Pemberantasan Preman dan Keistimewaan Yogyakarta

Secara implisit, SMS tersebut merujuk pada mahasiswa dari Timur yang berarti orang asal NTT, NTB, Papua, atau Maluku. Isi SMS di atas justru berisi rasisme terhadap mahasiswa dari Timur di Tambakbayan. Tentu saja tidak semua orang dari Timur suka ribut atau mabuk. Sama halnya seperti tidak semua orang Yogyakarta tidak sering ribut atau mabuk. Namun, dalam rangkaian pembantaian Cebongan ini, terlepas dari beberapa kasus perkelahian yang melibatkan mahasiswa dari Timur, penyederhanaan terhadap siapa saja orang yang berasal dari Timur berubah menjadi lompatan kesimpulan bahwa mereka yang berasal dari Timur adalah orang- orang yang mengacau. Penyederhanaan dan lompatan kesimpulan tersebut membuat rangkaian penanda berupa membuat kacau yang dilekatkan pada preman kemudian juga dilekatkan pada pendatang. Asosiasi ini sekali lagi menyederhanakan penanda preman yang menunjuk pada pendatang. Dengan lompatan logika ini, hadirnya kategori pendatang kemudian bisa saja ditempelkan kepada siapa saja yang bukan wong Jogja. Mereka yang bukan wong Yogyakarta inilah yang kemudian berpotensi membuat kekacauan.

F. Pemberantasan Preman dan Keistimewaan Yogyakarta

Sampai saat ini, wacana berita yang muncul di KR mengalami perubahan, dari urusan mana preman mana bukan menjadi bagaimana sesungguhnya hubungan antara aparat TNI dengan rakyat sudah manunggal bahkan sebelum pembantaian Cebongan terjadi. Bagaimana hubungan rakyat dengan aparat kepolisian? Citra polisi di masyarakat cukup buruk, seseorang yang berurusan dengan polisi seringkali melibat adanya ancaman terhadap suatu permasalahan. 202 Widihasto mengatakan bahwa aparat kepolisian bekerja tidak sesuai harapan, misalnya saja mengenai patroli dan razia yang jarang ia temui ketika keluar malam. Dengan demikian, polisi seakan-akan membiarkan keamanan menjadi perkara yang boleh dijadikan kekhawatiran bersama. Namun, wacana pemberantasan preman dihadirkan bukan karena alasan ketidak-amanan Yogyakarta. Wacana tersebut baru muncul setelah pembantaian Cebongan terjadi yang menunjukkan bahwa pemberantasan preman hanya menjadi dalih untuk memperkuat dukungan terhadap pelaku pembantaian. Pertanyaannya kemudian bukan mengapa wacana pemberantasan preman muncul, namun lebih pada mengapa pembantaian ini sesegera mungkin dapat beralih ke pemberantasan preman? Diikuti dengan apa saja yang memungkinkan wacana pemberantasan preman hadir? Guna menjawab dua pertanyaan tersebut, ada dua hal yang bisa menjelaskan, yakni memori pada pemberantasan gali dalam Petrus tahun 1980-an dan bertemunya dua kepentingan dengan musuh yang sama, yakni Diki dkk. Sebab Petrus sudah menjadi bahasan yang sangat luas dalam ilmu sosial, maka tulisan ini akan lebih mengarahkan pada bagaimana pembantaian 202 Bandingkan dengan Shiraishi, 2009, Op.Cit., hal 47; Pada masa Orde Baru, Shiraishi menjelaskan bahwa di Jakarta polisi menjadi bagian dari jalanan yang potensial untuk mendatangkan bahaya. Misalnya saja seseorang memakai helm bukan karena kesadaran akan keselamatan, melainkan karena takut ditangkap polisi. Kesadaran bahwa berurusan dengan polisi merupakan hal yang ribet masih terus hadir di masyarakat. Lihat juga Pemberton, 1999, Op.Cit., hal. 196-197. Cebongan menjadi perpaduan dua kepentingan besar, yakni keistimewaan dan korps. Dalam isu keistimewaan, Diki dkk. adalah orang-orang yang disewa Anglingkusumo, keluarga Pakualaman, yang dalam isu keistimewaan menjadi orang yang berusaha merebut kursi Paku Alam. Perebutan kursi Paku Alam ini masuk dalam kategori Keistimewaan yang salah satu perhatiannya adalah jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY diisi oleh Sultan dan Paku Alam PA sesuai dengan paugeran Keraton serta Pura Pakualaman. Sebenarnya, konflik ini terjadi semenjak tahun 1999, berkaitan suksesi yang memenangkan putra dari ratu muda Paku Alam VIII, yakni KPH Ambarkusumo. Sementara itu, pihak KPH Anglingkusumo yang merasa diri lebih pantas mendapatkan kursi Paku Alam IX, karena putra Permaisuri Purnomoningrum. Polemik suksesi ini menjadi makin rumit dengan tidak jelasnya paugeran Pakualaman. Dikabarkan selanjutnya bahwa Anglingkusumo menyewa Diki dkk. sebagai backbone keamanan. 203 Pola-pola ini yang oleh Tilly dijelaskan seringkali antara preman dengan politisi tidak bisa terpisahkan. 204 Untuk mempertahankan atau memperoleh kekuasaan, kekerasan dibutuhkan. Masuknya Diki dkk. ke dalam lingkup kekuasaan Pakualaman ini kemudian menjadi masalah yang cukup serius. Suksesi berjalan dalam dua perkara, pertama adalah masalah internal keluarga, dan kedua adalah 203 Wawancara dengan Widihasto Wasana Putra, 11 Mei 2016. 204 Tilly, 2003, Op.Cit., hal. 28. masalah eksternal politis. Kondisi ini memungkinkan untuk dibawanya konteks keluarga ke dalam konteks politik. Sengkarut inilah yang membuka pintu selebar-lebarnya bagi emosi untuk menggerakkan politik kekuasaan dalam sebuah dinasti. Diki dkk. sendiri dianggap sebagai orang luar yang tiba-tiba masuk ke dalam kekuasaan dinastik yang dianggap sakral. Pertama dia adalah pendatang dan kedua dia masuk ke dalam ranah yang seharusnya orang Yogyakarta saja yang boleh urus. Ketergabungan Diki dkk. menyebabkan tersangkutnya ia ke dalam polemik keistimewaan yang pada tahun 2012 lalu berhasil ditetapkan UU Keistimewaan Yogyakarta. Lantas, karena berurusan dengan kekuasaan yang istimewa, yakni Pakualaman, Diki dkk. dijadikan musuh bersama dari para pegiat keistimewaan yang tergabung dalam Sekber Keistimewaan. Padahal, apabila dilihat dari sejarah ormas Kotikam di mana Diki bergabung, Kotikam telah menjadi tangan kanan dari Kraton maupun Pakualaman sejak tahun 1976. RM Imam Kintoko diberi tugas oleh HB IX dan Paku Alam VII untuk merekrut massa bagi Golkar yang kemudian terkenal dengan nama Angkatan Muda Diponegoro yang pada tahun 1978 bersama angkatan muda lainnya menggabungkan diri dalam Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia AMPI. Pada masa Petrus, Kotikam melakukan protes ditujukan pada Operasi Pemberantasan Kejahatan OPK karena merasa terancam dengan operasi tersebut. Kotikam mengaku-diri sebagai sahabat ABRI yang tidak seharusnya ikut diberantas. Setelah RM Imam Kintoko meninggal pada 19 Februari 1993, Harun Al Rasyid menggantikan kedudukan di ketua Kotikam, kemudian dilanjutkan oleh Ronny Kintoko, yang adalah putra RM Imam Kintoko. Pada tahun 2014 lalu, Ronny Kintoko menyatakan dukungannya kepada PAN, meskipun kemudian ada isu Kotikam kembali ke PDIP. Sementara itu, dalam dunia preman, kelompok Diki dkk. dikenal sebagai pemain baru, meskipun bukan berarti menguasai. Keikutan-sertaan Diki dkk. dalam Pakualaman kemudian dijadikan dalih munculnya gerakan pro-Kopassus yang diorganisir Sekber. 205 Apabila dilihat secara kronologis, Sekber baru menjadi salah satu bagian gerakan pro-Kopassus pada tanggal 22 Mei 2013. Sebagaimana telah disebut di awal, pengorganisiran spanduk dilakukan oleh ormas-ormas yang menjadi binaan tidak langsung TNI sejak Orde Baru, seperti FKPPI, PP, Kokam, atau Pemuda Panca Marga. Jadi, ada sedemikian besar rentang celah yang terbuka dari tanggal 7 April 2013 hingga 22 Mei 2016. Di mana dalam perkembangannya terjadi penambahan jumlah pengorganisiran dengan masuknya Sekber. Dalam kehidupan kelompok preman di Yogyakarta, Diki dkk. terkenal sebagai preman yang tengah naik daun. Dunia preman memiliki rumusnya sendiri, si preman akan mendapatkan penghormatan tertinggi apabila mampu untuk melawan aparat. Diki dkk. telah memiliki sejarah panjang berurusan dengan aparat, sekali pernah mereka melukai seorang anggota TNI AU lalu kedua mereka menganiaya dan membunuh sorang anggota 205 Wawancara dengan Julius Felicianus, 19 April 2016; dan Widihasto Wasana Putra, 11 Mei 2016. Kopassus. Cerita-cerita yang beredar mengenai Diki dkk. pun sangat beragam, dari pemalakan hingga pengabaian nasehat dari tetua NTT di Yogyakarta. Selain itu, peta perebutan lahan untuk mencari uang lewat keamanan pun berubah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa aparat TNI atau Kepolisian juga menyediakan jasa keamanan sebagaimana dilakukan para preman. su yang beredar mengabarkan bahwa ugo s Cafe menjadi lahan rebutan yang bergulir dari TNI AD, TNI AU, dan Kepolisian. 206 Ada beberapa catatan penting dalam wacana yang muncul dan berusaha direpresentasikan dalam pembantaian Cebongan. Pertama adalah perubahan antara rangkaian penandaan orang tidak dikenal, preman, kriminal sebagai pelafalan yang ditujukan kepada para pelaku pembantaian. Namun, penanda preman dan kriminal kemudian dilafalkan untuk korban pembantaian Cebongan. Pembalikan gagasan kemudian terjadi, para penyerang yang tadinya berada dalam kategori preman, mengalami alih peran transubstantiation 207 menjadi pahlawan, bahkan ksatria. Kedua, pahlawan ini membantai karena ikatan emosional yang sebagian besar ikatan ini mendefinisikan bagaimana menjadi orang dalam identitas politiknya. 208 Cukup menarik bahwa aktor-aktor sentral yang terlibat dalam pembantaian Cebongan bukan orang yang dikategorikan 206 Wawancara dengan Widihasto Wasana Putra, 11 Mei 2016. 207 Perubahan yang menggambarkan bahwa istilah pelaku tidak lagi menggambarkan orang yang melakukan tahanan dan membunuhnya, lebih dari itu pelaku merupakan subjek dengan jiwa pahlawan-ksatria. Lihat dalam Žižek, 2005, Op.Cit., hal. 49; Slavoj Žižek, The Indivisible Remainder: An Essay on Schelling and Related Matters London New York, 1996, hal. 126. 208 Wawancara dengan Guntur Prabawanto dan Athonk Sapto Rahardjo, 11 April 2016. bukan Jawa. Misalnya Komandan Grup 2 Kopassus Kandang Menjangan saat terjadi pembantaian adalah Letkol Inf Maruli Simanjuntak, yang mana adalah menantu dari Jendral Luhut Panjaitan. Selepas menjadi Komandan Grup Dua Kandang Menjangan, ia dipindahkan menjadi Komandan Grup A Paspampres 2014-2016 lalu Danrem 074Warastratama 2016 sd Sekarang, Solo. Sementara itu, pelaku penyerangan yang paling sering disebut adalah Serda Ucok Tigor Simbolon. Maruli dan Ucok memiliki kesamaan latar belakang etnis yang dalam sejarah Indonesia teramat mudah memicu prasangka. Kembali pada bagian awal bahwa terdapat tiga tahap penyingkiran yang mana mengaitkan istilah preman dengan pendatang yang mengacau Yogyakarta. Tentu saja bagian ini hanya bisa menjawab bagaimana preman dan pendatang ini menjadi kategori yang disingkirkan dalam pembantaian Cebongan. Maka, bagian selanjutnya akan menjawab apa yang mendasari penyingkiran dengan melihat bagaimana njawani menjadi fantasi yang menandai kemangkiran Yogyakarta yang aman, nyaman, damai, dan tentram. 115

BAB IV FANTASI DALAM PEMBANTAIAN CEBONGAN