Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
Permenakertrans No. 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, sebagaimana di tulis dalam
pasal 8 “Upah minimum yang ditetapkan oleh Gubernur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 berlaku bagi pekerjaburuh dengan masa kerja kurang dari 1 satu tahun”. Jadi seharusnya buruh pada waktu itu
mendapatkan upah sesuai UMK upah minimum kabupatenkota dalam hal Ini Kab. Tangerang sebesar Rp 2.200.000perbulan,
4
bukan Rp.
600.000perbulan.
Baik ketidakjelasan perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha dan problem pemberian upah di bawah UMP, ternyata bila dilihat lebih jauh
dalam hukum positif terkait perburuhan memberikan kelonggaran dalam perjanjian kerja yang tidak tertulis, secara jelas ketentuan Pasal 51 ayat 1 UU
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa Perjanjian Kerja dapat dibuat secara tertulis maupun lisan.
5
Pasal ini memberikan penjelasan bahwa Perjanjian Kerja tidak diwajibkan untuk dituangkan dalam
wujud tertulis, bisa saja dalam bentuk lisan. Menurut Agusmidah mengatakan bahwa perjanjian merupakan buah perlindungan antara pekerjaburuh dengan
pengusaha, untuk itu seharusnya perjanjian kerja tertulis tidak secara lisan.
6
Karena hal itu berpotensi pada tidak terlindunginya hak-hak para buruh ketika terjadi persengketaan antara pekerja dan pengusaha. Hal ini pula yang
4
http:fspmiptbi.orgdaftar-umr-ump-umk-tahun-2013, pada tanggal 22 November 2013 pukul 19. 40 WB.
5
Pasal 51 ayat 1 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
6
Agusmidah, dkk, Bab-Bab Tentang Hukum Perburuhan Indonesia, Jakarta: UI Press, 2012, hal. 26
memungkinkan para buruhpekerja CV. Cahaya Logam di Kab. Tangerang tidak bisa berbuat apa-apa akan hak-haknya.
Jika kita melihat lebih jauh, menurut hukum Islam bahwa perjanjian kerja mensyarat tertulis, hal demikian mengacu pada praktek muamalah yang
saling menguntungkan serta melindungi satu sama lain. Spirit tersebut bisa dilihat dari al-
Qur’an surat al-Baqarah ayat 282, yang mana isinya Allah berfirman “apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan apa yang
akan ditulis itu, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya
”.
Ayat ini secara spesifik berisi perintah untuk melakukan pencatatan dalam persoalan hutang piutang muamalah. Seperti yang kita ketahui bahwa
hutang piutang muamalah termasuk bagian dari hukum privat keperdataan. Tujuan pencatatan dalam hubungan hukum keperdataan adalah
untuk menjaga agar masing-masing pihak yang terikat dengan hubungan hukum tersebut dapat menjalankan hak dan kewajibannya secara baik dan
bertanggung jawab. Dalam konteks ini pencatatan menjadi faktor penting sebagai bukti adanya hubungan keperdataan tersebut. Selain itu juga
pencatatan perjanjian kerja sering kali tidak diindahkan oleh para pengusaha,
maka hal itu sangat riskan terhadap kezaliman, hal demikian bukan termasuk prinsip hukum Islam yang mengandung pada kemaslahatan umat.
7
Perbedaan pandangan lain dari hukum Islam dalam konteks ini adalah mengenai upah pekerja atau buruh. seperti yang dijelaskan di atas, bahwa
menurut hukum positif upah pekerja harus dibayarkan sesuai dengan hidup layak di setiap daerah. Hal itu mengacu pada UU No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan yang menjelaskan bahwa Pasal 88 ayat 4: “Pemerintah
menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
8
Frasa ini membuat jelas bahwa dalam penetapan upah minimum titik tolak yang digunakan
mengacu pada kebutuhan hidup layak yang diputuskan oleh Gubernur.
9
Selanjutnya bagaimana dengan hukum Islam meninjau upah pekerja? Atas dasar apakah upah yang diberikan menurut hukum Islam.
Secara normatif, istilah upah ditemukan dengan padanan ijarah yang berasal dari kata
“al-Ajru” yang berarti “al-Iwadlu ganti” yang berarti upah atau imbalan.
10
Istilah ini ditemukan dalam surat at-Thalaq ayat 6, yang mana di dalam ayat itu dikatakan:
“jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah
7
Hamka Haq, Falsafah Ushul Fiqh, Ujung Pandang: Yayasan al-Ahkam, 1998, 47
8
Pasal 88 ayat 4 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
9
Lihat Pasal 8 Permenakertrans No. 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.
10
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Beirut: Daar al-Tsaqafah al-Islamiyyah, t.Th, Juz. III, hal. 138, lihat juga Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Rajagrafindo, 2008,
hal.113
di antara kamu segala sesuatu dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan anak itu untuknya.
Dalam hadits juga terdapat banyak menyinggung mengenai upah, salah satunya adalah hadits yang diiriwatkan oleh Ibnu Majah, dari Abdullah
bin Umar, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Berikan kepada seorang
pekerja upahnya sebelum keringatnya kering .”
11
Dari beberapa dalil di atas, maka beberapa prinsip upah al-Ujrah yang berbeda dalam hukum Islam dengan hukum positif yaitu upah
ditentukan dengan cara yang paling bijaksana tanpa merugikan kedua belah pihak, seperti dilarang menangguhkan upah pada pekerja atau buruh, hal
demikian mengacu pada pendapat al-Munawi yang berkata: “Di haramkan
menunda pemberian gaji padahal mampu menunaikannya tepat waktu. Yang dimaksud memberikan gaji sebelum keringat si pekerja kering adalah
ungkapan untuk menunjukkan diperintahkannya memberikan gaji setelah pekerjaan itu selesai ketika si pekerja meminta walau keringatnya tidak
kering atau keringatnya telah kering. ”
12
Pendapat itu sebetulnya sesuai dalam riwayat Bukhari-Muslim yang menjelaskan bahwa Nabi Saw bersabda:
“Menunda penunaian kewajiban bagi yang mampu termasuk kezholiman
.”
13
11
Muhammad ibn Yazid Abu Abdullah al-Quzwaini, Sunan Ibn Majah, Beirut: Dar al-Fikr, T. th., Juz II, hal. 817
12
Al-Munawi, Faidhul Qodir, Tt: Tp,T.th, Juz. I, hal. 718
13
HR. Bukhari no. 2400 dan Muslim no. 1564
Setelah mencermati beberapa perbedaan antara Hukum Positif dengan Hukum Islam secara prinsipil, dalam hal ini mengenai perjanjian kerja maupun
tentang upah. Oleh sebab itu sangat diperlukan penelahaan konseptual antara hukum positif dengan Hukum Islam guna melihat peristiwa perbudakan di Daerah
Kec. Sepatan Timur Kab. Tangerang. Yang mana terdapat beberapa ketimpangan dalam kasus tersebut yaitu ketidak-jelasannya perjanjian kerja, pemberian upah
dibawah UMK sekaligus penangguhan upah beberapa bulan oleh pihak pengusaha Panci CV. Cahaya Logam. Untuk itu penulis akan hadirkan dengan judul skripsi
“Konsep Perjanjian Kerja Dan Upah Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif” Analisis Kasus Perbudakan Di Pabrik CV. Cahaya Logam Di Daerah
Kec. Sepatan Timur Kab. Tangerang.