Fantasi mengenai Ksatria Ber-Jiwa-Korsa

Dari tulisan di atas, dapat diketahui bahwa pembantaian ini dielu- elukan karena Yogyakarta dianggap berada dalam kondisi perkecualian. Kondisi perkecualian ini memungkinkan pihak otoritas Kopassus sebagai institusi negara masuk sebagai pahlawan. Kondisi perkecualian ini memunculkan pihak-pihak yang justru menegaskan kekuasaan lama, yakni dengan cara menjaga tatanan tidak berubah. Demi kepentingan tatanan keamanan dan ketertiban tersebut, maka pengetahuan mengenai HAM tidak lagi penting dan tidak-mau-tahu bahwa tatanan musti tersusun rapi.

B. Fantasi mengenai Ksatria Ber-Jiwa-Korsa

Selain pahlawan, dalam tradisi pewayangan Jawa dikenal pula istilah Ksatria yang direpresentasikan lewat Pandawa. Meskipun demikian, dari kelima Pandawa, adalah Bima Wrekudara yang secara ideal menggambarkan figur Ksatria dalam tradisi Jawa. Figur Bima sendiri dikenal sebagai satria yang paling ditakuti…. menembus hutan dan gurun, melompati gunung dan menyebrang samudera tanpa kesulitan. 232 Selain itu, kejujuran, kesetiaan, kegigihan dan kemampuan militernya menjadikan Bima tokoh yang kondang dalam dunia pewayangan. 233 232 Anderson, 2008, Op.Cit., hal. 28. 233 Tokoh wayang Bima juga seringkali dijadikan alegori dalam dunia perpolitikan nasional, misalnya pada rangkaian Pemilu 2014, Ki Manteb Sudarsono memberikan Bima kepada Prabowo yang dianggapnya tegas dan tidak menggak-menggok. Lihat dalam Dalam sejarah resmi Indonesia, ksatria merujuk pada sebuah sifat, bukan sebuah sosok. Sifat ksatria sendiri biasanya berada dalam rangkaian penandaan yang sama dengan keberanian dan kerelaan- berkorban. Ketiganya tercakup dalam sosok yang kemudian dikenal dengan pahlawan. Ia menjadi figur bayangan, sebagai sebuah jiwa spirit sekaligus menjadi sesuatu yang menghantui specter. 234 Meskipun secara ketubuhan pahlawan sudah mati, namun bagi bangsa Indonesia, pahlawan ditempatkan sebagai figur yang mempengaruhi kelahiran bangsa Indonesia, dan dirayakan dalam upacara dan ruang kelas sekolah. Meskipun demikian, berbeda dengan pahlawan dalam pembantaian Cebongan, dalam keseharian amatlah jarang orang bisa membayangkan seorang pahlawan yang menakut-nakuti, main hakim sendiri, atau membangga-banggakan kekuataannya. Tapi pembantaian Cebongan telah menkonstruksikan pengertian pahlawan dari perbuatan keji. Ucok dkk. semula disebut-sebut hanya prajurit yang main-hakim sendiri dan tidak bisa dibenarkan ketika melakukannya atas nama jiwa korsa. Mereka menjadi pahlawan karena memperjuangkan jiwa korsa yang telah ditanamkan di dalam korps-nya. jiwa korsa-nya muncul setelah melihat CCTV di ugo s Cafe, yang mana Serka Heru dianiaya tanpa perlawanan. Di sini ditemukan jenis baru pahlawan yang digambarkan sedikit mendekati seorang yang http:www.tribunnews.compemilu-201420140529ki-manteb-prabowo-ibarat-bima- jokowi-layaknya-yudhistira 234 Tom Lewis, The Politics of auntology in Derrida s Specters of Marx , dalam J. Derrida, T. Eagleton et.al., Ghostly Demarcations London New York: Verso, 2008, hal. 137. berperilaku tanpa mengindahkan hukum dan tatanan yang berlaku. Jenis ini jelas tampak ganjil dalam kategori pahlawan yang selama ini dikenal oleh bangsa Indonesia. Dalam rangkaian pembantaian Cebongan, melihat menjadi perkara yang penting. Gerakan pro-Kopassus, juga Hendropriyono, merujuk bahwa pembantaian adalah wajar adanya apabila seseorang melihat terlebih dahulu isi CCTV. Sementara itu, Maruli Simanjuntak mengatakan bahwa apa yang terlihat di CCTV sangat sadis. 235 Demikian pula bagi Ucok cerita mengenai meninggalnya Serka Heru menjadi hal yang menggerakkannya secara emosional untuk melakukan balas dendam. Setelah Serda Tri Juwanto memberikan info kepada Ucok berkaitan pembunuh Serka Heru dan pembacok Sertu Sriyono 236 , Ucok dikabarkan terlihat berubah. Ucok tidak percaya bagaimana Serka Heru bisa terbunuh dan bagaimana caranya. Serka Heru sendiri pernah menolong dan menyelamatkan Ucok ketika di Papua. 237 Kemudian dia mendengar lagi Sertu Sriyono, yang pernah menyelamatkan hidupnya di Aceh, juga dibacok oleh kelompok Marcel dkk.. Emosi Ucok pun semakin menjadi-jadi. 238 Singkatnya, dengan emosinya yang digambarkan meledak-ledak, Ucok menjadi seorang prajurit yang mampu melanggar 235 Tribun Jogja , Juli , Maruli Saksikan Rekaman CCTV nsiden ugo s 236 Tribun Jogja , Juli , Serda Tri Juwanto Pasok nfo ke Ucok di Kantin Serda Ucok Simbolon Kasih syarat Jempol Tangan Sebelum Berangkat ke Yogyakarta 237 Tribun Jogja , Juli , Sugeng Lihat Ucok Gemetar Pengacara ngin adirkan Sertu Sriyono 238 Tribun Jogja , Juli , Ucok Galau Serka eru S Terbunuh disiplin apabila dibutuhkan. Cerita menjadi lebih masuk akal dan terarah pada masalah personal, karena kedekatan Ucok dengan Sertu Sriyono maupun Serka Heru Santoso. Alih-alih mendengar dan melihat, justru penyerangan dan pembantaian terjadi sebagai sesuatu yang berlandaskan jiwa korsa. Ada satu idealisasi tersendiri dalam diri seorang prajurit bahwa ia musti menjadi prajurit sejati, yakni prajurit yang ber-jiwa-korsa. Video CCTV dan cerita-cerita didahului oleh kerangka acuan yang dinamakan jiwa korsa, artinya alih- alih Jiwa Korsa sesuatu yang bersifat personal, justru tampak bahwa jiwa korsa merupakan sesuatu yang membangun sebuah sistem. Sebagai sebuah kerangka acuan, jiwa korsa bertindak sebagai aturan tidak tertulis unwritten rules dalam lingkup prajurit dan membuat prajurit menjadi tidak nyaman dalam posisinya, apa yang diceritakan itu membuat marah dan apa yang terlihat di CCTV itu sadis. Atau sebagai seorang prajurit yang mendengar cerita itu, saya akan marah dan sebagai seorang prajurit yang melihat CCTV, hal tersebut menjengkelkan dan sadis. 239 Warga masyarakat, terutama para pendukung penyerangan ini diajak untuk memahami pembantaian itu atas dasar rasa kesetia-kawanan dan pengorbanan yang semula hanya dikenal di kalangan militer. Oleh karenanya, mereka yang memahami konsep itu kemudian memberikan dukungan sepenuhnya bagi para pelaku pembantaian, dan bahkan mempahlawankannya. 239 Bandingkan denga n Slavoj Žižek, Looking Awry: An Introduction to Jacques Lacan through Popular Culture Massachusetts: The MIT Press, 1991, hal. 125-126.

C. Fantasi mengenai Preman yang Mengotori Yogyakarta