BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Sampel Penelitian
Pada penelitian ini rerata umur pada kelompok stadium kanker ovarium stadium I adalah 40,86 ± 5,24
tahun, stadium II adalah 43,56 ± 12,70 tahun, stadium III adalah 45,57 ± 9,77 tahun dan stadium IV adalah 57,86 ± 8,78.
Penelitian ini sesuai dengan angka kejadian kanker ovarium pada umumnya di mana cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya umur, terutama pada
umur di atas 50 tahun. Sebanyak 80 dari kejadian kanker ovarium ditemukan pada umur wanita
lebih dari 45 tahun, namun pada beberapa kasus kanker ovarium juga dapat ditemukan pada umur yang relatif lebih muda daripada kanker pada wanita
lainnya, yaitu antara umur 20 sampai 30 tahun Fauzan, 2009. Penelitian di Amerika Serikat pada tahun 2001 memperoleh hasil yang sama, di mana risiko
terjadinya kanker ovarium kurang dari 3 kasus per 100.000 wanita pada umur di bawah 30 tahun, namun cenderung meningkat seiring dengan peningkatan umur
dan menjadi 54 kasus per 100.000 wanita pada umur 75 sampai 80 tahun. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Rauf dan Masadah 2009 di mana
diperoleh rerata umur penderita kanker ovarium adalah 55 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Faizal 2011 di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Makasar
memperoleh hasil yang serupa di mana kelompok umur yang paling banyak menderita kanker ovarium adalah kelompok umur 41 sampai 50 tahun yaitu
52
sebanyak 62,7 dan paling sedikit adalah 31 sampai 40 tahun yaitu sebanyak 10,8.
Hal tersebut sesuai dengan salah satu mekanisme terjadinya kanker ovarium yaitu berdasarkan pada teori Incessant ovulation. Teori Incessant ovulation ini
beranggapan bahwa adanya trauma berulang pada ovarium selama proses ovulasi, mengakibatkan epitel ovarium mudah terpajan atau terpapar oleh berbagai faktor
risiko sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kelainan atau abnormalitas genetik. Adanya ovulasi dan semakin bertambahnya umur seorang wanita dapat
menyebabkan terperangkapnya fragmen epitel permukaan ovarium pada cleft atau invaginasi pada permukaan dan badan inklusi pada kortek ovarium. Beberapa
penelitian telah membuktikan bahwa terdapat hubungan antara frekuensi metaplasia dan neoplasma pada daerah-daerah ovarium yang mengalami
invaginasi dan terbentuknya badan inklusi Choi, 2007. Pada penelitian ini diperoleh rerata Indek Massa Tubuh IMT dalam rentang
normal, hanya pada stadium II yang memiliki rerata IMT yang termasuk dalam kelompok berat badan berlebih. Rerata IMT pada masing-masing kelompok
kanker ovarium stadium I adalah 19,9 ± 1,51 kgm
2
, stadium II adalah 25,15 ± 4,04 kgm
2
, stadium III adalah 21,76 ± 4,95 kgm
2
, dan stadium IV adalah 21,38 ± 3,75 kgm
2
. Beberapa penelitian membuktikan bahwa peningkatan IMT dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium Reeves, 2007. Penelitian yang
dilakukan oleh Anders 2003 memperoleh hasil bahwa risiko relatif terjadinya kanker ovarium memiliki kecenderungan meningkat sesuai dengan peningkatan
IMT. Pada IMT kurang dari 18,5 kgm
2
memiliki risiko sebesar 1,09, IMT antara
18,5 sampai 24,9 kgm
2
memiliki risiko sebesar 1,00, IMT antara 25,0 sampai 29,9 kgm
2
memilki risiko sebesar 1.43, dan IMT lebih dari 30,0 kgm
2
memiliki risiko sebesar 1,56 untuk menderita kanker ovarium. Penelitian yang dilakukan
oleh European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition tahun 2006 memperoleh hasil bahwa pada wanita dengan IMT di atas 30 kgm
2
atau obesitas memiliki risiko relatif sebesar 1,59 untuk terjadinya kanker ovarium dibandingkan
dengan wanita dengan IMT normal. Penelitian yang berbeda memperoleh hasil bahwa peningkatan IMT pada wanita premenopause meningkatkan risiko
terjadinya kanker ovarium dengan risiko relatif sebesar 1,72 Schouten, 2008. Penelitian yang dilakukan oleh Lahmann 2009 juga memperoleh hasil di mana
risiko terjadinya kanker ovarium pada wanita obesitas dengan IMT lebih dari 30 kgm
2
sebesar 1,26 lebih besar dibandingkan dengan IMT normal. Penelitian yang dilakukan oleh Faizal 2011 di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Makasar
memperoleh hasil di mana pada IMT yang lebih dari 30 kgm
2
memiliki risiko 2,03 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita yang memiliki IMT yang
kurang dari 30 kgm
2
. Obesitas menyebabkan kadar estrogen dalam tubuh juga meningkat serta
beberapa zat lemak dapat menghasilkan estrogen yang pada umumnya berbentuk estrion dan estradiol. Mekanisme perubahan dari zat lemak atau kolesterol dapat
dijelaskan melalui biosintesis hormonal, di mana semua hormon steroid termasuk estrogen berasal dari kolesterol. Cadangan lemak di dalam tubuh memainkan
peranan yang penting sebagai bahan untuk memproduksi hormon, khususnya hormon estrogen. Pada kondisi di mana cadangan lemak yang tinggi, yang dinilai
melalui IMT yang tinggi dapat mengakibatkan peningkatan kadar estrogen di dalam darah. Peningkatan kadar estrogen tersebut mengakibatkan aktivasi jalur
Phosphatidylinositol-3-kinase PI3K, Mitogenic-Activated Protein Kinase MAPK, dan transkripsi Faktor c-myc melalui reseptor estrogen jalur lain seperti
Insulin-like growth factor-1 IGF-1, Transforming growth factor- α TGF-α, dan
Epidermal Growth Factor Receptor EGFR. Estrogen juga bekerja melalui jalur anti-apoptosis yaitu BCL-2, yang merupakan suatu protein anti-apoptosis dan
meningkatkan kemampuan invasif sel melalui protein fibulin-1, cathepsin D, dan kallikreins Choi et al., 2001.
Berbagai penelitian telah mengemukakan bahwa Estrogen Reseptor- α ER-α
bertanggung jawab dalam proses proliferasi ovarium, sementara Estrogen Reseptor-
β ER-β bertanggung jawab dalam proses modulasi dan differensiasi sel. Peningkatan perbandingan antara ER-
α:ER-β rasio juga telah diamati pada kanker ovarium. Peningkatan estrogen tersebut meningkatan suatu molekul
Vascular Endothelial Growth Factor VEGF, meningkatan kemampuan adhesi sel, dan meningkat kemampuan sel dalam melakukan migrasi. Pada akhirnya,
semua hal tersebut berdampak pada proliferasi abnormal pada sel yang membelah sehingga sel akan masuk menuju proses menuju transformasi ganas dalam hal ini
adalah kanker ovarium Capen et al., 2004. Pada penelitian ini diperoleh rerata paritas adalah dua. Rerata paritas pada
kelompok kanker ovarium stadium I adalah 1,57 ± 0,78, stadium II adalah 1,33 ± 0,70, stadium III adalah 2,00 ± 1,30, dan stadium IV adalah 2,43 ± 0,97. Paritas
merupakan salah satu faktor risiko yang penting dalam menentukan terjadinya
kanker ovarium. Wanita yang sudah pernah hamil memiliki risiko mengalami kanker ovarium sebesar 50 lebih rendah daripada wanita yang belum pernah
hamil atau nullipara. Bahkan, wanita yang telah beberapa kali hamil risiko terjadinya kanker ovarium menjadi semakin berkurang Czyz, 2008. Penelitian
yang dilakukan oleh Cancer Research United of Kingdom pada tahun 2006 menyimpulkan bahwa semakin tinggi jumlah paritas maka semakin rendah
kemungkinan risiko terjadinya kanker ovarium. Pada wanita yang tidak memiliki anak atau nullipara memiliki risiko dua kali lipat lebih besar untuk terjadinya
kanker ovarium daripada wanita dengan paritas tiga atau lebih Granstrom, 2008. Penelitian yang dilakukan oleh Sriwidyani 2008 juga memperoleh 78,1 kasus
kanker ovarium adalah multiparitas, terutama adalah paritas dua. Penelitian yang dilakukan oleh Faizal 2011 di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Makasar
memperoleh hasil yang berbeda di mana kejadian kanker ovarium tidak memiliki hubungan dengan tingkat paritas.
Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup atau jumlah anak yang dimiliki oleh seorang wanita. Pada saat terjadinya ovulasi akan terjadi kerusakan pada epitel
ovarium dan untuk proses perbaikan kerusakan ini maka diperlukan waktu tertentu. Apabila kerusakan epitel ini terjadi berkali-kali terutama jika sebelum
penyembuhan sempurna tercapai, atau dengan kata lain waktu yang dibutuhkan oleh sel untuk istirahat tidak cukup, maka proses perbaikan tersebut akan
mengalami gangguan sehingga dapat terjadi transformasi menjadi sel-sel neoplastik. Hal tersebut menjelaskan bahwa wanita yang memiliki paritas lebih
dari dua akan menurunkan risiko terjadinya kanker ovarium.
Pada penelitian ini diperoleh bahwa sebagian besar sampel penelitian tidak memiliki riwayat penggunaan kontrasepsi hormonal baik pada kanker ovarium
stadium I, II, III, dan IV. Penelitian lainnya melaporkan bahwa penggunaan pil kontrasepsi selama kurang lebih satu tahun dapat menurunkan risiko kejadian
kanker ovarium sebesar 11, sedangkan apabila pemakaian mencapai lima tahun maka risiko terjadinya kanker ovarium dapat semakin menurun, bahkan mencapai
50 Fauzan, 2009. Penelitian yang dilakukan oleh Beral 2008 juga memperoleh hasil bahwa penurunan risiko relatif terjadinya kanker ovarium
sesuai dengan lamanya pemakaian kontrasepsi oral, di mana pada wanita yang memakai kontrasepsi oral selama kurang dari satu tahun memiliki risiko relatif 1
dan semakin menurun mencapai 0,42 pada pemakaian yang lebih dari lima belas tahun. Setelah dilakukan analisis lanjutan terhadap jenis hormon pada obat
kontrasepsi, diperoleh bahwa hormon yang berperan dalam menurunkan risiko terjadinya kanker ovarium tersebut adalah progesteron. Penggunaan obat yang
menggandung hormon estrogen saja khususnya pada wanita pascamenopause justru meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium. Pada penggunaan
kombinasi progesteron dan estrogen atau progesteron saja akan menurunkan risiko terjadinya kanker ovarium Busman, 2008. Pada penelitian ini seluruh sampel
tidak memiliki riwayat terapi hormonal pada masa menopause dan riwayat keluarga kanker ovarium, mamae, kolon.
6.2 Hubungan antara Ekspresi p53 dengan Stadium Kanker Ovarium