Kelompok Pendatang yang Dituduh Preman

E. Kelompok Pendatang yang Dituduh Preman

Tepat sepuluh hari setelah terjadinya pembantaian Cebongan, halaman pertama KR menuliskan judul headline yang cukup menarik, Pascainsiden, Lapas Cebongan Dijaga Brimob. Kriminalitas di DY Menurun . Di atas judul tersebut ditampilkan dua foto berwarna. Foto pertama menggambarkan Brimob Polda DIY yang tengah berjaga di Lapas Cebongan dan foto kedua bergambar poster imbauan bertuliskan Ke Jogja Belajarlah yang Baik dan jadilah warga yg baik. Jogja Nyaman Tanpa Preman savejogja lihat Gambar 3.1. Dari kacamata seorang pembaca, headline dan foto yang ditampilkan ini bukanlah sesuatu yang main-main. Mengapa preman diarahkan pada warga pendatang? Gambar 3.3. Halaman Depan Kedaulatan Rakyat tanggal 2 April 2013 Sebagai sebuah kota menengah dan urban 199 , Yogyakarta mengalami pergolakan lewat perjumpaan berbagai budaya dengan tata nilainya masing- 199 Lihat dalam tulisan Gerry van Klinken, ntroduction: Democracy, Markets and the Assertive Middle , dalam Gerry van Klinken Ward Berenschot Eds. , In Search of masing. Sebagai salah satu pusat orientasi budaya jawa, penyaringan dan pembuatan kategori mengenai bagaimana menjadi orang yang njawani dan tidak njawani berlangsung dalam proses sosial. 200 Menjadi njawani mengandung pengertian bahwa seseorang bisa disebut demikian apabila memahami hubungannya dengan otoritas. Dengan demikian, bisa memahami bagaimana cara menghormati otoritas. Menghormati dalam konteks ini bisa berarti mampu untuk menekan segala macam hasrat yang menimbulkan kekacauan, misalnya membuat tatanan yang tadinya sudah mantap menjadi goyah. Tatanan ini muncul dalam bentuk tata hidup keseharian seperti sopan, menjaga kenyamanan, atau menjaga keamanan. Tidak njawani berarti belum sepenuhnya menjadi wong Jogja, atau belum sepenuhnya memiliki sifat, tata- krama ungah-ungguh dan sikap sebagaimana orang Yogyakarta. Kata tersebut juga merujuk pada kondisi belum matang, belum beradab, dan belum bisa mengendalikan diri sebagai orang dewasa, yang berarti tidak terpatok pada usia. Istilah njawani dan tidak njawani ini menunjukkan bahwa pendatang tidak pernah benar-benar menjadi seorang Jawa. Namun, agaknya kondisi Yogyakarta berbeda dengan konsep kematangan dalam hubungan sosial pada keluarga Jawa yang digambarkan Middle Inndonesia: Middle-Classes in Provincial Towns Leiden Boston: Brill, 2014, hal. 6. Gerry van Klinken menuliskan bahwa demokrasi dan desentralisasi menciptakan kota menengah dengan karakter kelas menengah bergaji pas-pasan, jejaring lokal menguat, dan pandangan keagamaan cenderung konservatif. Singkat kata, cara pandang cenderung parokial. 200 Mengenai konsep njawani akan dibahas lebih panjang di bab selanjutnya. Bandingkan juga dengan konsep kematangan Jawa dalam Hildred Geertz, Keluarga Jawa Jakarta: Grafiti Pers, 1993, hal. 111; Ben Anderson, Revoloesi Pemoeda Jakarta: Sinar Harapan, 1988, hal. 22-23; Benedict Anderson, Mythology and the Tolerance of the Javanese Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, 1965, hal. 16. oleh Hildred Geertz. Apabila Geertz mengatakan bahwa seseorang tidak dihukum atas kesalahannya yang tak bisa dimengerti, poster di atas bicara sebuah hukuman lewat sebuah peringatan. Pembantaian bisa terjadi pada siapa saja yang datang ke Yogyakarta kalau dia tidak atau belum menjadi warga Yogyakarta yang baik. Dengan demikian, belum menjadi orang Yogyakarta mengisyaratkan bahwa masih ditemui kegagalan dari penyesuaian orang yang diandaikan akan menjadi orang Yogyakarta tersebut. Me skipun, arti menjadi orang Yogyakarta sendiri merupakan perkara yang terus diperdebatkan. 201 Bersamaan dengan terungkapnya orang yang tadinya tak dikenal ini, rubrik SMS dengan judul Suara Rakyat mengelu-elukan Kopassus dan menyuarakan supaya preman segera dibasmi, disikat. Tidak hanya demikian, adapula yang mengirim sambil menunjuk suatu daerah tertentu. Hak Azasi Kami Terinjak-injak. Sebelum bicara soal HAM, silakan tinggal di wilayah Tambakbayan, Babarsari dan sekitarnya. Selama ini hak azasi kami terinjak-injak. Tiap malam ribut, mabuk. Silakan cek tulisan saya. Silakan wawancarai penduduk Tambakbayan dan sekitarnya. +628180419 XXXX Penyebutan Tambakbayan dan Babarsari langsung merujuk pada daerah yang keseharian masyarakat Yogyakarta dianggap dan diperbincangkan sebagai daerah kos-kos-an yang seringkali diwarnai dengan perselisihan. 201 Misalnya mengenai identitas orang Tionghoa di Jogja yang masih dianggap pendatang dan ditakutkan untuk menguasai perekonomian di Jogja. Isu mengenai diskriminasi Tionghoa ini muncul pada tahun 2015 lalu dalam sengketa tanah yang melibatkan PKL dengan seorang pengusaha Tionghoa. Sengketa tanah ini disusul dengan isu mengenai WNI non-pribumi, atau secara khusus Tionghoa, tidak berhak memiliki tanah di Jogja, Lihat misalnya dalam Mawa Kresna, WN keturunan Tionghoa tidak boleh punya tanah hak milik di Yogyakarta , 17 September 2015, diunduh dari http:www.rappler.comindonesia106231-wni-keturunan-tidak-bisa-punya-shm pada 24 Agustus 2016. Secara implisit, SMS tersebut merujuk pada mahasiswa dari Timur yang berarti orang asal NTT, NTB, Papua, atau Maluku. Isi SMS di atas justru berisi rasisme terhadap mahasiswa dari Timur di Tambakbayan. Tentu saja tidak semua orang dari Timur suka ribut atau mabuk. Sama halnya seperti tidak semua orang Yogyakarta tidak sering ribut atau mabuk. Namun, dalam rangkaian pembantaian Cebongan ini, terlepas dari beberapa kasus perkelahian yang melibatkan mahasiswa dari Timur, penyederhanaan terhadap siapa saja orang yang berasal dari Timur berubah menjadi lompatan kesimpulan bahwa mereka yang berasal dari Timur adalah orang- orang yang mengacau. Penyederhanaan dan lompatan kesimpulan tersebut membuat rangkaian penanda berupa membuat kacau yang dilekatkan pada preman kemudian juga dilekatkan pada pendatang. Asosiasi ini sekali lagi menyederhanakan penanda preman yang menunjuk pada pendatang. Dengan lompatan logika ini, hadirnya kategori pendatang kemudian bisa saja ditempelkan kepada siapa saja yang bukan wong Jogja. Mereka yang bukan wong Yogyakarta inilah yang kemudian berpotensi membuat kekacauan.

F. Pemberantasan Preman dan Keistimewaan Yogyakarta