Korban Dinilai Preman yang Tak Bermoral

sejarah TNI, meskipun demikian di bagian lain akan dibahas bahwa pembentukan tim investigasi ini justru membuat pembantaian menjadi sebuah cerita kepahlawanan. Sebutan preman mulai berada dalam wilayah orang tidak dikenal, membuat masyarakat Yogyakarta takut dan syok, serta menganggu Yogyakarta yang ideal. Orang tidak dikenal adalah mereka, yang menurut Ketua DPW PPP DIY, HM Syukri Fadholi SH, berkewajiban menghargai tata nilai budaya adiluhung DIY, dan tidak diperkenankan sekali-kali menodai dan mencederai budaya termaksud. 156 Mereka yang tidak dikenal dianggap potensial menyebabkan kecolongan, dan menjadi perusuh dari tata nilai budaya adiluhung. Bahkan, spanduk yang dipasang di pinggir jalan tiba-tiba berubah menjadi laiknya mata yang terus mengawasi aktivitas preman yang kemudian direduksi sebagai pendatang, misalnya dengan spanduk bertuliskan Premanisme: Bukan Sifat Asli Orang Jogja, Pergi atau Kita Usir .

B. Korban Dinilai Preman yang Tak Bermoral

Bukannya para pelaku yang menyerang dan melakukan pembantaian di Cebongan yang disebut preman adalah orang-orang yang dikategorikan tak bermoral karena membunuh Serka Heru secara sadis dan menghancurkan rencana keluarga korban dengan isterinya, Indria, yang tengah hamil delapan bulan. Harian KR menulis demikian, 156 Kedaulatan Rakyat , Maret , hal. . Nyalakan Lilin, Padamkan Kekerasan [I]a [Indria] sedang hamil 8 bulan. Sebenarnya, sudah siap-siap pindah ke Yogya. Sebab suaminya semula bertugas di Grup 2 Komando Pasukan Khusus, lalu ke Kodim Kota Yogyakarta. Sebagai PNS di Palembang, Ny Indria sudah lama menabung untuk kelahiran bayi dan rencana kepindahannya tersebut, karena diperkirakan akhir April anak pertamanya lahir. Sebelum meninggal, suaminya ditelepon agar jika anaknya lahir, namanya dimasukkan ke anaknya..... [Serka Santosa] Dianiaya sekitar 10 orang sebelum tewas. Tidak saja ia ditendangi, dipukuli dengan botol, ia juga ditusuk berkali-kali, termasuk dengan pecahan botol. Darah berceceran di sejumlah tempat, karena Sertu Santosa diseret. 157 Kisah tragis Serka Heru dan Indria mengantar kita untuk menemukan siapa sebenarnya orang tidak dikenal itu. Dalam kutipan di atas diceritakan bahwa Serka Heru mati mengenaskan dan cerita mengenai keluarganya ini sungguh pilu. Pemberitaan ini mengajak para pembaca turut meratapi kisah ini. Dalam wacana ini, preman dicitrakan sebagai orang yang melakukan kekejaman di luar batas perikemanusiaan. Harian Tribun Jogja juga mengisahkan kesaksian istri Serka Heru Santoso. Berbeda dengan KR, Tribun tidak menuliskannya sebagai seorang Nyonya yang memberikan penghormatan berlebihan. Cerita yang dibikin pun berbeda. Tidak ada tendangan, pukulan dengan botol, penusukan berkali-kali, dan tidak ada darah berceceran. Kesadisan tidak diumbar di Tribun. Juga, Indria tidak punya firasat apapun mengenai kematian suaminya, berbeda dengan Kalapas dan Mbak Nona, istri Juan. Apabila KR menggambarkan penderitaan dan kekejaman dalam beritanya mengenai 157 Kedaulatan Rakyat , Maret , hal. . Kesedihan Sertu Santosa. Sudah Siap Pindah ke Jogja . Harian KR menulis pangkat Heru Santosa sebagai Sersan Satu Sertu, seharusnya Sersan Kepala Serka. Nyonya Indria, Tribun menggambarkan suatu kekuatan dan ketabahan dalam diri Indria. Pada tanggal 27 Maret 2013, KR mulai menampilkan rubrik SMS Pembaca bertajuk Jogja Anti Preman dan Korupsi. Rubrik tersebut berisi keresahan warga Yogyakarta akibat premanisme dan mengharapkan aparat Polisi-TNI untuk turut serta menjaga Yogyakarta supaya aman, nyaman, damai, dan tentram. Situasi aman mengandaikan bahwa tidak ada gangguan yang datang dari luar komunitas. Namun, tentu saja, istilah preman belum merujuk ke orang yang sudah pasti. Preman masih digunakan untuk menandai orang tidak dikenal. Empat konsep aman, nyaman, damai, dan tentram tersebut di atas memiliki arti yang sedikit berbeda. Nyaman lebih pada bagaimana seseorang mengalami dunia kesehariannya, orang bisa saja merasa nyaman namun tidak aman. Ketika orang berbicara tentang damai, istilah ini merujuk pada keadaan yang menunjukkan mampu mengatasi atau menyelesaikan konflik. Tentram memiliki kemiripan dengan damai, hanya penekanannya lebih pada keadaan yang tenang tanpa konflik. Keempatnya merupakan bahasa slogan yang seringkali digunakan pada masa Orde Baru, misalnya saja slogan Yogyakarta Berhati Nyaman yang menunjukkan bahwa antara keberadaan kata-kata atau huruf yang berbunyi tidak perlu harus bertepatan dengan kebenaran dan kenyataan hidup sehari-hari. 158 Keempat kata yang menjadi penekanan dalam SMS tersebut menunjukkan bagaimana rust en orde 158 Budi Susanto, SJ., Peristiwa Yogya 1992: Siasat Politik Massa Rakyat Kota Yogyakarta: Kanisius Lembaga Studi Realino, 1993, hal. 35. ketertiban dan kedamaian yang pernah menjadi kebijakan kolonial diterapkan kembali. 159 Bersamaan dengan rubrik SMS, desas-desus mengenai kasus kriminalitas Diki mulai santer. KR misalnya menyajikan liputan yang menunjukkan bahwa Diki, seorang anggota Kotikam dari NTT, merupakan korban pembantaian yang memang tidak masuk dalam kategori orang yang menghargai budaya adiluhung. Diki diandaikan sebagai orang yang secara moral tidak mendapatkan tempat di Yogyakarta. Pernah suatu kali Diki pada tahun 2007, bersama Ito, dikabarkan memperkosa pacar temannya sendiri. Menurut Kasatreskrim Polresta Yogya Kompol Dodo Hendro Kusuma SIK, Diki memperkosa pacar temannya sebanyak dua kali dalam satu hari, saat di dalam mobil dan saat di asrama NTT kawasan Lempuyangan. 160 Muhammad Suhud, ketua Paksi Katon, sebuah kelompok Keamanan Kecamatan Kraton yang kemudian menjadi bagian resmi Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat FKPM, menyatakan bahwa seharusnya tidak hanya empat orang saja yang dibantai, melainkan kedua belas anggota Diki lainnya yang belum tertangkap. 161 Ia kembali mengulang cerita-cerita buruk yang dilakukan Diki dkk. Anggota Diki dkk. ini terkenal sebagai preman yang sadis dan keji. Cerita-cerita mengenai kekejaman Diki dkk. mulai dibagikan dan berlanjut hingga pengadilan berlangsung. Misalnya saja ia sering memalaki 159 Lihat dalam Shiraishi, 2009, Op.Cit., hal. 138. 160 Kedaulatan Rakyat , Maret , hal. . Saksi Disuruh Tepuk Tangan . 161 Wawancara dengan Muhammad Suhud, 13 Mei 2016. Dalam sebuah buletin bernama Malioboro yang khusus diterbitkan oleh gerakan pro-Kopassus pada tanggal 24 Juni 2013, terdaftar sebanyak 14 orang anggota Diki cs. pedagang-pedagang kecil di Babarsari atau ia memotong telinga seorang anggota TNI AU. Bahkan, buletin Malioboro 162 merilis laporan daftar kejahatan yang dilakukan Diki dkk. dari tahun 2000-2013. Sementara Diki dkk. mulai dikenal oleh masyarakat, orang tidak dikenal yang menyerang dan membunuh Diki dkk. menjadi perbincangan yang semakin kabur sekaligus menimbulkan keingintahuan masyarakat mengenai siapa sebenarnya pelaku penyerangan. Pada 30 Maret 2013 sebuah facebook dengan nama akun Idjon Janbi menggunggah status Pelaku Penyerangan LP Sleman adalah Aparat Kepolisian . Tidak hanya di facebook, publikasi ini juga menjangkau ranah-ranah yang lebih privat seperti BBM dan milis. 163 Idjon Janbi jelas bukan orang yang masih berkeliaran. Dia diangkat dari kuburnya dari pemakaman Kuncen, Yogyakarta. djon merupakan komandan pertama Kesatuan Komando Tentara Territorium IIISiliwangi Kesko TT yang di kemudian hari, tanggal 26 Desember 1986, menjadi Kopassus. A parat kepolisian dituduh oleh djon Janbi sebagai pelaku penyerangan, yang apabila benar berarti kepolisian justru melakukan tindakan bunuh diri dengan mempertontonkan konflik dalam institusinya sendiri. 164 Alih-alih melakukan bunuh diri, ternyata pejabat kepolisian justru mendapatkan untung dengan pembantaian tahanan Diki dkk. termaksud. 162 Wawancara dengan Julius Felicianus, 19 April 2016. Buletin ini secara khusus dibuat oleh gerakan pro-Kopassus untuk kepentingan propaganda Cebongan. 163 Kedaulatan Rakyat , Maret , hal. . Polri-Komnas HAM Kompak Membantah. eboh Facebook Penyerangan LP 164 Kapolri Jenderal Timur Pradopo hanya berpendapat bahwa apa yang ditulis Idjon Janbi tidak bisa dipertanggungjawabkan. Kapolresta Yogyakarta, Kombes Pol M Mustaqim SIK, menyampaikan bahwa semenjak adanya insiden Lapas Cebongan, Yogyakarta semakin kondusif. Ada nada-nada yang menyiratkan bahwa penyerangan Lapas ini mendekatkan pada capaian hasil sebagaimana diharapkan masyarakat supaya Yogyakarta menjadi aman, nyaman, damai, dan tentram. Kapolres Kulonprogo AKBP Johanes Setiawan Wijanarko SIK MH berpendapat lebih menarik, baginya menurunnya angka kriminalitas di Yogyakarta pasca Cebongan adalah kebetulan saja. Berbeda dengan feeling, kebetulan mengandung unsur menguntungkan. Namun kedua-duanya juga terjadi sebagai sebuah ketidaksengajaan. Bagi pihak kepolisian, kebetulan atau ketidaksengajaan ini justru mendatangkan semacam berkah yang tidak diharapkan namun secara ajaib muncul. Karakter ketidakterdugaan dari berkah menegaskan bahwa berkah datang dari sebuah kekuasaan yang berada di luar kuasa manusia namun manusia merasa senang untuk mendapatkannya. 165 Tapi, apakah masyarakat Yogyakarta mendapatkan berkah sebagaimana disampaikan pihak kepolisian lewat menurunnya tingkat kriminalitas? Beberapa masyarakat Yogyakarta yang menganggap diri asli Yogyakarta, mungkin merasakan berkah ini. Namun, tidak semua demikian. Masyarakat di sekitar Cebongan justru terteror dengan kejadian ini. Beberapa minggu setelah penyerbuan dan pembantaian Cebongan, tidak sedikit warga sekitar lapas Cebongan dan secara umum masyarakat yang merasakan teror tersebut. Beberapa orang yang tinggal di sekitar lapas 165 Benedict R.O G. Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia Ithaca London: Cornell University Press, 1990, hal. 22-23. awalnya mengira bahwa suara suara senapan adalah suara petasan. Ketika mengetahui bahwa yang mereka dengar adalah bunyi senapan, seorang warga mengatakan bahwa suasana mencekam. Hari berikutnya mulai tersebar foto-foto korban lewat BBM yang menurut orang tersebut sadis disertai dengan razia.

C. Pembantai yang Menjadi Ksatria