Pangkal Sengketa Pilkada. Tinjauan Teoretis Yuridis Sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

6 3 Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dapat disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dan Pengadilan Negeri untuk pemilihan BupatiWakil Bupati dan WalikotaWakil Walikota. 4 Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 paling lambat 14 empat belas hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Penga dilan NegeriPengadilan TinggiMahkamah Agung. 5 Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat 4 bersifat final dan mengikat. 6 Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa hasil perhitungan suara pemilihan BupatiWakil Bupati dan WalikotaWakil Walikota. 7 Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat 6 bersifat final dan mengikat. Dasar hukum yang terakhir adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Provinsi dan KPUD KabupatenKota.

C. Pangkal Sengketa Pilkada.

Pangkal sengketa adalah objek atau wilayah kompetensi yang dapat dikategorikan sebagai sengketa pilkada. Pangkal sengketa ini kerap disalahartikan oleh para penegak hukum. Hal ini disinyalir pula oleh Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan yang meminta 7 perlunya kehati-hatian pengadilan tinggi dalam memberikan putusan permohonan gugatan yang berkaitan dengan Pilkada. “Wewenang pengadilan tinggi hanya pada proses hukum hasil akhir pemilihan dan pemungutan suara,” kata Bagir Manan saat meninjau proses peradilan gugatan terhadap KPU Binjai di Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, di Medan, Rabu 1372006. Bagir Manan menjelaskan, bila mengenai permasalahan di luar penetapan hasil akhir proses pemilihan dan pem ungutan suara, seperti tidak terdaftar pemilih, kecurangan, ada proses lain yang dilalui. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, bentuk- bentuk pelanggaran pemilu seperti kecurangan, tidak terdaftar sebagai pemilih dan bentuk kecurangan lainya di laporkan ke Komite Pengawas Pemilu yang dilanjutkan ke tingkat kepolisian. Kalau terbukti, diproses secara pidana, kata Bagir Manan. Bagir Manan menambahkan, bila ancaman pidananya kurang dari 18 bulan diputuskan oleh pengadilan negeri, dan tidak terdapat banding dan kasasi. Bila lebih dari 18 bulan, dapat diputuskan oleh pengadilan negeri dan diperbolehkan banding di tingkat pengadilan tinggi dan juga tidak bisa kasasi. Hal ini dijelaskan Bagir Manan karena selama tinjauannya di beberapa daerah yang melaksanakan peradilan tentang gugatan pilkada di pengadilan tinggi, banyak yang tidak memenuhi syarat diadili di tingkat pengadilan tinggi sehingga keputusan akhirnya ditolak. Mungkin saja kuasa hukumnya tidak mengerti, ujarnya. Pasal 106 ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 satu hanya berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Hal serupa juga terlihat pada Pasal 94 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 8 Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala DaerahWakil Kepala Daerah dan juga Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Provinsi dan KPUD KabupatenKota. Ayat tersebut jelas dan tegas menyatakan bahwa yang jadi pokok keberatan yang akan dilayani adalah mengenai hasil perhitungan suara yang berarti proses akhir dari pilkada. Sebagai ilustrasi, raihan suara calon A yang dikeluarkan KPUD sebanyak 200.000 suara, sedangkan calon B 205.000 sehingga memenangkan pilkada tersebut. Padahal berdasarkan catatan tim calon A dan saksi-saksi dari calon A, perhitungan suara calon A di seluruh TPPS mencapai 210.000. Pengajuan keberatan atas hasil perhitungan sebelumnya bisa dilakukan saat penghitungan di tingkat PPS ataupun PPK bila terjadi selisih suara ataupun sebab lainnya seperti perhitungan dilakukan di tempat tertutup dll. Kalau upaya calon A tetap tidak mengubah KPUD untuk mengeluarkan hasil perhitungan suara akhir, calon A bisa mengajukan keberatan atas hasil pilkada yang ditetapkan KPUD tersebut ke Mahkamah Agung karena kalau hasil suara yang diperoleh di TPPS tidak sama dengan yang ditetapkan KPUD. Selain itu, angka yang dianggap hilang tersebut sebenarnya bisa membuat calon A keluar sebagai pemenang pada pilkada tersebut. Karena yang jadi wewenang Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi hanya mengenai hasil suara akhir yang ditetapkan KPUD, maka proses-proses pelaksanaan pilkada sebelumnya seperti masalah pendaftaran pemilih, money politic dll tidak menjadi sengketa pilkada yang menjadi bahasan MA dan Pengadilan Tinggi melainkan menjadi tugas dan kewenangan panitia pengawas pilkada dan bisa diterapkan hukum acara perdata ataupun pidana. 9 Dengan demikian kesimpulan yang dapat diambil, yang menjadi “pangkal sengketa pilkada” adalah hanya berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.

D. Hukum Acara Penyelesaian ”Sengketa Pilkada”