Faktor risiko kanker ovarium

Gambar 2.6 Angka Kejadian Kanker Ovarium di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada Tahun 2003 sampai 2007 Fauzan, 2009 Angka kejadian kanker ovarium di Indonesia berdasarkan data Badan Registrasi Kanker pada tahun 2006 mencapai 11,9 Badan Registrasi Kanker, 2006. Angka kejadian kanker ovarium di Rumah Sakit Umum Pusat RSUP Sanglah pada tahun 2005 diperoleh sebesar 35 dari seluruh kanker ginekologi dengan survival rate selama lima tahunnya hanya sebesar 15 Karyana, 2005.

2.2.2 Faktor risiko kanker ovarium

Sampai saat ini penyebab pasti dari kanker ovarium masih diperdebatkan, namun beberapa faktor risiko yang dianggap dapat menjadi penyebab timbulnya kanker ovarium, antara lain adalah: genetik, umur, kehamilan dan paritas, penggunaan obat kontrasepsi oral, terapi hormon pengganti pada masa menopause, obat-obatan yang meningkatkan kesuburan, Indek Massa Tubuh IMT dan riwayat keluarga Fauzan, 2009. 2.2.2.1 Genetik Berbagai kelainan genetik diduga berperan dalam menentukan terjadinya kanker ovarium. Beberapa gen dan ekspresi protein gen yang mengalami kelainan dan terlibat dalam karsinogenesis terjadinya kanker ovarium telah diketahui. Secara umum berbagai gen berperan dalam karsinogenesis kanker ovarium. Adanya mutasi atau delesi pada gen P53 merupakan kelainan yang paling sering ditemukan, di mana pada lebih dari 50 kasus kanker ovarium, khususnya pada stadium yang telah lanjut Granstrom, 2008. Pada saat sekarang ini, telah dikembangkan berbagai jenis penelitian untuk mengetahui hubungan antara gen P53 maupun ekspresi p53 terhadap stadium kanker ovarium. Hasil-hasil penelitian tersebut diharapkan dapat menjadi masukan atau tambahan pemikiran dalam rangka mendukung pengembangan ide pemanfaatan gen P53 dan ekspresi p53 sebagai deteksi dini dalam diagnostik kanker ovarium. Penelitian yang dilakukan oleh Lobna 2010 memperoleh hasil bahwa sebanyak 42 73,7 dari 57 sampel mengalami ekspresi p53 positif. Adanya ekspresi p53 yang positif tersebut memiliki hubungan dengan stadium kanker ovarium, khususnya pada stadium lanjut. Penelitian yang dilakukan oleh Rauf dan Masadah 2009 dari Universitas Hassanudin, Makasar terhadap 41 pasien kanker ovarium. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi nilai prognostik ekspresi p53 terhadap kanker ovarium. Pada seluruh sampel dilakukan analisis imunohistokimia p53 dalam jaringan kanker ovarium dari pasien yang telah dioperasi. Hasilnya, derajat ekspresi p53 ditemukan lebih tinggi pada kanker ovarium stadium lanjut dan pemantauan selama enam bulan sampai dua tahun setelah operasi menunjukkan bahwa pasien yang mempunyai ekspresi p53 yang tinggi juga diperoleh angka kematian yang tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Pasyrii dkk. 2007 pada 141 jaringan pasien kanker ovarium stadium lanjut, bertujuan untuk menentukan peran dari p53 sebagai faktor prognostik pada kanker ovarium. Pada seluruh sampel tersebut dilakukan analisis p53 dengan menggunakan teknik analisis protein secara kuantitatif. Hasilnya, diperoleh jumlah ekspresi p53 inti dan sitoplasma yang tinggi berhubungan dengan semakin besarnya harapan hidup lima tahunan dari pasien tersebut, masing-masing dengan nilai p= 0,0338 dan p= 0,0002 p0,005. Penelitian yang dilakukan oleh Adiyanti 2007 yang bertujuan untuk menilai hubungan antara ekspresi p53 dengan stadium kanker ovarium di Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta. Penelitian tersebut memperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara ekspresi p53 dengan stadium kanker ovarium. Penelitian yang dilakukan oleh Havrilesky dkk. 2002 pada 125 blok parafin pasien kanker ovarium stadium lanjut. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan peran dari p53 sebagai faktor prognostik pada kanker ovarium, khusunya dalam hubungannya dengan derajat differensiasi dan lama harapan hidup pasien kanker ovarium serta hubungan overekspresi p53 dengan jenis kelainan gen P53 yang ditemukan pada sampel. Pada seluruh sampel dilakukan analisis p53 dengan menggunakan teknik imunohistokimia. Hasilnya, diperoleh jumlah ekspresi p53 berhubungan positif dengan derajat differensiasi namun tidak berhubungan dengan besarnya harapan hidup lima tahunan dari pasien tersebut. Dari 55 sampel yang mengalami overekspresi p53, sebesar 100 ditemukan kelainan berupa missense mutation. Kanker ovarium juga diduga berhubungan dengan terjadinya mutasi pada gen BRCA 1 dan BRCA 2. Kedua gen tersebut juga telah diketahui memiliki peranan yang penting dalam patogenesis molekuler terjadinya kanker payudara atau mamae Chen dan Parmigiani, 2007; Busman, 2008. Berbagai kelainan pada gen dan ekspresi protein gen tersebut dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu onkogen yang memicu pertumbuhan, gen supresor kanker atau tumor yang tidak aktif, perubahan gen perbaikan DNA, dan perubahan gen apoptosis Kumar dkk., 2010. Secara lengkap pembagian dan fungsi dari masing-masing gen dapat dilihat pada tabel 2.2. Tabel 2.2 Kelompok Gen dan Ekspresi Protein Abnormal pada Kanker Ovarium Kelompok LokasiKategori Gen Keterangan Onkogen TGF- α TGFA Overekspresi EGF receptor HER-2neu Overekspresi FMS- like tyrosine FLT3 Amplifikasi Kinase 3 GTP-binding KRASHRAS Point mutation RAS signal BRAF Point mutation transduction Transcriptional MYC Amplifikasi activator Cyclin dependent CDK1 Amplifikasi kinase Inaktivasi gen Inti sel P53 Penghentian siklus supresor tumor sel, apoptosis- Perubahan gen Inti sel BRCA1 perbaikan DNA BRCA2 Perbaikan DNA- Perubahan Inti sel BCL2 Inhibisi apoptosis gen apoptosis meningkat Kumar dkk., 2010 2.2.2.2 Umur Risiko kejadian kanker ovarium meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Sebanyak 80 dari kejadian kanker ovarium ditemukan pada umur wanita lebih dari 45 tahun, namun pada beberapa kasus kanker ovarium juga dapat ditemukan pada umur yang relatif lebih muda daripada kanker pada wanita lainnya, yaitu umur 20 sampai 30 tahun Fauzan, 2009. Kanker ovarium dapat ditemukan pada semua golongan umur, bahkan pada kasus yang jarang, juga dapat ditemukan pada bayi bawah lima tahun balita dan anak-anak. Namun angka kejadian paling banyak ditemukan pada rentang umur 60 sampai 74 tahun dengan median umur saat terdiagnosis adalah 59 tahun. Bahkan, risiko tumor ovarium untuk mangalami degradasi keganasan pun meningkat seiring dengan bertambahnya umur, di mana risiko keganasan didapatkan sebesar 13 pada wanita premenopause dan 45 postmenopause Colditz, 2004. Gambar 2.7 Angka Kejadian Kanker Ovarium Berdasarkan Umur Spesifik dan Jumlah Wanita di United of Kingdom pada tahun 2006 Granstrom, 2008 Penelitian yang dilakukan oleh Cancer Research United of Kingdom pada tahun 2006, diperoleh hasil bahwa, angka kejadian kanker ovarium meningkat seiring dengan bertambahnya umur, di mana kasus tertinggi kanker ovarium Kasus Rerata wanita ditemukan pada kelompok wanita umur 60 sampai 64 tahun gambar 2.7 Granstrom, 2008. 2.2.2.3 Kehamilan dan paritas Kehamilan dan paritas merupakan salah satu faktor risiko yang penting dalam menentukan terjadinya kanker ovarium. Wanita yang sudah pernah hamil memiliki risiko untuk mengalami kanker ovarium sekitar 50 lebih rendah daripada wanita yang belum pernah hamil atau nullipara. Bahkan, wanita yang telah beberapa kali hamil risiko terjadinya kanker ovarium menjadi semakin berkurang Czyz, 2008. Penelitian yang dilakukan oleh Cancer Research United of Kingdom pada tahun 2006 menyimpulkan bahwa semakin tinggi jumlah paritas maka semakin rendah kemungkinan risiko terjadinya kanker ovarium. Pada wanita yang tidak memiliki anak atau nullipara memiliki risiko dua kali lipat lebih besar untuk terjadinya kanker ovarium daripada wanita dengan paritas tiga atau lebih tabel 2.3 Granstrom, 2008. Tabel 2.3 Hubungan Jumlah Paritas dengan Risiko Kanker Ovarium Jumlah paritas Risiko Relatif 95 CI 3 + 1,0 2 1,21 1,10-1,32 1 1,60 1,43-1,79 2,12 1,81-2,48 Granstrom, 2008 2.2.2.4 Penggunaan kontrasepsi oral Penelitian yang dilakukan oleh Center of Diseases Control CDC menyimpulkan bahwa penggunaan obat kontrasepsi oral dapat menurunkan risiko kejadian kanker ovarium kurang lebih sebesar 40 pada wanita yang berumur 20 sampai 54 tahun, dengan risiko relatif sebesar 0,6. Penelitian lainnya melaporkan bahwa penggunaan pil kontrasepsi selama kurang lebih satu tahun dapat menurunkan risiko kejadian kanker ovarium sebesar 11, sedangkan apabila pemakaian mencapai lima tahun maka risiko terjadinya kanker ovarium dapat semakin menurun, bahkan mencapai 50 Fauzan, 2009. Penelitian yang dilakukan oleh Beral 2008 juga memperoleh hasil bahwa penurunan risiko relatif terjadinya kanker ovarium sesuai dengan lamanya pemakaian kontrasepsi oral, di mana pada wanita yang memakai kontrasepsi oral selama kurang dari satu tahun memiliki risiko relatif 1 dan semakin menurun mencapai 0,42 pada pemakaian yang lebih dari lima belas tahun gambar 2.8. Gambar 2.8 Hubungan Lama Pemakaian Kontrasepsi Oral dengan Risiko Kanker Ovarium Beral, 2008 Setelah dilakukan analisis lanjutan terhadap jenis hormon pada obat kontrasepsi, diperoleh bahwa hormon yang berperan dalam menurunkan risiko terjadinya kanker ovarium tersebut adalah progesteron. Penggunaan obat yang menggandung hormon estrogen saja khususnya pada wanita pascamenopause Never use justru meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium namun penggunaan kombinasi progesteron dan estrogen atau progesteron saja akan menurunkan risiko terjadinya kanker ovarium Busman, 2008. 2.2.2.5 Terapi hormon pengganti pada masa menopause Pemakaian terapi hormon pengganti pada wanita menopause dengan menggunakan estrogen dalam jangka waktu sepuluh tahun dapat meningkatkan risiko relatif sebesar 2,2 untuk terjadinya kanker ovarium. Pada pemakaian yang lebih lama lagi, selama 20 tahun lebih meningkatkan risiko relatif menjadi 3,2 untuk terjadinya kanker ovarium Busman, 2008. Pada pemakaian terapi hormonal yang dikombinasikan dengan pemberian progestin juga masih meningkatkan risiko relatif sebesar 1,5 untuk terjadinya kanker ovarium Zhou, 2008; Beral, 2007. 2.2.2.6 Obat-obatan yang meningkatkan kesuburan Obat-obat yang meningkatkan kesuburan atau fertilitas, seperti klomifen sitrat dan obat-obatan gonadotropin, seperti Follicle Stimulating Hormone FSH dan Luteinizing Hormone LH dapat menginduksi terjadinya ovulasi baik tunggal maupun multipel. Hal tersebut ternyata meningkatkan risiko seorang wanita mengalami kanker ovarium. Pada pemakaian klomifen sitrat lebih dari dua belas siklus, dapat meningkatkan risiko relatif sebesar sebelas kali untuk menjadi kanker ovarium Busman, 2008. 2.2.2.7 Indek Massa Tubuh IMT Berbagai penelitian membuktikan bahwa peningkatan IMT dapat meingkatkan risiko terjadinya kanker ovarium Reeves, 2007. Penelitian yang dilakukan oleh European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition tahun 2006 memperoleh hasil bahwa pada wanita dengan IMT di atas 30 atau obesitas memiliki risiko relatif sebesar 1,59 untuk terjadinya kanker ovarium dibandingan dengan wanita dengan IMT normal Lahmann, 2009. Penelitian yang berbeda memperoleh hasil bahwa peningkatan IMT pada wanita premenopause meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium dengan risiko relatif sebesar 1,72. Namun peningkatan IMT tersebut tidak bermakna meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium pada wanita pascamenopause Schouten, 2008. 2.2.2.8 Riwayat keluarga Adanya riwayat keluarga yang menderita kanker ovarium dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium pada anggota keluarga yang lainnya Granstrom, 2008. Secara umum, risiko terjadinya kanker ovarium adalah 1,6 pada keseluruhan populasi. Risiko tersebut dapat lebih meningkat menjadi 4 sampai 5 apabila ada satu anggota keluarga, baik ibu atau saudara kandung, menderita kanker ovarium. Apabila terdapat dua anggota keluarga yang menderita kanker ovarium, maka risiko menderita kanker ovarium meningkat menjadi 7. Adanya riwayat kanker payudara dan kolon juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium pada anggota keluarga yang lainnya Busman, 2008.

2.2.3 Patogenesis kanker ovarium