matematika dari sudut

pandang matematika?

E. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan lingko lodok dari sudut pandang budaya Manggarai.

2. Mendeskripsikan keterkaitan lingko lodok dengan matematika dari


(22)

F. Batasan Istilah

Untuk menghindari terjadinya kesalahpamahan istilah, maka peneliti perlu

memberikan batasan istilah, yaitu:

1. Etnomatematika merupakan matematika yang diterapkan atau

digunakan oleh suatu kelompok etnik tertentu.

2. Lingko lodok merupakan tanah ulayat yang dibagikan kepada

masyarakat yang berbentuk seperti jaring laba-laba.

G. Manfaat Penelitian

Lingko lodok merupakan salah satu tradisi dalam pembagian tanah ulayat untuk dikelola oleh masyarakat yang terdapat di daerah Manggarai Raya

(Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Manggarai Tengah, dan

Kabupaten Manggarai Timur) yang masih dilakukan sampai sekarang.

Penelitian diharapkan bisa bermanfaat untuk menambah wawasan dan

kepustakaan mengenai penelitian etnomatematika, diantaranya:

1. Manfaat teoritis

 Dalam bidang matematika, penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangsih yang berguna terhadap matematika agar

memperkaya pengetahuan matematika yang telah ada.

2. Manfaat praktis

 Dalam bidang budaya, penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan budaya lingko lodok berdasarkan makna budaya

agar nilai-nilai yang terkandung dalam lingko lodok bisa tetap


(23)

 Dalam bidang pendidikan, penelitian ini diharapkan bisa menjadi dasar adanya penerapan budaya yang menjadi salah satu metode

pembelajaran di sekolah khususnya pelajaran matematika, agar

pembelajaran lebih bervariasi dan budaya Manggarai tetap bisa

dilestarikan dan dikembangkan.

 Dalam bidang pariwisata dan pemerintah daerah, dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan daerah setempat, yaitu sebagai


(24)

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Budaya Manggarai

1. Pengertian dan unsur-unsur kebudayaan

1.1.Pengertian

Koentjaningrat (1990: 181) mengartikan kata kebudayaan atau

dalam bahasa Inggris culture berasal dari bahasa Sansekerta yaitu

buddhayah. Kata buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari budi, dapat diartikan sebagai budi atau akal. Kebudayaan juga dapat

diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal.

Bakker (1984: 22) mendefinisikan bahwa kebudayaan adalah

keseluruhan penciptaan, penertiban, dan pengolahan nilai-nilai

insani. Sedangkan dari segi antropologi kebudayaan dalam Subagyo

dan Sudartomo (2009: 323) menyatakan bahwa kebudayaan

diartikan sebagai tata kehidupan, way of life, kelakuan. Dari situ

dapat diartikan bahwa semua hal yang berkaitan dengan hasil

ciptaan manusia sebagai subyek masyarakat adalah kebudayaan.

1.2.Unsur–Unsur kebudayaan

Unsur-unsur kebudayaan menurut J.W.M. Bakker (1984: 37-50)


(25)

1.2.1. Kebudayaan subjektif

Dipandang dari aspirasi fundamental yang ada pada manusia,

nilai-nilai batin dalam kebudayaan subjektif terdapat dalam

perkembangan kebenaran, kebajikan dan keindahan.

1.2.2. Kebudayaan objektif

Nilai-nilai objektif yang disebut juga hasil kebudayaan, alat,

aspek-aspek dan unsur-unsur kebudayaan itu dapat

disistematisasikan menurut beberapa prinsip pembagian seperti

berikut:

1.2.2.1. Ilmu pengetahuan

Ilmu pengetahuan meliputi sains (ilmu-ilmu eksakta) dan

humaniora (sastra, filsafat, sejarah, dll).

1.2.2.2. Teknologi

Berdasarkan pengetahuan alam, terknik bertujuan untuk

memfaedahkan sumber-sumber alam agar terjaminlah

makanan, perumahan, komunikasi, dll yang perlu untuk

derajat hidup yang layak.

1.2.2.3. Kesosialan

Kesosialan sebagai sifat, unsur, asas, dan alat

demikian erat berhubungan dengan kebudayaan,

sehingga hanya dapat dibedakan secara konseptual saja.

Kesosialan meliputi fungsi dalam institusi-institusi


(26)

makmur, desa dan kota, bangsa dan negara. Bahasa,

dengan wujud ilmu komunikasi dan kesusteraan

mencakup bahasa daerah, pantun, syair, novel-novel, dan

lain sebagainya.

1.2.2.4. Ekonomi

Lapangan ekonomi lazimnya dibagi dalam tiga

sektor, dan yang masing-masing sektor mencerminkan

dengan cukup baik corak suatu kebudayaan dan orientasi

pokoknya. Tiga sektor tersebut saling berkaitan satu

sama lain dan melengkapi kehidupan manusia sehingga

kehidupan manusia terus meningkat ke arah yang lebih

baik.

Sektor primer mencurahkan tenaga ekstraksi yang

terdiri atas pertambangan, pertanian, peternakan, dan

perikanan. Sektor sekunder mengolah bahan mentah

yang diproduksi dalam sektor primer dan meliputi

industri, kerajinan dan pembangunan. Sektor tersier

meliputi segala macam pelayanan kepada masyarakat,

meliputi pencaharian, distribusi, komunikasi, hukum,

keamanan, pendidikan, perguruan, kesehatan, kesenian


(27)

1.2.2.5. Kesenian

Kesenian meliputi seni rupa, seni suara, seni tari, seni

sastra dan dramatik.

1.2.2.6. Agama

Agama sebagai sistem obyektif, terdiri dari bahan ajaran

(pasal-pasal iman), peraturan (moral), dan

upacara-upacara (ibadat) yang menjawab kepada tuntutan zaman.

2. Budaya Manggarai

2.1. Letak Geografis – Topografi dan Iklim

Manggarai adalah suatu daerah yang terletak di barat pulau

Flores, NTT. Dulunya Manggarai hanya satu kabupaten, tetapi

sekarang Manggarai telah dimekarkan menjadi tiga kabupaten

(Nggoro, 2006: 23), yaitu Manggarai Timur (Borong), Manggarai

(Ruteng), Manggarai Barat (Labuan Bajo). Terpecahnya Manggarai

menjadi tiga kabupaten tidak menjadi masalah dalam rasa

persaudaraan, budaya, dan kecintaan terhadap Manggarai.

Adapun letak geografis daerah Manggarai yaitu sebagai berikut:

1. Bagian timur dibatasi oleh Kabupaten Ngada,

2. Bagian barat dibatasi oleh Selat Sape,

3. Bagian utara dibatasi oleh Laut Flores,


(28)

Berdasarkan data makro/pola umum pembangunan NTT

(Rahmat, 1985: 8-9), Manggarai dapat di kategorikan sebagai

berikut:

1. Manggarai terbentuk sejak zaman mesozoikum (140 juta tahun

lalu) dan terus ke zaman tertier (lebih dari 65 juta tahun yang

lalu) dan kuarter (lebih dari 600.000 tahun yang lalu). Bahannya

terdiri dari bahan endapan vulkanik.

2. Dari segi topografi Manggarai adalah daerah yang berbukit,

bergunung dan sebagiannya dataran (padang). Dulu, moyang

Manggarai mendirikan rumah-rumah (kampung) di bukit atau Gambar 2.1 Peta Provinsi NTT


(29)

gunung sehingga kampung itu dalam bahasa Manggarainya ialah

beo atau golo lonto. Golo artinya: bukit, gunung, kris. Mereka mendirikan kampung di bukit/gunung supaya terhindar dari

serangan musuh. Verheijen (1991:23) menyatakan bahwa

dapatlah dimengerti bahwa orang Manggarai mendirikan

kampungnya jauh dari pantai atau di pedalaman.

3. Manggarai tergolong memiliki iklim kering. Musim hujan

berkisar antara bulan Desember/Januari sampai Maret/April,

sedangkan musim kemarau berkisar antara bulan Mei/Juni

sampai bulan Oktober/November.

2.2. Unsur-unsur Kebudayaan Manggarai

2.2.1. Struktur dan kehidupan sosial

Sistem kekerabatan yang berlaku di Manggarai bersifat

patrilineal (garis keturunan ayah) (Verheijen, 1977: 99). Dari

segi keturunan, seluruh warga wa’u masih dibedakan atas berbagai kelompok, yaitu: kelompok keturunan sulung (wae

tu’a), kelompok keturunan sesudahnya (wae shera), dan kelompok keturunan bungsu (wae koe). Selain kekerabatan dari

segi keturunan, kekerabatan dapat terjadi akibat perkawinan

(woe nelu), yaitu keluarga pemberi gadis disebut anak rona dan

keluarga penerima gadis disebut anak wina. Dalam sistem

kekerabatan yang diciptakan dari pola perkawinan ini,


(30)

sangat dihargai oleh anak wina dalam berbagai urusan adat, baik

itu perkawinan maupun kematian.

Perkawinan antara muda mudi di Manggarai dapat terjadi

antara pasangan yang berasal dari keturunan yang sama (bukan

kandung) (Deki, 2011: 65). Selain perkawinan, ada juga acara

kematian (tae mata) yang dikhususkan pada kematian manusia.

Tae mata mempunyai susunan acara yang cukup lengkap, yaitu: sejak kematian sampai malam saung ta’a (acara perpisahan secara resmi antara keluarga yang masih hidup dengan yang

sudah meninggal), dan kelas (pesta kenduri) (Nggoro, 2006:

167). Pada prosesi kelahiran, dikenal dengan adanya deklarasi

bayi yang baru lahir dengan munculnya istilah entap

dinding/entap siding yang berarti memukul sekat/bilik rumah pada kamar keluarga yang sedang bersalin dengan sebutan

istilah ata one (sebutan untuk anak laki-laki) yang berarti orang

dalam karena akan tinggal di kampung halaman dan mendapat

warisan dari orang tua atau ata pe’ang (sebutan untuk anak perempuan), yang berarti orang luar karena setelah menikah,

anak perempuan akan mengikuti suaminya.

Pelapisan sosial dalam masyarakat Manggarai pada zaman

dahulu terdiri atas tiga lapisan, yaitu golongan keraeng

(bangsawan), ro’éng (orang biasa), dan mendi (budak) (Deki, 2011: 79). Dasar pelapisan itu adalah keturunan dari klan-klan


(31)

yang dianggap mempunyai sifat keaslian, senioritas, atau

pengaruh politis. Ada juga lapisan-lapisan yang diklasifikasikan

ke dalam status dan strata sosial yang sama seperti Dalu dan

Gelarang.

Ada beberapa tetua adat yang ada di masyarakat Manggarai

yang menjadi penguasa atau pemimpin tradisional masyarakat

Manggarai dalam suatu kampung (béo/golo) menurut Nggoro

(2006: 76-81), yaitu:

2.2.1.1. Tu’a kilo/Tu’a Panga

Tu’a kilo/tu’a panga (tu’a = ketua, kepala; kilo = keluarga, pasangan hidup, takaran; panga = cabang kayu,

ranting). Istilah tu’a kilo/tu’a panga merujuk kepada jabatan pemimpin adat dalam masyarakat yang dipilih bersama, atau

bisa berarti sebagai kepala keluarga tingkat ranting (kepala

subklan) dalam suatu kampung.

Untuk menjabat sebagai tu’a kilo/tu’a panga mestinya memahami budaya, mampu berbicara, menetapkan adat

istiadat yang tepat, arif dan bijaksana sudah menikah,

mampu memimpin, dan tak memandang usia.

Dalam penerapannya, keluarga ranting (subklan) bersatu

dan mempunyai tanggung jawab yang sama dalam urusan

umum dalam suatu kampung seperti: penti (acara syukuran),


(32)

ulayat baru), pande kintal beo (membuat pagar kompleks

kampung).

2.2.1.2. Tu’a golo

Tu’a golo terdiri dari dua kata yaitu tu’a yang berarti ketua, kepala, pemimpin dan golo yang berarti bukit,

gunung, kris. Tu’a golo berarti kepala pemerintahan kampung. Kriteria untuk menjadi tu’a golo adalah sudah mencapai usia dewasa, sudah menikah, orang asli kampung

tersebut, sehat jasmani maupun rohani, memahami adat

Manggarai, mampu memimpin, yang dipilih berdasarkan

musyawarah dan mufakat warga kampung atau antara tu’a

-tu’a kilo, dan bisa juga dipilih secara aklamasi.

Tugas dan wewenang tu’a golo adalah untuk memimpin sidang warga kampung menyangkut kepentingan warga

kampung misalnya dalam hal membuat pagar kompleks

kampung, mengadakan rehabilitasi rumah adat/membangun

rumah adat (pande cuwir kole mbaru tembong/ pande mbaru

tembong weru), bersih kubur (we’ang boa), membersihkan air minum (barong wae teku).

2.2.1.3. Tu’a teno

Tu’a teno adalah kepala pembagian tanah ulayat. Tu’a berarti ketua/kepala; teno berarti kayu teno. Tu’a teno dipilih secara musyawarah karena tu’a teno mewakili tuan tanah


(33)

dari kerabat lain. Tuan tanah adalah pemilik tanah dalam arti

(merekalah) yang pertama tinggal, menetap di lokasi atau

sekitar tanah tersebut, sehingga dapat mamahami status

kepemilikan tanah, sejarah tanah tersebut, dan biasanya

menjadi tu’a teno. Tu’a teno haruslah memiliki sikap demokrasi, fleksibel seperti ciri-ciri kayu teno yang elastis.

2.2.1.4. Tongka

Arti kata tongka adalah takaran dan juru bicara

perkawinan. Kata tongka bisa digunakan dalam dua aspek

pada bahasa Manggarai. Sebagai arti juru bicara perkawinan,

tongka sering dilibatkan dalam acara perkawinan baik dari keluarga laki-laki maupun keluurga perempuan yang

bertugas untuk mewakili masing-masing keluarga besar

dalam acara pernikahan.

2.2.2. Ilmu pengetahuan

Masyarakat Manggarai sejak dulu sudah mengenal sastra

khususnya sastra lisan dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Sastra lisan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam

masyarakat Manggarai. Ada dua bentuk sastra yang sudah

menjadi lazim, yakni prosa naratif yang terungkap dalam

berbagai kisah rakyat (tombo nunduk dan tombo turuk) dan puisi

lirik yang diekspresikan melalui peribahasa, tamsil-tamsil


(34)

(dere) rakyat (Janggur, 2010). Sejarah lisan maupun tradisi lisan

merupakan sebuah perilaku budaya yang harus dilakoni setiap

warga generasi sebagai jati diri sejarah tanah air dan

keturunannya (Jacob, 1990: 442).

2.2.3. Bahasa Manggarai

Bahasa Manggarai menjadi umum dan hampir dikuasai oleh

semua orang Manggarai di berbagai wilayah. Menurut KoO

(1984: 25), pembagian bahasa di Manggarai dapat ditelusuri dari

klasifikasi kata “tidak”. Masyarakat Manggarai Tengah dan Manggarai Barat menggunakan kata toe untuk mengatakan

tidak, masyarakat Rongga menggunakan kata mbaen, sedangkan

masyarakat Rembong menggunakan kata pae. Perbedaan yang

lebih mencolok terletak pada kosa kata, dialek, dan

konsonan-vokal yang dimiliki tiap daerah.

2.2.4. Teknologi

Masyarakat Manggarai di masa lalu sudah mengenal bahkan

mampu menghasilkan peralatan atau perkakas yang dibutuhkan

untuk kehidupannya. Begitupun teknologi pembuatan minuman

tradisional juga sudah dikenal di masyarakat Manggarai, yakni

proses pembuatan atau mencampur air enau dengan kulit damar

sehingga menghasilkan alkohol berkadar tinggi seperti arak atau

tuak. Masyarakat Manggarai sejak dulu juga sudah mengenal


(35)

misalnya londek jembu yaitu pucuk daun jambu untuk

mengobati sakit perut, kayu sita untuk pengombatan disentri.

Ada beberapa unsur yang termaksud dalam peralatan dan

teknologi Manggarai menurut Dagur (1990), yaitu:

1) rumah adat (mbaru tembong atau mbaru niang) yang

berbentuk kerucut dan bersegi lima yang terdiri atas tiga bagian

utama, yaitu ngaung (bagian bawah rumah yang memiliki

kolong), bate ka’eng (tempat tinggal), dan wuwung (atap) yang terbuat dari ijuk untuk atapnya, dan papan untuk dindingnya. 2)

alat-alat produksi tradisional, meliputi: kope (parang), beci

(tofa), ngencung (lesung), alu, lewing tana (periuk dari tanah

liat). 3) senjata untuk berperang, meliputi: kope banjar (parang

panjang), korung dan vokad (rombak), kiris (keris), panah. 4)

pakaian dan perhiasan, meliputi baju dan kain (lipa) seperti baju

kembiang, towe mbiris, selendang slampe, towe songke, sapu

curuk, lalong-ndeki, golo, dan nggorong (Verheijen, 1977: 54). Sedangkan perhiasan yang dipakai seperti gelang (nekar, cake,

meloso), tuni mbero, tubi rapa, anting-anting, bali-belo (hiasan kepala wanita seperti mahkota), luju dan retu. 5) berbagai bentuk

wadah, meliputi: langok, joreng, cecer (tempat penyimpanan

padi atau jagung yang berukuran besar), roto atau beka (wadah

yang berfungsi sebegai tempat penyimpanan jagung yang


(36)

transportasi umumnya menggunakan tenaga sendiri, hewan

(kerbau atau kuda) dan sampan.

2.2.5. Sistem mata pencaharian

Masyarakat Manggarai sebagian besar bermata pencaharian

sebagai petani. Tahah yang digarap oleh orang Manggarai adalah

unik adanya. Tanah ulayat dalam istilah Manggarai disebut

lingko dan menggarap tanah ulayat disebut tente teno. Tente teno/lodok uma weru berarti membuka kebun bundar/ kebun ulayat baru oleh sekelompok masyarakat atau suatu warga

kampung yang dipimpin oleh tua teno (kepala pembagi tanah

ulayat) (Nggoro, 2006). Terdapat tiga jenis aktivitas yang

berkaitan dengan mata pencaharian masyarakat Manggarai,

yaitu: bekerja di ladang atau sawah, berburu, beternak.

2.2.6. Kesenian

Menurut Nggoro (2006), kesenian masyarakat Manggarai

yang berupa seni pertunjukkan diekspresikan melalui seni

musik, seni tari, dan seni rupa. Di Manggarai juga tumbuh dan

berkembang berbagai jenis kesenian khas daerah ini seperti seni

pertunjukan (tari, musik, nyayian), seni arsitektur (rumah),


(37)

2.2.6.1. Seni pertunjukan

2.2.6.1.1. Caci

Menurut Nggoro, nama caci sendiri berasal dari dua kata

yaitu "ca" yang berarti satu dan "ci" artinya uji. Jadi caci

bermakna uji satu lawan satu untuk membuktikan siapa yang

benar dan salah. Kelengkapan caci adalah perisai (giliq),

tali (larik) yang kemudian digunakan sebagai cambuk serta

pelindung kepala (pangga).

Caci sudah merupakan puncak kebudayaan Manggarai yang unik dan sarat makna: seni gerak (lomes), nilai etika

(sopan santun), nilai estektika, muatan nilai persatuan,

ekspresi sukacita, nilai sportivitas, serta penanaman percaya

diri. Tarian caci biasanya dilagakan di depan rumah adat,

antara Mbaru gendang dan Compang dan ditarikan atau

dimainkan oleh para lelaki (ata reba). Diiringi musik dari

gong dan gendang, sebagian besar pemusiknya adalah kaum

hawa, dan sekelompok orang memainkan danding (lagu dan

tarian).

2.2.6.1.2. Tari-tarian dan Nyayian

Tari-tarian yang terdapat dalam budaya Manggarai

adalah Tarian Rangkuk Alu, Sae, Ronda, Tarian Dundung


(38)

2.2.6.1.3. Alat musik

Alat musik yang digunakan dalam budaya orang

Manggarai adalah gong dan gendang.

2.2.6.2. Kerajinan

2.2.6.2.1Tenun ikat

Tenun ikat yang dimiliki oleh orang Manggarai biasa

disebut dengan lipa songke. Songke ini sendiri tidak hanya

bisa dijadikan sarung (lipa songke), tetapi juga bisa dijadikan

selendang songke, topi songke (songkok), dan banyak

jenisnya. Kain songke adalah hasil kerajinan tangan wanita

Manggarai (Dagur, 1990).

Menurut Dagur (1990), Warna dasar hitam pada songke

melambangkan sebuah arti kebesaran dan keagungan orang

Manggarai serta kepasrahan bahwa semua manusia akhirnya

akan kembali pada Yang Maha Kuasa, sedangkan aneka

motif pada kain songke mengandung banyak makna sesuai

motif itu sendiri seperti motif wela kawong bermakna

interdependensi antara manusia dengan alam sekitarnya.

Motif ranggong (laba-laba) bersimbol kejujuran dan kerja

keras. Motif ju’i (garis-garis batas) pertanda keberakhiran segala sesuatu, yaitu segala sesuatu ada akhirnya, ada

batasnya. Motif ntala (bintang) terkait dengan harapan.


(39)

atau etos bahwa orang Manggarai bagaikan bunga kecil tapi

memberikan keindahan dan hidup di tengah-tengah kefanaan

ini.

2.2.6.2.2Anyaman

Kerajinan wanita-wanita Manggarai lainnya selain lipa

songke adalah anyaman dari daun pandan seperti loce (tikar), tange (bantal), lancing (tempat menyimpan hasil pertanian), luni (karung kecil), potang (sarang ayam), doku (tempat tampi beras) (Nggoro, 2006).

2.2.7 Seni arsitektur

2.2.7.1Mbaru gendang

Mbaru gendang (mbaru: rumah). Mbaru gendang biasa juga disebut dengan mbaru tembong (tembong: gong). Arti

budaya mbaru gendang atau mbaru tembong adalah rumah

adat yang berbentuk kerucut (niang).

Konstruksi mbaru tembong ini beratapkan ijuk (wunut)

yang berbentuk sepeti kerucut, di ujung atap rumah dipasang

tanduk kerbau (rangga kaba). Simbol ini sebagai lambang

kejantanan dan betapa pentingnya kerbau dalam aktivitas

orang Manggarai. Selain itu, mbaru tembong ini digunakan

untuk rapat umum warga kampung dan dibangun cukup

besar untuk satu keluarga besar. Letak mbaru tembong


(40)

mbaru tembong langsung berhadapan dengan halaman kampung (natas), dan berdekatan dengan compang (tempat

sesajian ditengah kampung) (Nggoro, 2006: 31-32).

2.2.7.2Compang

Compang merupakan tempat sesajian yang terletak di halaman kampung atau sekitarnya. Compang berbentuk

lingkaran yang menyerupai meja persembahan, terbuat dari

tumpukkan tanah dan batu-batuan. Di tengah compang

tumbuh pohon besar (langke).

2.2.8 Kepercayaan

Masyarakat Manggarai pada tempo dulu menganut

kepercayaan animisme dan dinamisme (percaya pada roh-roh

halus/dewa) (Nggoro: 2006). Diyakini bahwa roh halus itu

tinggal di pohon-pohon besar (langke) seperti di sumber air (one

ulu wae), di rawa-rawa (one temek), dan di hutan lebat (puar mese/poco), sehingga tempat tersebut dianggap mempunyai sumber kekuatan yang disebut pong (Verheijen, 1991:233).

Kemudian leluhur orang Manggarai berupaya menanam kembali

bibit pohon besar itu (langke) agar tumbuh di tengah kampung


(41)

B. Sistem penggarapan tanah ulayat (tente teno)

Berbicara tentang tanah ulayat hampir sama di setiap daerah. Akan

tetapi proses menggarap tanah ulayat berbeda-beda di setiap daerah,

termasuk istilah budaya yang digunakan dalam kaitan tanah ulayat tersebut.

Istilah tanah ulayat di daerah Manggarai dikenal dengan sebutan lingko dan

menggarap tanah ulayat (lingko) dikenal dengan istilah tente teno.

Berikut akan diuraikan empat hal penting dalam proses tente teno

menurut Nggoro (2006: 179-186).


(42)

1. Arti tente teno

Tente teno terdiri dari dua kata yaitu tente yang berarti tanam, menanam dan teno yang berarti nama sejenis kayu yaitu kayu teno.

Tente teno memiliki arti membuka kebun bundar/kebun ulayat baru oleh sekelompok masyarakat atau suatu warga kampung yang dipimpin oleh

tu’a teno. Sinonim kata tente teno adalah lodok uma weru.

Lodok berarti sentral tanah ulayat (lingko) yang akan menjadi titik awal pembagian lahan. Pada lodok inilah diadakan tente teno. Hanya

satu lodok untuk satu tanah ulayat.

2. Latar belakang tente teno

2.1. Haju teno (kayu teno)

Ada beberapa keunikan dan kelebihan kayu teno, yaitu:

2.1.1 Bentuk batangnya/pohonnya lurus (heluk), menurut paham

orang/moyang Manggarai bahwa ciri kayu teno yang lurus itu

adalah simbol sikap jujur, dapat dipercaya oleh orang lain (imbi

lata laing).

2.1.2 Kayu teno kurang bercabang (toe danga manga panga)

artinya proses pembagian tanah ulayat (lingko) dilandasi rasa

keadilan.

2.1.3 Bila daunnya gugur, dapat menyuburkan tanah; juga

memiliki batang pohon yang halus, lembut (hemel). Artinya,

kiranya dibutuhkan suasana hati, pikiran, dan perilaku yang


(43)

kesabaran, tidak otoriter, tidak ada rasa dengki, dan tidak

cemburu dalam hal membagi tanah.

2.1.4 Memiliki kulit kayu yang tebal (loke haju kimpur). Kulit

kayu yang tebal itu dapat digunakan sebagi tali rentang batas

pembagian tanah setiap peserta yang berhak mendapat

pembagian tanah. Makna kulit kayu itu dalam konteks budaya

Manggarai adalah agar tanah yang digarap itu dijauhkan dari

segala penyakit, hama wereng tanaman, agar kiranya tanah

tersebut mendatangkan hasil panen yang berlimpah.

2.2 Ruha manuk kampung/beo (telur ayam kampung)

Menurut tradisi moyang Manggarai, telur itu merupakan simbol

dari tuak robo (minuman alkohol dari pohon enau yang tersimpan di

robo). Dahulu moyang Manggarai memakai robo untuk menyimpan minuman tuak robo itu dan motif robo menyerupai bentuk telur

ayam.

Tuak robo dalam tente teno dilambangkan sebagai

penghormatan, penghargaan terhadap roh-roh/jin/leluhur yang

dianggap empunya tanah, agar mereka dapat memberi berkat,

mendatangkan hasil yang berlimpah dari hasil kerja pada tanah

ulayat itu.

Berkaitan dengan telur ayam yang disajikan waktu membuka


(44)

busuk yang memiliki arti simbol penghormatan harus dari hati yang

bersih dan jujur.

2.3 Saung ngelong

Saung ngelong adalah daun ngelong yang berciri khas berdaun tipis, kecil, dan tumbuh di tempat-tempat yang lembab, tanah humus, dan

subur. Penggunaan saung ngelong ini memiliki arti, kebun yang

akan digarap senantiasa subur, berhumus, agar semua tanaman dapat

tumbuh dengan subur dan mendatangkan hasil yang berlimpah.

3. Proses tente teno

Proses tente teno dimulai dengan menancapkan kayu teno yang

memiliki panjang satu meter di atas permukaan tanah, satu butir telur

ayam kampung, dan segenggam daun ngelong, kemudian di sekitar kayu

teno dibuatkan pagar kecil yang jumlahnya sesuai dengan jumlah

peserta yang mendapat pembagian tanah ulayat tersebut. Tali

direntangkan dari kayu teno sebagai pilar sentral itu ke setiap

pagar-pagar kecil dan panjang pagar-pagar kecil itu harus sama dengan panjang kayu

teno. Dari tiang kayu teno tersebut direntangkan tali pada setiap pagar kecil itu masing-masing sampai batas terluar area tanah (cicing)

sehingga dengan demikian dapat membentuk area pembagian tanah


(45)

4. Hasil tente teno

4.1 Moso adalah lokasi pembagian tanah yang dimiliki secara

perorangan.

4.2 Lodok adalah titik awal membagi tanah ulayat (lingko). Hanya satu

lodok untuk satu tanah ulayat. Lodok letaknya di tengah area tanah ulayat, diharapkan panjang/luas ukuran tanah pembagian setiap

orang diupayakan sama ukurannya atau hampir sama. Bisa

berbeda apabila bentuk tanahnya tak simetris. Lodok mestinya

dikosongkan (tidak diolah) untuk dijadikan sebagai tempat

sesajian.

.

Moso

Cicing

Gambar 2.3 Sketsa lingko lodok dan bagian-bagiannya Lodok

Galong

Banta


(46)

4.3 Cicing adalah batas ujung, luar tanah. Pada batas terluar tanah

yang dimaksud yakni dibatasi oleh tanah milik pribadi atau tanah

ulayat lain. Oleh karena itu, agar tidak terjadi perebutan batas

cicing, dan agar tak masuk binatang yang merusak tanaman, maka bagian cicing tanah ulayat harus dibatasi dengan pagar (kena) dan

atau got (ngali).

4.4 Banta artinya pematang yang berfungsi untuk menahan erosi,

sehingga tanah tetap humus dan subur.

4.5 Galong artinya petak. Galong ialah pecahan-pecahan dari

pembagian tanah. Ukuran satu galong hampir sama ukuran atau

kapling tanah. Batas antara galong yang satu dengan galong yang

lain disebut banta/pematang.

4.6 Langang artinya batas. Langang adalah batas area tanah

pembagian antara seorang demi orang dalam satu tanah ulayat dan

antara seorang/tanah ulayat dengan tanah ulayat lainnya.

5. Randang lingko

Randang lingko adalah upacara adat persembahan, syukuran, sesajian kepada leluhur/roh yang dianggap empunya tanah dengan

mengorbankan seekor kerbau jantan dalam hal membuka kebun

bundar/tanah ulayat baru.

Pada saat randang lingko juga dihadiri oleh kelompok-kelompok

masyarakat sekitarnya (batas terdekat tanah ulayat itu). Tujuan


(47)

merekalah saksi jika tanah ulayat lain menyangkut status tanah ulayat

itu. Tak semua pembukaan tahan ulayat melaksanakan randang lingko.

Semuanya tergantung kesanggupan masyarakat.

C. Etnomatematika

1. Hakekat matematika

Matematika dalam penggunaannya tidak pernah terlepas dari

kehidupan sehari-hari. Masalah-masalah kontekstual yang sering terjadi

bisa diselesaikan menggunakan matematika. Awal ditemukannya

matematika tidak bisa ditentukan, secara sadar ataupun tidak sadar,

semua orang menggunakan matematika dalam kehidupannya. Menurut

Berlinghoff dan Gouvea (2004),

anthropologist have foud many prehistoric artifacts that can, perhaps be interpreted as mathematical. The oldest such artifacts were found in Africa and date as far back as 37.000 years. They show that men and women have been engaging in mathematical activities for a long time. Modern anthropologists and the students of ethnomathematics also observe that many cultures around the world show a deep awareness of form and quantity and can often do quite sophisticated and difficult things that require some mathematical understanding. These range all the way from laying out a rectangular, base for a building to devising intricate patterns and design in weaving, basketry, and other crafts.”

Matematika dapat dipandang dalam tiga identitas, yaitu (Didi,

2014):

1.1. Matematika sebagai suatu kumpulan alat (kumpulan metode)

untuk memecahkan masalah. Selain itu, matematika diartikan


(48)

persoalan di dunia, termasuk persoalan pada berbagai bidang ilmu

lain, misalnya fisika, kimia, ekonomi, dll.

1.2. Matematika sebagai suatu ilmu

Matematika sebagi ilmu diartikan sebagai ilmu tentang pola

dan struktur yang berlandaskan pada logika. Aktivitas matematika

sebagai ilmu adalah aktivitas yang di dalamnya terjadi proses

pengabstraksian dari pengalaman nyata dalam kehidupan

sehari-hari ke dalam matematika atau sebaliknya, meliputi aktivitas

mengelompokkan, berhitung, mengukur, merancang bangunan

atau alat, membuat pola, membilang, menentukan lokasi, bermain,

menjelaskan, dan sebagainya.

1.3. Matematika sebagai suatu bahasa, matematika dapat dipandang

sebagai suatu perangkat aturan dan lambang yang dapat digunakan

untuk berkomunikasi secara efektif dan efisien. Contoh: untuk

menyampaikan pikiran bahwa “tiga ditambah empat sama dengan tujuh”, orang biasa menulis “3+4 = 7”, demikian juga untuk

menyampaikan informasi bahwa “produksi suatu pabrik

mengalami kenaikan”, orang biasa menggambarkan dengan

grafik.

2. Etnomatematika

Istilah etnomatematika pada dasarnya diperkenalkan oleh seorang


(49)

yang ditulis oleh Rosa dan Orey (2011) menjelaskan etnomatematika

sebagai berikut,

the prefix “ethno” is today accepted as a very broad term

that refers to the socialcultural context and therefore language, jargon, and codes of behavior, myths, and symbols. The derivation

of “mathema” is difficult, but tends to mean to explain, to know,

to understand, and to do activities such as ciphering, measuring,

classifying, inferring, and modeling. The suffix “tics” is derived

from techné, and has the same root as technique.” Chemiller (dalam Assayag, 2002: 161) mendefinisikan.

ethnomathematics is a new that has arisen during the last two decades, at the crossroad between history of mathematics and mathematics education. This domain consists in the study of mathematical ideas shared by orally transmitted cultures. Such ideas are related to number, logic and special configurations.” Selain itu, Chemiller juga menjelaskan bahwa

the effort made by ethnomathematicians in order to correct erroneous theory on the ability of human thought to think abstractly or logically rely greatly on the work of former ethnologists who have recorded information involving mathematical ideas while doing field work at the end of the nineteenth or during the twenrieth century. Not being especially engaged with mathematicsin their own culture, these ethnologists did not extract the whole mathematical content of their recorded material.

Selain Chemiller, Gerdes dalam artikel Tandililing (2013)

mengatakan bahwa etnomatematika adalah matematika yang diterapkan

oleh kelompok budaya tertentu, kelompok buruh/petani, anak-anak dari

masyarakat kelas tertentu, kelas-kelas professional, dan lain sebagainya.

Pixten (1994) mengatakan bahwa pada hakekatnya matematika

merupakan teknologi simbolis yang tumbuh pada keterampilan atau


(50)

D. Materi

1. Lingkaran

1.1 Lingkaran dan bagain-bagiannya

Lingkaran adalah himpunan semua titik di bidang yang berjarak sama

terhadap suatu titik tertentu. Titik tertentu itu kemudian disebut titik

pusat lingkaran (I Putu, 2014). Sebuah lingkaran dinamakan

menggunakan titik pusatnya. Pada gambar 2.4, titik O adalah titik pusat

lingkaran atau lingkaran dengan titik pusat O.

Unsur-unsur lingkaran

Perhatikan lingkaran dibawah ini yang berpusat di O Gambar. 2.4 Lingkaran dan daerah lingkaran

.

Gambar 2.5 Lingkaran dan bagian-bagiannya O

A a

B

b

C O


(51)

Berdasarkan gambar 2.5 diatas, terdapat unsur-unsur lingkaran sebagai

berikut :

a. AB̅̅̅̅ merupakan diameter lingkaran.

b. �̅̅̅̅, �̅̅̅̅,dan �̅̅̅̅ merupakan jari-jari lingkaran.

c. Garis lengkung AB, AC dab BC merupakan busur lingkaran yang

dinotasikan dengan AB̂, AĈ, dan BĈ.

d. ̅̅̅̅ dan ̅̅̅̅ merupakan tali busur lingkaran. e. Daerah a merupakan juring lingkaran.

f. Daerah b merupakan tembereng.

2. Poligon Sembarang dan Lingkaran Definisi (I Putu, 2014)

a. Poligon dalam atau poligon tali busur pada suatu lingkaran adalah

poligon yang titik-titik sudutnya berada pada lingkaran.

Lingkarannya disebut lingkaran luar dari poligon.

b. Poligon luar atau poligon garis singgung suatu lingkaran adalah

poligon yang masing-masing sisinya menyinggung lingkaran.

Lingkarannya disebut lingkarandalam dari poligon.

E. Kerangka Berpikir

Peneliti melakukan penelitian ini dengan alasan ingin mengetahui dan

mendeskripsikan keterkaitan lingko lodok dari sudut pandang budaya dan

matematika yang ada di masyarakat Manggarai khususnya masyarakat Desa

Meler, serta ingin mengetahui dan mendeskripsikan keterkaitan lingko


(52)

hasil penelitian ini bisa menjadi salah satu metode dalam pembelajaran

matematika di sekolah agar pembelajaran matematika bisa lebih bervariasi

dan tidak meninggalkan budaya masyarakat atau budaya siswa khususnya


(53)

37 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian deskriptif

eksploratif yang berarti bahwa peneliti ingin menggali secara luas tentang

sebab-akibat atau hal-hal yang mempengaruhi terjadinya sesuatu

(Suharsimi, 2012).

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

kualitatif karena peneliti ingin menggambarkan dan menguraikan secara

rinci dan mendalam mengenai etnomatematika dalam budaya Manggarai

khususnya mengenai lingko lodok. Selain itu, peneliti juga ingin mengetahui

hubungan atau kaitan antara lingko lodok dan matematika dari segi budaya

dan dari segi matematika sebagai ilmu pengetahuan.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

1. Penelitian ini dilakukan di Desa Meler, Kecamatan Ruteng, Kabupaten

Manggarai, Flores, NTT.

2. Pengumpulan data penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai Juli

2016. Waktu pelaksanaan pengumpulan data disesuaikan dengan waktu


(54)

C. Subyek dan Objek Penelitian 1. Subyek penelitian

Subyek penelitian ini orang-orang yang dianggap bisa menjawab

rumusan masalah yang akan diteliti, seperti Tu’a golo Desa Meler, Pemerintah Desa Meler, Pemerintah Kabupaten Manggarai, dan

masyarakat setempat di Desa Meler.

2. Obyek penelitian

Obyek penelitian ini adalah lingko lodok dari sudut pandang budaya

Manggarai dan matematika.

D. Sumber Data

Menurut Lofland dalam Lexy (1988) sumber data utama dalam penelitian

kualitatif ialah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah tambahan

dokumen dan lain-lain. Sumber data dalam penelitian ini adalah hasil dari

studi lapangan yang berupa hasil wawancara, foto, video, rekaman suara,

dan buku-buku referensi. Hasil wawancara dicatat melalui catatan tertulis

dan di rekam melalui rekaman suara atau video.

E. Jenis Data

Menurut Sugiyono (2012), data kualitatif adalah data yang berbentuk

kata-kata, bukan dalam angka. Data kualitatif diperoleh melalui berbagai macam

teknik pengumpulan data misalnya observasi, wawancara, analisis

dokumen, atau dokumentasi berupa video maupun foto. Data kualitatif ini

digunakan untuk mendeskripsikan keterkaitan antara matematika dan lingko


(55)

F. Metode dan Instrumen Pengumpulan Data 1. Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu studi lapangan.

Dalam metode studi lapangan ini, peneliti mengumpulkan data secara

langsung ke lapangan dengan menggunakan beberapa teknik

pengumpulan data sebagai berikut:

a. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk mengetahui sejarah, teknis

pembagian lingko lodok, dll. Jenis wawancara yang dilakukan

adalah wawancara pembicaraan informal, dimana pertanyaan

yang diajukan sangat bergantung pada spontanitasnya dalam

mengajukan pertanyaan kepada terwawancara (Lexy, 1988).

Hubungan pewawancara dengan terwawancara adalah dalam

suasana wajar, sedangkan pertanyaan dan jawabannya berjalan

seperti pembicaraan bisa dalam kehidupan sehari-hari saja.

Wawancara merupakan inti dalam penelitian ini. Wawancara

akan dilakukan sampai sudah menjawab pertanyaan dari

rumusan masalah.

b. Dokumentasi

Dokumentasi berupa, foto, video, dan rekaman wawancara


(56)

c. Studi pustaka

Studi pustaka dilakukan untuk melengkapi data-data wawancara

dan juga sebagai referensi dalam analisis data.

2. Instrumen pengumpulan data

Pedoman wawancara

Kisi-kisi pertanyaan pada wawancara

a. Pertanyaan yang berhubungan dengan budaya dan filosofi  Kapan lingko lodok mulai dibangun?

Bagaimana sejarah terbentuknya lingko lodok? Bagaimana teknis lodok uma weru?

Kapan lingko lodok akan berakhir?

b. Pertanyaan yang berhubungan dengan pengetahuan matematika  Kenapa lingko lodok berbentuk seperti sekarang ini? Apa yang

mendasarinya?

 Apakah ada pedoman atau landasan dalam penentuan titik sentral lingko lodok?

Bagaimana teknis pembagian moso dalam lingko lodok? G. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan melalui pengaturan

data secara logis dan sistematis, dan analisis data dilakukan sejak awal

peneliti terjun ke lokasi penelitian hingga pada akhir penelitian

(pengumpulan data) (Ghony dan Fauzan, 2014). Menurut Miles dan


(57)

menggunakan kata-kata yang selalu disusun dalam sebuah teks yang

diperluas atau dideskripsikan. Langkah-langkah analisis data pada

penelitian ini mengikuti analisis data model Miles dan Huberman, yaitu:

reduksi data, display data (pemaparan data), penarikan kesimpulan dan

verifikasi.

1. Pengumpulan data

Data yang dikumpulkan peneliti berbentuk data dalam bentuk

catatan tertulis, catatan suara dan foto. Data yang dikumpulkan

sangat banyak dan beragam dari berbagai subyek penelitian. Data ini

kemudian ditranskrip menjadi catatan deskriptif dan beberapa

catatan atau pendapat dari peneliti selama penelitian berlangsung

yang berhubungan dengan objek penelitian.

2. Reduksi data

Setelah pengumpulan data dilakukan, pada tahap selanjutnya

peneliti memilih dan memilah, membuat iktisar dan membuat indeks

pada data yang dianggap penting atau data yang dianggap memenuhi

tujuan penelitian. Selain itu, pada reduksi data ini, data juga

dipisahkan atas data yang relevan dan data yang tidak relevan,

dipisahkan atas unit-unit data, kemudian unit-unit data yang sama

yang mirip, atau sejenis dikelompokkan menjadi kategori-kategori


(58)

3. Pemaparan data

Pada kegiatan pemaparan data, data yang sudah dipisahkan pada

reduksi data kemudian dipaparkan supaya mudah dilihat dan mudah

dicari pola-pola atau kecenderungan-kecenderungannya, dan mudah

dibanding-bandingkan. Pada penelitian ini, pemaparan data

menggunakan uraian singkat.

4. Penarikan kesimpulan dan verifikasi data

Data yang sudah dipaparkan dengan baik tersebut kemudian

dicermati untuk ditarik kesimpulan-kesimpulan yang ada. Sebelum

disimpulkan secara final, setiap kesimpulan yang ditarik harus

diverifikasi terlebih dulu kebenarannya.

H. Prosedur Pelaksanaan Penelitian Secara Keseluruhan 1. Penyusunan proposal

Sebelum melaksanakan penelitian, peneliti mengajukan proposal yang

berisikan BAB I, BAB II, dan BAB III.

2. Persiapan penelitian

a. Ijin

Ijin penelitian diawali dengan mendapatkan surat permohonan

penelitian dari sekretatiat JPMIPA Universitas Sanata Dharma

kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai (Kepala Kantor

Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu), kemudian pemerintah


(59)

pemerintah Kecamatan Ruteng, dan kembali mendapat surat rujukan

penelitian dari pemerintah Kecamatan Ruteng ke Desa Meler.

b. Pembuatan instrumen

Instrumen yang dibuat pada penelitian ini adalah instrumen

wawancara.

3. Pelaksanaan pengambilan data

Pengambilan data dilakukan untuk mendapatkan data keterkaitan antara

lingko lodok dari segi budaya dan matematika. 4. Analisis data

Setelah mendapatkan data wawancara, peneliti menganalisis dan

mengevaluasi data tersebut.

5. Penarikan kesimpulan

Setelah melakukan analisis data, peneliti mencoba menarik kesimpulan.

Kesimpulan ini menunjukkan bahwa ada lingko lodok merupakan salah

satu bentuk etnomatematika yang telah diterapkan masyarakat Desa


(60)

44 BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Desa Meler, Kecamatan Ruteng,

Kabupaten Manggarai, NTT. Penelitian diawali dengan mengurus surat ijin

penelitian di Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) di

Ruteng, Kabupaten Manggarai, kemudian memberikan surat tembusan dari

KPPTSP ke berbagai instansi terkait. Salah satu surat tembusan tersebut

diberikan kepada Camat Kecamatan Ruteng di Cancar untuk mendapat surat

Rekomendasi Penelitian ke Desa Meler. Kemudian surat rekomendasi

penelitian tersebut diberikan kepada kepala Desa Meler.

Pengambilan data dilakukan pada tanggal 23 – 27 Juni 2016 dan 10

– 12 Juli 2016. Penelitian dilaksanakan dengan melakukan wawancara kepada tu’a golo Desa Meler, sekretaris Desa Meler, staff Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai dan masyarakat setempat yang menjadi subyek

penelitian. Wawancara dengan tu’a golo dan staf Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai merupakan wawancara yang digunakan untuk

mendapatkan data utama, sedangkan wawancara sekretaris desa dan

masyarakat setempat digunakan untuk mendapatkan data tambahan.

Wawancara dengan tu’a golo dilaksanakan pada tanggal 26 Juni 2016 pada pukul 13.00-14.00 dan sekretaris Desa Meler pada tanggal 27

Juni 2016 pada pukul 10.00-10.45, sedangkan wawancara dengan staff


(61)

masyarakat pada tanggal 12 Juli 2016 pukul 10.00-10.30. Wawancara

dilakukan secara terbuka dan mendalam untuk memperoleh data yang tepat

dan sesuai.

Perbincangan dimulai pada tangal 24 Juni 2016 dengan melaporkan

diri kepada tu’a golo selaku kepala kampung Desa Meler secara adat di rumah tu’a golo. Setelah menemukan jadwal yang tepat dengan tu’a golo, wawancara dengan dilaksanakan pada hari minggu, 26 Juni 2016.

Kemudian pada tanggal 27 Juni 2016 peneliti melakukan perbincangan

dengan sekretaris Desa Meler bertempat di Kantor Desa Meler, sedangkan

perbincangan dengan dengan staff Dinas dilaksanakan pada 11 Juli 2016

bertempat di Pondok Pandang, Desa Meler. Kemudian perbincangan

dengan masyarakat Desa Meler dilaksanakan pada tanggal 12 Juni 2016

bertempat di Lingko Meler.

B. Penyajian Data

Data yang didapatkan selama penelitian di lapangan berupa

transkrip wawancara, foto, rekaman pembicaraan dan video. Transkrip

wawancara didapat dengan menuangkan hasil rekaman pembicaraan ke

dalam tulisan. Foto, rekaman suara dan video digunakan sebagai bukti telah

diadakan wawancara lisan secara langsung kepada informan. Data yang

berupa foto, transkrip pembicaraan akan dilampirkan, sedangkan

buku-buku referensi yang digunakan dalam studi pustaka berfungsi sebagai


(62)

C. Analisis Data

Analisis data yang dipakai yaitu pengumpulan data, reduksi data,

display data, dan penarikan kesimpulan.

1. Pada pengumpulan data, peneliti mengambil data langsung ke lapangan

berupa wawancara langsung dengan tu’a golo Meler, staff Dinas Pariwisata Kab. Manggarai, Sekretaris Desa Meler dan masyarakat Desa

Meler, dan dokumentasi yang berkaitan dengan lingko lodok seperti foto

lingko lodok, foto rumah adat, dan foto saat melakukan wawancara dengan narasumber.

2. Pada reduksi data, peneliti memilih dan memilah data seperti

data-data hasil wawancara, dan hasil dokumentasi yang menjawab rumusan

masalah.

3. Pada display data, peneliti memaparkan data-data yang telah dipilih

pada reduksi data seperti, transkrip wawancara, yang dilengkapi dengan

informasi dari buku-buku refensi tentang lingko lodok yang berkaitan

hasil wawancara, dan melihat hubungan lingko lodok dengan budaya

dan matematika serta kaitannya menggunakan uraian, gambar dan

foto-foto.

4. Pada penarikan kesimpulan, data-data yang telah dipaparkan kemudian

dicermati untuk bisa menarik kesimpulan yang bisa menjawab rumusan

masalah.


(63)

Keterangan:

P: Peneliti

N: Narasumber

Nu, enu: panggilan untuk perempuan Manggarai Ema: Bapa atau orang yang dituakan

Ite: panggilan untuk orang yang lebih tua atau panggilan untuk menghormati lawan bicara 1. Wawancara dengan tu’a golo (Bpk. Ambros Rima )

P/N Wawancara Analisis

P Selamat siang ema, saya Melin yang hari Jumat datang kesini untuk wawancara.

Peneliti membuka wawancara dengan memperkenalkan diri dan memberi salam agar suasana bisa terasa akrab dan nyaman.

N Oh ia, saya masih ingat. Mau wawancara tentang lodok to nu?

P Io ema, kalo begitu saya mulai saja ema e, bagaimana sejarah lingko lodok ini dulu ema?

Tu’a golo menjelaskan bahwa lingko ada karena merupakan salah satu syarat dalam


(64)

Awalnya lingko lodok ini dulu nu, warisan turun temurun dari kita punya nenek moyang. Sebelum saya cerita sejarah awalnya lingko lodok ini, enu harus tau dulu syarat untuk membuka suatu kampung. Syaratnya adalah harus ada tempat tinggal (mbaru bate ka’eng), kebun (uma bate duat), mata air (wae bate teku), halaman (natas bate labar), tempat persembahan (compang), dan kuburan (boa). Harus ada semua ini syarat dan tidak boleh ada yang kurang. Waktu nenek moyang mau bikin kampung dulu, hutan semua daerah ini dulu, sehingga saat mereka mulai membuka kampung, mereka pikir, bagaimana cara membuat kebunnya sehingga nanti semua masyarakat kampung itu bisa dapat bagian dan adil juga. Kemudian mereka mulai musyawarah dalam forum lonto leok di rumah gendang tentang cara pembagian kebun ini supaya adil untuk semua masyarakat, gampang baginya dan sesuai dengan adat orang Manggarai. Terus mereka ikut bentuk rumah gendang yang bentuk bundar dengan satu tiang ditengahnya dan tiang-tiang lain ada di pinggir-pinggirnya.

membangun sebuah kampung, syarat lainnya adalah mbaru bate ka’eng (tempat tinggal), wae bate teku (mata air), natas bate labar (halaman untuk acara-acara adat), compang (tempat persembahan), dan boa (kuburan). Lingko lodok ini dibuat karena nenek moyang orang Manggarai ingin membagi tanah ulayat secara adil dan bisa dimiliki oleh semua orang Manggarai, sehingga berdasarkan adat istiadat yang sudah mereka anut sejak dulu, mereka membuat dan membagi lingko seperti lingko yang ada sekarang, atas dasar hasil kesepakatan dalam forum lonto leok di mbaru gendang di mana lingko lodok dibuat mengikuti struktur rumah gendang.

P Oh begitu ka ema, terus kenapa ikut bentuk rumah gendang? Pada lingko lodok mengandung unsur-unsur yang yang diadaptasi dari beberapa unsur rumah adat, salah satunya adalah kayu N Begini nu, di rumah gendang itu ada simbol-simbol tertentu seperti kolong


(65)

tinggal melambangkan dunia manusia, loteng dan lempa rae (tempat menyimpan bahan makanan) melambangkan perantara antara dunia manusia dan Tuhan, dan tempat mezba (ruang koe) melambangkan dunia Tuhan, terus ada siri bongkok yaitu tiang yang ada di pusat rumah gendang, di siri bongkok ini disimpan alat-alat musik tradisional. Itu bagian rumahnya nu, bagian atapnya ada makna sendirinya. Macam ada kayu yang panjangnya mungkin 50 cm yang sambungan dari ngando (bubung), di itu kayu nu, ada lukisan mukanya manusia, terus ada tanduk kerbau atau kayu yang dipotong macam tanduk kerbau yang disimpan di samping kiri kanannya itu lukisan, dan di ujung atasnya itu kayu nu potong macam bentuk gasing (mangka). Nah artinya itu lambang itu, mukanya manusia itu melambangkan kalo manusia itu adalah ciptaan yang paling tinggi dari ciptaan lain, terus itu tanduk itu melambangkan daya juang dan bersyukurnya orang Manggarai, sedangkan ujung kayu yang bentuk gasing itu nu melambangkan hubungan manusia dengan Tuhan. Itu kayu bentuk gasing yang di atap rumah gendang itu nu, sama dengan bentuk ujung atas kayu teno yang ditancapkan di lodok yang biasa dinamakan tente teno. Kalau di lodok, kayu mengandung makna sebagai laki-laki dan tanah tempat tancap kayu teno itu sebagai perempuan, sehingga tente teno itu

sambungan dari bubungan rumah yang panjangnya 50 cm atau dalam perhitungan tradisional sama dengan ca ciku, kayu ini yang diukir berbentuk wajah manusia dengan tanguk kerbau serta ujung atasnya dipotong berbentuk gasing (mangka). Bentuk ujung atas kayu yang berbentuk gasing itulah yang memiliki bentuk yang sama dengan bentuk yau teno yang di tancapkan pada tanah saat pembagian lingko lodok. Setelah lingko dibuat, mereka baru menyadari bahwa lingko lodok yang mereka buat menyerupai sarang laba-laba dan berbentuk bundar.


(66)

maknanya penyatuan laki-laki dengan perempuan yang menghasilkan kehidupan baru. Dari simbol-simbol itu nu makanya ada ungkapan orang

Manggarai “gendangn one, lingkon pe’ang” ada hubungan erat yang tidak bisa dipisahkan antara rumah gendang dengan lingko, karena kalo simpan kayu di lodok itu, bentuknya seperti rumah gendang, sehingga nu ga, lingko lodok itu begitu bentuknya. Ada lodoknya dan adil baginya ke masyarakat. P Oh jadi begitu dulu sejarahnya e ema, apakah dulu nenek moyang ini sadar

kalo lingko yang mereka buat itu sama seperti sarang laba-laba?

N Mereka tidak sadar nu, karena dulu tu ka nu mereka buat saja seperti yang mereka sudah gambar itu macam rumah gendang itu. Belakangan baru mereka sadar kalau lingko ini sama seperti sarang laba-laba waktu mereka mulai bikin pagar di bagian cicingnya, setelah itu baru mereka sadar kalo lingko ini berbentuk macam sarang laba-laba.

P Sekitar tahun berapa lingko lodok ini dibuat ema? Tu’a golo tidak tahu dengan pasti kapan lingko lodok ini mulai dibangun.

N Aduh nu, saya tidak ingat dan tau pasti kapan bikinya ini lingko. Tapi sekitar tahun 1955 lingko lodok ini sudah ada.


(67)

P Bagaimana cara baginya lingko lodok ini ema? Pembagian lingko lodok diawali dengan upacara adat untuk menancap kayu teno yang di bentuk seperti gasing, kemudian membuat garis tengah horizontal dan vertikal yang melalui lodok yang dinamanakan langang waga sebagai langang utama dalam lingko. Di luar kayu teno, dibuat sebuah lingkaran kecil menggunakan tali yang dinamakan lengker kemudian dibagi per moso dan ditandai menggunakan kayu di lingkaran tersebut. Jumlah kayu yang berada di lingkaran tersebut sebanding dengan jumlah orang yang akan mendapat bagian di lingko lodok selain itu panjang kayu yang berada di lingkarang sekitar 1 pagat dalam hitungan tradisional orang Manggarai atau setara dengan kurang lebih 20 cm. Jarak antara ukuran moso disebut sor moso yang merupakan bagian yang akan diterima per keluarga dalam lingko. Dalam setiap tahap N Ada kayunya untuk bikin ini lingko lodok dulu, namanya kayu teno. Ini

kayu masih ada sampai sekarang. Ini kayu teno di potong seperti gasing. Kemudian dibuat sebuah lubang di pusat atau sentral dari tanah yang mereka pilih untuk ditancapkan kayu teno itu di sentralnya. Saat menancapkan kayu teno itu, tidak ditancapkan begitu saja, ada acara adatnya yaitu leang sose dimana disembelih seekor babi, dan darah babi ini harus diteteskan di lubang yang telah dibuat sebelumnya, kemudian kayu teno ditancapkan di lubang tersebut. Setelah itu, mereka membuat dua garis lurus sampe di cicing yang lewat dan berpotongan di kayu teno. Jadinya bagi empat itu garis dan namanya itu garis adalah langang waga. Langang waga ini jadi langang utama yang tidak boleh diganggu lagi karena langang waga ini mempermudah bagi per moso nanti, kemudian seutas tali dibentuk seperti lingkaran pada bagian luar kayu teno dan dinamakan lengker. Setelah itu barulah dibagi per moso dari lengker dengan cara, jari tangan di letakkan di lengker dan kayu dirancapkan dibagian kiri dan kanan jari tersebut, ukuran jari tersebut yang telah ditandai oleh kayu disamping kanan dan kiri jari tadi diperuntukkan satu keluarga. Cara yang sama juga


(68)

dilakukan untuk keluarga-keluarga lainnya. Kayu yang ditancapkan di kiri dan kanan jari tadi berukuran satu pagat dan jika sudah selesai membagi permoso, kayu-kayu itu akan membentuk lingkaran dan dinamakan lance dan jarak dari satu kayu kekayu lainnya dinamakan sor moso yang dijadikan patokan ukuran moso. Setelah lance dibuat, kemudian ditancapkan kayu lain dibelakang lance yang ukurannya lebih panjang sampai pada cicing sehingga kayu paling tinggi adalah kayu yang berada di cicing, dan paling pendek berada di lodok. Kayu-kayu itu harus lurus dengan kayu teno di lodok trus kayu teno tu tidak kellihatan dari kayu terakhir. Ada kalanya pake tali supaya lurus dan dinamakan lander, nah kayu-kayu itu akan menjadi langang. Satu lingko utuh dinamakan lingko sembong.

pertumbuhan tanaman di lingko selalu di adakan upacara adat untuk mensyukuri apa yang mereka hasilkan kepada sang pencipta.

P Bagaimana cara ukur moso untuk masyarakatnya ema? Alat ukur yang digunakan dalam sor moso adalah jari tangan dan setiap keluarga mendapat bagian sesuai kedudukan dalam kampung. Moso yang dimaksud dalam N Caranya pake ukuran jari tangan ini nu.


(69)

N Biasanya nu, tergantung kesanggupan penerima moso. Adakalanya dia minta hanya satu jari, ada juga yang minta tiga atau dua jari.

pembagian awal adalah ukuran jari seseorang. Sedangkan moso yang dimaksud setelah pembagian adalah daerah garapan seseorang

P Ema, kenapa harus pake kayu teno di lodoknya? Kenapa bukan kayu lain? Ada makna tersendiri kenapa kayu teno digunakan dan dijadikan titik awal pembagian lingko lodok. Kayu teno sendiri tidak dapat tergantikan oleh kayu lain dalam pembagian awal tanah ulayat.

N Memang harus pake kayu teno tu nu, tidak bisa pake kayu lain karena ada maknanya itu kayu dulu. Seperti lingko di Laja, dulu itu sudah dibagi, kemudian di lepas, sekarang dikerjakan lagi dan tidak bisa pake lagi kayu teno untuk baginya, harus pake kayu lain saja di lodoknya. Karena kalo pake kayu teno lagi, harus ikut ulang sama seperti bagi waktu pertama kali dibagi

P Satu lingko ini ema dibagi untuk berapa orang? Jumlah moso dalam satu lingko ± 30 moso yang berari ada ± 30 keluarga yang menggarap di lingko tersebut

N Satu lingko ini nu, bisa di bagi kurang lebih 30 keluarga.

P Saya ada liat lingko disana ni ema, yang tidak bentuk bundar, seperti setengah lingkaran dan ada yang lebih kecil lagi tapi tidak bundar. Apa namanya itu?

Tu’a golo menjelaskan nama dari lingko yang tidak berbentuk bulat, yang berada di lahan sisa pembuatan dua atau tiga lingko yang


(70)

N Lingko salang cue namanya nu, setengah dari lingko sembong atau bisa lebih kecil lagi. Misalnya ada dua atau tiga lingko yang berdekatan, pasti ada lahan sisanya. Lahan yang sisanya itu nu, kalo dibagi pake sistem lodok namanya lingko salang cue tadi. Sama lingko salang cue itu juga nu, lingko yang dibuat karena ada beberapa penerima moso tidak dapat bagian di lingko sembong. Nah supaya semua masyarakat dapat bagian, makanya ada itu lingko salang cue itu.

berdekatan. Selain itu, lingko salang cue tersebut merupakan lingko yang dibuat karena ada beberapa penerima moso yang sudah mendaftar tetapi tidak mendapat bagian pada lingko sembong. Agar masyarakat merasa adil, maka lingko salang cue dibuat dan cara pembagiannya tetap sama dengan lingko yang utuh, hanya saja tidak melalui pembuatan langang waga.

P Cara baginya lingko salang cue ema?

N Cara baginya sama seperti pembagian lingko sembong.

P Lingko lodok ini bentuknya sama seperti apa ema? Bentuk sesungguhnya yang di adaptasi adalah bentuk bangun datar segi banyak, karena mengikuti topografi tanah dimana lodok itu dibentuk serta mengikuti lingko lainnya yang bersinggungan dengan lingko tersebut.

N Bentuk bulat nu, Cuma ada kalanya tidak bulat karena ketemu dengan lingko lain dan ada yang ketemu dengan kali. Mungkin panjangnya bisa 75 sampai 100 m.


(71)

N Ia, bukan lingkaran nu, pokoknya bulat bukan lingkaran. Pokoknya kalo kita liat bentuk bulat itu lingko.

P Satu moso itu ema milik per orang kah? Moso merupakan hak milik turun temurun dari sebuah keluarga.

N Bukan per orang nu, tapi per keluarga.

P Apakah moso di lingko lodok ini dimiliki secara turun temurun?

N Ia, karena moso itu merupakan warisan turun temurun.

P Apakah lingko lodok ini ema hanya ada di sawah saja kah atau ada lagi di tanah kering?

Tu’a golo menjelaskan bahwa disemua bagian lahan baik di dataran rendah maupun dataran tinggi dibagi seperti lingko lodok. Namun karena beberapa perubahan dan

perkembangan sehingga ada lahan berbentuk segiempat mulai bermunculan.

N Tidak ta nu, bagi seperti lingko lodok juga di tanah kering ini. Sama seperti di Nugi, dulu bentuknya lingko lodok tapi mereka tanam jagung karena tanah kering. Tapi karena pengaruh Raja Baruk yang pergi studi banding di Bali, makanya lingko lodok di Nugi diubah jadi bentuk petak


(72)

N Ia kah nu, begini juga baginya di gunung sama seperti lingko lodok di sawah ni.

P Apakah ada kelemahan dan kelebihan kerja di lingko lodok dibandingkan dengan kerja di lahan petak ema?

Keberuntungan dan rejeki dalam mengelolah moso menjadi kelebihan dan kekurangan bekerja di lingko.

N Tidak ada ta nu, tergantung rejeki masing-masing.

P Kalau misalnya ada tanah baru ema, bagaimana cara baginya? Apakah sama seperti dulu?

Lingko lodok tidak dibuat lagi pada zaman sekarang karena lahan sudah menjadi lahan pribadi dan tidak ada lagi lahan umum yang bisa dijadikan tanah ulayat.

N Ia, masih sama pembagiannya. Tapi sudah jarang ditemukan, karena tidak ada lagi tanah umum sekarang. Semua sudah dimiliki secara pribadi.

P Apakah di daerah lain di Manggarai ini, ada lingko lodok? Pembagian tanah ulayat masyarakat di seluruh Manggarai berbentuk lingko lodok, hanya saja beberapa istilah yang berbeda karena pengaruh bahasa dan istilah serta upacara adat yang berbeda.

N Ia nu, karena sama semua cara bagi tanah umum dulu di Manggarai ini. Cuma ada sedikit perbedaan mungkin istilah atau upacaranya. Tapi ka nu, sama saja e, kan tetap sama-sama Manggarai kita ini.


(1)

(2)

I. Foto Dengan Narasumber

1. Tu’a golo Meler (Bpk. Ambros Rima)

Sumber: Dokumen pribadi (diambil pada Minggu, 26 Juni 2016)

Peneliti dan pendamping peneliti sedang mendengarkan dan memperhatikan gambar tu’a golo


(3)

2. Sekretaris Desa Meler (Bpk. Robertus Unggut)

Sumber: Dokumen pribadi (diambil pada Senin 27 Juni 2016)

3. Staff Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai (Bpk. Gabriel Fughs Gembira)


(4)

4. Warga Desa Meler (Bpk. Maksi)


(5)

ABSTRAK

Amelia Yulivania Senudin. Studi Eksplorasi Etnomatematika pada Lingko Lodok dalam Budaya Masyarakat Manggarai. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini membahas tentang eksplorasi etnomatematika pada lingko lodok sebagai hasil budaya masyarakat Manggarai. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mendeskripsikan lingko lodok dari sudut pandang budaya Manggarai dan dari sudut pandang matematika.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data yaitu melakukan wawancara langsung dengan subyek penelitian, dokumentasi dan studi pustaka. Wawancara dilakukan dengan empat orang narasumber yaitu tu’a golo Meler, sekretaris Desa Meler, staff Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai dan satu orang warga Desa Meler.

Hasil dari penelitian ini yaitu lingko lodok adalah peninggalan leluhur orang Manggarai yang merupakan adaptasi dari bentuk rumah adat Manggarai yang berbentuk bundar/bulat dan lingko lodok mengandung unsur matematika seperti sistem pengukuran tradisional, membilang, dan geometri.


(6)

Amelia Yulivania Senudin. 2016. Study Exploration about Ethnomathematics on Lingko Lodok in Manggaraian Culture. Mini Thesis. Yogyakarta: Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University.

This research discuss about the exploration of ethnomathematics at lingko lodok as the result of Manggaraian culture. This research is aimed to describe about lingko lodok from Manggaraian culture viewpoint and mathematics viewpoint. The design of this research was descriptive qualitative method. The technique of data collection was directly interview with subject of research, documentation, and it is complete with the theoretical framework. The interview was conducted with four interviewees, they are tu’a golo of Meler, a secretary of Meler village, a staff of Manggaraian Tourism Department, and one of Meler Villager.

The results of this research found that lingko lodok is one of the ancestor relic of Manggaraian which is an adaptation from a traditional house of Manggaraian which have the shape round or circle and lingko lodok contains elements of traditional measurement system such as math, counting, and geometry.