Sanksi bughat dan makar : menurut persepektif hukum islam dan hukum positif

(1)

HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

Imam Maulana

N I M :1111045200002

PROGRAM STUDI SIYASAH SYAR’IAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

SKRTPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah danHukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat rmtuk

Memperoleh Gelar Smjana Syariah (S.SV).

Oleh: Imam Vaulpna NIM. 1111045200002

Di Bawah Bimbingan:

NIP: 197812302001nA02

PR(}GRAM

STU}I

STYASAH SYAR'IAII

FAKTILTAS SYARIAII DAN HUKTJM

urN

sYARrr

gro,t

yaiur,r,art

JAKARTA t436Ht20lsvr NIP: 1 972020320070 I 034


(3)

Skripsi berjudul "Sanksi Bughat dan Makar: Men urut Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positr telah diujikan dalam Sidang Munaciashah Fakultas Syariah dan Hulcum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 September 2015 M/ 04 Dzulhijjah 1436 H. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah).

Jakarta, 17 September 2015 M/ 04 Dzulhijjah 1436 H

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

111111

Dr. Ase • a udin Ja ar MA.

NIP. 19691216 199603 1 001

PANITIA UJIAN MUNAQASHAH

1. Ketua : Dra. Hj. Maskufa, MA

NIP. 196680703 199403 2 002 2. Sekretaris : Sri ElidayafiAg

NIP. 19710215 199703 2 002

3. Pembimbing I : Dr. AlFitra, SH. M.Hum

NIP.19720203 200701 1 034 4. Pembimbing IT : Masyrofah, S.M., M.Si

NIP. 19781230 200112 2 002 5. Penguji I : Dr. H. Abdurrahman Dahlan, MA

NIP.19581110198803 1,001 6. Penguji II : Dedy Nursyamsi, SH, M.Hum.


(4)

iv

Syar’iah, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 1436 H / 2015 M, x + 88 halaman.

Masalah pokok penelitian ini adalah bagaimana bughat dan pelaku makar dalam pemberontakan bisa diberikan sanksi sesuai dengan hukum Islam maupun hukum positif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum Islam mengenai bughat dan pandangan hukum positif terhadap makar, bagaimana bentuk sanksi hukum yang dapat dijatuhkan dalam hukum Islam kepada bughat dan dalam hukum positif terhadap pelaku makar dan mengetahui apa perbedaan dan persamaan bughat dan makar menurut perspektif hukum Islam dan hukum positif.

Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian dengan cara mengumpulkan bahan-bahan yang berasal dari sumber hukum primer, sumber hukum sekunder dan sumber hukum tersier baik manual maupun digital yang berkaitan dengan tema pembahasan. Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif.

Hasil penelitian menunjukan bahwa sanksi bagi bughat menurut perspektif hukum Islam adalah diperangi dan dijatuhi hukuman mati (jarimah hudud), hal ini sesuai dengan apa yang telah disebutkan dalam Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim, namun apabila pemimpin/imam memberikan pengampunan maka,

bughat bisa dijatuhi jarimah ta’zir. Dan sanksi bagi pelaku makar menurut perspektif hukum positif adalah pidana mati dan pidana penjara, hal ini sesuai dengan apa yang dirumuskan dalam Buku II Bab I KUHP yang penulis fokuskan menjadi empat pasal yaitu dalam Pasal 104 KUHP, Pasal 106 KUHP, Pasal 107 KUHP dan ditambah dengan Pasal 108 KUHP. Namun, disini pelaku makar sudah bisa dipidana apabila telah memenuhi tiga unsur yaitu permulaan niat, permulaan pelaksanaan dan pelaksanaannya tidak selesai bukan karena kehendaknya sendiri, dan untuk hukumannya dikurangi sepertiga. Namun dalam pemberian sanksi kepada bughat maupun pelaku makar harus dilakukan secara hati-hati dan sebelumnya harus ada proses dialog/musyawarah.

Kata kunci : Sanksi, Bughat, Makar. Pembimbing : Dr. Alfitra, SH., M.Hum.

Masyrofah, S.Ag., M.Si. Daftar Pustaka : 1945 s.d. 2015


(5)

v

ِمْيِحّرلا ِنَمْحّرلا ِه ِمْسِب

Segala puji dan syukur hanya milik Allah SWT yang telah melimpahkan kemampuan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menjalankan tugas-tugas kekhalifahan di bumi dan atas semua yang telah dilimpahkan kepada umat manusia secara umum dan penulis secara khusus. Shalawat beserta salam tak luput kepada risalah-Nya Nabi Muhammad SAW, para keluarga, sahabat, dan mereka semua yang telah berjuang untuk menegakkan kalimat tauhid di atas muka bumi ini dan membimbing umat manusia sehingga dapat menjalani kehidupan yang lebih baik di dunia dan kebaikan hidup di akhirat.

Alhamdulillah, berkat rahmat Allah SWT dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik walaupun masih banyak kekurangan. Adanya bimbingan, kritikan dan masukan yang sangat berarti diperlukan penulis untuk dapat lebih menyempurnakan dan memperbaiki agar penyajian skripsi ini lebih sempurna.

Dalam perjalanan penulisan skripsi ini, satu hal yang menjadikan sebuah kebanggaan bagi penulis adalah mengikuti perkuliahan di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya Fakultas Syari'ah dan Hukum. Di dalam perjalanan ini begitu banyak pengalaman serta pengetahuan baru yang penulis dapatkan, baik sifatnya menyenangkan maupun yang mengharukan, karena dengan melewati itu semua maka kepribadian dan kedewasaan dalam bersikap bisa penulis dapatkan.


(6)

vi

faham bahwa dalam mengerjakan skripsi bukan perkara yang mudah karena butuh ketelitian dan kemauan yang tinggi. Tetapi bersyukur alhamdulillah, semua itu bisa diatasi berkat motivasi dan dorongan yang diberikan oleh semua pihak yang membantu dan memberikan dukungan tiada henti kepada penulis. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang selalu mengasihi dan menyayangi kalian, dimana kalian berada. Amin. Rasa terima kasih ingin penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para pembantu Dekan yang telah membimbing penulis dalam menjalani perkuliahan.

2. Ibu Dra. Maskufa, MA, Sebagai Ketua Program Studi Siyasah Syar’iah yang telah memberikan bimbingan, petunjuk dan nasehat yang berguna bagi penulis selama penulis mengikuti perkuliahan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi strata 1 dengan sebaik-baiknya.

3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag, Selaku Sekretaris Program Studi Siyasah Syar’iyah yang telah banyak membantu penulis untuk melengkapi berbagai macam keperluan berkas-berkas persyaratan untuk menggapai studi strata 1 dengan sebaik-baiknya.

4. Bapak Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA, Selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah memberikan arahan, bimbingan dan nasehat selama penulis mengikuti perkuliahan dan dalam proses pembuatan proposal skripsi ini


(7)

vii

5. Bapak Dr. Alfitra, SH., M.Hum dan Ibu Masyrofa, S.Ag., M.Si. Selaku dosen pembimbing yang sangat penulis hormati, dengan sangat sabar dan keikhlasan beliau membimbing penulis, memberikan banyak ilmu dan waktunya kepada penulis sehingga banyak hal baru yang penulis dapatkan selama bimbingan bersama beliau dan menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

6. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang membuat penulis mudah untuk mencari bahan dan literatur selama masa kuliah.

7. Kepada keluarga penulis, teristimewa ayahanda dan ibunda tercinta, Bapak Syafe’i, S.Ag dan Ibu Junaeni yang senantiasa tiada henti mendoakan penulis, memberikan limpahan kasih sayang, kesabaran, dukungan serta motivasi baik moral maupun materil kepada penulis. Tak lupa untuk kakak-kakakku tercinta Neneng Nurhaeni dan Syaiful Hadi, S.Pdi dan seluruh keluarga besar (alm) H. Emed dan keluarga besar (alm) Abah Ismail terima kasih untuk segala doa yang kalian berikan, semoga Allah SWT selalu melimpahkan kasih sayang-Nya dan keberkahan untuk kalian.

8. Kepada kekasih Wulandari yang sama-sama sedang berjuang dalam meraih mimpi dan juga untuk keluarganya, terima kasih untuk segala doa dan dukungannya selama penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini.

9. Kepada semua guru-guru penulis yang berada di Ponpes Al-Masthuriyah Sukabumi tidak lupa ta’dzim dan hormat penulis dan terima kasih atas doa dan


(8)

viii

Lemo terima kasih atas doa yang beliau berikan kepada penulis.

10.Sahabat tercinta Gilang (Dagul), Martin (Kibo), Iqbal (Bapur), Iskandar (Ace), Bima Aditya, Davi Amanas Putra, Fauzi A, Yusuf Dj, Qoka, Ashof, Dahlan, Febryansyah (Ahonk), Yoga, Syarif H, Paul dan Fawaid. Terima kasih atas kebersamaan dan keseruan yang penulis banggakan selama bersama kalian. 11.Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman seperjuangan SS

angkatan 2011, Andi, Hera, Lisna, Merry, Tiwa, Arista, Tomi, Uti, Dwi, Anwar, Fajar, Devi, Fifit, Gilang, Mun'im, Rezi dan Buya. Dan tidak lupa juga untuk teman-teman dari jurusan Pidana Islam angkatan 2011.

12.Kepada teman-teman KKN (Kuliah Kerja Nyata) kelompok SUDESI 2014. Untuk Zahir, Herga, Ahsan, Ihsan, Aji, Ajo, Mizar, Dewi, Annisa, Tantri, Heni, Citra, Rani dan Yani. Sebulan bersama kalian adalah sesuatu yang sangat berkesan. Terima kasih semua atas perhatian dan dukungannya. Dan tak lupa kepada warga Kp. Lemo khususnya Bapak Lurah Arban, Bang Baron, Emak Encum, Bang Dedi, Fikri, Alung, Yogi dan Yosef. Terima kasih untuk segala doa dan dukungannya.

13.Kepada semua pihak yang sudah membantu penulis, mohon maaf apabila belum disebutkan. Akan tetapi, penulis berdo’a semoga agar kebaikan dan ketulusan kalian di balas oleh Allah SWT.

Dalam penulisan skripsi ini mungkin terdapat banyak kekurangan, baik yang terlihat maupun tersembunyi, untuk itu penulis sangat berharap mohon maaf


(9)

ix

untuk para pembaca umumnya dan penulis khususnya.

Ciputat, 31 Juli 2015 Penulis


(10)

x

HALAMAN JUDUL.……… i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING……… ii

LEMBAR PENGESAHAN………. iii

ABSTRAK………. iv

KATA PENGANTAR……….. v

DAFTAR ISI………. x

BAB I PENDAHULUAN………... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Tinjauan Pustaka ... 9

E. Metode Penelitian ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II TINJAUAN UMUM TEORI TENTANG BUGHAT………… 14

A. Pengertian dan Sejarah Bughat ... 14

B. Unsur-Unsur Jarimah Pemberontakan ... 29

1. Pembangkangan Terhadap Kepala Negara (imam) ... 29

2. Pembangkangan Dilakukan Dengan Menggunakan Kekuatan ... 31


(11)

xi

BAB III MAKAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF………. 36

A. Pengertian dan Sejarah Makar ... 36

B. Macam-Macam Kejahatan Makar ... 53

1. Makar yang Menyerang Keamanan Presiden atau Wakilnya 54 2. Makar yang menyerang Keamanan dan Keutuhan Wilayah Negara... 54

3. Makar yang Menyerang Kepentingan Hukum Tegaknya Pemerintah Negara ... 56

C. Makar dalam Hukum Positif ... 57

1. Pengaturan Makar dalam KUHP ... 57

2. Pengaturan Makar di Luar KUHP ... 60

BAB IV SANKSI BUGHAT DAN MAKAR MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF….……….. 66

A. Sanksi Hukum Terhadap Bughat ... 66

B. Sanksi Hukum Bagi Pelaku Makar... 71

C. Relevansi Sanksi Hukum Bagi Bughat dan Pelaku Makar .... 73

BAB V PENUTUP ... 82

A. Kesimpulan ... 82

B. Saran ... 85


(12)

1

A. Latar Belakang Masalah

Politik dan agama Islam sangat erat hubungannya. Bahkan tidak bisa dipisahkan satu dari keduanya. Konsep politik Islam selalu berlandaskan nilai-nilai dan ajaran agama Islam. Bukan hanya politik saja, melainkan seluruh aspek kehidupan manusia telah diatur oleh Islam. Jadi, sangat tidak mungkin jika konsep politik Islam justru terlepas dari Islam. Namun, dalam perjalanan sejarah perpolitikan dan pemerintahan Islam, sebagai contoh proses pemilihan maupun pemberhentian kepala negara, tidak ada yang baku dalam proses keduanya itu.

Kepala negara tidak lain adalah wakil rakyat. Rakyatlah yang berhak meminta pertanggungjawaban kepada kepala negara, dan rakyat pulalah yang mengadakan bai’at, dan berhak pula memakzulkan (memberhentikannya) apabila diperoleh cukup alasan untuk itu. Maka sebagai upaya terciptanya prinsip check and balance, masyarakat memiliki hak untuk mengawasi tindak tanduk kepala negara itu. Oleh karena itu, apabila kepala negara tersebut melakukan kecurangan atau dzalim serta mengabaikan segala ketentuan yang berlaku dan diberlakukan (syari’at atau hukum), maka rakyat berhak menegur ataupun memecatnya.1

Perbedaan pendapat, ambisi dan kepentingan masing-masing pihak yang muncul dalam proses interaksi berpolitik tidak menutup kemungkinan

1

Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqi, Islam dan Politk Bernegara, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), h. 171


(13)

akan memicu lahirnya konflik, pertikaian, penindasan, peperangan dan pembunuhan atau pertumpahan darah, yang pada gilirannya nanti bisa berimplikasi pada terjadinya kehancuran total dalam berbagai dimensi kehidupan umat manusia itu sendiri.2

Penjelasan seputar bughat secara lengkap diatur dalam hukum Pidana Islam. Hukum Pidana Islam yang biasa disebut sebagai Fiqh Jinayah adalah ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan sanksi hukumnya (uqubah), yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.3 Bughat dalam hukum Pidana Islam adalah golongan yang melawan Khalifah yang sudah sah dan tidak melakukan sesuatu yang menyalahi ketentuan agama.4 Fenomena bughat masuk dalam soal kepemimpinan politik atau al-imarah. Dalam soal ini prinsipnya jelas, seperti yang disebutkan dalam Q.S. An-Nisaa’ ayat 59:

ا هُأٓ ي

ي ذَ ٱ

ن

يطٱ آونماء

اوع

ذّ ٱ

يطٱو

اوع

وسذرل ٱ

ل

ِ وٱو

رأم أۡ ٱ

نم

مأك

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu.”5

Prinsip ketaatan terhadap penguasa yang sah merupakan salah satu hal penting dalam kepemimpinan. Ketaatan disini bisa bermakna tidak keluar untuk mengangkat senjata, meskipun tidak sesuai dengan aspirasinya. Prinsip

2

Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008), h. 96

3Muhammad Amin Suma…et al.,

Pidana Islam di Indonesia (Peluang, Prospek dan Tantangan), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. ix

4

A. Hasan, Ibnu Hajar Al-Asqalani Bulughu al-Maram, Terjemahan Bulughul Maram. Jilid II, (Bandung: CV. Diponegoro, 1967) h. 186

5

Al-Qur’an dan Terjemahannya (Ayat Pokok Bergaris) Departemen Agama RI, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1998)


(14)

ketaatan ini untuk menjaga kelangsungan sistem sosial agar tidak terjadi anarki. Kalau ingin melakukan perbaikan, Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa untuk membangun sebuah bangunan, tidak perlu merobohkan sebuah kota.6

Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan sebagian ulama Malikiyah

mengatakan bahwa orang yang melawan imam adalah pemberontak meskipun pemberontakan itu didasarkan atas kebenaran, baik ia salah maupun benar. Melawan imam bukan cara yang tepat untuk menegakkan kebenaran dan meluruskan kesalahan. Apa yang mereka lakukan bisa mengakibatkan kerusakan dan meruntuhkan kehidupan bernegara. Selain itu memberontak terhadap orang yang sah kepemimpinannya adalah haram sebab imam yang kepemimpinannya diakui harus ditaati.7

Dalam sebabnya, bughat disebabkan tidak lepas dari tiga pra kondisi: Pertama; bughat disebabkan hanya sebatas masalah akses politik dan ekonomi yang diikuti oleh nafsu untuk berkuasa dengan cara menyingkirkan pemerintah yang sah.8 Kedua, bughat disebabkan karena persoalan ketidaksepakatan ide atau implementasinya dalam proses pemerintahan. Dan yang ketiga, bughat tidak bisa dilepaskan karena pemerintah yang melakukan tindakan represif dan dzalim kepada rakyat. Dalam konteks ini bughat menjadi sangat berdekatan dengan aktivitas amar ma’ruf nahyi munkar, artinya

6

http://m.nu.or.id/Bughat-.phpx. Diakses pada tanggal 11 Maret 2015

7

Abdul Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad’iy,

Penerjemah Tim Tsalisah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Bogor: PT. Kharisma Ilmu, 2007), h. 245

8


(15)

menjalankan aktivitas bughat menjadi kewajiban masyarakat.9

Namun tetap saja, apabila melihat pada apa yang ditimbulkan oleh

bughat selepas pemberontakan itu dilakukan, maka pemberontakan itu merupakan kejahatan politik yang sangat meresahkan. Sebab, kejahatan semacam ini dapat menghancurkan persatuan kaum muslimin, menyalakan api fitnah dan segala efek negatifnya mulai dari pertumpahan darah, menghancurkan bangunan negara, menebarkan teror dan penyelewengan hak.10

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan bukan negara atas kekuasaan (machtsstaat), maka kedudukan hukum harus ditempatkan di atas segala-segalanya. Setiap perbuatan harus sesuai dengan aturan hukum tanpa terkecuali.11

Penerapan hukum di Indonesia tentunya dengan cara-cara yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila seperti Ketuhanan Yang Maha Esa, harkat dan martabat manusia, dan hak asasi manusia secara bijaksana dan adil kepada seluruh rakyat Indonesia tanpa melihat golongan, etnis, ras, warna kulit maupun jabatan tertentu.

Berbagai macam peristiwa dan kejadian nasional telah mewarnai sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Tiga ratus lima puluh tahun bangsa Indonesia dijajah oleh bangsa asing (Belanda) dan didalam masa perjanjian

9

http://asysyariah.com. Diakses pada tanggal 11 Maret 2015

10

Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i (Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan

Al-Qur’an dan Hadist), penerjemah: Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz, (Jakarta: Almahira, 2010), Cet. I, h. 245

11

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 55


(16)

terselip pula bangsa-bangsa lain yang ikut berusaha untuk memiliki negeri ini. Tercatatlah bangsa Jepang dan Inggris, dan selama itu pula bangsa Indonesia berjuang untuk mengusirnya yang pada akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia mengucapkan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia.12

Perjuangan bangsa Indonesia tidak cukup sampai disitu saja, banyak peristiwa yang mewarnai sejarah bangsa Indonesia, seperti pada tanggal 18 September 1948 gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) secara terbuka dan secara resmi mengadakan perebutan resmi terhadap kekuasaan Republik Indonesia.13

Menyusul kemudian pada tanggal 25 April 1950 Maluku Selatan yang memproklamasikan dirinya sebagai negara yang merdeka.14 Kemudian

menyusul peristiwa penembakan atas Presiden Republik Indonesia (Bung Karno) yaitu yang terjadi pada tanggal 30 November 1957, yang dikenal dengan peristiwa Cikini.15 Lalu PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik

Indonesia) yang berdiri di Sumatera pada tanggal 15 Februari 1958, dan di bagian lain di negara Indonesia yaitu di Sulawesi berdiri pula Perjuangan Semesta (PERMESTA).16 Kemudian, peristiwa yang tidak kalah pentingnya

12

Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar menurut KUHP, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), h. 9

13

Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar menurut KUHP, h. 9

14

Jusuf Abdullah Puar, Peristiwa Republik Maluku Selatan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1956), h. 33, dikutip dari Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar menurut KUHP, h. 10

15

Peristiwa Cikini, (Jawatan Penerangan Provinsi Aceh, 1967), h. 17, dikutip dari Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar menurut KUHP, h. 10

16

Peristiwa PRRI di Sumatra Barat, (Khusus Kementrian Penerangan RI, 1962), h. 16. dikutip dari Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar menurut KUHP, h. 10


(17)

yaitu yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 yang dikenal dengan Pemberontakan G/30.S/PKI. Peristiwa-peristiwa tersebut pada dasarnya merupakan perebutan kekuasaan pemerintah yang sah dalam kekuasaanya. Adapun latar belakangnya adalah berbeda-beda (tidak puas terhadap pemerintah Republik Indonesia, dendam dan sebagainya). Sesuai dengan rumusan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana perbuatan-perbuatan tersebut diatas disebut dengan makar.17

Makar adalah akal buruk, tipu muslihat atau perbuatan dengan maksud hendak membunuh orang.18 Jika dilihat mengenai penjelasan makar

ini, maka pengaturan beserta sanksinya ada dalam rumusan KUHP Buku II Bab I yang diantaranya terdapat dalam Pasal berikut ini:

Pasal 104 KUHP, bunyi rumusannya, ialah:

“Makar dengan maksud untuk menghilangkan nyawa, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”19

Pasal 106 KUHP, bunyi rumusannya, ialah:

“Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah

negara jatuh ketangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”20

17

Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar menurut KUHP, h. 10

18

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976), h. 623

19

Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), Cet. 17, h. 44

20


(18)

Pasal 107 KUHP, bunyi rumusannya, ialah:

(1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(2) Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat (1), diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.21

Tindak pidana makar dan bughat baik menurut hukum positif maupun hukum pidana Islam adalah merupakan bentuk kejahatan yang sangat berbahaya dan juga dikategorikan sebagai kejahatan politik yang memiliki ciri motif dan tujuan yang berbeda dari kejahatan biasa serta diancam dengan sanksi pidana yang berat. Karena tindak pidana makar dan bughat ini pada dasarnya adalah konflik vertikal yang terjadi antara rakyat dan pihak penguasa negara, maka demi menciptakan hubungan yang harmonis antara rakyat dan pihak penguasa, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan negara harus dapat melaksanakan pemerintahan yang mengedepankan prinsip-prinsip demokratis,

good goverment, melakukan pembangunan yang merata bagi seluruh daerah, serta menanamkan rasa nasionalisme kebangsaan dan persatuan melalui pendidikan bagi seluruh warga negara, dan rakyat sendiri juga harus dapat memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang baik.

Mengingat diperlukan transfer “bahasa” syari’at Islam yang terdapat

dalam Al-Qur’an, Al-Hadist, dan kitab-kitab Fiqh kedalam bahasa Undang-Undang itu bukan pekerjaan mudah, dan juga bahasa merupakan bagian dari budaya tertentu dan corak bahasa hukum atau bahasa Undang-Undang berbeda dengan bahasa kitab kuning. Maka dari itu membutuhkan kerja sama yang luar biasa dari para pakar hukum umum dan para pakar hukum Islam untuk

21


(19)

menyamakan bahasa. Sebagai contoh, kata “makar” dan “subversi” atau

bughat” tidak bisa disamakan begitu saja tanpa melewati proses transfer

bahasa.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka penelitian akan dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul: “SANKSI BUGHAT DAN MAKAR: MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Masalah yang berkaitan dengan bughat dan makar dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, karena merupakan suatu permasalahan yang kompleks. Maka penulis membatasi dan merumuskan masalah mengenai

bughat dan makar ini. Adapun masalah pokok penelitiannya sebagai berikut: 1. Bagaimana pandangan hukum Islam mengenai bughat dan pandangan

hukum positif di Indonesia terhadap makar?

2. Bagaimanakah bentuk sanksi hukum yang dapat dijatuhkan dalam hukum Islam kepada bughat dan dalam hukum positif terhadap makar di Indonesia?

3. Apakah perbedaan dan persamaan bughat dan makar menurut perspektif hukum Islam dan hukum positif?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Maksud dan tujuan yang penulis rumuskan berdasarkan pembatasan dan perumusan masalah yang telah dilakukan adalah:

1. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam mengenai bughat dan pandangan hukum positif di Indonesia terhadap makar.


(20)

2. Untuk mengetahui bentuk sanksi hukum yang dapat dijatuhkan dalam hukum Islam kepada bughat dan dalam hukum positif terhadap makar di Indonesia.

3. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan bughat dan makar menurut perspektif hukum Islam dan hukum positif.

Sedangkan manfaat penelitian ini sebagai berikut:

1. Sebagai bahan penyusunan skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh kesarjanaan Program Studi Siyasah Syar’iah.

2. Sebagai sumbangan pemikiran dan sekaligus pengembangan keilmuan dibidang Fiqh Siyasah dalam konteks Ketatanegaraan Islam.

3. Menambah wacana ilmu pengetahuan mengenai bughat dan makar dalam Fiqh Siyasah maupun undang-undang.

D. Tinjauan Pustaka

Sejumlah penelitian tentang topik bughat dan makar yang telah dilakukan, baik yang mengkaji secara spesifik sumber data yang diperoleh, isu, maupun yang menyinggung secara umum. Berikut beberapa tinjauan umum atas bagian karya-karya penelitian mengenai bughat dan makar.

Karya ilmiah yang pertama adalah skripsi yang berjudul “Konsep

Bughat Dalam Perspektif Politik Islam (Studi Kasus Terhadap G 30S/PKI)” yang ditulis oleh Iyan Fitriyana pada tahun 2012 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta Syarif Hidayatullah. Secara umum menjelaskan bagaimana konsep bughat menurut politik Islam dan relevansinya terhadap kasus G 30S/PKI.


(21)

Tinjauan yang kedua adalah buku yang digunakan penulis yaitu “Tindak Pidana Makar Menurut KUHP yang ditulis oleh Djoko Prakoso. Dalam buku ini menjelaskan tentang tindak pidana makar. Buku ini menyajikan penjelasan yang sangat menarik, dan juga banyak dijadikan sebagai sumber dalam penelitian yang berhubungan dengan pidana makar.

Karya ilmiah yang ketiga adalah skripsi yang berjudul “Kriteria

Thagut Dan Bughat Dalam Al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Upaya Penyelesaian Penyimpangan Kekuasaan Di Indonesia” yang ditulis oleh Rapikul Ihsan pada tahun 2012 Fakultas Ushuludin UIN Jakarta Syarif Hidayatullah. Secara umum menjelaskan mengenai bagaimana pandangan dalam Al-Qur’an tentang pemimpin yang tidak amanat dan mengenai kriteria dari bughat itu sendiri.

Keempat adalah buku yang berjudul Ensiklopedi Hukum Pidana Islam yang ditulis oleh Abdul Qadir Audah. Buku yang berjumlah beberapa jilid ini banyak sekali menjelaskan apa yang menjadi kajian penulis dalam penulisan skripsi ini, seperti pengertian bughat, pendapat para fukaha maupun penjelasan yang menyangkut dengan ketentuan hukum pidana Islam terkait masalah seputar bughat.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan hal yang penting dalam penulisan skripsi ini, karena metode penelitian ini dapat menentukan langkah-langkah dari suatu penulisan. Penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian dengan cara mengumpulkan bahan-bahan yang


(22)

berasal dari buku-buku, artikel-artikel, majalah, koran, serta bahan-bahan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.

1. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini menggunakan penelitian riset pustaka (Library Research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menghimpun dan menelaah data sumber kepustakaan berupa data-data primer dan sumber data-data sekunder yang relevan dengan pembahasan skripsi ini.

2. Sumber Data

a. Sumber data primer adalah sumber data yang ada kaitannya langsung dengan tema skripsi ini. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Al-Qur’an dan Al-Hadist, kitab-kitab Fiqh Siyasah, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1999 Tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan

Subversi dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.

b. Sumber data sekunder yakni sumber data yang tidak berkaitan langsung dengan tema skripsi ini. Adapun sumber data sekunder yang digunakan adalah tulisan-tulisan ilmiah baik dalam bentuk buku,


(23)

jurnal, surat kabar, majalah maupun melalui media internet.

c. Bahan hukum tersier yakni data yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap data-data primer dan sekunder yaitu berupa kamus-kamus ilmiah, ensiklopedia dan lain-lain.

3. Teknik Analisis Data

Pada tahap analisis data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian. Metode analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif, yaitu dengan cara memaparkan pokok-pokok permasalahan secara menyeluruh.

4. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan skripsi ini, mengacu pada buku "Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012".

F. Sistematika Penulisan Sementara

Penulis menyusun melalui sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab, dimana pada setiap babnya dibagi atas sub-sub bab, dengan perincian sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, Dan Sistematika Penulisan.


(24)

BAB II : TINJAUAN UMUM TEORI TENTANG BUGHAT

Dalam bab ini membahas tentang Pengertian dan Sejarah Bughat, Unsur-Unsur Jarimah Pemberontakan, Dan Dasar Hukum Bughat.

BAB III : MAKAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

Pada bab ini menjelaskan ini tentang Pengertian dan Sejarah Makar, Macam-Macam Kejahatan Makar, Dan Makar dalam Hukum Positif.

BAB IV : SANKSI BUGHAT DAN MAKAR MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

Dalam bab ini menjelaskan tentang Sanksi Hukum Terhadap

Bughat, Sanksi Hukum Bagi Pelaku Makar, dan Relevansi Sanksi Hukum Bagi Bughat dan Pelaku Makar.

BAB V : PENUTUP

Merupakan bab penutup yang di dalamnya berisi kesimpulan dan saran terhadap permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.


(25)

14

TINJAUAN UMUM TEORI TENTANG BUGHAT

A. Pengertian dan Sejarah Bughat

Secara etimologi, kata bughat berasal dari bahasa Arab ىغب yang memiliki arti yang sama dengan kata َملظ yaitu berlaku dzhalim atau menindas.1 Dalam makna lain, kata bughat juga berasal dari kata َ ءاغب–ىغْبي–ىغب yang berarti menginginkan sesuatu.2

Sedangkan secara terminologi, para fukaha berbeda pendapat mengenai definisi bughat ini. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam madzhab mereka. Diantaranya adalah:

a. Pendapat Malikiyah

Ulama Malikiyah mengartikan bughat atau pemberontak sebagai sekelompok kaum muslimin yang bersebrangan dengan al-Imam al-A’zham (kepala negara) atau wakilnya, dengan menolak hak dan kewajiban atau bermaksud menggulingkannya.3

b. Pendapat Hanafiyah

Ulama Hanafiyah mendefinisikan para pemberontak (bughat) yaitu keluar dari ketaatan kepada imam (pemimpin tertinggi/kepala negara) yang sah dengan cara tidak sah. Pemberontak (al-bagi) berarti orang yang keluar dari ketaatan kepada imam yang benar dengan cara

1

Ali Muthohar, Kamus Arab–Indonesia, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2005), h. 228

2

Mahmud Yunus, Kamus Arab–Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1989), h. 69

3

Abdul Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad’iy,


(26)

tidak benar.4

c. Pendapat Syafi’iyah

Ulama Syafi’iyah mendefinisikan bughat sebagai orang-orang

Islam yang melawan imam (pemimpin tertinggi) dengan cara keluar darinya, tidak mau tunduk, menghalangi hak yang diarahkan kepada mereka, dan mereka ini memiliki kekuatan, alasan, serta orang yang mereka taati.

Definisi lainnya adalah orang yang keluar dari ketaatan dengan alasan yang salah, namun belum dipastikan salahnya. Syaratnya, mereka mempunyai banyak kekuatan dan ada pemimpin yang mereka patuhi. Dengan demikian, pemberontakan dalam pandangan ulama Syafi’iyah adalah keluarnya sekelompok orang yang mempunyai kekuatan dan pemimpin yang ditaati dari imam dengan alasan (takwil) yang salah.5

Dengan pernyataan yang sedikit berbeda, Imam Al-Nawawi berpendapat sebagai berikut; Pemberontak, menurut fuqaha, ialah seseorang yang menentang penguasa. Orang tersebut keluar dari ketundukan dengan cara menolak melakukan kewajiban-kewajiban yang seharusnya ia lakukan dengan cara lainnya.6

d. Ulama Hanabilah

Ulama Hanabilah mendefinisikan bughat sebagai orang-orang

4

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 110

5

Abdul Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad’iy,

h. 234

6


(27)

yang keluar dari imam meski imam tersebut tidak adil sekalipun dengan alasan yang layak dan mereka mempunyai kekuatan walaupun diantara mereka tidak ada orang yang dipatuhi.7

e. Ulama Zahiriyah dan Syi’ah Zaidiyah

Ulama Zahiriyah dan Syi’ah Zaidiyah mendefinisikan pemberontak sebagai orang yang menganggap dirinya benar, sedangkan imam adalah salah, ia memerangi dan menuntut imam, ia memiliki kelompok atau kekuatan, atau melakukan apa yang diperintahkan untuk imam. Jadi, pemberontak adalah orang yang keluar dari imam yang sah yang berasal dari kelompok yang memiliki kekuatan.8

Dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ulama, terdapat adanya perbedaan dan persamaan dalam memberikan pandangan mengenai

bughat. Dari segi perbedaan, definisi diantara beberapa madzhab fikih disebabkan perbedaan syarat yang wajib dipenuhi oleh bughat. Perbedaan tersebut tidak terletak pada unsur-unsur pemberontakan yang mendasar. Para fukaha madzhab-madzhab ini mencoba mengumpulkan definisi dengan definisi yang mengandung unsur-unsur dan syarat-syarat tindak pidana pemberontakan agar definisinya bisa bersifat jami’ (komprehensif) dan mani’ (mencegah pengertian lain masuk kedalam esensi pengertian yang dimaksud).9

7

Abdul Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad’iy,

h. 234

8

Abdul Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad’iy,

h. 234-235

9

Abdul Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad’iy,


(28)

Sedangkan dari sudut persamaan mengenai definisi bughat, mungkin bisa dibuatkan definisi bersama yang disesuaikan dengan definisi semua madzhab, yang didasarkan atas unsur yang paling mendasar. Definisi tersebut adalah pembangkangan terhadap imam (pemimpin tertinggi) dengan perlawanan.10

Tindakan bughat ini memiliki kesamaan dengan hirabah

(perampokan) dan terorisme, yakni sama-sama mengadakan kekacauan dalam sebuah negara. Namun, jika dilihat dari motif yang melatarinya ketiganya sangat berbeda. Hirabah adalah tindak kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada pihak lain, baik dilakukan di dalam rumah atau di luar rumah yang bertujuan untuk menguasai harta orang lain dan membunuh korban untuk menakut-nakuti.11 Sedangkan terorisme adalah

praktek-praktek tindakan terror oleh seseorang atau golongan dengan penggunaan kekerasan untuk menciptakan ketakutan kepada masyarakat umum dalam mencapai suatu tujuan.12 Jadi, tegasnya kejahatan yang

dilakukan bughat bukan hanya sekedar mengadakan kekacauan dan mengganggu keamanan negara, tapi juga bertujuan untuk mengambil alih kekuasaan dan menggulingkan pemerintahan yang sah.

Apabila terjadi hal-hal yang mengarah kepada pertentangan yang kemudian meluas kepada pemberontakan maka, menjadi kewajiban bagi masyarakat untuk menghalangi setiap bentuk pemberontakan yang timbul.

10

Abdul Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad’iy,

h. 235

11

M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 127

12

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2006), h. 1263


(29)

Sebab, pemberontakan ini dapat mengancam disintegrasi bangsa. Selain itu pemberontakan dipandang sebagai bentuk kejahatan yang mengancam keamanan negara. Semua kegiatan yang dilakukan hanya boleh dianggap sebagai pemberontakan dan pembangkangan apabila mereka melibatkan penggunaan kekuatan dan kekerasan yang dapat menimbulkan keadaan darurat dalam negara.13

Seperti yang telah disebutkan diatas pada umumnya, bahwa bughat

adalah sekelompok kaum muslimin yang menentang kekuasaan imam (walaupun bertindak lalim) dan mereka tidak tunduk terhadap perintahnya namun, ada tiga syarat yang harus dipenuhi oleh bughat seperti di bawah ini:14

Pertama, mereka mempunyai kekuasaan, baik dengan jumlah pengikut yang banyak maupun dengan kekuatan lain walaupun hanya menggunakan benteng tempat mereka mempertahankan diri sekiranya dengan kekuatan itu, mereka mampu menandingi imam. Dengan begitu, imam menganggap perlu mengembalikan mereka agar taat dengan mendermakan harta dan mengeluarkan para pengikut mereka.

Kedua, disyaratkan mereka mempunyai dasar argumen yang sempurna, dasar itu yang membuat mereka yakin bahwa memberontak terhadap imam dan menolak menunaikan hak yang dihadapkan kepada mereka hukumnya boleh. Sebab, orang yang memberontak tanpa disertai dasar argumen disebut melawan kebenaran.15

13

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), Cet V, h. 246

14

Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i (Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan A

l-Qur’an dan Hadist), h. 245

15

Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i (Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan A


(30)

Ketiga, disyaratkan dikalangan mereka harus ada orang yang menjadi figur panutan yang menginspirasi kekuatan dan kekuasaan. Sebagian ulama menambahkan persyaratan bughat yaitu ada seorang yang diangkat menjadi imam dikalangan mereka. Maksudnya bughat tidak boleh diperangi, kecuali mereka adalah sekelompok orang yang membangkang, dan mereka tidak mempunyai dasar argumen yang dapat dibenarkan.16

Dengan adanya pemimpin, mereka memiliki sumber pemikiran yang sama dan melakukan sesuatu dengan kendali yang sama. Jadi, tidak ada kekuatan bagi yang tidak memiliki pemimpin. Berapapun jumlah pemberontak dan kekuatan yang mereka miliki, selama mereka tidak memiliki pemimpin, mereka tidak akan memiliki kekuatan.

Dalam sejarah perjalanan pemerintahan Islam sepeninggal wafat Rasulullah SAW tepatnya pada masa Khulafaurrasyidin, terdapat beberapa pemberontakan yang dilakukan terhadap para Khalifah. Diantaranya adalah:

1. Pada Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq

Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah Khalifah pertama dalam pemerintahan Islam setelah Rasulullah SAW wafat. Abu Bakar dikenal luas sebagai orang yang memiliki hati yang sangat lembut dan perasa. Dia ramah, baik budi dan sangat setia. Namun pada saat berada di puncak kekuasaan kaum Muslimin, dia telah banyak mengejutkan berbagai pihak karena tindakannya yang sangat tegas.17

16

Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i (Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan A

l-Qur’an dan Hadist), h. 246

17

Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, Penerjemah Samson Rahman, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000), Cet I, h. 134


(31)

Namun demikian, masih saja ada sebagian sekelompok orang yang masih menampakan tidak adanya perubahan dalam diri mereka. Suku-suku di sekitar Madinah menolak membayar zakat kepada petugas pengumpul zakat yang diutus dari Madinah. Mereka mengepung Madinah dan menyiapkan tentara secara terang-terangan untuk menunjukan sebuah tantangan kepada pemerintahan pusat di Madinah.18

Menurut Ibnu Atsir, sebanyak dua puluh empat suku telah menyatakan pemberontakannya. Semua wilayah, dari Yaman hingga Madinah, telah diduduki para pemberontakan tersebut. Pemberontakan itu demikian melebar, Thaif, Mekkah dan Madinah saat itu merupakan tiga kota yang tetap loyal, sementara wilayah Arab yang lain telah dipenuhi oleh orang-orang murtad. Sementara itu, kaum munafikin menghembuskan api pemberontakan dari dalam tubuh umat. Dan pada saat yang sama, kaum pemberontak itu didukung oleh munculnya empat orang yang mengaku sebagai Nabi.19

Aksi pertama yang dilakukan oleh Abu Bakar dalam mengatasi pemberontakan tersebut adalah mengirim pasukan sebanyak 3.000 orang di bawah pimpinan Usamah bin Zaid dalam sebuah ekspedisi yang sebelumnya telah dipersiapkan Rasulullah SAW namun, sempat ditunda karena Rasulullah SAW saat itu sedang sakit. Abu Bakar bersikeras untuk mengirim pasukan itu sesuai dengan keputusan yang diambil oleh Rasulullah SAW, meskipun beberapa sahabatnya menasehatinya agar

18

Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 135

19


(32)

tindakan itu tidak diambil karena waktunya demikian kritis. Karena pada saat itu Madinah akan kekosongan orang dan akan menjadi sebuah kota tanpa pertahanan ketika suku-suku pembangkang yang ada bergerak untuk merebut kota itu. Para pimpinan umat Islam mengusulkan sebuah kebijakan yang lunak dan menyarankan agar menempuh jalan kompromi dan konsiliasi. Namun, dengan tegas dia menampik konsiliasi dengan para pemberontak yang mengepung kota.20

Dengan tanpa ragu dan penuh semangat dia menghancukan semua suku yang dengan sengaja memberontak dan membalas serangan mereka dengan serangan yang setimpal. Yang akhirnya kemenangan diraih pihak kaum Muslimin.21

2. Pada Masa Khalifah Umar bin Khattab

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, tidak ditemukan adanya sebuah pemberontakan yang dilakukan terhadap pemerintahan Khalifah Umar. Karena tidak adanya ancaman dari tindakan pemberontakan, maka Khalifah memfokuskan pada usaha-usaha penaklukan ke berbagai wilayah luar kota Madinah. Pada masa ini, Khalifah Umar telah mampu menciptakan sebuah “imperium” besar bagi pemerintahan Islam dan juga

tentunya untuk menyebarluaskan agama Islam.

3. Pada Masa Khalifah Utsman bin Affan

Utsman bin Affan adalah seorang sahabat Rasulullah SAW yang memiliki hubungan sangat dekat dengan Rasulullah SAW. Ibunya adalah sepupu Rasulullah SAW. Sedangkan ayahnya adalah seorang pedagang

20

Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 135

21


(33)

yang sukses dan terpandang, dia meninggalkan harta warisan yang sangat banyak. Utsman pun adalah seorang pedagang bisnis yang cerdik, ia kembangkan harta warisan yang diterima dari ayahnya itu menjadi semakin banyak.22

Utsman menggunakan kekayaan dan hartanya untuk kepentingan agama yang dia peluk. Pada saat hijrah ke Madinah, dia membeli sebuah sumur untuk kaum Muslimin yang saat itu masih belum bisa mengambil air yang bersih dan tawar. Pada saat ada panggilan jihad ke Tabuk, dan rakyat diminta agar mengumpulkan dana untuk mempersenjatai pasukan perang, Utsman mengeluarkan seribu keping emas, seribu unta, enam puluh kuda dan berbagai peralatan perang lainnya untuk kepentingan sepertiga dari jumlah tentara.23

Namun, sepertinya kebaikan dan kedermawanan Utsman bin Affan tidak sepenuhnya dapat memuaskan sebagian kaum Muslimin. Perasaan tidak senang dan tidak puas terhadap kebijakan-kebijakan dalam pemerintahan Utsman telah melahirkan sebuah kelompok oposisi yang dipimpin oleh sahabat-sahabat terkenal. Sebut saja, seperti Abdullah bin

Mas’ud, Abu Dzar al-Ghifari, dan Ammar bin Yasir.

Sangat penting untuk memahami alasan-alasan beroposisi yang dilakukan kaum Muslimin dan para sahabat secara khusus, yakni melakukan tindakan-tindakan tersebut terhadap Khalifah adalah berdasarkan kaidah-kaidah Islam, yakni Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW dan contoh-contoh yang dilakukan oleh dua Khalifah sebelumnya.

22

Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 173

23


(34)

Yang meliputi berbagai hal, seperti politik, agama, ekonomi dan lainnya. Para pengkritik Utsman, semuanya mendasarkan tindakan-tindakannya dengan merujuk kepada semua dasar hukum tersebut dan hukum-hukum yang sudah disepakati.24

Dampak final dari ketidakpuasan terhadap pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan adalah sebuah pemberontakan. Otak utama dari pemberontakan ini adalah Abdullah bin Saba’. Dia adalah seorang Yahudi asal Yaman, yang masuk Islam saat Utsman berkuasa memainkan peran yang sangat signifikan dalam menggerakan masyarakat untuk mengadakan pemberontakan. Akibat ulah pemberontakannya ini, dia diusir dari Bashrah dan Kuffah. Namun dia berhasil ke Syiria dan bertemu dengan Abu Dzar dan mengajaknya untuk bergabung dengan dirinya. Mua’wiyah kembali mengusirnya dari Syiria. Dia kemudian berangkat menuju Mesir, karena tempat itu dia anggap suasananya lebih kondusif untuk menanamkan bibit pemberontakan.

Dia membentuk sebuah kelompok rahasia yang mampu menghimpun banyak pengikut dan pendukung. Dengan sangat licik ia mengeksploitasi perbedaan yang ada didalam masyarakat Islam dan dengan cara inilah dia memecah belah umat. Dia gemar dan sukaria dengan perilaku yang ambigu dan ambivalence, menyebarkan fitnah, isu jahat, kecurigaan, dia tampak memposisikan diri dengan orang-orang yang lemah, tertindas dan dengan secara besar-besaran mengekspos korupsi dan nepotisme yang ada di pihak pemerintah.25

24

Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 186

25


(35)

Berbagai surat disebar atas nama Ali, Thalhah, dan Zubair, yang berisi ajakan kepada rakyat di berbagai provinsi untuk mendongkel Utsman. Orang-orang Badui Mesir, Kuffah dan Bashrah semuanya bergerak untuk menentang otoritas kekuasaan Khalifah yang mereka tuduh telah melakukan tindakan nepotisme, tidak kompeten dan telah menyimpang dari norma-norma yang telah diberlakukan oleh para pendahulunya. Utsman diminta untuk turun dari kursi Khilafah. Gerakan yang dilakukan oleh Abdullah bin Saba’ mendapat sambutan dan memberikan tekanan yang demikian hebat kepada pemerintahan Utsman.26

Puncak dari pemberontakan itu, para pemberontak mengepung rumah Utsman dan merangsek masuk ke dalam rumah Utsman untuk membunuh sang Khalifah. Para pemberontak memukul-mukulkan pedangnya kepada Khalifah yang saat itu sedang memegang Al-Qur’an. Mereka memukulkan pedang-pedang mereka ke tubuh Khalifah yang akhirnya meninggal dan terjatuh ke lantai.27

4. Pada Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib

Ali bin Abi Thallib adalah keturunan Bani Hasyim. Ia dilahirkan di halaman Ka’bah dan sejak kecil diasuh oleh Khadijah, istri pertama Rasulullah SAW. Ali r.a hidup bersama Rasulullah SAW di Mekkah dan dia memiliki kedudukan tersendiri karena dia bergaul secara dekat dengan Rasulullah SAW, baik sebelum maupun setelah Islam. Gurunya tak lain adalah Rasulullah SAW sendiri. Dari tangan Rasulullah SAW langsung, ia

26

Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 193

27


(36)

belajar Al-Qur’an.28

Ali bin Abi Thalib r.a dikukuhkan menjadi Khalifah Keempat menggantikan Utsman bin Affan r.a yang mati terbunuh di tangan kaum pemberontak.29 Pengukuhan Ali r.a menjadi Khalifah tidak semulus

pengukuhan tiga orang khalifah pendahulunya. Ia dibai’at di tengah-tengah suasana berkabung atas kematian Utsman r.a, pertentangan dan kekacauan dan kebingungan umat Islam Madinah. Sebab, kaum pemberontak yang membunuh Utsman r.a mendaulat Ali r.a supaya bersedia di bai’at menjadi khalifah.30

Ali r.a di bai’at menjadi Khalifah di tengah-tengah kekacauan dan kerusuhan akibat kematian Khalifah Utsman r.a. Keadaan ini bertambah kritis dan suasana politik semakin eksplosif akibat tindakan Ali r.a, pembangkangan Muawiyah bin Abi Sufyan terhadap pengangkatannya menjadi Khalifah yang menuntut agar ia segera menangkap dan mengadili para pembunuh Utsman. Hal yang sama juga dituntut oleh Aisyah, Thalhah dan Zubeir. Tuntutan ini tak dapat dipenuhi oleh Khalifah Ali r.a.

Tindakan dan kebijkasanaan Ali segera setelah resmi memegang jabatan Khalifah adalah memberhentikan semua gubernur yang diangkat Ustman, termasuk Muawiyah, dengan mengangkat pejabat-pejabat baru. Tanah-tanah yang dibagikan di zaman Ustman kepada keluarganya ditarik kembali. Khalifah Ali juga menerapkan pengawasan yang ketat terhadap

28

Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 201

29

J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), h. 151

30


(37)

para pejabat pemerintahan. Ternyata para pejabat baru yang diangkat oleh Ali menimbulkan pro dan kontra di kalangan rakyat daerah. Ada yang menerima dan ada pula yang menolak, serta ada yang bersikap netral seperti Mesir dan Bashrah. Pengiriman para pejabat baru ini dilakukan oleh Ali pada awal tahun 36 Hijriah.31

Tindakan Ali itu justru memancing kemarahan keluarga Bani Umayah dan memperkuat barisan mendukung Muawiyah untuk melawan Ali. Bahkan, pembantu dekat Ali ada yang meniggalkannya dan bergabung dengan Muawiyah. Mereka tidak suka cara pengawasan Ali yang ketat dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Demikian juga Aisyah, Thalhah dan Zubeir menyusun kekuatan di Bashrah. Alasan utama mereka beroposisi terhadap Ali adalah untuk menuntut kematian Ustman.32

Akhirnya situasi politik yang eksplosif itu tak dapat dibendung. Khalifah Ali, setelah mengetahui persiapan kedua kubu, Muawiyah dan Aisyah, segera mengirim utusan untuk mencari jalan damai. Namun, usaha itu gagal. Maka Ali pun memberlakukan hukum darurat dan menyatakan perang terhadap para pembangkang dan pemberontak itu. Tentu, Ali punya alasan untuk itu karena mereka menentang pemerintahan sah yang ia pimpin, dan berarti pula mereka melanggar perintah Al-Qur’an.

Kubu yang pertama dihadapi Ali dan pasukannya adalah pasukan yang dipimpin oleh Aisyah, Thalhah dan Zubeir pada tahun 36 Hijriah yang terkenal dengan Perang Jamal. Dalam perang ini kemenangan berada di pihak Ali. Kemudian Ali menghadapi Muawiyah. Kedua pasukan

31

J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 155

32


(38)

bertempur di Shiffin, di lembah sungai Eufrat yang kemudian terkenal dengan Perang Shiffin pada tahun 37 Hijriah. Perang ini dihentikan dengan diadakannya tahkim (arbitrase) atas permintaan pihak Muawiyah untuk berdamai yang disiasati oleh Amr bin Ash. Hasil dari Majelis Tahkim ini bukannya menyelesaikan ketegangan untuk mewujudkan perdamaian melainkan terjadinya dualisme pemerintahan. Karena Majelis Tahkim atas rekayasa dan siasat Amr bin Ash, secara sepihak memberhentikan Ali dari jabatan Khalifah dan mengukuhkan Muawiyah menjadi Khalifah, sehingga secara de jure Muawiyah berada di pihak yang menang. Namun, sesudah peristiwa tahkim itu mayoritas umat Islam tetap mengakui Ali sebagai Khalifah. Dua tahun kemudian, Muawiyah melalui intrik-intrik politiknya, diproklamasikan menjadi Khalifah.33

Sebagian pengikut Ali memprotes keputusan Majelis Tahkim dan menyatakan keluar dari kelompok Ali. Alasannya, Ali menurut mereka melakukan kesalahan besar yaitu mau menerima tahkim. Kelompok ini kemudian terkenal dengan Khawarij (orang-orang yang keluar) dan dianggap sebagai sekte pertama dalam Islam.34 Ali menyuruh Ibnu Abbas

untuk menemui kaum Khawarij. Ibnu Abbas mampu meyakinkan mereka bahwa keputusan yang diambil itu tetap merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Dan andaikata itu tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, maka Ali tidak akan menerima begitu saja dan pasti dia akan bertempur menghadapi musuh-musuhnya. Perkataan Ibnu Abbas

33

J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 158

34


(39)

membawa hasil. Elemen-elemen yang bersitegang saat itu sementara bisa dirukunkan.35

Namun, karena memang dari awal mereka tidak tertarik terhadap penobatan Ali ataupun Muawiyah sebagai Khalifah dan yang paling penting adalah kekecewaan mereka karena diadakannya tahkim, setelah peperangan Nahrawan, saat sejumlah orang-orang Khawarij dibunuh, mereka memutuskan untuk menyingkirkan Ali, Muawiyah dan Amr bin Ash. Ketiga orang inilah yang mereka anggap sebagai orang-orang yang paling bertanggungjawab terhadap semua kekacauan di seluruh dunia Islam. Beberapa orang sukarelawan segera dibentuk untuk melaksanakan rencana tersebut. Mereka adalah Abdurrahman bin Muljam yang ditugaskan untuk membunuh Ali, Nazal diperintahkan untuk menghantam Muawiyah, sedangkan Abdullah diperintahkan untuk menghabisi Amr bin Ash. Pembunuhan ini akan dilakukan secara serentak di Kuffah, Damaskus dan Fustat.

Ketiga sasaran tersebut diserang sesuai dengan rencana, yaitu pada hari Jumat 17 Ramadhan 40 Hijriah pada saat shalat Subuh. Muawiyah selamat dan tidak terluka sedikitpun, sedangkan Amr bin Ash sedang sakit sehingga tidak memimpin shalat di Mesjid pada hari itu dan penggantinya yang terbunuh. Hanya Ibnu Muljam yang berhasil menjalankan misinya di Kufah, pedang beracunnya berhasil ia tancapkan ke tubuh Ali.

Pada usia enam puluh tahun, Ali meninggal akibat kejahatan yang dilakukan oleh seorang Muslim. Kekuasaannya hanya berumur empat

35


(40)

tahun sembilan bulan. Meskipun dia dihadapkan dengan intrik yang terus menerus dan pemberontakan yang tanpa henti, dia tidak menyimpan dendam.36

B. Unsur-Unsur Jarimah Pemberontakan

Dari berbagai definisi mengenai bughat yang telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya, ada beberapa unsur dalam jarimah pemberontakan, yaitu:

1. Pembangkangan Terhadap Kepala Negara (imam)

Untuk terwujudnya jarimah pemberontakan disyaratkan harus ada upaya pembangkangan terhadap kepala negara. Pengertian membangkang adalah menentang kepala negara dan berupaya untuk memberhentikannya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga negara.37

Kewajiban atau hak tersebut bisa merupakan hak Allah yang ditetapkan untuk kepentingan masyarakat, dan bisa juga berupa hak individu yang ditetapkan untuk kepentingan perorangan (individu).

Akan tetapi, berdasarkan kesepakatan para fuqaha, penolakan untuk tunduk kepada perintah yang menjurus kepada kemaksiatan, bukan merupakan pemberontakan, melainkan merupakan suatu kewajiban. Hal ini boleh karena ketaatan tidak diwajibkan kecuali di dalam kebaikan, dan tidak boleh dalam kemaksiatan.38 Dengan demikian, jika seorang kepala

negara tidak memerintahkan rakyatnya untuk berbuat maksiat, sekalipun

36

Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 222-223

37

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 111

38


(41)

kebijakannya tidak selalu membawa kebaikan bagi seluruh rakyat, maka tetap wajib didengar dan ditaati. Masuk dalam kategori pemimpin negara yang wajib ditaati adalah wakilnya, para menteri, para hakim, dan semua aparat keamanan.39

Meskipun adil merupakan salah satu syarat untuk seorang kepala negara (imam), namun menurut madzhab empat dan Syi’ah Zaidiyah, haram hukumnya keluar (membangkang) dari imam yang fasik, walaupun pembangkangan itu dimaksudkan untuk amar ma’ruf nahi munkar. Alasannya adalah karena pembangkangan terhadap imam itu biasanya justru mendatangkan akibat yang lebih munkar, yaitu timbulnya fitnah, pertumpahan darah, merebaknya kerusakan, dan kekacauan dalam negara, serta terganggunya ketertiban dan keamanan. Akan tetapi menurut pendapat yang marjuh (lemah), apabila seorang imam itu fasik, zalim, dan mengabaikan hak-hak masyarakat maka ia harus diberhentikan dari jabatannya.40

Dilihat dari cara dan alasan pemberontakan ini dilakukan, Imam Abu Hanifah, Al-Syafi’i, dan Ahmad membedakannya menjadi tiga, yaitu sebagai berikut:41

a. Kaum pemberontak memiliki argumentasi mengapa mereka memberontak, baik mereka mempunyai kekuatan senjata maupun tidak. b. Kaum pemberontak memiliki argumentasi mengapa mereka

memberontak, tetapi mereka tidak mempunyai kekuatan senjata.

c. Kaum pemberontak mempunyai argumentasi dan juga memiliki kekuatan senjata.

39

M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 63

40

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 113

41


(42)

Untuk jenis kelompok kaum pemberontak yang ketiga dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut.42

a. Pemberontakan yang dilakukan warga Syam di bawah kepemimpinan

Mu’awiyah bin Abu Sufyan terhadap kepemimpinan Ali bin Abi

Thalib.

b. Pemberontakan kaum Khawarij terhadap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib karena mereka tidak setuju dengan arbitrase yang dilakukan pihak Ali dengan kelompok Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemberontakan hanya dilakukan terhadap pemimpin negara yang sah dan berdaulat. Apabila pemberontakan dilakukan oleh sekelompok orang ketika hukum di suatu negara tidak berjalan dan terjadi kekosongan kepemimpinan resmi, maka itu tidak disebut pemberontakan.43

2. Pembangkangan Dilakukan Dengan Menggunakan Kekuatan.

Maksudnya adalah didukung oleh kekuatan bersenjata. Oleh sebab itu menurut ulama fiqh, sikap sekedar menolak kepala negara yang telah diangkat secara aklamasi, tidak dinamakan al-baghyu. Misalnya, sikap Ali bin Abi Thalib yang tidak mau membaiat Abu Bakar atau sikap Ibnu Umar dan Abdullah bin Zubair yang tidak mau mengakui keabsahan

pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah. Sikap mereka tidak termasuk

al-baghyu karena sikap mereka tidak demonstratif. Menurut Abdul Qadir Audah, keengganan Ali tersebut hanya berlangsung selama satu bulan.

42

M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 67

43


(43)

Setelah itu, ia membaiat Abu Bakar. Adapun orang yang hingga wafat

tidak mau membaiat adalah Sa’ad bin Ubadah.44

Contoh lainnya adalah golongan Khawarij yang ada pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Mengenai hal ini, Imam Al-Syafi’i mengatakan:

“Sesungguhnya sekelompok orang yang menampakan sikap seperti kaum Khawarij dengan memisahkan diri dari jamaah, bahkan menganggap jamaah tersebut kafir, tidak menyebabkan diperbolehkannya memerangi kelompok ini sebab, mereka masih berada di bawah perlindungan imam. Hal tersebut tidak menjadikan mereka berubah status menjadi (murtad) yang Allah

SWT perintahkan untuk diperangi.”45

Alasan lain mengenai kaum Khawarij yang tetap tidak dianggap sebagai pemberontak adalah karena mereka tidak melakukannya secara demonstratif dengan kekuatan senjata. Ali bin Abi Thalib tidak menganggap tindakan kelompok Khawarij sebagai pelaku jarimah

pemberontakan karena ia melakukannya tidak secara demonstratif, tidak dengan pengerahan massa, dan tidak dengan kekuatan bersenjata. Tindakan ini dianggap sebagai tindak pidana pembunuhan biasa, bukan pemberontakan.46

Jumhur Ulama, Imam Malik, Imam Al-Syafi’i, Imam Ahmad, dan ulama kalangan Zahiriyah berpendapat bahwa selama para pembangkang itu tidak menyusun kekuatan bersenjata dan tidak bersikap demonstratif; mereka bukanlah pemberontak. Oleh karena itu, mereka tetap harus diperlakukan seperti warga negara, tidak boleh diserang, apalagi dibunuh.

44

M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 68

45

M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 68

46


(44)

Sementara itu, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa mereka dapat dianggap sebagai pemberontak, karena mereka berkumpul bersama dan merencanakan penyerangan. Hal itu cukup untuk dijadikan indikasi akan adanya jarimah al-baghyu, walaupun tidak bersikap demonstratif

dengan menggunakan senjata. Demikian pula pendapat Syi’ah Zaidiyah.47

Perbedaan pandangan dalam masalah ini terletak pada tolak ukur dan kapan sikap pembangkangan sebuah kelompok dapat dianggap sebagai pemberontakan. Namun demikian, para ulama tetap sepakat bahwa para pemberontak tidak boleh buru-buru disergap dan dibunuh, jika mereka tidak melancarkan aksinya terlebih dahulu.48

3. Adanya Niat Melawan Hukum

Untuk terwujudnya tindak pidana pemberontakan, disyaratkan adanya niat yang melawan hukum dari mereka yang membangkang. Unsur ini terpenuhi apabila seseorang bermaksud menggunakan kekuatan untuk menjatuhkan imam atau tidak menaatinya. Apabila tidak ada maksud untuk keluar dari imam, atau tidak ada maksud untuk menggunakan kekuatan maka perbuatan pembangkangan itu belum dikategorikan sebagai pemberontakan.

Untuk bisa dianggap keluar dari imam, disyaratkan bahwa pelaku bermaksud untuk mencopot (menggulingkan) imam, atau tidak menaatinya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban yang dibebankan kepada syara’. Dengan demikian, apabila niat atau tujuan

47

M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 70

48


(45)

pembangkangannya itu untuk menolak kemaksiatan, pelaku tidak dianggap sebagai pemberontak. Apabila seseorang pembangkang melakukan jarimah-jarimah sebelum mughalabah (penggunaanَkekuatan) atau setelah selesainya pemberontakan maka disini tidak diperlukan adanya niat untuk memberontak, karena dalam hal ini ia tidak dihukum sebagai pemberontak, melainkan sebagai jarimah biasa.49

C. Dasar Hukum Bughat

Telah disebutkan sebelumnya bahwa bughat adalah sekelompok orang yang tidak taat lagi kepada pemimpin dan berusaha menggulingkan pemerintahan yang sah. Hal ini menunjukan bahwa konflik yang terjadi adalah konflik vertikal yang terjadi antara rakyat dan penguasa (pemimpin). Di dalam

Al-Qur’an terdapat ayat yang menjelaskan mengenai keharusan kita taat

terhadap pemimpin. Namun, perlu diingat bahwa taat disini bukan berarti taat kepada kemaksiatan. Ayat Al-Qur’an yang dimaksud adalah ayat yang terdapat dalam Q.S. An-Nisaa ayat 59:

ا. هُأ3ٰ .ي

ْ

ْ2ي0 ذَ ٱ

ْ.ْ

ْ2ي0طٱْ2إ3و/ .مإ.

ْ2إو/ع

ْ.ذل ٱ

ْ

ْ2ي0طٱ.(

ْ2إو/ع

ْ.لو /سذرل ٱ

ْ

ْ 0ِ 2(ٱ.(

ْ0رۡم ۡۡ ٱ

ْ

ْ20م

ْ2ن

ا.فْۖۡ /ُ

ِ

ْ

ْ .ٰ

ِ

إْ/(ه /ر.فْ ٖ ۡ .َْ 0ِْۡ /ُۡع.زٰ .ن.ó

ْ0ذل ٱ

ْ

ْ.(

ْ2و /سذرل ٱ

ْ0ل

ْ

ْ2ن

إ

ِ

ْ

ْ2ن/ك

ْ2و/ 0مۡؤ/óْۡ /ُ

ْ0بْ .ن

ْ0ذل أ

ْْ.(

ْ0%ۡو.يۡل ٱ

ْ

ْه0ر0خ34 ۡۡ ٱ

ْ

ْذ(ْ ٞۡۡ.خْ . 0ِٰ.

ْ.سۡحٱ

ْ/ْ

ْ2ي0(ۡ4أ.ó

ْ اً

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul-Nya (sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

(Q.S. An-Nisaa: 59)

Mengingat perbuatan bughat ini adalah kejahatan yang dilarang dalam Islam, Rasulullah SAW bersabda mengenai hal ini:

49


(46)

ْ/ذلإْ . 0ِ .رْ 0 2بإْ 2 .ع.(

ْ

ْ/2َ.ع

ْ/ذلإْ .َ .صْ 01 0بذنلإْ 0 .عْا.

ْ

ْ.قْ .ذّ .س.(ْ 0 2ي.ل.ع

ْ0مٱْ 2 0مْ)ٱ.رْ 2 .مْ:.لا

ْ2ي .شْ 0 0 2ۡ

ْ/ / .ر2 .يْااå

ْ/ ذ

ِ

ا.فْ, .ۡ 0ص.ي2ل.ف

)ّسمْ إ(ر(ْ ñذي0ل0 ا.جْ/ñ.ت2ي0 .فْ .تا. .فْإا 2ۡ 0شْ.ñ.عا. .ج2لإْ .ق.را.ف2 .م

50

ْ

Artinya: “Dari Ibn Abbas r.a Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang

merasa benci terhadap pemimpinnya maka bersabarlah terhadapnya, apabila memisahkan diri dari jama’ah (penguasa yang direstui rakyat), maka orang tersebut bila mati, matinya tergolong mati dalam keadaan jahiliyyah”

ْ. /شْ / 2بإْ.ñ.ج.ف2ر.عْ 2 .ع.(

ْ/ذلإْ .َ .صْ0 ذلإْ/لو /س.رْ /ò2ع0 .َْ.لا.قْ:-ح2ي

ْ

ْ.ذّ .س.(ْ0 2ي.ل.ع

ْ2مٱ.(ْ2 /ُ .َٱْ 2 .مْ/لو/ق.يْ

ْ/ر

ْ ع2ي0 .َْ2 /ُ

ْ

ْ .َ.ع

ْ.ق01ر.فهيْ 2نٱْ/د2ي0ر/يْ-ل/ج.ر

ْ

)ّسمْ إ(ر(ْ/ 2و/ل/ت2قا.فْ2 /ُ.ت.عا. .َ

51

ْ

Artinya: “Dari A’fazah ibn Suraihin: Rasulullah SAW bersabda: „Siapa yang

mendatangi kalian dalam keadaan kalian telah berkumpul/bersatu dalam satu kepemimpinan kemudian dia ingin memecahkan persatuan kalian atau ingin memecah belah jamaah kalian, maka perangilah/bunuhlah orang tersebut’.

50

Ibn Hajar Al-Asqalani, Bulughu al-Maram, (Beirut: Pustaka Daru Ihya Kutub al-Arabiyah, 775 H-825 H), hal. 253

51Muhammad bin Isma’il Al

-Kahlani Al-Shan’ani, Subul Al-Salam, (Indonesia, Dahlan), jilid IV, h. 254, dikutip dari M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 72


(47)

36

MAKAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

A. Pengertian dan Sejarah Makar

Definisi makar dilihat dari Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah akal buruk, tipu muslihat atau perbuatan dengan maksud hendak membunuh orang.1 Makar juga bisa diartikan sebagai perbuatan untuk menggulingkan

pemerintahan yang sah (kudeta).2

Makar berasal dari kata “aanslag” (bahasa Belanda), yang menurut

arti harfiah adalah penyerangan atau serangan. Istilah aanslag ini juga terdapat dalam KUHP yakni pada Pasal-Pasal 87, 104, 105, 106, 107, 130, 139a, 139b, 140. (Pasal 105 dan 130 dianggap tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, Pasal VIII, butir 13). Namun makar yang dimuat dalam Pasal 139a, 139b dan 140 KUHP tidak masuk dalam bab mengenai kejahatan terhadap keamanan negara, melainkan masuk dalam kejahatan terhadap negara sahabat dan terhadap kepala negara sahabat dan wakilnya.3

Dalam pembendaharaan hukum pidana “aanslag” telah lazim

diterjemahkan dengan makar.4 Pengertian makar terdapat pada Pasal 107

KUHP, dimana redaksi aslinya ialah:

1

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, h. 623

2

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka), Edisi ke I, h. 618

3

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet I, h. 7

4


(48)

De aanslag ondernomen men het oogmerk om omventelingteweeg tebrengen, wordt gestraf met gevangenisstraf van ten hoogste vifftien jaren”.5

Engelbrecht menterjemahkan Pasal tersebut dengan: “Makar yang dilakukan dengan maksud untuk meruntuhkan pemerintahan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun”.6

Terjemahan Engelbrecht tersebut dapat diketahui bahwa terjemahan kata aanslag itu sama dengan kata “makar”.7 Sedangkan Wiryono Prodjodikoromenggunakan terjemahan kata makar sebagai kata aanslag yang menurut beliau berarti serangan.8

Mengenai istilah makar dalam KUHP sendiri dimulai penafsiran secara khusus dapat ditemui dalam Pasal 87 KUHP, yang berbunyi:

“Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila

niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan

seperti yang dimaksud dengan Pasal 53 KUHP.”9

Nyatalah bahwa sebenarnya makar itu sendiri adalah suatu pengertian khusus yang berhubungan erat dengan syarat-syarat yang ada dalam hal untuk dapat dipidananya suatu percobaan melakukan kejahatan sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 53 KUHP ayat (1),10 yaitu:

5

Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, h. 15

6

Engelbrecht, Kitab Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan Republik Indonesia,

tahun 1960, h. 1402, dikutip dari Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, h. 15

7

Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, h. 15

8

Wiryono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung: PT. Eresco, 1980), h. 187

9

Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, h. 16

10


(49)

“Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena

kehendaknya sendiri.”11

Menurut Pasal 53 ayat (1) KUHP ada tiga syaratnya yang harus ada agar seseorang dapat dipidana melakukan percobaan kejahatan, yaitu:

a. Niat.

b. Permulaan pelaksanaan.

c. Pelaksanaannya itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya.12

Maksud sebenarnya dari Pasal 53 (1) KUHP itu agar pembuat (dader) yang belum selesai mewujudkan kejahatan juga dapat dipidana, yakni dengan ketentuan bahwa pidana yang dapat dijatuhkan kepada si pembuat yang tidak selesai itu setinggi-tingginya ialah pidana yang ditetapkan pada kejahatan itu dikurangi sepertiganya. Mengapa harus dikurangi sepertiga dari ancaman maksimumnya? Karena menurut pembentuk Undang-Undang percobaan kejahatan itu belum berupa penyerangan/pelanggaran terhadap kepentingan hukum yang dilindungi, akan tetapi telah membahayakan terhadap kepentingan hukum yang dilindungi Undang-Undang. Nyatalah pula bahwa pertanggungjawaban pidana bagi pelaku percobaan itu lebih ringan dari pada pertanggungjawaban pidana pada kejahatan yang telah selesai.13

Jika dihubungkan dengan syarat untuk dapat dipidananya, percobaan melakukan kejahatan yang dirumuskan Pasal 53 KUHP, maka jelaslah bahwa

11

Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 26

12

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, h. 8

13


(50)

makar (Pasal 87 KUHP) bukan nama atau kualifikasi dari suatu kejahatan tertentu sebagaimana yang sering kita dengar, melainkan sesuatu wujud tingkah laku tertentu yang memenuhi unsur/syarat tertentu, syaratnya adalah: a. Adanya niat.

b. Adanya permulaan pelaksanaan, dalam arti yang dimaksud dengan Pasal 53 ayat (1) KUHP.

Pengertian itu baru dapat menjadi suatu kejahatan makar apabila dalam mewujudkan permulaan pelaksanaan tadi didorong oleh suatu kehendak atau maksud yang terlarang seperti pada Pasal 104, 106, 107 KUHP.14

Dapat disimpulkan bahwa makar itu adalah suatu wujud tingkah laku tertentu yang telah memenuhi tiga unsur dari Pasal 53 (1) KUHP, yang artinya untuk mempidana sesuatu pelaku/pembuat (dader) yang telah melakukan suatu perbuatan yang masuk kualifikasi kejahatan makar, sudahlah cukup terpenuhi tiga syarat seperti yang dijelaskan dalam Pasal 53 (1) KUHP.

Dengan sejarahnya yang panjang dalam usaha meraih kemerdekaan dari pihak penjajah, Indonesia masih belum bisa berdiri tegak kokoh dalam mempertahankan kemerdekaannya. Setelah meraih kemerdekaanpun Indonesia masih mendapatkan perlawanan dalam mempertahankan keutuhan negaranya, namun kali ini perlawanan dan usaha-usaha memecah belah Indonesia datang dari rakyat Indonesia itu sendiri. Sebagai contoh peristiwa gerakan makar dibawah ini diantaranya:

a. Partai Komunis Indonesia (PKI)

1) Latar Belakang Tumbuh dan Berkembangnya PKI

Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai yang bertujuan

14


(51)

menjadikan Indonesia sebagai negara Komunis. Paham Komunis di Indonesia pada mulanya dibawa oleh seseorang yang berkebangsaan Belanda yaitu H.J.F.M. Sneevliet. Pada tahun 1913 menjelang Perang Dunia I, seorang aktivis politik yang berhaluan Marxis berkebangsaan Belanda yang bernama H.J.F.M. Sneevliet tiba di Hindia Belanda. Ia sebelumnya adalah pemimpin organisasi buruh angkutan dan anggota

Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP) di Belanda.15

Untuk menanamkan pengaruhnya, Sneevliet mengadakan kontak dengan orang-orang Belanda yang berhaluan sosialis yang ada di Hindia Belanda, dan pada tahun 1914 bersama J.A. Brandsteder, H.W. Dekker, dan P. Bergsma mendirikan organisasi Marxis yang pertama di Asia Tenggara, dengan sebutan Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV). Setahun kemudian, mereka menerbitkan majalah Het Vrije Woord (Suara Kebebasan) di Surabaya sebagai media propaganda Marxisme. Selain majalah itu, ISDV juga menerbitkan surat kabar Suara Mardika dan kemudian Suara Rakyat.16

Untuk menanamkan ajaran Marxisme di Hindia Belanda, Sneevliet memanfaatkan organisasi yang sedang berkembang pesat di Indonesia pada waktu itu, yaitu Sarekat Islam (SI). Sneevliet menggunakan cara dengan memasukkan anggota ISDV menjadi anggota SI, dan sebaliknya anggota SI dibolehkan menjadi anggota

15

Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 1992), Edisi 1, Cet 2, h. 7

16

Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, h. 7


(1)

83

usaha untuk menyerang keamanan dan keutuhan wilayah negara dan suatu usaha untuk menyerang kepentingan hukum tegaknya pemerintahan negara. Kejahatan ini memang dianggap sebagai kejahatan yang mengganggu kestabilan dan disintegrasi suatu negara. Bahkan dalam hukum positif, kejahatan makar ini ditempatkan secara khusus dalam Buku II Bab I tentang kejahatan terhadap keamanan negara. Dalam bab ini disebutkan secara jelas bagaimana pandangan hukum positif mengenai pengaturan kejahatan makar beserta sanksinya bagi pelaku makar.

2. Mengenai bentuk sanksi apa yang dapat dijatuhkan bagi bughat dalam kejahatan pemberontakan, seperti yang telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya bahwa bughat dapat dijatuhi dengan hukuman mati (jarimah hudud). Dasar dari sanksi ini telah jelas disebutkan dalam Hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim. Hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi bughat. Namun, sebelum sanksi diberikan perlu ada upaya dari imam/pemimpin untuk mengajak kembali taat, apabila ajakan ini malah disambut dengan tidak baik dan ajakan perang, maka pemerintah wajib memeranginya sesuai firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Hujuraat ayat 9.

Sedangkan sanksi bagi pelaku makar sudah bisa diberikan apabila pelaku makar telah memenuhi tiga unsur untuk dapat dipidana yaitu timbulnya niat, permulaan pelaksanaan dan pelaksanaannya itu tidak selesai bukan karena kehendaknya sendiri. Walaupun kejahatannya belum selesai tetapi hukumannya dikurangi sepertiga, dan untuk kejahatan yang sampai kualifikasi selesai maka, pelaku makar bisa diberikan sanksi penuh sesuai


(2)

84

dengan apa yang telah dijelaskan dalam KUHP. Dalam KUHP disebutkan bahwa sanksi bagi pelaku makar yang menyerang keamanan Presiden atau Wakilnya adalah pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 tahun. Hal ini sesuai dengan Pasal 104 KUHP. Selanjutnya, sanksi hukum bagi pelaku makar yang menyerang keamanan dan keutuhan wilayah negara adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 tahun. Ini sesuai dengan Pasal 106 KUHP. Sedangkan sanksi hukum bagi makar yang menyerang kepentingan tegaknya pemerintahan negara adalah pidana penjara 15 tahun dan untuk para pemimpin dan pengatur makar tersebut dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 tahun.

3. Dari segi perbedaan, dalam hukum Islam bughat adalah pelaku tindak pidana pemberontakan yang melakukan pemberontakan terhadap pemimpin yang sah dalam negara Islam. Sementara tindakan pemberontakannya disebut al-Baghyu. Sedangkan dalam hukum positif, makar adalah tindakan pemberontakan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana makar. Dan dalam hukum Islam, bughat bisa dimaafkan dan dilindungi apabila bughat bersedia kembali taat dan bertaubat, sedangkan dalam hukum positif pelaku makar tetap harus menjalankan hukuman pidana mati atau hukuman penjara.

Dan dari segi persamaan dalam hukum Islam maupun hukum positif, bughat maupun pelaku makar sama-sama melakukan suatu usaha kejahatan yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.


(3)

85

Dalam hal pemberian sanksi hukuman, bughat maupun pelaku tindak pidana makar dapat dijatuhi hukuman mati.

B. Saran-Saran

Berkaitan dengan pembahasan Sanksi Bughat dan Makar: Menurut Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif ini, penulis mempunyai saran-saran sebagai berikut:

1. Sebagai salah satu negara maju dan dengan umat Islam terbesar di dunia, sudah saatnya Indonesia mampu menjadi contoh bagi negara lain dalam hal menangani masalah pemberontakan ini. Karena seiring zaman, pemberontakan yang dilakukan oleh suatu kelompok hanya menimbulkan kerusakan dan memecah belah persatuan umat. Sudah tentu hal ini akan membuat suatu negara tidak aman dan tidak sejahtera.

2. Kepada seluruh masyarakat dan pemerintah harus mengedepankan sikap musyawarah dalam menyelesaikan suatu masalah agar menemukan titik temu yang akan menghasilkan keputusan bersama dan semua merasa aman, nyaman dan sejahtera hidup sebagai warga negara.

3. Kepada lembaga hukum pemerintah harus memberikan hukuman yang sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan agar ada efek jera untuk para pelaku pemberontakan/makar yang ada di Indonesia, namun dengan catatan hukuman yang diberikan harus adil dan sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya.


(4)

86

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

Asqalani, Al, Ibn Hajar, Bulughu Maram, (Pustaka: Daru Ihya Kutub al-Arabiyah 775 H-825 H)

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) __________, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), Jilid I.

Audah, Abdul Qadir, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad’iy, Penerjemah Tim Tsalisah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Bogor: PT. Kharisma Ilmu, 2007)

Basyir, Ahmad Azhar, Ikhtisar Fiqh Jinayat, (Yogyakarta: UII Press, 2001) Chazawi, Adami, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara,

(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002)

Dinuth, Alex, Dokumen Terpilih Sekitar G.30.S/PKI, (Jakarta: Intermasa, 1997) Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Penerjemah Tim Tsalisah, (Bogor: PT.

Kharisma Ilmu, 2007)

Farih, Amin, Kemaslahatan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Semarang: Walisongo Press, 2008)

Hamzah, Andi, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), Cet 17

Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), Cet. V

Hasan, A, Ibnu Hajar Al-Asqalani Bulughu al-Maram, Terjemahan Bulughul Maram. Jilid II, (Bandung: CV. Diponegoro, 1967)

Iqbal, Afzal, Diplomasi Islam, penerjemah Samson Rahman, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000), Cet. I.

Irfan, M. Nurul dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), Cet I Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Yogyakarta: Gajah Mada,

1978), Cet X


(5)

87

Muthohar, Ali, Kamus Arab–Indonesia, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2005)

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, diolah kembali oleh pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976)

Prakoso, Djoko, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986)

Prodjodikoro, Wiryono, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung: PT. Eresco, 1980)

Pulungan, J. Suyuthi, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999)

Rokhmadi, Reformulasi Hukum Pidana Islam, Studi tentang Formulasi Sanksi Hukum Pidana Islam, (Semarang: Rasail Media Grup, 2009)

Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia 1992), Edisi 1, Cet 2

Shiddiqi, Ash, Tengku Muhammad Hasbi, Islam dan Politk Bernegara, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002)

Subroto, Hendro, Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya Mengkomuniskan Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2008) Suma, Muhammad Amin...et al., Pidana Islam di Indonesia (Peluang,

Prospek, dan Tantangan), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), Cet I

Syarif, Mujar Ibnu dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008)

Tanudirjo, Daud Aris...et al., Indonesia dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve 2012), Cet I

Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1989) Zuhaili, Wahbah, Fiqih Imam Syafi’i (Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan

Al-Qur’an dan Hadist), penerjemah: Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz, (Jakarta: Almahira, 2010), Cet I

PERUNDANG-UNDANGAN


(6)

88

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1999 Tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 11/PPns/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.

Penetapan Presiden Nomor 11 Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.

Al-Qur’an dan Terjemahannya (Ayat Pokok Bergaris), Departemen Agama RI,

(Semarang: CV. Asy-Syifa, 1998)

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke I, (Jakarta: Balai Pustaka)

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008)

SITUS INTERNET

http://m.nu.or.id/Bughat-.phpx. Diakses pada tanggal 11 Maret 2015

http://www.pandanganislammengenaiseparatisme.com. Diakses pada tanggal 11

Maret 2015

http://asysyariah.com. Diakses pada tanggal 11 Maret 2015

http://www.artikelsiana.com./2014/09/pemberontakan-DI/TII-cara-pemerintah-penanggulangannya.html. Diakses pada tanggal 5 Mei 2015