Pembantai yang Menjadi Ksatria

awalnya mengira bahwa suara suara senapan adalah suara petasan. Ketika mengetahui bahwa yang mereka dengar adalah bunyi senapan, seorang warga mengatakan bahwa suasana mencekam. Hari berikutnya mulai tersebar foto-foto korban lewat BBM yang menurut orang tersebut sadis disertai dengan razia.

C. Pembantai yang Menjadi Ksatria

Orang tidak dikenal yang dianggap oleh sekelompok warga masyarakat membuat Yogyakarta menjadi aman, nyaman, damai, dan tentram ini, akhirnya terungkap secara publik pada tanggal 4 April 2013, sedangkan tim investigasi telah mengetahuinya pada tanggal 29 Maret 2013, sehari setelah tim tersebut dibentuk. Ketua Tim Investigasi TNI AD, Brigjen TNI Unggul Yudhoyono, menyatakan bahwa mereka adalah 11 oknum 166 anggota Grup 2 Kopassus. Pengungkapan ini sekaligus menegaskan bahwa apa yang disampaikan oleh Pangdam dan Dan Grup 2 Kopassus tidak sedikitpun benar. Berbarengan dengan pengungkapan, istilah preman mulai muncul. Unggul mengatakan bahwa anggota Grup 2 Kopassus termaksud adalah yang mengakibatkan terbunuhnya empat tahanan preman . 167 Harian 166 Oknum secara literal berarti anasir atau seseorang yang diarahkan kepada seseorang yang melakukan tindakan di luar mandat kelompok. stilah oknum biasa digunakan secara eksklusif dalam tidakan kriminalitas yang dilakukan oleh anggota ABRI yang terlibat dalam perampokan, penembakan, bekking. Penggunaan ini kemudian diperluas sampai ke penyebutan oknum pelajar, oknum wartawan, bahkan oknum preman. Menurut Ryter, penggunaan oknum preman menunjukkan bahwa preman berada dalam status yang semi-resmi. Lihat Ryter, 2001, Op.Cit., hal. 126; 146. 167 Kedaulatan Rakyat , April , hal. . Oknum Kopassus Turun Gunung, Akui Eksekusi Preman. Penyerang Lapas Siap Tanggung Jawab KR menuliskannya sebagai headline: Oknum Kopassus Turun Gunung, Akui Eksekusi Preman. Penyerang Lapas Siap Tanggung Jawab. Tribun melansir berita dengan memunculkan istilah preman dengan cara dan konteks yang berbeda. Mereka mengutip kembali ungkapan Mayjen Hardiono Saroso pada tanggal 23 Maret 2013 setelah berkunjung ke Lapas Cebongan. Tribun menulis bahwa, Sesudah mengunjungi Lapas Cebongan bersama Menkumham Amir Syamsuddin Sabtu siang [23 Maret 2013], Hardiono Saroso mengulang bantahannya. Ia justru [penekanan] memberi peringatan keras kepada kelompok-kelompok preman. Saya peringatkan kepada para preman-preman, jangan menyakiti rakyat dan aparat baik itu TNI maupun Polri lagi. Kami jamin masalahnya ini akan tuntas. 168 Tribun menunjukkan kecurigaan terhadap institusi TNI yang pada awalnya mengira Hardiono Suroso akan kembali membantah keterlibatan anggota TNI dalam pembantaian Cebongan. Namun ternyata Hardiono Saroso mengatakan bukan masalah apabila Kopassus yang menjadi pelaku, masalah justru muncul saat preman beraksi. Tribun menggunakan kata justru yang merujuk pada malahan sebaliknya. Alih-alih Hardiono Saroso mengatakan bahwa ada keterlibatan dari oknumnya, malahan sebaliknya preman-preman tidak boleh menyakiti rakyat dan aparat baik itu TNI maupun Polri. Tetapi, mengapa pelaku ini bukan lagi disebut preman? Apakah peringatan terhadap preman ini adalah sesuatu yang kebetulan? Mengapa ucapan ini disampaikan 168 Tribun Jogja, 30 Maret 2013, hal. . Indikasi Pelaku Oknum Militer tanggal 23 Maret 2013 dan baru disampaikan oleh Tribun dalam berita pada 30 Maret 2013 setelah dibentuk tim investigasi di badan TNI? Letjen TNI Agus Sutomo, yang menjadi Komandan Jendral Danjen Kopassus tahun 2012-2014, berpendapat agak lain. Menurut Letjen lulusan Akmil 1984 ini, tindakan penyerangan tersebut tidak bisa dibenarkan meskipun didasari solidaritas dan rasa hormat terhadap rekannya. Mereka adalah prajurit yang jiwanya bangkit karena seorang temannya mati dan seorang lagi nyaris mati karena preman. Logika pernyataan ini seolah-olah ingin mengatakan bahwa korban pembantaian Cebongan mati akibat kebangkitan jiwa prajurit, akibat ulahnya sendiri, akibat kesadisannya dan bukan mati karena dibantai. Segera orang bisa menebak bahwa itu adalah bahasa basa-basi yang musti konstitusional atau bahasa kebapakan yang semu. 169 Basa-basi konstitusional ini juga disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono SBY yang mengatakan bahwa tindakan main-hakim sendiri itu, bagaimanapun, tidak bisa dibenarkan dengan adanya jiwa korsa 170 terhadap Serka Heru yang telah dibunuh oleh sekelompok orang sadis. 169 Ben Abel Benedict Anderson, Wawancara Benedict Anderson: Tentang Lengser Keprabon , November , diunduh dari https:ekosospol.wordpress.com20110816wawancara-benedict-anderson-tentang- lengser-keprabon pada 24 Agustus 2016. 170 Jiwa korsa merupakan saduran dari bahasa latin esprit de corps dari Samuel untington. Istilah ini dipinjam oleh Letjen Try Sutrisno dalam ceramahnya sebagai KASAD pada tanggal 31 Januari 1987. Dalam penerapan di dunia militer Indonesia, jiwa korsa merujuk pada kesetiaan terhadap Sapta Marga. Lihat dalam Honna, 2003, Op.Cit., hal 64-65. Pada tahun 2014, Dansekoad Mayjen TNI Agung Risdhianto, M.D.A., menuliskan bahwa jiwa korsa merupakan semangat keakraban dalam korps atau corps geest. Jiwa korsa adalah kesadaran korps, perasaan kesatuan, perasaan kekitaan, suatu kecintaan terhadap perhimpunan atau organisasi. Tetapi kebanggaan itu secara wajar, tidak berlebihan, tidak Jiwa, bagi orang yang dididik dalam tradisi Jawa, merupakan istilah yang dianggap luhur. Suatu jiwa adalah yang mendorong terjadinya suatu keutuhan. Orang kalau ingin menjadi satu dengan Tuhan manunggaling kawula Gusti mustilah mengetahui weruh jiwanya sendiri kawruh jiwa atau dalam bahasa Inggris disebut science of the psyche. 171 Orang akan lebih sering mendengar seseorang berjiwa pahlawan, daripada seseorang berjiwa preman. Bahkan, preman seringkali dikait-kaitkan dengan orang yang telah menghilangkan jiwa karena kejahatannya. Dalam percakapan sehari-hari, satu-satunya istilah yang secara moral positif mengenai jiwa preman adalah unsur solidaritas yang terkandung di dalamnya. Solidaritas inilah yang juga digunakan pihak TNI untuk mengatakan jiwa korsa yang berarti bersolidaritas namun berbeda dengan solidaritas para preman. Solidaritas preman merupakan solidaritas, yang menurut SBY, sadis – atau meminjam bahasa Soeharto; melebihi batas perikemanusiaan. 172 Sementara itu, tidak muncul istilah sadis dalam pembantaian yang dilakukan para anggota Grup 2 Kopassus. Komentar SBY, sebagai seorang elite, mengenai pembantaian Cebongan menganut logika demikian: meskipun untuk membunuh 4 orang membabi buta... Di dalam jiwa korsa terkandung di dalamnya loyalitas, motivasi, merasa ikut memiliki, merasa bertanggung jawab, ingin mengikuti pasang surut perkembangan korpsnya. Seorang yang memiliki jiwa korsa tinggi pasti penuh inisiatif, motivasi, tetapi tahu akan kedudukan, wewenang dan tugas-tugasnya. Jiwa korsa yang murni dan sejati akan menimbulkan sikap terbuka menerima saran dan kritik, tidak membela kesalahan tetapi justru mengusahakan sesuatu pada proporsi yang sebenarnya. Lihat dalam Mayjen TN Agung Risdhianto, M.D.A., Profesionalisme Prajurit sebagai Faktor Penentu Soliditas dan ntegritas TN AD , dalam Jurnal Yudhagama, Volume 34, No. 2, Juni 2014, hal. 13. 171 stilah ini bisa dilihat dalam Marcel Bonneff, Ki Ageng Suryomentaraman, Javanese Prince an Philosopher 1892-1962 , dalam Indonesia, Volume 57 April 1994, hal. 49-70. 172 Lihat dalam G. Dwipayana Ramadhan K.H., Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989, hal. 389. tahanan diperlukan 31 selongsong peluru, tindakan ini tidak ada kaitannya dengan kesadisan. Kategori orang tak dikenal yang menimbulkan rasa takut dan syok mulai dibalik pada saat para anggota Kopassus itu diketahui sebagai penyerang. Para preman yang sadis itu kini mengisi penanda mengambang Orang Tidak Dikenal OTD yang dalam sejarah Indonesia diasosiasikan dengan Organisasi Tanpa Bentuk OTB. 173 Kesadisan para preman ini tidak berbeda dengan OTB yang ditakutkan para petinggi militer pada tahun 1990- an bisa menciptakan kerusuhan maupun ketidakstabilan politik. 174 Meskipun demikian, perlu digarisbawahi bahwa penyebutan OTD mengaburkan sekaligus mementahkan bahwa ada kelompok-kelompok yang fragmentatif dalam suatu komunitas OTB. Kini para pembantai tersebut tidak lagi menjadi orang tidak dikenal atau preman, justru mereka adalah ksatria [yang] telah mengakui perbuatannya dan siap mempertanggungjawabkan apapun risiko atas dasar kehormatan prajurit ksatria. 175 Dalam mitologi Jawa, seorang ksatria satrya sejati tidak pernah meragukan tugasnya hanya karena sentimen pribadi atau perasaan keluarganya. Ksatria musti melaksanakan tugasnya 173 Penggunaan istilah OTB dipopulerkan oleh Kasum ABRI Letjen Soeyono pada tahun 1995 dalam rangka menanggapi isu politik berupa keterbukaan ABRI dan HAM. OTB merujuk pada dua bentuk organisasi komunis, yakni kelompok pertama yang menjadi pendukung PKI serta kelompok kedua yang terpengaruh dengan kelompok pertama dan sedang berusaha mendiskreditkan pemerintah lewat isu HAM, demokratisasi, dan perlindungan lingkungan. Meskipun awalnya diarahkan ke PKI, namun akhirnya OTB terarah kepada oknum. Lihat dalam Honna, 2003, Op.Cit., hal. 119-120. 174 Jun Honna, Military Politics and Democratization in Indonesia Oxon New York: RoutledgeCurzone, 2003, ha. 122. 175 Kedaulatan Rakyat , April , hal. . Oknum Kopassus Turun Gunung, Akui Eksekusi Preman. Penyerang Lapas Siap Tanggung Jawab tanpa mengeluh atau ratapan yang tak berguna. 176 Dalam hal ini, moral – dengan demikian hukum 177 – tidak lagi menjadi masalah utama. Dalam pembantaian ini, asal ksatria bisa melaksanakan tugasnya, pelanggaran hukum layak dilakukan. Ksatria jenis baru dalam pembantaian Cebongan ini justru lahir dari sebuah sentimen pribadi di mana Ucok mengatakan bahwa ia membantai karena ia merasa berhutang-budi dengan Serka Heru yang pernah menyelamatkannya saat operasi militer di Papua. 178 Meskipun demikian, mereka juga muncul pada saat terjadi krisis, terkhusus keamanan, sebagai jawaban akan ancaman gangguan sosial. Dengan kondisi tersebut, ksatria menjadi figur baru yang dengan mudah mendapatkan perhatian dan kewibawaan yang tak mungkin ada pada mereka dalam waktu-waktu damai. 179 Lantas, para ksatria ini, sebagaimana pahlawan, adalah tokoh teatral yang mesti cukup agung, cukup dramatis, cukup fiktif [fantastik], namun cukup meyakinkan. 180 Tak heran apabila kehadiran ksatria dari Kopassus ini dalam rangka membantai karena rasa solidaritas terhadap kesatuan terutama setelah rekan mereka Serka Heru Santoso dibunuh secara keji dan sadis oleh preman. Mereka, dikatakan Unggul, ingin membela kehormatan 176 Anderson, 2008, Op.Cit., hal. 24-27. 177 stilah hukum digunakan bukan untuk menyebut legislasi, namun lebih pada prinsip yang mendasari relasi sosial. Lihat Evans, 1996, Op.Cit., hal. 101. 178 Tribun Jogja, 17 Juli 2013, hal. 1 7, Sugeng Lihat Ucok Gemetar Pengacara Ingin Hadirkan Sertu Sriyono 179 Anderson, 1988, Op.Cit., hal. 29. 180 Sanento Yuliman, Dalam Bayangan Sang Pahlawan , dalam Horison, Maret 1968, hal. 68. Beberapa cukup yang ditunjukkan Sanento Yuliman merujuk pada bagaimana pahlawan dibacarakan dalam bahasa lisan dan percakapan sehari-hari. satuan yang telah dilecehkan preman. Tentu saja membela kehormatan satuan tidak kemudian sama dengan membela keamanan masyarakat. Apabila diperhatikan, anggota Grup 2 Kopassus ini tak pernah ditangkap. Tidak ada penangkapan, yang ada adalah pengungkapan. Sebuah penangkapan mensyaratkan pihak lain yang bukan orang dalam. Sementara itu, Diki dkk. ditangkap karena datang mengacaukan stabilitas dan perlu diasingkan ke penjara. Tidak adanya penangkapan terhadap para pembantai Diki dkk. seolah-olah menunjukkan bahwa para pembantai bukan lagi orang tak dikenal, mereka adalah orang yang telah lama dikenal. Gambar 3.1. Halaman Depan Kedaulatan Rakyat tanggal 6 April 2013 Secara resmi, Sultan HB X mengapresiasi pengungkapan-diri para pelaku, TNI patut diapresiasi. Sekarang tinggal bagaimana konsistensi aspek hukum di pengadilan militer, kata Sultan di DPRD DIY. 181 Pada tanggal 6 April inilah Sultan untuk pertama kalinya komentar soal TNI di Cebongan 181 Kedaulatan Rakyat, 6 April 2013, hal. 7 . Anak Buah Serbu Lapas, Danjen Kopassus Tanggung Jawab. 7 Penganiaya Santoso Masih Bebas dalam harian KR. Sultan berbicara dalam dua kaki, sebagai pemimpin politik dan pemimpin budaya. Namun, secara umum, masyarakat Yogyakarta lebih cenderung menyebutnya S ultan dan bukan gubernur . Keakraban dengan sebutan Sultan ini menunjukkan bahwa ketika berbicara, posisi HB X, bagi masyarakat, cenderung dipahami sebagai pemimpin budaya. Komentar konstitusional tersebut menandai bahwa ada transisi dari yang tadinya melulu urusan militer dan HAM nasional, kini menjadi sah secara lokal. Dengan demikian, wacana penyerangan dan pembunuhan Cebongan ini ditegaskan bukan melulu urusan otoritas dengan rakyat, melainkan urusan masyarakat dengan para preman. Tidak jauh berbeda dengan Sultan, dan sangat bisa ditebak, Letjen TNI Purn Sutiyoso berpendapat bahwa ini bukanlah salah institusi, melainkan salah oknumnya saja. Ia mengatakan, Masyarakat, media, kita, masih perlu TNI untuk menjaga negara, dan Kopassus diberi tugas khusus yang tidak bisa dijalankan oleh anggota TNI biasa. Sekelompok manusia saja ada oknum... Baret merah, saya tetap bangga dan cinta kepada kalian. Perbaiki Komando. 182 Oknum, dalam istilah bahasa Indonesia, terarah pada seseorang dengan arti yang kurang baik secara etis-moralis. Sutiyoso yang pernah menjadi Wakil Komandan Jendral Wadanjen Kopassus selama 1992-1993 seperti tidak paham bagaimana seorang oknum prajurit sehari-harinya hidup dalam institusi. Padahal, selama 30 tahun ia hidup dalam institusi militer dengan menghabiskan waktu sekitaran 22 tahun dalam kesatuan Kopassus. 182 Kedaulatan Rakyat, 7 April 2013, hal. 10 . Sikap Kopassus Diapresiasi. Pangdam IVDiponegoro Diganti Ia bertindak sebagai seorang bapak yang senantiasa mengayomi anak- anaknya. Ia tetap cinta dan bangga. Apakah berarti ia bangga bahwa pembantaian di Cebongan berhasil? D. Dukungan terhadap Pembantai: Kemanunggalan TNI-Rakyat?