Pelacuran anak dibawah umur menurut hukum Islam dan hukum positif

(1)

PELACURAN ANAK DIBAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

ANNISA TRI HAPSARI

106045101491

Oleh :

ANNISA TRI HAPSARI NIM: 106045101491

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2010 M/ 1431 H


(2)

PELACURAN ANAK DIBAWAH UMUR MENURUT HUKUM

ISLAM DAN HUKUM POSITIF

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam/ Syariah (S.Sy)

Oleh :

Annisa Tri Hapsari

106045101491

Dibawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dedy Nursamsi, SH, M.Hum Sri Hidayati, M. Ag

NIP. 196111011993031002 NIP. 197102151997032002

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul Pelacuran Anak Dibawah Umur Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Jinayah Siyasah (Pidana Islam)

Jakarta, 17 Juni 2010 Dekan,

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH,MA, MM

NIP. 195505051982031012

Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua : Dr. Asmawi, M. Ag. (...) NIP. 1972 10101997031008

Sekretaris : Sri Hidayati, M. Ag. (...) NIP. 197102151997032002

Pembimbing I : Dedy Nursamsi, SH, M.Hum (...) NIP. 196111011993031002

Pembimbing II: Sri Hidayati, M.Ag (...)

NIP. 197102151997032002

Penguji I : H. A. Azharuddin Lathif, M. Ag, MH (...) NIP. 197407252001121001

Penguji II : Kamarusdiana, S. Ag, MH (...)


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain (plagiasi), maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 4 Juni 2010


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq serta nikmatnya, sehingga alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabat serta umatnya hingga akhir zaman.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak sedikit hambatan serta kesulitan yang penulis hadapi. Namun berkat kesungguhan hati dan kerja keras serta dorongan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga hal- hal tersebut dapat penulis atasi dengan sebaik- baiknya. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis berterima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H. M.A. M.M., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Asmawi, M.Ag., dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag., sebagai Ketua dan

Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang tanpa henti memberikan dorongan dan semangat kepada penulis, serta yang dengan tulus ikhlas meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam berbagai hal yang berhubungan dengan akademis.


(6)

3. Dedy Nursamsi, S.H. M.Hum., dan Sri Hidayati, M.Ag., selaku Dosen Pembimbing skripsi penulis yang dengan sabar telah memberikan banyak masukan dan saran- saran sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Semoga apa yang telah bapak dan ibu ajarkan dan arahkan mendapat balasan dari Allah SWT.

4. Kepada seluruh dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mentransfer ilmunya dengan ikhlas kepada penulis, serta para pengurus perpustakaan yang telah meminjamkan buku- buku yang diperlukan oleh penulis.

5. Kepada seluruh keluargaku tercinta, terutama kepada kedua orang tuaku Ayahanda Krisno Suwarno, yang telah memberikan pelajaran hidup yang sangat berarti untuk penulis dan selalu memberikan dorongan moril maupun materiil, dan Ibundaku tercinta Herminah, yang tak pernah lelah memberikan segenap kasih sayang dan perhatiannya serta doa yang melimpah untuk penulis. Untuk Mba Tina, Devi, Arif, K’Abi ”Terima kasih untuk semangatnya”, pengertian yang kalian berikan mampu membuat penulis semakin giat dalam menyelesaikan skripsi ini. My nephew ”Naila & Rian”, you’r my inspiration.

6. Kepada Mahpudin,yang selalu memberikan doa, semangat dan motivasi. Dan kasih sayang yang tak terhingga..

7. Kepada seluruh temen- temen : Mba wah, Mas moy, Fitroh, Amir, Zemen, makasih udah selalu temenin dikampus buat cari bahan & yang penting


(7)

banget udah selalu bikin ketawa disaat jenuh. Buat Attin, Intan, Faris, Fandi, Husen, Haris, Bali, Aris, Buldan, Hari, Isa, Agus, Guruh, Yuswandi, Kholid, P-man, dan semua teman- teman tersayang yang tidak kesebut.

Akhirnya kepada Allah SWT jualah penulis serahkan, agar semua bantuan dan partisipasi dari berbagai pihak tersebut diberikan-Nya pahala yang berlipat ganda. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Amin.

Jakarta, 4 Juni 2010


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……….. i

DAFTAR ISI ………. iv

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Tinjauan Pustaka ... 8

E. Metode Penelitian ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II : PELACURAN DAN ANAK DIBAWAH UMUR ... 13

A. Pelacuran ... 13

1. Hukum Islam ... 15

2. Hukum Positif ... 25

B. Anak Dibawah Umur ... 27

1. Hukum Islam ... 27

2. Hukum Positif ... 33

BAB III : PELACURAN ANAK DIBAWAH UMUR ... 39


(9)

Anak Dibawah Umur ... 39

B. Faktor Penyebab Terjadinya Pelacuran Anak Dibawah Umur ... 42

C. Dampak Pelacuran Anak Dibawah Umur ... 45

BAB IV : PEMIDANAAN TERHADAP PELACURAN ANAK DIBAWAH UMUR ... 48

A. Pemidanaan ... 48

1. Hukum Islam ... 48

2. Hukum Positif ... 57

B. Persamaan dan Perbedaan ... 62

1. Hukum Islam ... 62

2. Hukum Positif ... 62

C. Analisis Penulis ... 64

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 70

B. Saran-saran ... 72


(10)

BAB I

PELACURAN ANAK DIBAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A.

Latar Belakang Masalah

Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin – Agama samawi yang terakhir diturunkan kepada Nabi akhir zaman yaitu Nabi Muhammad SAW. Ia melengkapi dan menyempurnakan agama- agama samawi yang di turunkan sebelumnya yang bertujuan untuk menjadi pedoman hidup umat manusia di dunia dan di akhirat dalam mencapai tujuan kebahagiaan yang hakiki lahir dan batin.

Islam dilengkapi dengan berbagai pembelajaran, baik di dunia terutama di akhirat, yang didalamnyapun terdapat banyak ketentuan- ketentuan hukum sebagai batasan dari tingkah laku seseorang. Syari’at Islam, merupakan hukum- hukum agama yang takluk dibawah ”tanzim dan tasyri’” (peraturan dan perundangan syara’) yang telah ditentukan di dalam Al- qur’an dan Al- hadits.

Berbagai macam jarimah atau tindak pidana secara lengkap dijelaskan di dalam Al- qur’an dan Al- hadits. Masalah perzinaan tak luput dari pembahasannya, karena perbuatan zina merupakan dosa besar. Bahkan, al- Sayyid al- Bakri menggolongkannya kedalam kategori sebesar- besarnya dosa (akbar al- kaba’ir) setelah jarimah pembunuhan, bahkan dikatakan pula tindakan tersebut yaitu zina,


(11)

sebagai dosa terbesar sebelum pembunuhan.1 Bahkan hukum untuk mendekati perbuatan zina itu sendiri saja sudah dilarang, sebagaimana firman Allah SWT, dalam surat Al- Israa’, ayat (32) :

⌧ ⌧

Artinya : ”Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.”

Dan pada masa ini, umat Islam sedang dilanda berbagai masalah, baik dari sudut ekonomi, politik maupun sosial akibat kelalaian menuruti perintah Allah. Masalah sosial yang menimpa umat Islam kini semakin parah, baik itu pada orang dewasa, remaja maupun anak dibawah umur.2

Dalam catatan sejarah, fenomena pelacuran memiliki usia yang hampir sama tuanya dengan sejarah itu sendiri. Meski dikutuk oleh seluruh umat manusia namun sejarah tetaplah sejarah yang tidak mampu melenyapkan hal yang satu ini. Yang terjadi hanyalah sebatas fluktuasi dari perkembangan eksistensi prostitusi itu sendiri sesuai masanya. Kegagalan ’pembumihangusan’ hal itu sangatlah masuk akal dikarenakan kompleksitas masalah yang selalu muncul melatarbelakanginya. Dulu

1

Al- Sayyid Al- Bakri, Hasyiyah I’anatu al- Thalibin ‘Ala Hilli alfazi Fathi al- Mu’in,

(Beirut – Libanon, Daar Al- Fikri, 1414), Juz ke- 4, h. 161.

2

Mahjudin, Masailul Fiqhiyyah “Berbagai Kasus Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini”, (Jakarta : Kalam Mulia, 2005) h.3.


(12)

banyak anggapan motivasi seseorang menjadi pelacur berangkat hanya dari problem individual yang dikaitkan dengan aspek moralitas-personal. Namun dalam konteks saat ini, membaca fenomena pelacuran tidaklah mungkin sesederhana itu. Problem pemiskinan struktural selama ini mau tidak mau harus menjadi hal penting untuk disadari.3 Akibat himpitan kondisi ekonomi ditambah dengan ketidak becusan pemerintah dalam salah satunya- menertibkan mafia pelacuran berkedok jasa penyalur tenaga kerja, tidak sedikit seseorang dipaksa menjalani hal ini.

Perilaku pelacuran akhir- akhir ini semakin marak dilingkungan masyarakat Indonesia, hal ini terbukti dari semakin banyaknya aborsi yang disebabkan hubungan seks diluar pernikahan, lokalisasi pelacuran dan pemberian kondom serta tersedianya fasilitas, seperti diskotik dan tempat- tempat penginapan : hotel, motel villa dan lain sebagainya.4 Pada zaman sekarang model- model perbuatan pelacuran juga mempunyai banyak variasi, meskipun tidak sama persis tapi motifnya hampir sama, yaitu motif ekonomi, mencari kesenangan sesaat atau pelampiasan nafsu dan menunjukan harga diri.5

Menurut data yang didapat, diperkirakan, 30 persen pelacur atau pekerja seks komersial (PSK) di Indonesia dijalani oleh anak-anak di bawah umur atau di bawah

3

http://aan-online.blogspot.com/2007/08/potret-buram-raperda-pelacuran-jombang.html.

4

Muhammad Abduh Malik. Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam Dan KUHP. (Jakarta: Bulan Bintang, 2003). h. 80

5


(13)

usia 18 tahun. Hal itu ditandaskan Deputi Perlindungan Anak pada Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan, Dr Surjadi Soeparman MPH.6

Surjadi juga mengungkapkan, persebaran pelacur anak di bawah umur hampir merata di tiap daerah. Mereka mudah ditemukan di kantong-kantong kemiskinan. Karena itu, pemerintah daerah bertanggung jawab untuk menekan jumlah anak yang dieksploitasi menjadi pelacur. Pemerintah daerah harus melindungi anak-anak, utamanya yang putus sekolah, agar tidak dieksploitasi. Menurutnya, Eksploitasi Seks Komersial Terhadap Anak (Eska) terjadi dalam tiga hal. Yakni, prostitusi, perdagangan anak (trafficking), dan pornografi. Ia mengatakan, Eska bukan hanya masalah moral, tapi masalah sosial. Anak-anak itu melacurkan diri atau dipaksa melacurkan diri karena desakan ekonomi.7

Ditengah upaya mewujudkan kesejahteraan anak Indonesia, kita dihadapkan dengan banyaknya masalah kesejahteraan sosial anak beberapa tahun terakhir ini, sekalipun sulit didapatkan data yang akurat dan terbaru. Berikut adalah data pelacuran anak pada tahun 2001, tepatnya pada tanggal 1 Maret, jumlah pengungsi 1.081.341 jiwa atau 240. 840 KK yang tersebar di 20 Propinsi daerah pelacuran anak, terdapat eksploitasi seksual yaitu 40-70 ribu anak dibawah umur 18 tahun. Jadi

6

http://www.matabumi.com/berita/30%25-psk-Indonesia-anak-di-bawah-umur.

7

Ibid,


(14)

dengan keseluruhan, data yang diperkirakan sekitar 30% pelacur anak tersebut adalah perempuan berusia 18 tahun.8

Pada dasarnya masalah sosial dan moral adalah masalah terbesar dari tatanan adat serta perilaku masyarakat Indonesia, yang masih sangat kental dengan kebudayaan timur. Salah satu permasalahan yang menarik perhatian di dalam masyarakat akhir-akhir ini adalah pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Pelacuran sebagai masalah sosial yang sudah tua usianya namun senantiasa dibicarakan orang sampai saat ini, tidak tanggung-tanggung yang menjadi korbannya adalah anak-anak usia belasan tahun yang masih polos dan mudah dipengaruhi, sementara aturan yang terdapat di dalam pasal 296 KUHP belum secara tegas dan jelas mengatur pelacuran itu sendiri karena pasal tersebut hanya menitik beratkan pada penyedia atau sarana yang mendukung diadakannya pelacuran. Sedangkan didalam ketentuan Perda Tangerang Nomor 8 Tahun 2005, dalam pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa ”Siapapun di Daerah dilarang baik secara sendiri ataupun bersama-sama untuk melakukan perbuatan pelacuran.” Apabila perbuatan itu dilakukan, kepada pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana ketentuan pasal 9 ayat (1), Perda tersebut.

Bisnis pelacuran tidak pernah merugi, mengingat jumlah keuntungan yang didapat dari penyelenggaraan kegiatan tersebut. Besar kecilnya keuntungan tersebut

8


(15)

antara lain tergantung pada cara pengelola bisnis dalam mengemas “dagangannya”.9 Belum cukup sampai di situ saja, mereka bahkan dengan teganya menjalankan kiat mengeruk uang yang sedang “ngetrend” memasok gadis-gadis dibawah umur untuk memuaskan syahwat lelaki iseng. Banyak tempat hiburan malam yang menyediakan gadis-gadis dibawah umur ini untuk menjalankan transaksi seks secara langsung, karena tersedianya fasilitas yang legal maupun ilegal.

Dengan melihatnya kenaikan angka pelacuran anak dibawah umur di Indonesia, begitu sulit bagi pemerintah dalam menentukan sanksi yang dapat diberikan kepada para pelacur dibawah umur tersebut. Maka dari pada itu, dibutuhkan peran serta masyarakat dan para pihak pemerintahan terkait untuk terjun langsung didalam penanganannya. Namun, bagaimanapun juga keefektifan hukum tersebut harus seiring sejalan dengan kepatuhan masyarakat pada umumnya. Karena dilain pihak, Kepolisisan Negara Republik Indonesia pun akan merasa sangat kesulitan dilapangan dalam pemberantasan pelacuran tersebut, baik berupa pemberian sanksi ataupun dalam penanganannya tanpa adanya dukungan dari seluruh masyarakat, khususnya penanganan terhadap pelacuran anak dibawah umur. Sehubungan dengan hal di atas menarik perhatian penulis untuk menyusun skripsi yang berjudul :

”PELACURAN ANAK DIBAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF.”

9

http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi/hukum-pidana/pelacuran-anak-di-bawah-umur-dalam-penegakan-hukum-di-Indonesia-studi-sosiologi-hukum-di-kecamatan.


(16)

B. Pembatasan Dan Rumusan Masalah

Penelitian ini menjelaskan apa sebetulnya dan bagaimana pola pengaturan tentang pelacuran yang dilakukan oleh anak yang dalam usia masih dibawah umur serta bagaimana sistem pemidanaan serta penanganan khusus dari apa yang telah terkandung didalam hukum Islam dan hukum positif.

Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif, maka dalam skripsi ini penulis membatasi, meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Pelacuran yang penulis maksud, adalah suatu perbuatan di mana seorang perempuan menyerahkan dirinya untuk berhubungan kelamin dengan jenis kelamin lain dengan mengharapkan bayaran, berupa uang ataupun bentuk lainnya.

2. Anak dibawah umur yang penulis maksud, adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

3. Hukum Islam yang penulis maksud, adalah fiqh yang membahas tentang pelacuran, khususnya pelacuran yang dilakukan oleh anak dibawah umur. 4. Hukum positif yang penulis maksud adalah peraturan perundang- undangan

yang berlaku di Indonesia.

Dari pembatasan masalah diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apa saja yang melatar belakangi pelacuran anak dibawah umur ?

2. Apa sanksi yang diberikan terhadap pelacuran anak dibawah umur, menurut hukum Islam dan hukum positif ?


(17)

3. Apa persamaan dan perbedaan antara hukum Islam dan hukum positif terhadap pemidanaan pelacuran anak dibawah umur ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui pelacuran anak dibawah umur (Sebagai seorang yang belum mukalaf).

2. Untuk megetahui batasan anak dibawah umur menurut hukum Islam dan hukum positif.

3. Untuk mengetahui pemidanaan terhadap pelacuran anak dibawah umur, menurut hukum Islam dan hukum positif.

4. Untuk membandingkan persamaan dan perbedaan antara hukum Islam dan hukum positif terhadap pemidanaan pelacuran anak dibawah umur.

D. Tinjauan Pustaka

Berbicara mengenai pelacuran, sudah ada skripsi dan buku-buku atau penelitian yang membahas tentang pelacuran dan penanganannya. Misalnya, pada pembahasan sebelumnya dari pelacakan karya ilmiah Mahasiswa (skripsi) di Fakultas Syari’ah dan Hukum terdapat skiripsi yang ditulis oleh Katon, yang berjudul ”Perspektif Hukum Islam Terhadap Perda Nomor 05 tahun 2002 PEMDA Kota Pekanbaru Dalam Upaya Penanggulangan Pekerja Seks Komersial (PSK/ Pelacur)”


(18)

Komersial Serta Penanganannya, berlanjut dengan pembahasan mengenai perbuatan zina secara umum baik mukhson ataupun ghairu mukhson.

Dari uraian diatas, sudah ada literatur yang membahas tentang pelacuran secara umum. Untuk itu disini penulis membedakan serta lebih memfokuskan penulisan skripsi mengenai ”Pelacuran Anak Dibawah Umur Menurut Hukum Islam dan Hukum positif.

E. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode Deskriptif Analitis yaitu menggambarkan dan memaparkan secara sistematis tentang apa yang menjadi objek penelitian dan kemudian dilakukan analisis.10 Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian normatif yuridis yaitu suatu penelitian yang dapat menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dan dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang telah ada. Dalam mengolah dan menganalisa data, penulis menggunakan metode kualitatif dengan cara menganalisa dengan menggunakan penafsiran hukum, penalaran hukum, dan argumentasi rasional.11

Adapun mengenai sumber data yang penulis gunakan adalah sumber data primer. Data primer adalah data yang diperoleh dari bahan- bahan hokum yang

10

Johnny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penenlitian Hukum Normatif. Cet, ke-2. (Jakarta: Bayu Media Publishing, 2006).

11


(19)

mengikat, yang dalam hal ini perundang-undangan dan Al-Qur’an dan hadits sebagai acuan utama untuk membatasi permasalahan yang dihadapi.12 Dan data sekunder, adalah semua bahan yang memberikan penjelasan mengenai sumber data primer, dalam hal ini adalah kitab- kitab fiqh, buku-buku, majalah-majalah, dan literatur-literatur lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Setelah data-data terkumpul, kemudian penulis mengolah dan menganalisa data tersebut dengan menggunakan metode :

1. Metode Deduktif, yaitu suatu cara menganalisa data bertitik tolak dari data yang bersifat umum, kamudian ditarik atau diambil kesimpulan yang bersifat khusus.

2. Metode Komparatif, yaitu membandingkan keduanya antara hukum Islam dan hukum positif, dengan menganalisa keduanya.

Teknik penulisan dalam pembuatan skripsi ini mengacu kepada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.13

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan penelitian ini, sama halnya dengan sistematika penulisan pada penelitian-penelitian lainnya, yaitu dimulai dari kata pengantar, daftar isi, dan

12

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Cet, ke-3, (Jakarta: UI- Press,1986).

13

Fakultas Syari’ah dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007, Buku Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007).


(20)

dibagi menjadi bab dan sub bab serta diakhiri dengan kesimpulan dan saran. Untuk lebih jelasnya pembagian bab-bab sebagai berikut :

BAB I Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II Konsep pelacuran dan anak dibawah umur menurut hukum Islam

dan Hukum Positif. Yang terdiri dari dua sub bab. Yang pertama, pengertian pelacuran menurut hukum Islam dan hukum positif. Kedua, pengertian anak dibawah umur menurut hukum Islam dan hukum positif.

BAB III Dampak dan faktor penyebab Pelacuran anak dibawah umur

menurut hukum Islam dan hukum Positif . Yang terdiri dari tiga subbab. Yang pertama, pengertian dan gambaran mengenai pelacuran anak dibawah umur menurut hukum Islam dan hukum Positif. Kedua, faktor penyebab terjadinya pelacuran anak dibawah umur. Yang ketiga, dampak pelacuran anak dibawah umur.

BAB IV Pemidanaan terhadap anak dibawah umur menurut hukum Islam

dan hukum positif, yang terdiri dari tiga sub bab. Yang pertama, Pemidanaan menurut hukum Islam dan hukum positif. Yang kedua, pemidanaan pelacuran anak dibawah umur. Yang ketiga, analisis penulis mengenai pemidanaan pelacuran anak dibawah umur.


(21)

BAB V Penutup, yang terdiri dari dua subbab, yang pertama kesimpulan, yang kedua saran-saran.


(22)

BAB II

PELACURAN DAN ANAK DIBAWAH UMUR

A. PELACURAN.

Kehadiran pelacuran, WTS, dikota- kota di mana uang adalah segala- galanya, sulit dicegah. Baik yang dilokalisasi maupun tidak. Kehadirannya, seiring dengan tuntutan sebuah kota yang terus berkembang akibat pesatnya pembangunan industri dan ekonomi. Para laki- laki menjadikan tempat pelacuran sebagai sarana hiburan, rekreasi, dan pelampiasan nafsu seks yang tidak terkendali.14

Adapun pelacuran itu sendiri adalah sebuah kata yang sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Kata pelacuran identik dengan kata asing Prostitusi; berasal dari bahasa latin ”Pros-tituere”, yang kira-kira diartikan sebagai perilaku yang terang-terangan menyerahkan diri pada “Perzinaan”,15 atau sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri atau menjual jasa kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan upah.16 Pelacuran juga dapat diartikan sebagai membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, pencabulan.17 Secara

14

Armaidi Tanjung, Mengapa Zina Dilarang?, (Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1997), cet ke- 1., h. 72.

15

http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi/hukum-pidana/pelacuran-anak-di-bawah-umur-dalam-penegakan-hukum-di-indonesia-studi-sosiologi-hukum-di-kecamatan

16

http://dwtina.ngeblogs.com/2009/09/14/permasalahan-sosial-di-sekitar-kita.

17


(23)

terminologi, pelacuran adalah penyediaan layanan seksual yang dilakukan oleh laki- laki atau perempuan untuk mendapatkan uang atau kepuasan. Menurut Encyclopedia Britannica, Pelacuran juga didefinisikan sebagai praktek hubungan seksual, yang kurang lebih dilakukan dengan siapa saja (Promoskuitas) untuk imbalan upah.18

Menurut Soedjono pelacuran merupakan gejala sosial yang seolah- olah langgeng, faktor penentunya justru terletak pada sifat- sifat alami manusia khususnya segi seksual biologis dan psikologis, sedangkan faktor pendamping yang akan memperlancar atau dapat menghambat pertambahan jumlah pelacur.19

Menurut Iwan Bloch menyebutkan, pelacuran adalah suatu bentuk tertentu dari hubungan kelamin di luar perkawinan, dengan pola tertentu yaitu kepada siapa pun secara terbuka, dan hampir selalu dengan pembayaran, baik untuk bersebadan, maupun kegiatan seks lainnya yang memberikan kepuasan yang diinginkan oleh yang bersangkutan.20

Sama halnya dengan pendapat diatas, Commenge mengartikan, pelacuran adalah suatu perbuatan di mana seorang wanita memperdagangkan atau menjual tubuhnya, yang di lakukan untuk memperoleh pembayaran dari laki- laki yang datang

18

Than- Dam Truong, Pariwisata dan Pelacuran di Asia Tenggara, Terjemahan : Moh. Arif (Jakarta : LP3ES, 1992) h. 15.

19

Soedjono. Pelacuran ditinjau dari hukum dan kenyataan dalam masyarakat. (Bandung : Karya Nusantara, 1977), h. 44.

20

P. J. De Bruine Ploos van Amstel, De Prostitutie Doorlewwn, h. 18. Dikutip dari

Pelacuran Ditinjau dari Segi Hukum dan Kenyataan dalam Masyarakat, (Bandung: PT. Karya Nusantara, 1997)., h. 17.


(24)

membayarnya; dan wanita tersebut tidak ada pencaharian lainnya dalam hidupnya, kecuali yang diperolehnya dari perhubungan sebentar- sebentar dengan banyak orang.21

Pelacuran menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu perempuan yang melacurkan/ menjual dirinya; wanita tunasusila; wanita sundal.22 Sementara itu, karena tidak adanya ketentuan yang mengatur mengenai pelacuran didalam KUHP, maka pemerintah kota tangerang membuat sebuah kebijakan mengenai pelacuran tersebut, menurut Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2003 Tentang Pelarangan Pelacuran, pelacuran yaitu hubungan seksual diluar pernikahan yang dilakukan oleh pria maupun wanita, baik ditempat berupa hotel, Restoran, tempat hiburan atau lokasi pelacuran ataupun ditempat-tempat lain di Daerah dengan tujuan mendapat imbalan jasa.23

1. Pelacuran Menurut Hukum Islam

Dalam agama Islam, pelacuran merupakan salah satu perbuatan zina. Pandangan hukum Islam tentang perzinaan jauh berbeda dengan konsep hukum konvensional, karena dalam hukum Islam, setiap hubungan seksual tanpa ikatan pernikahan (yang diharamkan) seperti pelacuran masuk kedalam kategori perzinaan yang harus diberikan sanksi hukum kepadanya, baik itu dalam tujuan komersil

21

Ibid, 62.

22

Edisi ketiga. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Departmen Pendidikan Nasional. Cet, ke tiga 2005.

23


(25)

ataupun tidak, baik yang dilakukan oleh yang sudah berkeluarga ataupun belum.24 Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nissa’ ayat 16:

☺ ☺

Artinya:

”Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”

Larangan terhadap perbuatan zina pun tercangkup dalam surah Al- Israa’ ayat 32:

Artinya:

”Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.”

Para pelacur yang rutinitasnya identik dengan perzinaan merupakan bentuk lain dari penyimpangan seksual dimana terjadi hubungan seksual antara laki- laki dan

24


(26)

perempuan tidak berdasarkan pada ikatan tali perkawinan. Maka disini akan penulis ulas secara lengkap mengenai pelacuran menurut Islam.

Penduduk masa jahiliyah mewajibkan kepada hamba sahaya perempuan kepunyaannya, berupa pembayaran harian yang mesti dibayar penuh kepada tuannya, biar didapat dengan jalan bagaimanapun. Diantara hamba sahaya itu ada yang terpaksa melakukan pelacuran, supaya memenuhi pembayaran yang diwajibkan kepadanya. Setelah datang agama Islam, dilarangnya putera/ putrinya mengerjakan pekerjaan yang hina itu.25 Dan diperingatkan kepada siapa saja yang mempunyai hamba sahaya perempuan, supaya jangan menyuruhnya hidup melacur, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT :

☺ ☺

⌦ ⌧

Artinya :

25


(27)

”Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.”

Menurut hukum Islam, Zina secara harfiah berarti Fahisyah,26 yaitu perbuatan keji. Zina dalam pengertian istilah adalah hubungan kelamin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan.27

Terdapat pendapat lain mengenai zina, walaupun hampir sama bahkan sama dengan yang sudah dijelaskan diatas, yaitu kata dasar dari zana- yazni. Hubungan seksual antara laki- laki dan perempuan yang belum atau tidak ada ikatan ”nikah”, ada ikatan nikah semu (seperti nikah tanpa wali, nikah mut’ah, dan hubungan beberapa laki- laki terhadap hamba perempuan yang dimiliki secara bersama) atau ikatan pemilikan (tuan atas hamba sahayanya).28

26

Abu Khalid, Kamus Indonesia- Arab Al- Huda., (Surabaya: Fajar Mulya), cet ke- 1. h. 91.

27

Abdurahman Doi, Tindak Pidana Dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991). Dikutip dari Buku Hukum Pidana Islam., Zainuddin Ali,. (Sinar Grafika, 2007). h, 37.

28


(28)

Para Ulama dalam memberikan definisi zina dalam kata yang berbeda, namun mempunyai substansi yang hampir sama, yaitu: 29

1. Menurut Ulama Malikiyah mendefinisikan bahwa zina adalah perbuatan mukalaf yang menyetubuhi farji anak adam yang bukan miliknya secara sepakat (tanpa ada syubhat) dan disengaja.

2. Menurut Ulama Hanafiyah mendefinisikan bahwa zina adalah perbuatan lelaki yang menyetubuhi perempuan didalam kubul tanpa ada milik dan menyerupai milik.

3. Menurut Ulama Syafi’iyah mendefinisikan zina adalah memasukan zakar kedalam farji yang haram tanpa ada syubhat dan secara naluri mengundang syahwat.

4. Menurut Ulama Hanabilah mendefinisikan bahwa zina adalah perbuatan keji pada kubul atau dubur.

5. Menurut Ulama Zahiriyah mendefinisikna bahwa zina adalah menyetubuhi orang yang tidak halal dilihat, padahal ia tahu hukum keharamannya atau persetubuhan yang diharamkan.

6. Menurut Ulama Zaidiyah mendefinisikan bahwa zina adalah memasukan kemaluan kedalam kemaluan orang hidup yang diharamkan, baik kedalam kubul maupun dubur tanpa ada syubhat.

29

Abdul Qadir Audah., Ensiklopedi Hukum Pidana Islam IV, (PT. Kharisma Ilmu), At- Tasyri’ al- Jina’i al- Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy., Bab XIX, Zina. h. 151.


(29)

Secara garis besar, pendapat- pendapat diatas dapat didefinisikan, bahwa perzinaan adalah hubungan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan) atau perbuatan bersenggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya atau seorang perempuan yang terikat perkawinan dengan seorang laki- laki yang bukan suaminya.30 Dari definisi zina yang dikemukakan oleh para ulama tersebut dapat diketahui bahwa unsur- unsur jarimah zina itu ada dua, yaitu:

1. Persetubuhan yang diharamkan, dan

2. Adanya kesengajaan atau niat yang melawan hukum.

Sebelum membedakan kedua bentuk perzinaan, harus difahami terlebih dahulu mengenai unsur- unsur perbuatan (jarimah) yang dapat dikenakan hukuman (uqubah) sehingga dapat dengan jelas mengetahui ketentuan hukum atas suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Sebagai berikut, jarimah terbagi dalam tiga unsur:31

1. Unsur formal (rukun syar’i) adalah adanya ketentuan nash yang melarang atau memerintahkan suatu perbuatan serta mengancam pelanggarnya.

2. Unsur materiil (rukun maddi) adalah adanya tingkah laku berbentuk jarimah

yang melanggar ketentuan formal.

30

Kamus Besar Bahasa Indonesia,. Edisi ke Tiga. Departemen Pendidikan Nasional. ( Jakarta: Balai Pustaka 2005).

31


(30)

3. Unsur moril (rukun adabi) adalah bila pelakunya seorang mukalaf, yakni orang yang perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Didalam hukum Islam, hukuman zina dibagi berdasarkan status seseorang tersebut. Yaitu : (1) pezina muhsan, (2) pezina ghairu muhsan, dan (3) pezina dari orang yang berstatus hamba sahaya.32

Seseorang dikatakan pezina muhsan jika ia melakukan zina setelah melakukan hubungan seksual secara halal (sudah menikah atau pernah menikah). Hukuman atas pezina muhsan ini menurut jumhur Ulama adalah dirajam. Berdasarkan hadits Jabir sebagai berikut :

ﱠ و

أ

و

ﷲا

ﻰ ﱠ ا

ﺮ ﺄ

ةأﺮ ﺄ

ﻰ ز

ر

ﱠنأ

ﺮ ﺎ

و

ﺮ ﺄ

ﱠاﺮ ا

ﱠﺪ ا

)

دوادﻮ أ

اور

(

33

Artinya :

”Dari Jabir ibn Abdillah bahwa seorang laki- laki telah berzina dengan seorang perempuan. Kemudian nabi memerintahkan untuk membawanya ke hadapan Nabi saw. Lalu Nabi menjilidnya sesuai dengan ketentuan. Kemudian Nabi diberitahu bahwa ia sudah berkeluarga (beristri). Nabi memerintahkan untuk membawanya kembali, dan kemudian ia dirajam. (Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud).”34

Pezina ghairu muhsan adalah orang yang melakukan zina tetapi belum pernah melakukan hubungan seksual secara halal sebelumnya. Pezina ini dihukum cambuk

32

Ibid: h. 237.

33

Sunan Abi Dawud. Kitabul Hudud-32. hadits ke 4438,. h. 671

34


(31)

100 kali dan diasingkan keluar kampung selama satu tahun. Hal ini berdasarkan, Firman Allah SWT :

☺ ☺ ☺ ⌧ ⌧ ☺ Artinya:

”Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”

Adapun sunah qauliah yang menjelaskan hukuman zina antara lain adalah sebagai berikut :

ﱠ و

ﷲا

ﻰﱠ

ﷲا

لﻮ ر

لﺎ

ﺎ ا

ةدﺎ

و

"

اوﺬ

,

اوﺬ

.

ﱠ ﻬ

ﷲا

.

ﺔ ﺎ

او

و

ﺔ ﺎ

ﺮﻜ ﺎ

ﺮﻜ ا

ﺮ او

) .

اور

ىﺬ ﺮ او

دواد

ﻮ او

(

35

Artinya :

”Dari Ubadah ibn Ash- Shamit ia berkata: Ambillah dari diriku, ambillah dari diriku. Sesungguhnya Allah telah memberikan jalan kaluar bagi mereka (pezina). Jejaka dengan gadis, hukumannya dera 100 kali dan pengasingan selama

35

Sunan Abi Dawud. Kitabul Hudud-32. Hadits ke 4415,. h. 667


(32)

satu tahun. Sedangkan duda dengan janda, hukumannya dera 100 kali dan rajam. (Hadist diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, dan Turmudzi ).”

Adapun hukuman bagi pezina hamba sahaya, jika hamba sahaya itu perempuan dan pernah menikah (muhsan), hukuman hadd-nya 50 kali cambukan,36 sesuai dengan surat An-Nissa ayat 25, sebagai berikut :

⌧ ☺

☺ ☺

☺ ☺ ☺

☺ ⌧

⌧ ☺

⌧ ☺

⌦ ⌧

Artinya :

”Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui

36


(33)

keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain,37 karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dari berbagai pendapat yang telah dikemukakan diatas, jelaslah bahwa Islam menganggap pelacuran adalah sebagai zina, yang dalam proses terjadinya terdapat adanya unsur- unsur zina, yaitu persetubuhan yang diharamkan dan adanya kesengajaan atau niat melawan hukum. Zina yang dilakukan secara berkala dan mengharap upah dari perlakuannya tersebut, walaupun pada umumnya mereka mengetahui bahwa perzinaan adalah bentuk perlakuan yang buruk dan dilarang oleh agama dan norma yang dianut oleh masyarakat, serta menimbulkan dampak negatif yang besar bagi kehidupan manusia.38

Jadi intinya, Menurut hukum Islam, pelacuran merupakan perzinaan yang dilakukan terus menerus. Apabila dilihat dari faktor ekonomi, perbuatan zina menghasilkan uang bagi para pelakunya terutama bagi pelaku wanita.39 Untuk

37

Maksudnya: orang merdeka dan budak yang dikawininya itu adalah sama-sama keturunan Adam dan hawa dan sama-sama beriman.

38

Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP. (Jakarta : PT Bulan Bintang, 2003), h. 82.

39

Ibid : h. 74.


(34)

memenuhi gaya hidup yang semakin tinggi, maka banyak kalangan kelas bawah yang menjual dirinya kepada laki- laki hidung belang. Para pelaku pria biasanya memberikan uang setelah melakukan hubungan seks kepada para wanita ekonomi lemah dan berpendidikan rendah seperti dilokalisasi wanita tuna susila (WTS) atau dihotel- hotel.40 Tetapi tidak menutup kemungkinan juga, wanita- wanita kaya yang membayar laki- laki hanya sekedar untuk memuaskan nafsu seksnya saja dan bahkan parahnya, wanita- wanita kaya itu melakukan perzinaan dan membayar pelacur laki- laki untuk menunjukan harga dirinya didepan teman- temannya.

Motivasi mereka melakukan perbuatan pelacuran adalah :41 1. Mencari uang (pada umumnya).

2. Kecewa ditinggal suaminya begitu saja.

3. Mula- mula cari kerja sebagai tukang masak, tukang cuci. Lalu dibujuk atau dipaksa oleh germo untuk menjadi WTS.

2. Pelacuran Menurut Hukum Positif

Dalam prakteknya, pelacuran juga dipandang sebagai kerja seksual dalam suatu sistem produksi- reproduksi masyarakat. Pelacuran dilakukan dari kelas bawah, dipinggir- pinggir jalan, rumah bordil, sampai kelas menengah. Dengan kata lain, memberikan tempat pada gagasan tentang seks dalam pembangunan kerja.42

40

Ibid, 75

41


(35)

Dalam KUHP maupun RUU- KUHP, pelacuran tidak dilarang. Ketentuan ini tidak terlepas dari pendapat tentang pengertian zina dalam perspektif hukum barat. Menurut mereka, apabila persenggamaan itu dilakukan atas dasar suka sama suka oleh orang- orang dewasa yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah dengan siapapun juga, maka perbuatan persenggamaan itu merupakan hak dan masalah pribadi mereka.43

Mengenai sanksi hukuman yang dikenakan dalam KUHP, sesuai dengan pasal 287 ayat (1) : ”Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum mencapai lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

Ketentuan dalam pasal ini, bukan menghukum wanitanya sebagai anak yang masih dibawah umur, tetapi lebih kepada laki- laiknya yang melakukan perbuatan itu. Lalu, apabila wanita itu yang mau untuk disetubuhi, dan mengharapkan imbalan dari perbuatannya itu, bagaimana dengan sanksinya.

Dalam rangka menanggulangi dan memberantas perbuatan asusila yang terjadi di Indonesia, terutama yang terjadi diwilayah Kabupaten Tangerang sendiri, maka Pemerintah Kabupaten Tangerang membuat secara khusus ketentuan pidana mengenai perbuatan pelacuran, yang menjadi suatu ketentuan pidana Peraturan

42

Harry Wibowo, Kerja Sosial Dalam Industri Wisata. (Prisma, 1991). H. 100.

43

Neng Djubaedah. Pornografi Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam. (Bogor : Prenada Media, 2003). h. 202.


(36)

Daerah (Perda). Ketentuan Pidana Didalam Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005, Pasal 19 ayat (1) : ”Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Daerah ini, diancam kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda setinggi- tingginya Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah).” Sebagaimana isi dari Pasal 2 ayat (1) : ”Siapapun di Daerah dilarang baik secara sendiri ataupun bersama- sama untuk melakukan perbuatan pelacuran.”

Terlihat bahwa, Perda Tangerang sudah menunjukan kearah yang lebih baik, dibandingkan dengan peraturan yang secara umum telah diberlakukan didalam KUHP, yang mana secara nasional telah mengikat. Namun, tidak dapat memberikan sanksi secara jelas untuk pelacuran diluar kawin.

KUHP tidak melarang prostitusi, tetapi hanya melarang mucikari (germo). Larangan melakukan profesi mucikari terdapat dalam pasal 296 KUHP. Yang menentukan bahwa :”Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu.”44

B. ANAK DIBAWAH UMUR

1. Anak Dibawah Umur Menurut Hukum Islam.

44

Soenarto Soerodibroto., KUHP & KUHAP dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Cet. VIII,. h. 177.


(37)

Anak adalah karunia Allah yang suci sebagai hasil perkawinan antara ayah dan ibu. Tempat bergantung di hari tua, generasi penerus cita- cita orangtua. Rasulullah saw dalam salah satu hadits menyebutkan anak sebagai buah hati.45

ةﺮﻄ ا

ﺪ ﻮ

دﻮ ﻮ

آ

)

ىﺬ ﺮ ا

اور

(

46

Artinya :

“Setiap anak yang dilahirkan adalah suci.” (H.r. Tumudzi)

Dalam al- Qur’an disebutkan bahwa anak (perempuan dan laki- laki) adalah buah hati keluarga dengan iringan doa harapan menjadi pemimpin atau imam bagi orang- orang yang bertakwa.

Artinya :

Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.

”Anak” menurut segi bahasa adalah keturunan kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria dan wanita. Adapun istilah kata ”Anak Adam” itu membawa

45

Fuaduddin. Pengasuhan Anak Dalam Keluarga Islam., (Jakarta : 1999)., hal. 25

46


(38)

arti umum yaitu seluruh manusia.47 Didalam bahasa Arab terdapat bermacam kata yang digunakan untuk arti ”anak” sekalipun terdapat ”perbedaan yang positif” didalam pemakaiannya. Kata- kata ”sinonim” ini tidak sepenuhnya sama artinya. Umpamanya kata ”Walad” artinya secara umum anak, tetapi dipakai untuk anak yang dilahirkan oleh manusia atau binatang yang bersangkutan. Jika dikatakan

”Waladi” artinya ’anak kandungku’ dan ”Walad hadzal heiwan” berarti ’anak binatang yang dilahirkan induknya’.48

Ditemukan bahwa batas usia anak dan pertanggungjawaban pidananya dalam hukum Islam adalah di bawah usia 18 tahun perbuatan anak dapat dianggap melawan hukum, hanya keadaan tersebut dapat mempengaruhi pertanggungjawaban pidananya, sehingga perbuatan melanggar hukum oleh anak bisa dimaafkan atau bisa dikenakan hukuman, tetapi bukan hukuman pokok melainkan hukuman tazir.49 Namun Ulama madzhab berbeda pendapat tentang batasan usia baligh seseorang yanng apabila melakukan suatu tindak kejahatan dapat dikenakan hukuman. Seperti apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Al- Tirmidzi ;

ﺎ ا

و

ا

ا

ر

نﻮ

ا

و

50

47

Fuad Mohd. Fachruddin. Masalah Anak Dalam Hukum Islam Anak Kandung, Tiri, Angkat Dan Anak Zina., (Jakarta : 1991)., CV Pedoman Ilmu Jaya., hal. 24.

48

Ibid ; 26. 49

http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--ririirwand-1665.

50

Syekh Imam Abi Ishak Ibrohim. Al-Muhadzib fi Fiqh Imam As-Syafi’i, juz II Dar al-Fikr. H. 267


(39)

Artinya:

”Ali r.a. meriwayatkan dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda: tiga perkara yang dihapuskan hukuman darinya, yaitu : anak kecil sampai ia bermimpi, orang tidur sampai ia bangun, dan orang gila sampai ia sadar.”51

Menurut Imam Syafi’i, batasan baligh untuk Laki-laki yaitu apabila ia sudah berumur lima belas tahun atau belum lima belas tahun namun sudah pernah mimpi yang menyebabkan mandi junub ( mengeluarkan sperma meskipun tanpa disebabkan mimpi). Sementara Imam Abu Hanifah sendiri membatasi kedewasaan kepada usia kepada laki- laki delapan belas tahun, dan menurut satu riwayat sembilan belas tahun, untuk perempuan tujuh belas tahun. Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh madzhab Malikiyah.52

Ada kriteria khusus yang dijadikan seseorang dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya:53

a. Baligh, secara bahasa baligh berarti sampai. Adapun pengertian baligh berarti ketika masa kanak-kanak seseorang sudah berakhir dan memulai menginjak masa remaja yang sudah wajib melakukan hal-hal yang telah di gariskan oleh Agama.

51

Aridhatul al- Ahwadzi Bisyarhi. Shahih Tirmidzi. (Dar al- Wahyu al- Muhammadi, 1989). Bab. Hudud,. h. 195

52

Ahmad Hanafi. Asas- Asas Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), cet ke-5. h. 369-370

53


(40)

b. Berakal, Seorang mukalaf adalah sesorang yang mempunyai kejiwaan yang normal, yaitu yang bisa berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang normal lainnya.

c. Tidak cacat panca indera (mata dan telinga).

Dari 4 kriteria di atas, apabila telah terpenuhi pada diri kita, maka wajib hukumnya bagi kita untuk melakukan apa yang telah diperintahkan oleh Agama. Namun tidak dijelaskan mengenai spesifikasinya, apakah mengenai masalah Ibadah, Mua’mmalah, ataupun Jinayah.

Konsep yang dikemukakan oleh syari’at Islam tentang pertanggung-jawaban anak belum dewasa merupakan konsep yang baik sekali. Menurut Syari’at Islam pertanggung-jawaban pidana didasarkan atas dua perkara, yaitu; kekuatan berfikir dan pilihan (iradah dan ikhtiar). Oleh karena itu kedudukan anak kecil berbeda- beda menurut perbedaan masa yang dilalui hidupnya,54 mulai dari waktu kelahirannya sampai masa memilliki kedua perkara tersebut. Para fuqaha mengatakan bahwa masa tersebut ada tiga, yaitu:55

1. Masa tidak- adanya kemampuan berfikir, yaitu masa ini dimulai sejak dilahirkan dan berakhir pada usia tujuh tahun, dengan kesepakatan para fuqaha. Seorang anak dianggap tidak mempunyai kemampuan berfikir, dan disebut dengan ”anak belum tamyiz”.

54

Ahmad Hanafi, Asas- Asas Hukum Pidana Islam. (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), cet ke-5,. h. 368.

55


(41)

2. Masa kemampuan berfikir lemah, yaitu masa ini dimulai sejak usia tujuh tahun sampai mencapai kedewasaan (baligh), para fuqaha meembatasinya dengan usia lima belas (15) tahun.

3. Masa kemampuan berfikir penuh, yaitu masa ini dimulai sejak seseorang anak mencapai usia kecerdikan (sinnur- rusydi), atau dengan perkataan lain, setelah mencapai usia lima belas (15) tahun atau delapan belas (18) tahun.

Terlepas dari masa usia seseorang anak, baik masih berada dalam kandungan atau pun sudah mencapai usia yang telah ditentukan oleh para fuqaha, untuk menjadi seseorang yang sudah dapat mempertanggung jawabakan pidananya. Maka harus dapat difahami, bahwa hak- hak anak menurut Islam terdiri dari dua hak dasar, yaitu:56

1. Hak mendapatkan nama yang baik. Sesuai dengan sabda Nabi: ”engkau baguskan nama dan pendidikannya, kemudian tempatkan ia ditempat yang baik.

2. Hak mendapatkan kasih sayang.

Berbeda halnya dengan pendapat diatas, menurut Qawaidul Fiqhiyah, hak anak dalam Islam pertama sekali secara umum dibicarakan dalam apa yang disebut sebagai Dharuriyatu Khams (hak asasi dalam islam). Hak itu adalah lima hal yang perlu dipelihara sebagai hak setiap orang, yaitu:57

56


(42)

1. pemeliharaan atas hak beragama (Hifdzud dien).

2. pemeliharaan atas jiwa (Hifdzud nafs).

3. pemeliharaan atas akal (Hifdzud aql).

4. pemeliharaan atas harta (Hifdzud mal).

5. pemeliharaan atas keturunan/ nasab (Hifdzud nasl).

6. pemeliharaan atas kehormatan (Hifdzud ’ird).

2. Anak Dibawah Umur Menurut Hukum Positif

Berbicara mengenai anak adalah sangat penting karena anak merupakan potensi nasib manusia dihari mendatang, dialah yang ikut berperan menentukan sejarah bangsa sekaligus cermin sikap hidup bangsa pada masa mendatang.58 Anak dan generasi muda adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena anak merupakan bagian dari generasi muda. Selain anak, didalam generasi muda ada yang disebut renaja dan dewasa. Apa yang disebut generasi muda oleh Zakiah Darajat dibatasi sampai seorang anak berumur 25 tahun. Menurut beliau generasi muda terdiri atas masa kanak- kanak umur 0- 12 tahun, masa remaja umur 13- 20 tahun dan masa dewasa muda umur 21- 25 tahun.59

57

www. Mail- archive.com/keluarga-islam/hak anak dalam konvensi dan realita.

58

Wagiati Soetodjo,. Hukum Pidana Anak. (Bandung: Refika Aditama, 2006). Bab II Gejala dan Timbulnya Kenakalan Anak Serta Batas Usia Pemidanaan Anak, cet. Pertama, h. 5.

59

Gatot Supramono,. Hukum Acara pengadilan Anak. (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2007), cet. ke-3, h. 1.


(43)

Menurut Undang- undang No. 3 Tahun 2003 Tentang perlindungan Anak, yang dinyatakan dalam pasal 1 Ayat (1) bahwa anak adalah yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sementara menurut Pasal 330 KUHPerdata (BW), Belum Dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu kawin.

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak disebutkan bahwa anak sampai batas usia sebelum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin masih tergolong anak di bawah umur. Sedangkan dalam sUndang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan memberikan batasan usia anak di bawah kekuasaan orangtua atau dibawah perwalian sebelum mencapai 18 tahun masih tergolong anak di bawah umur. Dalam Undang- undang Pemilu yang dikatakan anak di bawah umur adalah belum mencapai usia 17 tahun, sedangkan dalam konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak memberikan batasan anak di bawah umur adalah di bawah umur 18 tahun.60

Berbicara mengenai anak, perlu digaris bawahi bahwa Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, sesuai dengan Undang- undang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002 BAB III mengenai Hak dan Kewajiban Anak. Berikut merupakan hak- hak anak yang terkandung didalamnya:61

60


(44)

1. Berhak atas suatu nama sebagai identitas diri;

2. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbungan orangtua

3. Setiap anak berhak untuk mengetahui orangtuanya, dibesarkan, dan diasuh orangtuanya sendiri.

4. Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuia dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

5. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.

6. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasannya dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

7. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, berfaul dengan anak sebaya, bermain, berrekrasi, dan berkreasi seesuia dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasanny ademi pengembangan diri.

8. Setiap anak yang menyandang cacat berhak untuk mmperoleh rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

61

Himpunan Direksi Asa Mandiri. Undang- undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. (Jakarta: Asa Mandiri, 2008). Cet ke-1,. h. 24-27


(45)

9. Setiap anak berhak mendapat perlindungan dari perlakuan; diskriminasi, eksploitasi, penelantaran, kekejaman, kekearasan, dan penganiayaan serta dan ketidak adilan dan perlakuan salah lainnya.

10. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orangtuanya sendiri.

11. Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan apapun dan penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

12. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

13. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

Dan dalam Konvensi PBB tentang Hak- hak Anak yang ditanda tangani oleh Pemerintah RI tanggal 26 Januari 1990 batasan umur anak adalah dibawah umur 18 tahun. Sekarang mengenai hak- hak anak dapat dilihat dalam Konvensi PBB tersebut, sebagai berikut:62

Hak- hak Anak dalam Konvensi PBB:

1. Memperoleh perlindungan dari bentuk diskriminasi dan hukuman.

2. Memperoleh perlindungan dan perawatan seperti untuk kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan.

3. Tugas negara untuk menghormati tanggung jawab, hak dan kewajiban orangtua serta keluarga.

62

Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak. (Jakarta: Djambatan, 2007), cet ke-3. h. 5.


(46)

4. Negara mengakui hak hidup anak, serta kewajiban negara menjamin perkembangan dan kelangsungan hidup anak.

5. Hak memperoleh kebangsaan, nama serta hak untuk mengetahui dan diasuh orangtuanya.

6. Hak memelihara jati diri termasuk kebangsaan, nama dan hubungan keluarga. 7. Hak anak untuk tinggal bersama orangtua

8. Kebebasan menyatakan pendapat atau pandangan.

9. Kebebasan untuk menghimpun, berkumpul dan berserikat. 10. Memperoleh informasi dan aneka ragam yang diperlukan.

11. Memperoleh perlindungan akibat kekerasan fisik, mental, penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan salah (eksplisit) serta penyalahgunaan seksual. 12. Memperoleh perllindungan hukum terhadap gangguan (kehidupan pribadi,

keluarga, surat menyurat atas serangan yang tidak sah).

13. Perlindungan anak yang tidak mempunyai orangtua menjadi kewajiban negara.

14. Perlindungan anak yang berstatus pengungsi. 15. Hak perawatan khusus bagi anak cacat. 16. Memperoleh pelayanan kesehatan.

17. Hak memperoleh manfaat jaminan sosial (asuransi sosial).

18. Hak anak atas taraf hidup yang layak bagi pengembangan fisik, mental dan sisoal.


(47)

20. Hak anak untuk beristirahat dan bersenang- senang untuk terlibat dalam kegiatan bermain, berekreasi dan seni budaya.

21. Hak atas perlindungan dari eksploitasi ekonomi. 22. Perlindungan dari penggunaan obat terlarang.

23. Melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi seksual.

24. Perlindungan terhadap penculikan dan penjualan atau perdagangan anak. 25. Melindungi anak terhadap semua bentuk eksploitasi terhadap segala aspek

kesejahteraan anak.

26. Larangan penyiksaan, hukuman yang tidak manusiawi. 27. Hukum acara peradilan anak.


(48)

BAB III

PELACURAN ANAK DIBAWAH UMUR

A. Pengertian Dan Gambaran Umum Pelacuran Anak Dibawah Umur.

Pengertian mengenai pelacuran telah dijelaskan dan dipaparkan didalam bab sebelumnya, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan seseorang dengan mengharapkan imbalan berupa uang dan sebagainya, yang biasanya diberikan setelah melakukan pekerjaannya, dan dilakukan secara terus menerus. Tindakan prostitusi atau pelacuran dapat dilihat pada orang- orang yang telah dewasa maupun anak- anak, khususnya anak- anak remaja yang memiliki libido yang masih sangat tinggi dan belum mampu


(49)

mengendalikan hawa nafsu seksualnya.63 Istilah anak yang dilacurkan merupakan terjemahan dari ”prostituted children”, yang digunakan sebagai pengganti istilah pelacur anak atau ”child prostitutes”. Istilah ini diperkenalkan sejalan dengan berkembangnya kampanye internasional anti pelacuran anak dalam pariwisata Asia (ECPAT) yang dicanangkan tahun 1990. 64

Prostitusi/ pelacuran anak dibawah umur, merupakan tindakan mendapatkan atau menawarkan jasa seksual dari seorang anak yang belum mencapai 18 (delapan belas) tahun oleh seseorang atau kepada orang lainnya dengan imbalan uang atau imbalan lainnya. Seperti yang telah dikemukakan, prostitusi tidak dilarang dalam KUHP maupun RUU- KUHP, terutama pelacuran yang dilakukan ditempat- tempat tertutup. Pasal 434 RUU- KUHP hanya melarang orang yang bergelandangan dan berkeliaran di jalan- jalan umum dan ditempat- tempat umum dengan maksud melacurkan diri, diancam dengan pidana denda setinggi- tingginya sebesar Kategori I, yaitu, menurut Pasal 75 RUU- KUHP sebesar Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah). Terhadap para pelacur yang berkeliaran di hotel- hotel, meskipun hotel merupakan tempat umum, namun unsur bergelandangan dan berkeliaran tidak terpenuhi, maka bagi mereka tidak dilarang melacurkan diri.65 Namun disini tidak ada satupun ketentuan yang melarang anak dibawah umur dalam melakukan

63

Neng Djubaedah, Pornografi pornoaksi Ditinnjau Dari Hukum Islam. (Jakarta : Prenada Media, 2003), cet. ke-2., h. 184.

64

http://odishalahuddin.wordpress.com/tag/prostitusi-anak/

65


(50)

pelacuran. Penjelasan hanya dipusatkan secara umum mengenai larangan prostitusi menurut hukum islam dan RUU- KUHP.

Di Indonesia, mereka yang sudah menikah atau sudah pernah menikah tidak lagi diklasifikasikan sebagai ‘anak’ baik secara sosio-kultural maupun secara yuridis formal. Padahal, menurut seorang peneliti yang baru-baru ini memperoleh gelar doktor dengan tesis mengenai pelacuran, diperkirakan sekitar 60-70 persen dari antara mereka yang masuk ke dunia pelacuran yang berasal dari lima wilayah pengirim terbesar di Jawa (yakni Indramayu, Pati, Jepara, Wonogiri dan Banyuwangi), memulai ‘kariernya’ sebelum berumur 18 tahun, walaupun kebanyakan dari mereka sudah menjanda atau masih dalam status perkawinan.

Menurut data yang penulis dapat dari sebuah situs diinternet, bahwa diperkirakan, 30 persen pelacur atau pekerja seks komersial (PSK) di Indonesia dijalani oleh anak-anak di bawah umur atau di bawah usia 18 tahun. Hal itu ditandaskan Deputi Perlindungan Anak pada Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan, Dr Surjadi Soeparman MPH. Secara nasional memang tidak ada angka pasti jumlah anak di bawah umur yang dilacurkan. Namun diperkirakan jumlah itu sekitar 30 persen. Surjadi mengungkapkan, persebaran pelacur anak di bawah umur hampir merata di tiap daerah. Mereka mudah ditemukan di kantong-kantong kemiskinan.66

66

http://www.matabumi.com/berita/30%25-psk-indonesia-anak-di-bawah-umur.


(51)

Menurut aktivitasnya, pelacuran pada dasarnya terbagi menjadi dua jenis, antara lain :67

1. Prostitusi yang terdaftar dan memperoleh perizinan dalam bentuk (lokalisasi) dari pemerintah daerah melalui Dinas Sosial dibantu pengamanan kepolisian dan bekerja sama dengan Dinas Kesehatan. Umumnya mereka di lokalisasi suatu daerah / area tertentu. Penghuninya secara periodik harus memeriksakan diri pada dokter atau petugas kesehatan dan mendapatkan pelayanan kesehatan berupa pengobatan seperti pemberian suntikan untuk menghindari penyakit-penyakit berkenaan dengan prostitusi.

2. Prostitusi yang tidak terdaftar bukan lokalisasi. Adapun yang termasuk kelompok ini adalah mereka yang melakukan kegiatan prostitusi secara gelap dan licin, baik perorangan maupun kelompok terorganisir.

B. Faktor Penyebab Terjadinya Pelacuran Anak Dibawah Umur.

Pada zaman sekarang model- model pelacuran mempunyai banyak variasi meskipun tidak sama persis, tetapi motifnya hampir sama yaitu motif ekonomi, mencari kesenangan sesaat atau melampiaskan nafsu dan menunjukan harga diri.68 Tetapi apakah mungkin pelacuran yang dilakukan oleh anak dibawah umur

67

http://dwtina.ngeblogs.com/2009/09/14/permasalahan-sosial-di-sekitar-kita/.

68

Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP. (Jakarta : PT Bulan Bintang, 2003), h. 74.


(52)

merupakan suatu motif untuk mencari kesenangan sesaat apalagi sampai menunjukan harga diri.

Menelusuri faktor penyebab terjadinya pelacuran anak dibawah umur sangat sulit karena permasalahan yang melingkupinya sangat kompleks. Menurut Endang Sedyaningsih, bahwa salah satu faktor terjadinya pelacuran adalah Faktor Moral atau Akhlak69; (1) Dimana adanya demoralisasi atau rendahnya faktor moral, serta ketidak takwaan dan ketaatan terhadap ajaran agama. (2) Standar pendidikan dalam keluarga mereka pada umumnya rendah. (3) Berkembangnya pornografi dan pornoaksi secara bebas.

Sementara tidak jauh berbeda dengan pendapat diatas, KOMNAS Perlindungan Anak pun berpendapat bahwa terjadinya pelacuran anak dibawah umur, dikarenakan adanya beberapa faktor, salah satunya adalah;

1. Faktor Ekonomi.

Adanya kemiskinan dan keinginan untuk meraih kemewahan hidup, dengan cara jalan pintas dan mudah. Tanpa harus memiliki keterampilan khusus, walau kenyataannya mereka buta huruf, pendidikan rendah, berpikiran pendek, sehingga menghalalkan pelacuran sebagai pilihan pekerjaannya.

2. Faktor pendidikan.70

Pendidikan yang kurang memadai yang diberikan oleh keluarga, khususnya orang tua menjadi faktor penting dari terjadinya pelacuran anak dibawah

69

Endang Sedyaningsih, Perempuan- perempuan Keramat Tunggak, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1999)., h. 70.

70


(53)

umur. Karena keterbatasannya mencari kerja dengan ijazah yang sangat rendah (SD).

3. Faktor Keluarga.

Dalam arti kurang terpenuhinya pengawasan dari pihak orang tua. Karena pada semestinya orang tua harus senantiasa mendampingi anak, baik dalam pergaulan sampai dengan pola pendidikan yang diberikan dari sekolah. Dan atau bahkan adanya konflik didalam keluarga.

4. Latar Belakang Kekerasan Seksual.

Masa lalu yang pernah dialami oleh anak tersebut, secara paksa direnggut kehormatannya oleh orang yang tidak bertanggungjawab, biasanya dapat memunculkan fikiran untuk melacur karena sudah kepalang tanggung (tidak perawan lagi).

Pendapat lain mengatakan, secara umum faktor penyebab wanita menjadi pelacur, menurut dr. H. Ali Akbar, ada enam, yaitu:71

1. Tekanan ekonomi. Karena tidak adanya pekerjaan, terpaksa mereka hidup menjual diri sendiri dengan jalan dan cara yang paling mudah.

2. Karena tidak puas dengan posisi yang ada. Walaupun sudah mempunyai pekerjaan, tetapi tidak dapat membeli barang- barang bagus yang diinginkan. 3. Karena kebodohan. Tidak mempunyai pendidikan yang baik.

4. Cacat kejiwaan.

71

Dikutip Dari Buku ”Mengapa Zina Dilarang”, Oleh Armaidi Tanjung., (Solo: CV Pustaka Mantiq, 1997),. h. 65.


(54)

5. Karena sakit hati, ditinggal suami atau setelah dinodai kekasihnya ditinggal begitu saja.

6. Karena tidak puas dengan kehidupan sosialnya atau hiperseksual.

Diatas merupakan faktor- faktor utama secara umum, sebagai pemicu terjadinya pelacuran yang dilakukan oleh orang dewasa dan anak dibawah umur. Baik menurut hukum positif ataupun menurut hukum negatif, beranggapan bahwa pelacuran merupakan suatu tindakan asusila, yang dapat menghancurkan generasi bangsa. Namun, pada umumnya mengenai hukuman yang dijatuhkannya, hukum islam lebih tegas dalam memutuskannya dibandingkan dengan hukum positif.

C. Dampak Pelacuran Anak Dibawah Umur.

Menurut Muhammad Abduh Malik, penyebab dari seseorang berbuat zina adalah bahwa manusia memiliki nafsu syahwat terhadap lawan jenisnya, dan disebabkan kondisi sosial yang mentolelir pergaulan bebas antara pria dan wanita.72 Menurut KOMNAS Perlindungan Anak,73 Prostitusi ditinjau dari sudut manapun merupakan suatu kegiatan yang berdampak tidak baik (negatif), baik dipandang dari sudut hukum positif maupun dalam sudut hukum islam.

Dampak negatif tersebut antara lain :

72

Abduh Malik. Perilaku Zina. h. 70

73

Hasil wawancara penulis dengan KOMNAS Perllindungan Anak. (Jakarta: Pasar Rebo, 2010). 13 April. Pukul 11:00.


(55)

a. Dari aspek psikologis, pelacuran anak dibawah umur dapat menyebabkan pemikiran yang terlalu cepat dewasa dibanding anak- anak seumurannya, dan pola fikirnya sangat pendek, dalam arti tidak memikirkan untuk jangka panjangnya.

b. Dari aspek pendidikan, pelacuran anak dibawah umur dapat menyebabkan kurang konsentrasinya anak dalam menerima pelajaran, bahkan dapat memberikan rasa kejenuhan untuk mengikuti pelajaran dan mengakibatkan anak akan memilih untuk tidak bersekolah.

c. Dari aspek kewanitaan, pelacuran anak dibawah umur dapat memberikan pandangan negatif kepada semua orang terutama laki- laki pada diri anak tersebut, walaupun mungkin telah sadar dan tidak melacur lagi. Dan dapat sulit dipercaya oleh laki- laki lain, ketika anak ini benar- benar ingin melakukan pernikahan.

d. Dari aspek kesehatan, pelacuran anak dibawah umur merupakan media yang sangat efektif untuk menularnya penyakit kelamin (Terkena PMS dan HIV/AIDS: Secara khusus selama periode pelacuran, anak-anak terpapar langsung pada resiko terinfeksi berbagai penyakit yang menular melalui hubungan seksual termasuk terinfeksi HIV/AIDS.) dan kandungan (Kanker Serviks) yang sangat berbahaya.

e. Secara sosialogis, pelacuran anak dibawah umur merupakan perbuatan amoral yang bertentangan dengan norma dan etika yang ada di dalam masyarakat.


(56)

f. Dari aspek penataan kota, pelacuran anak dibawah umur dapat menurunkan kualitas dan estetika lingkungan perkotaan, karena dapat menarik perhatian anak- anak lain untuk melakukan hal yang sama lebih banyak lagi, dan semakin menurunlah citra kota.

Pelacuran merupakan penyakit dalam masyarakat yang harus segera dihilangkan, karena sangat mengganggu ketentraman dan kedamaian dalam suatu masyarakat. Apalagi pelacuran yang dilakukan oleh anak dibawah umur, dampak negatif begitu banyak yang menghampirinya, tidak ada satu halpun dalam pelacuran (perzinaan) yang melahirkan sesuatu yang positif, baik dalam sosial masyarakat ataupun dalam ekonomi untuk memenuhi kehidupannya, karena uang yang dihasilkannyapun haram. Namun, kenyataan membuktikan, bahwa semakin ditekan pelacuran, maka semakin luas penyebaran pelacuran itu pula. Karena tidak adanya Undang- undang yang melarang secara tegas terhadap praktek pelacuran, serta tidak adanya larangan dan sanksi terhadap orang- orang yang melakukan relasi seks diluar perkawinan, akan tetapi yang dilarang dalam Undang- undang hanyalah praktek dari pada mucikari.


(57)

BAB IV PEMIDANAAN

A. Pemidanaan

1. Menurut Hukum Islam.

Pemidanaan atau hukuman, dalam bahasa Arab disebut ‘uqubat. Lafaz ini diambil dari lafaz (عاقب)74 yang sinonimnya (جزا سواء بما فعل), artinya:

74

Ali Mutahar, Kamus Mutahar Arab- Indonesia. (Jakarta: PT. Ikrar Mandiri Abadi, 2005). Cet ke- 1, h. 735.


(58)

membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya.75 Dalam hukum Islam perbuatan yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau masyarakat, baik anggota badan maupun jiwa, harta, perasaan, keamanan, dapat dikatakan sebagai perbuatan jarimah.

Jarimah berasal dari kata (م ﺮ )76 yang sinonimnya ( ﻄ و آ) artinya: berusaha dan bekerja, pengertian usaha disini adalah usaha yang tidak baik. Pengertian jarimah tersebut adalah pengertian yang umum, dimana jarimah itu disamakan dengan ( ﺬ ا) atau (dosa) dan (ﺔ ﻄ ا) atau (kesalahan), karena pngertian akat- kata tersebut adalah pelanggaran terhadap perintah dan larangan terhadap agama, baik pelanggaran tersebut mengakibatkan hukuman duniawi maupun ukhrawi.77 Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa Islam menyebut kata pemidanaan dengan menggunakan kata Jarimah atau tindak pidana dan Uqubah atau hukumannya.

Pengertian jarimah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al- Mawardi adalah sebagai berikut :

ﺮ ﺰ وأ

ﺎﻬ

ﻰ ﺎ

ﷲا

ﺮ ز

ﺮﺷ

تارﻮﻈ

ا

ﺮ ا

78

75

http://hukum-Islam.co.cc/?p=32.

76

Abu Khalid, Kamus Arab- Indonesia Al- Huda. (Surabaya: Fajar Mulya). Cet ke-1, h. 91.

77

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika Offfset, 2004), h, 9.

78

Al- Mawardi, al Ahkam As Sulthaniyah, (Mesir: Maktabah Mustafa al Baby al Halaby, 1997 ). Cet ke- 3, h. 219.


(59)

”Jarimah adalah perbuatan- perbuatan yang dilarang oleh syara’, yang diancam dengan hukuman had dan ta’zir.”

Dalam istilah lain jarimah disebut juga dengan jinayah. Menurut Abdul Qadir Audah pengertian jinayah adalah :

ﺎ ﺮﺷ

مﺮ

ا

ﺔ ﺎ ﺎ

,

ﻚ ذ

وأ

لﺎ وأ

ا

و

ءاﻮ

79

”Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya.”

Dalam hukum Islam tujuan pokok dari penjatuhan hukuman ialah pencegahan

(ar- rad’u waz- zajru), pengajaran serta pendidikan (al- islah wat- tahdzib).80 Tujuan hukum pada umumnya adalah menegakan keadilan berdasarkan kemauan pencipta manusia sehingga terwujud ketertiban dan ketentraman masyarakat.81 Hal ini berdasarkan dalil hukum surat Annisa ayat 65:

⌧ ☺

☺ ⌧

☺ ☺

Artinya :

79

Abd Al- Qadir Audah, At- Tasyri’ Al- Jinaiy Al- Islamiy, Juz I, Dar Al- Kitab Al- ’Arabi, Deirut, tanpa tahun, h. 67.

80

A. Hanafi., Asas- asas hukum pidana Islam., (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), cet ke- 1.h. 279.

81


(60)

”Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”

Mengenai tujuan pemidanaan sendiri, Islam mempunyai tujuan yang memang akan dicapai dalam pemberian sanksi hukumannya. Yaitu :

1. Perbaikan dan Pendidikan,82 adalah untuk mendidik pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Setelah mendapatkan hukuman, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran, sehingga pelaku tidak akan mengulangi perbuatan jarimah lagi.

2. Pencegahan,83 adalah menahan orang yang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak terus- menerus melakukan jarimah tersebut. Pencegahan juga mengandung arti lain, yaitu mencegah orang lain selain pelaku agar tidak ikut- ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain yang juga melakukan perbuatan yang sama.

Berdasarkan tujuan hukum Islam diatas, dapat dirumuskan bahwa tujuan hukum pidana Islam adalah memelihara jiwa, akal, harta masyarakat secara umum,

82

http://hukum-Islam.co.cc/?p=32.

83

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Hukum Pidana Islam, Fikih Jinayah,. (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2004), cet ke- 1. h. 137


(61)

dan keturunan. Oleh karena itu kedudukan hukum Islam amat penting dalam kehidupan bermasyarakat.

Setelah membahas mengenai unsur- unsur jarimah, kali ini penulis akan membahas mengenai macam- macam jarimah, yang paling penting adalah pembagian yang ditinjau dari segi hukumannya. Jarimah ditinjau dari segi hukumannya terbagi kepada tiga bagian, yaitu jarimah hudud, jarimah qishash dan diat, dan jarimah ta’zir

1. Jarimah Hudud.

Kata hudud adalah jamak dari bahasa arab ”Hadd” yang berarti pencegah, pengekangan, larangan, dan kkarnanya ia merupakan suatu peraturan yang bersifat membatasi atau mencegah atau undang- undang dari Allah berkenaan dengan hal- hal boleh (halal) dan terlarang (haram). Dalam hukum islam, kata ”hudud” dibatasi untuk hukuman karena tindak pidana yang disebutkan oleh alqur’an atau sunnah Nabi SAW, sedangkan hukuman lain ditetapkan dengan pertimbangan Qadhi atau penguasa yang disebut ”Ta’zir” (mempermalukan pelaku pidana).84

Menurut Ahmad Wardi Muslich, didalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana Islam, memberikan spesifikasi mengenai ciri khas jarimah hudud, yaitu:85 a. Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukuman tersebut telah

ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal dan maksimal.

84

Abdur Rahman, Tindak Pidana Dalam Syari’at Islam. (Jakarta: PT. Melton Putra, 1992). Cet ke-1, h.6.

85


(62)

b. Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata- mata, atau kalau ada hak manusia disamping hak Allah maka hak Allah yang lebih dominan.

2. Jarimah Qishash dan Diat.

Jarimah qishash dan diat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishash atau diat. Baik qishash atau diat kedua- duanya adalah hukuman yang sudah ditentukan oleh syara’. Perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa hukuman had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan qishash dan diat merupakan hak manusia (hak individu). Disamping itu, perbedaan yang lain adalah karena hukuman qishash dan diat merupakan hak manusia maka hukuman tersebut bisa dimaafkan atau digugurkan oleh korban atau keluarganya, sedangkan hukuman had tidak bisa dimaafkan atau digugurkan. Mengenai jarimah qishash dan diat ini dikenakan atas dua macam perbuatan pidana, yaitu: pembunuhan dan penganiayaan. Namun apabila diperluas, jumlahnya ada lima macam; pembunuhan sengaja, pembunuhan menyerupai sengaja, pembunuhan karena kesalahan, penganiayaan sengaja, dan penganiayaan tidak sengaja.

3. Jarimah Ta’zir.

Ta’zir secara harfiah berarti membinasakan pelaku kriminal karena tindak pidana yang memalukan. Dalam ta’zir, hukuman itu tidak ditetapkan dengan


(63)

ketentuan hukum, dan hakim yang diperkenankan mempertimbangkan baik bentuk ataupun hukuman yang akan dikenakan.86

Jarimah ta’zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir. Pengertian ta’zir menurut bahasa adalah ta’dib, artinya memberi pelajaran. Sedangkan menurut istilah adalah, hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syara’.87

Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa hukuman ta’zir adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’, dan wewenang untuk menetapkannya diserahkan kepada ulil amri. disamping itu, dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa ciri khas jarimah ta’zir adalah sebagai berikut :

a. Hukumannya tidak ditentukan dan tidak terbatas. Artinya, hukuman tersebut belum ditentukan oleh syara’ dan ada batas minimal dan maksimalnya.

b. Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa (ulil amri).

Pemidanaan Terhadap Anak diBawah Umur.

Allah mengetahui perbuatan baik dan buruk yang akan dilakukan manusia, namun tiap- tiap manusia bebas (tidak terikat) dalam berbuat hal tersebut. Apabila seseorang berbuat dosa maka hal itu karena kehendaknya sendiri. Sehingga ia bertanggungjawab sepenuhnya atas perbuatannya, karena tanggungjawab dibebankan

86

A. Rahman,. Hudud dan Kewarisan. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996). Cet ke-1,. h. 15.

87


(64)

kepadanya karena akalnya, kehendaknya, kecondongan hati (kecenderungannya), dan pilihannya.

Pertanggungjawaban pidana dalam syari’at Islam adalah pembebanan seseorang akibat perbuatannya (atau tidak berbuat dalam delik omisi) yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana ia mengetahui maksud- maksud dan akibat- akibat dari perbuatannya itu.88 Pertanggungjawaban pidana ditegakan atas tiga hal, yaitu:

1. Adanya perbuatan yang dilarang; 2. Dikerjakan dengan kemauan sendiri;

3. Pembuatannya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut.

Dengan demikian, maka hanya manusia berakal fikiran, dewasa, dan berkemauan sendiri yang dapat dibebani tanggungjawab pidana. Oleh karena itu tidak ada pertanggungjawaban pidana bagi anak- anak, orang gila, orang dungu, orang yang hilang kemauannya, dan orang yang dipaksa atau terpaksa.

Mengenai dasar penghapusan pidana, ada pembagian antara: dasar pembenar, dan dasar pemaaf. Dalam hukum Islam alasan atau dasar pembenar itu ada dalam hal- hal sebagai berikut:

1. Bela diri (legal defense).

2. Penggunaan hak.

3. Menjalankan wewenang atau kewajiban.

88

Topo Santoso. Menggagas Hukum Pidana Islam. (Bandung: Asy Syaamil Press & Grafika, 2000). Cet ke-1,. h. 165


(1)

perbuatan zina atau pelacuran, bukan karena perbuatan tersebut dilakukan oleh anak dibawah umur lantas terbebas sepenuhnya dengan hukuman, akan tetapi dapat diberlakukannya hukuman ta’zir yang dapat diberikan oleh penguasa atau hakim dengan segala kebijakannya, yang dapat membuat anak tersebut tidak mengulangi lagi perbuatannya. Dan apabila mengenai persamaannya, antara hukum Islam dan hukum positif sama- sama memberikan sanksi pidana dengan tujuan; pembinaan atau pembelajaran, pencegahan agar masyarakat lain tidak ikut melakukannya, dan sebagai balasan apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan melampaui batas. Dan antara kedua hukum tersebut, sama- sama menjatuhkan hukuman mati dalam menangani penjatuhan pidana yang sudah dilakukan berulang- ulang kali sebagai penyelesaian terakhir.

D. Saran-saran.

Berkaitan dengan pelacuran anak dibawah umur yang penulis teliti ini, maka muncullah beberapa saran yang dapat penulis sampaikan :

1. Untuk pemerintah Indonesia, hendaklah membuat suatu peraturan khusus mengenai sanksi yang hendak dibebankan kepada pelaku pelacuran anak dibawah umur, dengan sedikit ataupun banyaknya dapat mengadopsi dari hukum Islam secara umum, agar pelacuran di Indonesia tidak semakin merajalela, terutama bagi anak- anak generasi penerus bangsa.


(2)

2. Alangkah baiknya, pemerintah Indonesia bersama- sama dengan seluruh masyarakat Indonesia memperbaiki mobilitas perekonomian dan melestarikan lingkungan dari pelacuran serta mengembangkan dan membuka peluang kerja sebanyak- banyaknya, agar terciptanya kesejahteraan hidup maupun perekonomian.

3. Untuk seluruh keluarga Indonesia, untuk senantiasa memberikan waktu yang sangat lebih dalam membina anak- anaknya, agar mereka tidak merasa kurangnya perhatian orang tua, yang dapat menjadikan faktor terjadinya pelacuran anak dibawah umur.

4. Untuk lembaga- lembaga yang konsen mengenai anak- anak, diharapkan dapat berperan serta untuk memberikan pendidikan geratis kepada anak- anak jalanan dan anak- anak yang tidak mampu, sehingga dapat memberikan pemahaman terhadap anak- anak dibawah umur mengenai bahayanya seks bebas.

DAFTAR PUSTAKA

Audah, Abdul Qadir. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam IV. At- Tasyri’ al- Jina’i al- Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy., Bab XIX, Zina. PT. Kharisma Ilmu.


(3)

Abu Bakar Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu al- Mundzir al- Nisaburi al- Syafi’I, Al- Israf ‘Ala Ahli al- Ilmi, h. 413.

Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Al- Mawardi. Al- Ahkam As Sulthaniyah. Mesir: Maktabah Mustafa al Baby al Halaby, 1997.

Al- Syafi’I, Al- Umm. Beirut- Libanon: Daar al- Wafa, 2005. Juz ke- 5

Al- Bakri, Al- Sayyid. Hasyiyah I’anatu al- Thalibin ‘Ala Hilli alfazi Fathi al- Mu’in. Beirut – Libanon: Daar Al- Fikri, 1414.

Bahanasyi, Ahmad Fathi. Al- Masuliyyah al- Jinaiyah fi al- fiqh al- Islamiy, Dirosat Fiqhiyat Muqaranat. Kairo: Daar al- Syuruq, 1983.

Chazawi, Adami. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. Jakarta : Rajagrafindo Persada.

Djazuli, A. Fiqh Jinayah. Jakarta: PT . Raja Grafindo Persada, 2000.

Djubaedah, Neng. Pornografi Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam. Bogor : Prenada Media, 2003.

Doi, Abdurahman. Tindak Pidana Dalam Syari’at Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1991. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999.

Fachruddin. Mencari Karunia Allah. Jakarta: PT Bina aksara, 1984. Fuaduddin. Pengasuhan Anak Dalam Keluarga Islam. Jakarta : 1999.

Fachruddin, Fuad Mohd. Masalah Anak Dalam Hukum Islam Anak Kandung, Tiri, Angkat Dan Anak Zina. Jakarta : 1991.

Hanafi, Ahmad. Asas- asas hukum pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1967.

Huda, Chairul. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006.

Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Jawa Timur: Bayumedia Publishing, 2006.


(4)

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke Tiga. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta: Balai Pustaka 2005.

Khalid, Abu. Kamus Arab- Indonesia Al- Huda. (Surabaya: Fajar Mulya). Kartono, Kartini. Patalogi Sosial. Jakarta : CV Rajawali, 1998.

Malik, Muhammad Abduh. Perilaku zina pandangan hokum Islam dan KUHP. Jakarta: Bulan Bintang, 2003.

Mahjudin, Masailul Fiqhiyyah “Berbagai Kasus Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini”. Jakarta : Kalam Mulia, 2005.

Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika offset, 2005. Muslich, Ahmad Wardi. Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah.

Jakarta: Sinar Grafika Offfset, 2004.

Mutahar, Ali. Kamus Mutahar Arab- Indonesia. (Jakarta: PT. Ikrar Mandiri Abadi, 2005).

Nasuki, Hamid, dkk. Fakultas Syari’ah dan Hukum Syarif Hidayatullah, Buku Pedoman Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis Dan Disertasi). Jakarta: 2007.

Peter, Marzuki, Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Prodjodikoro, Wirjono. Asas- asas hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama, 2003.

Qayrawani, Al. Fil Ahkam Wal Hudud. ( _; Risalah, op. cit).

Rahman, Abdur. Tindak Pidana Dalam Syari’at Islam. (Jakarta: PT. Melton Putra, 1992).

Rahman, A. Hudud dan Kewarisan. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996). Salam, Moch. Faisal. Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia. Bandung: Mandar

Maju, 2005.

Sedyaningsih, Endang. Perempuan- perempuan Keramat Tunggak. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1999.


(5)

Suma, Muhammad Amin, MA, SH. Dkk. Pidana Islam di Indonesia peluang, prospek, dan tantangan. Jakarta : Pustaka Firdaus, 2001.

Sholehuddin. System Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System Dan Implementasinya. Jakarta : Rajawali Pers, 2003.

Supramono, Gatot. Hukum Acara pengadilan Anak. Jakarta: Penerbit Djambatan, 2007.

Sy, Musthofa. Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Anak. Jakarta: Prenada Media Group, 2008.

Soedjono. Pelacuran ditinjau dari hukum dan kenyataan dalam masyarakat. Bandung : Karya Nusantara, 1977.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI- Press, 1986.

Soerodibroto, Soenarto. KUHP & KUHAP dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Soetodjo, Wagiati. Hukum Pidana Anak. Bab II Gejala dan Timbulnya Kenakalan Anak Serta Batas Usia Pemidanaan Anak, cet. Pertama. Bandung: Refika Aditama, 2006.

Tanjung, Armaidi,. Mengapa Zina Dilarang. Solo: Pustaka Mantiq, 1997.

Truong, Than- Dam. Pariwisata dan Pelacuran di Asia Tenggara, Terjemahan : Moh. Arif. Jakarta : LP3ES, 1992.

Yafie, Ali. Teologi Sosial, Telaah Kritis Persoalan Agama Dan Kemanusiaan. Yogyakarta: LKPSM, 1997.

Sumber dari Undang- undang :

- Undang- undang Nomor. 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan anak. - Undang- undang Nomor. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. - Undang- undang Nomor. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.


(6)

- Perda Nomor. 8 Tahun 2005 Tentang Larangan Pelacuran Kota Tangerang.

Sumber dari Internet :

http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi/hukum-pidana/pelacuran-anak-di-bawah- umur-dalam-penegakan-hukum-di-indonesia-studi-sosiologi-hukum-di-kecamatan

.

http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi/hukum-pidana/tijauan-yuridis-terhadap- penerapan-sanksi-pidana-bagi-anak-di-bawah-umur-menurut-undang-%E2%80%93-undang-r

http://aan-online.blogspot.com/2007/08/potret-buram-raperda-pelacuran-jombang.html.

http://odishalahuddin.wordpress.com/tag/prostitusi-anak//. Yogyakarta, 4 Agustus 1999.

http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009031307073271//.

http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jiptumm-gdl-s1-2003-herawatisu-869.

http://sosbud.kompasiana.com/2010/02/02/pelacur-di-bawah-umur//. http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=k&id=137845.

http://pendidikanlayanankhusus.wordpress.com/category/pendidikan-anak-psk/. http://www.matabumi.com/berita/30%25-psk-indonesia-anak-di-bawah-umur. http://ceritaserubaru.co.cc/search/data+pelacur//.

http://www.hariansumutpos.com/2010/02/prostitusi-via-facebook-dibongkar.html/. http://www.antarajatim.com/lihat/cetak/26216//.


Dokumen yang terkait

Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Perceraian Orangtua(Studi Kasus 4 (empat) Putusan Pengadilan di Indonesia)

18 243 107

Analisis Yuridis Pengurusan Harta Kekayaan Anak Angkat Dibawah Umur pada WNI Keturunan Tionghoa (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor : 2161 K/PDT/2011)

2 91 130

Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum Pidana Positif Dan Hukum Pidana Islam

4 75 126

Tindak Pidana Narkotika anak dibawah umur dalam perspektif Hukum Islam Positif : (studi analisis putusan Pengadilan..)

1 10 83

Sanksi pidana pelecehan seksual antar anak di bawah umur menurut hukum islam dan hukum positif

0 13 61

PERLINDUNGAN ANAK HASIL ZINA MENURUT PERSEPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

0 3 84

BAB III PENGAKUAN NASAB DAN STATUS HUKUM ANAK TEMUAN (AL-LAQITH) DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Menurut Hukum Islam 1. Pengakuan Nasab Anak Temuan (Al-Laqith) - STUDI KOMPARATIF TENTANG ANAK TEMUAN (AL-LAQITH) MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

0 0 32

BAB IV ANALISIS TERHADAP ANAK TEMUAN (AL-LAQITH) MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF - STUDI KOMPARATIF TENTANG ANAK TEMUAN (AL-LAQITH) MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF - Raden Intan Repository

0 0 6

ANALISIS TINDAK PIDANA PERAMPASAN KENDARAAN BERMOTOR YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM - eprint UIN Raden Fatah Palembang

0 1 107

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG LAHIR DARI PERKAWINAN DIBAWAH TANGAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF - Unissula Repository

0 0 12