EKSPRESI PROTEIN 53 (p53) TIDAK BERHUBUNGAN DENGAN STADIUM KANKER OVARIUM

(1)

TESIS

EKSPRESI PROTEIN 53 (p53) TIDAK BERHUBUNGAN

DENGAN STADIUM KANKER OVARIUM

I GDE SASTRA WINATA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2013


(2)

TESIS

EKSPRESI PROTEIN 53 (p53) TIDAK BERHUBUNGAN

DENGAN STADIUM KANKER OVARIUM

I GDE SASTRA WINATA NIM 0914038210

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

ii

EKSPRESI PROTEIN 53 (p53) TIDAK BERHUBUNGAN

DENGAN STADIUM KANKER OVARIUM

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pasca Sarjana Universitas Udayana

I GDE SASTRA WINATA NIM 0914038210

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

iii

Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 20 JANUARI 2014

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. dr. Ketut Suwiyoga, Sp.OG(K) dr. I Wayan Megadhana, Sp.OG(K) NIP. 19530715 198003 1 009 NIP 19600125 198710 1 002

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, SpAnd, FAACS Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 194612131971071001 NIP. 195902151985102001


(5)

iv

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 20 Januari 2014

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No.:0051a/UN14.4/HK/2014, Tanggal 3 Januari 2014

Ketua: Prof. Dr. dr. Ketut Suwiyoga, Sp.OG(K) Anggota:

1. dr. I Wayan Megadhana, Sp.OG(K)

2. Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, SpAnd, FAACS 3. Dr.dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK.,M.Kes


(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya oleh berkatNya tesis ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suwiyoga, SpOG(K) selaku pembimbing I dan Kepala Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar, dr. I Wayan Megadhana, Sp.OG(K) selaku pembimbing II, dan kepada Bapak Drs. Ketut Tunas, Msi selaku pembimbing statistik, serta dr Dewi, Sp.PA sebagai pembimbing dalam pemeriksaan, analisis imunohistokimia p53, serta yang telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama penulis mengikuti Program Pendidikan Spesialis I (PPDS I) dan Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik Kekhususan Kedokteran Klinik

(Combined Degree), khususnya dalam penyelesaian tesis ini.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD (KEMD), Direktur Program Pascasarjana yang dijabat oleh Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT.,M.Kes, serta Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, dr. I Wayan Sutarga, MPHM, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan PPDS I dan Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik Kekhususan Kedokteran Klinik (Combined Degree) di Universitas Udayana. Terima kasih penulis ucapkan juga kepada Kepala Program Studi Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan PPDS I FK UNUD/RSUP Sanglah, dr. A.A.N. Anantasika, Sp.OG(K) dan seluruh dosen/Staf Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, serta Ketua Program Studi Ilmu Biomedik, Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, SpAnd, FAACS atas segala bimbingan dan dorongan yang diberikan selama penulis mengikuti pendidikan spesialis. Ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan kepada para penguji tesis ini, yaitu Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS, Dr.dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK.,M.Kes, dan Prof.dr.N. Tigeh Suryadhi, MPH,Ph.D yang memberikan berbagai masukan dan saran dalam penyempurnaan tesis ini. Pasien-pasien yang telah menjadi guru dan banyak memberikan pengetahuan dan pengalaman, rekan-rekan residen Obstetri dan Ginekologi, serta rekan-rekan-rekan-rekan paramedis RSUP Sanglah.

Tidak lupa penulis haturkan ucapan terima kasih yang dalam kepada Ibu dan Ayah penulis yang telah mengasuh dan membesarkan penulis, memberikan dasar-dasar berpikir logik, selalu memberi dukungan baik secara moril maupun materiil dan keadaan suasana demokratis sehingga tercipta lahan yang baik untuk berkembangnya kreativitas.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberkati semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini, serta kepada penulis sekeluarga.


(7)

vii

ABSTRAK

EKSPRESI PROTEIN 53 (p53) TIDAK BERHUBUNGAN DENGAN STADIUM KANKER OVARIUM

Kanker ovarium merupakan kanker kedua terbanyak pada wanita setelah kanker servik dan memiliki angka morbiditas dan mortalitas tertinggi setelah kanker servik dan korpus uteri. Selama ini, berbagai penelitian telah dikembangkan untuk membantu melakukan deteksi dini kanker ovarium, sehingga diharapkan dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta meningkatkan harapan hidup bagi penderita. Namun belum ditemukan suatu alat deteksi dini yang ideal bagi penderita kanker ovarium. Melihat fenomena di atas, maka para ahli mulai memikirkan berbagai metode dalam melakukan deteksi dini terhadap kanker ovarium melalui pendekatan genetik, yaitu dengan mendeteksi kelainan genetik pada pasien kanker ovarium. Salah satu gen yang diperkirakan mengambil peranan penting dalam etiopatogenesis terjadinya kanker ovarium adalah P53, gen yang mengkode atau mengekspresikan protein 53 (p53). Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka melalui penelitian ini dilakukan penilaian korelasi atau hubungan antara p53 dengan derajat stadium kanker ovarium.

Penelitian ini merupakan studi cross-sectional di Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan, Patologi Anatomi dan Rekam Medis Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, Denpasar yang dilakukan mulai Juli 2011 sampai Juli 2013 dengan sampel penelitian sebanyak 44 buah blok parafin. Sampel blok parafin ini dikelompokkan berdasarkan atas stadium kanker ovarium, yaitu: kanker ovarium stadium I, II, III, dan IV. Kemudian masing-masing kelompok stadium dilakukan pemeriksaan ekspresi p53 dengan teknik imunohistokimia. Selanjutnya dilakukan penilaian hubungan antara p53 dengan derajat stadium kanker ovarium dengan menggunakan Uji Spearman.

Penelitian ini memperoleh rerata umur, Indek Massa Tubuh (IMT), paritas, dan riwayat kontrasepsi hormonal pada keempat kelompok stadium kanker ovarium adalah homogen. Berdasarkan uji korelasi diperoleh nilai r sebesar -0,099 (p=0,522) yang ditunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara stadium kanker ovarium dengan ekspresi p53

Disimpulkan bahwa ekspresi p53 tidak berhubungan dengan stadium kanker ovarium.


(8)

viii

ABSTRACT

PROTEIN 53 (p53) EXPRESSION DID NOT CORRELATE WITH OVARIAN CANCER STAGING

Ovarian cancer is the second most common cancer in women after cervical cancer and having the highest morbidity and mortality rate after cervical cancer and uterine cancer. Many studies have been developed to explore the early detection method for ovarian cancer, in order to decrease the morbidity and mortality rate, and also to increase the patient’s life expectancy. However, the ideal early detection method for ovarian cancer patient has not been established until now. Based on that fact, many investigators initiate to investigate various methods for the early detection of ovarian cancer through genetic approach, which is by detecting any genetic disorder in ovarian cancer patient. One of the possible gene that play a role in etiopathology of ovarian cancer is P53, which is the gene that expresses or codes the protein 53 (p53). As the result, this study was aimed at assessing the correlation between p53 and the ovarian cancer stadium staging. This study was a cross-sectional study in Obstetric and Gynecologic, Anatomical Pathology, and Medical Record Department of Sanglah Hospital, Denpasar, in July 2011 until July 2013, with a total of 44 paraffin wax blocks. The parrafin wax block samples were categorized based on the ovarium cancer staging, namely: ovarian cancer stage I, II, III and IV respectively. Each group of staging was performed p53 expression experiment with immunohistochemistry technique. Analysis of correlation between p53 and ovarian cancer staging was conducted with Spearman Test.

This study obtained mean age, Body Mass Index (BMI), parity, history of hormonal contraception from the four groups of ovarian cancer in homogeneity. Based on the correlation test, the r-value was -0,099 (p=0,522), which indicating that there was no correlation between ovarian cancer staging and p53 expression. In conclusion, p53 expression was not proved to correlate with the ovarian cancer staging.


(9)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9


(10)

x

2.1.1 Struktur p53 ... 9

2.1.2 Peran p53 ... 12

2.2 Kanker Ovarium ... 19

2.2.1 Epidemiologi kanker ovarium ... 19

2.2.2 Faktor risiko kanker ovarium ... 21

2.2.3 Patogenesis kanker ovarium ... 29

2.2.4 Stadium kanker ovarium ... 32

2.3 Imunohistokimia ... 33

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 36

3.1 Kerangka Berpikir ... 36

3.2 Konsep Penelitian... 38

3.3 Hipotesis Penelitian ... 38

BAB IV METODE PENELITIAN ... 39

4.1 Rancangan Penelitian ... 39

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 40

4.3 Populasi Penelitian ... 40

4.4 Sampel Penelitian ... 40

4.4.1 Kriteria inklusi ... 40

4.4.2 Kriteria eksklusi ... 41

4.4.3 Perhitungan besar sampel ... 41

4.4.4 Cara pengambilan sampel ... 41


(11)

xi

4.5.1 Identifikasi variabel ... 42

4.5.2 Definisi operasional variabel... 42

4.6 Alur Penelitian ... 44

4.7 Instrumen Penelitian dan Metode Pemeriksaan ... 46

4.7.1 Instrumen penelitian ... 46

4.7.2 Metode pemeriksaan ... 46

4.8 Pengumpulan dan Analisis Data ... 49

4.8.1 Pengumpulan data ... 49

4.8.2 Analisis data ... 49

BAB V HASIL PENELITIAN... 50

5.1 Karakteristik Sampel Penelitian ... 50

5.2 Hubungan antara Ekspresi p53 dengan Stadium Kanker Ovarium ... 51

BAB VI PEMBAHASAN ... 52

6.1 Karakteristik Sampel Penelitian ... 52

6.2 Hubungan antara Ekspresi p53 dengan Stadium Kanker Ovarium ... 58

6.3 Kelemahan Penelitian ... 63

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 65

7.1 Simpulan ... 65

7.2 Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66


(12)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Mekanisme Inaktivasi Gen p53 ... 12

2.2 Kelompok Gen dan Ekspresi Protein Abnormal pada Kanker Ovarium ... 24

2.3 Hubungan Jumlah Paritas dengan Risiko Kanker Ovarium ... 26

2.4 Kriteria Stadium Kanker Ovarium Menurut FIGO ... 32

4.1 Kategori Indek Massa Tubuh (IMT) untuk Indonesia ... 43

4.2 Interpretasi Pulasan Imunohistokimia p53 ... 49

5.1 Distribusi Umur, IMT, Paritas, dan Riwayat Kontrasepsi Hormonal pada Kelompok Stadium Kanker Ovarium... 50


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Struktur p53 ... 10

2.2 Peran p53 dalam Mempertahankan Integritas Genom ... 14

2.3 Mekanisme Intrinsik dan Ekstrinsik pada Apoptosis ... 16

2.4 Peran p53 dalam Proses Apoptosis ... 17

2.5 Proses Karsinogenesis Akibat Kegagalan Peran p53 ... 18

2.6 Angka Kejadian Kanker Ovarium di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada Tahun 2003 sampai 2007 ... 21

2.7 Angka Kejadian Kanker Ovarium Berdasarkan Umur Spesifik dan Jumlah Wanita di United of Kingdom pada tahun 2006 ... 25

2.8 Hubungan Lama Pemakaian Kontrasepsi Oral dengan Risiko Kanker Ovarium... 27

3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 38

4.1 Rancangan Penelitian ... 39


(14)

xiv

DAFTAR SINGKATAN

APAF-1 : Apoptosis Inducing Factor-1

ATP : Adenosine-Triphospat

CCRC : Cancer Chemoprevention Research Center CDC : Center of Diseases Control

CDK : Cycline D Kinase

DAB : Diaminobenzinidine DMBA : Dimethylbenzanthrene

DNA : Deoxyribonucleic Acid

DR : Death Reseptor

EGF receptor : Epidermal Growth Factor receptor

FADD : Fas-Associative Death Domain

FIGO : International Federation of Gynecology and Obstetrics

FITC : Fluorescein isothiocyanate FSH : Follicle Stimulating Hormone

G1 : Gap 1

G2 : Gap 2

GTP : Guinidine-Triphospat

IMT : Indek Massa Tubuh kb : kilobasa

kDa : kilo Dalton


(15)

xv

M : Mitosis

MDM2 : Murine Double Minute 2

miRNAs : mikroRNAs

PBS : Phospate Buffer Saline RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

RSUPN : Rumah Sakit Umum Pusat Negeri S : Sintesis

TGF-α : Transforming Growth Factor-α

TNF : Tumor Necrotic Factor

TVS : Transvaginal Sonografi


(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Formulir Penelitian... 71

Lampiran 2 Data Penelitian ... 72

Lampiran 3 Perhitungan Statistik ... 74


(17)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kanker ovarium merupakan tumor ganas pada ovarium dengan histogenisitas yang beraneka ragam oleh karena dapat berasal dari ketiga dermoblast baik ektoderm, mesoderm dan endoderm. Kanker ini berdasarkan atas sel-sel penyusun ovariumnya dapat dibagi menjadi tiga tipe utama, yaitu: kanker ovarium tipe epitelial, germinal, dan stromal. Sampai saat ini penyebab pasti dari kanker ovarium tersebut masih belum diketahui.

Beberapa faktor risiko diduga mengakibatkan terjadinya kanker ovarium, antara lain: adanya riwayat keluarga menderita kanker ovarium, mamae dan kolon, mutasi genetik, umur di atas 50 tahun, wanita yang tidak memiliki anak, wanita yang memiliki anak pada umur lebih dari 35 tahun, riwayat pemakian terapi atau kontrasepsi hormonal, dan berat badan yang berlebih, terutama wanita dengan Indek Massa Tubuh (IMT) yang lebih dari 30 kg/m2 (Czyz, 2008). Kanker ovarium merupakan kanker kedua terbanyak pada wanita setelah kanker servik dan memiliki angka kematian tertinggi setelah kanker servik dan korpus uteri (Ari, 2008). Di Amerika Serikat, jumlah kasus baru dan angka kematian kanker ovarium meningkat setiap tahunnya, di mana pada tahun 2002 diperoleh sebanyak 23.300 kasus dengan angka kematian sebesar 56,29% dari kasus tersebut. Tahun 2003 meningkat menjadi 25.400 kasus dengan angka kematian sebesar 59,66% dari kasus dan tahun 2007 menjadi 22.430 kasus baru dengan angka kematian


(18)

meningkat mencapai 68,12%. Bahkan pada tahun 2010 diperkirakan sebanyak 21.880 kasus baru akan terdiagnosis dengan angka kematian yang masih tinggi yaitu sebesar 63,30% (American Cancer Society, 2010). Angka kejadian kanker ovarium di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah pada tahun 2005 diperoleh sebesar 35% dari seluruh kanker ginekologi dengan survival rate selama lima tahun yang hanya sebesar 15% (Karyana, 2005).

Tingginya angka kematian dan rendahnya harapan hidup selama lima tahun pada kanker ovarium sangat ditentukan oleh seberapa dini ditemukannya stadium kanker ovarium tersebut. Semakin dini stadium kanker ovarium ditemukan, maka semakin tinggi angka harapan hidup dari penderita kanker ovarium (Ari, 2008). Namun kenyataannya sangat sulit untuk melakukan deteksi dini pada kanker ovarium, sehingga hampir sebagian besar kasus ditemukan pada stadium terminal dengan survival rate selama lima tahun yang sangat rendah, yaitu sebesar 20 sampai 30%. Apabila kasus kanker ovarium tersebut ditemukan pada stadium yang lebih dini maka survival rate selama lima tahun meningkat bahkan mencapai 90 sampai 95%. Sehingga, peranan deteksi dini merupakan hal yang sangat penting dalam upaya menurunkan morbiditas dan mortalitas pada kanker ovarium (Ari, 2008; American Cancer Society, 2010).

Adanya keterlambatan dan kesulitan dalam melakukan diagnosis pada kanker ovarium sangat berhubungan dengan sifat totipoten dari ovarium, lokasi ovarium yang tersembunyi di dalam kavum pelvis, mudah terjadinya metastasis, gejala yang tidak spesifik, sosial budaya dan pendidikan masyarakat yang relatif rendah. Terlebih lagi, deteksi dini dari kanker ovarium sampai saat ini masih belum dapat


(19)

dilakukan (Berek dan Natarajan, 2007). Selain itu, penatalaksanaan kanker ovarium yang adapun ternyata masih kurang memuaskan, di mana penderita dengan kanker ovarium yang telah dinyatakan mengalami remisi komplit setelah dilakukan evaluasi selama enam bulan, lebih dari 50% penderita ternyata mengalami relaps atau kekambuhan (Parveen dkk., 2009). Angka kekambuhan kanker ovarium yang relatif tinggi menyebabkan semakin rendahnya angka harapan hidup pada wanita yang menderita kanker ovarium. Berdasarkan hal itu maka diperlukan suatu pendekatan yang berbeda dalam memahami etiologi dan patogenesis dari kanker ovarium yang nantinya dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan deteksi dini, penatalaksanaan, dan penentuan prognosis dari kanker ovarium.

Selama ini, berbagai penelitian telah dikembangkan untuk membantu melakukan deteksi dini kanker ovarium, sehingga diharapkan dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta meningkatkan harapan hidup bagi penderita. Namun sampai saat ini belum ditemukan suatu alat deteksi dini yang ideal bagi penderita kanker ovarium. Pemanfaatan alat Transvaginal Sonografi (TVS) dan biomarker serum Ca-125 merupakan dua di antara sekian banyak alat deteksi dini terbaru yang telah dilakukan penelitian secara mendalam (Karst dan Drakin, 2009).

Penelitian deteksi dini kanker ovarium dengan menggunakan TVS telah melaporkan bahwa TVS memiliki sensitivitas yang rendah sebagai deteksi dini kanker ovarium. TVS mampu mendeteksi besar volume dari kanker ovarium saja, sehingga dikatakan bahwa TVS hanya mendeteksi kanker ovarium yang dapat


(20)

mengakibatkan peningkatkan volume secara signifikan (Karst dan Drakin, 2009). Hal ini sangat mengkhawatirkan, khususnya pada kasus kanker ovarium tipe serosa yang dapat bermetastasis dengan cepat dari ovarium ke organ pelvis lainnya sebelum ovarium mengalami peningkatan volume yang bermakna. Penelitian yang dilakukan oleh Van Nagell dkk. (2007) terhadap wanita yang tidak memiliki keluhan namun terdapat risiko menderita kanker ovarium. Setelah wanita tersebut menjalani deteksi dini menggunakan TVS dan dinyatakan negatif, dalam waktu 12 bulan observasi ternyata dinyatakan positif terdiagnosis kanker ovarium melalui pemeriksaan histopatologi. Selain itu, TVS juga memiliki kekurangan di mana tidak dapat membedakan kanker ovarium dengan massa jinak adneksa, seperti kista dan fibroma, terutama pada wanita postmenopause (Karst dan Drakin, 2009).

Penelitian deteksi dini kanker ovarium menggunakan biomarker serum Ca-125 telah menyimpulkan bahwa Ca-Ca-125 tidak dapat digunakan sebagai alat deteksi dini kanker ovarium pada wanita tanpa keluhan yang berisiko menderita kanker ovarium (Hogdall dkk., 2007). Hal ini disebabkan karena sensitivitas yang dimiliki oleh Ca-125 masih sangat rendah dan adanya positif palsu yang tinggi akibat berbagai kondisi lainnya, seperti: penyakit radang panggul, endometriosis, kista ovarium, dan fibroid (Karst dan Drakin, 2009).

Melihat fenomena di atas, maka para ahli mulai memikirkan berbagai metode dalam melakukan deteksi dini terhadap kanker ovarium melalui pendekatan genetik, yaitu dengan mendeteksi kelainan genetik pada pasien kanker ovarium. Berbagai penelitian terhadap peran genetik telah dikembangkan dalam rangka


(21)

memahami etiologi dan patofisiologi kanker ovarium, baik melalui pemeriksaan secara langsung terhadap mutasi pada gen atau pun tidak langsung melalui abnormalitas ekspresi protein yang dihasilkan oleh gen termutasi. Beberapa gen dan ekspresi protein gen yang diduga mengalami kelainan dan terlibat dalam jalur karsinogenesis terjadinya kanker ovarium telah diketahui. Kelainan pada gen dan ekspresi protein gen tersebut dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu onkogen seperti gen HER-2/neu, MYC, CDK1, inaktivasi gen supresor tumor seperti gen P53, perubahan pada gen apoptosis seperti gen BCL2, dan perubahan gen perbaikan DNA seperti gen BRCA1 dan BRCA2 (Kumar dkk., 2010). Salah satu gen yang diperkirakan mengambil peranan penting dalam etiopatogenesis terjadinya kanker ovarium adalah P53, gen yang mengkode atau mengekspresikan protein 53 (p53).

Gen P53 melalui ekspresi proteinnya, yaitu p53 memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai salah satu alat deteksi dini kanker ovarium dan berbagai penelitian pendahuluan telah dilakukan untuk mendukung ke arah itu. Penelitian tentang pemanfaatan gen P53 atau melalui ekspresi proteinnya, yaitu p53 sampai saat ini masih menunjukkan hasil yang berbeda, khususnya terhadap stadium kanker ovarium terdiri atas stadium I, II, II, dan IV yang nantinya dapat digunakan sebagai dasar pemikiran bahwa p53 dapat dimanfaatkan sebagai media atau alat deteksi dini kanker ovarium.

Penelitian yang dilakukan oleh Adiyanti (2007) memperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara p53 dengan stadium kanker ovarium. Penelitian yang dilakukan oleh Rauf dan Masadah (2009) memperoleh hasil


(22)

sebesar 58,5% sampel mengalami ekspresi p53 positif, di mana hasil positif terbanyak ditemukan pada kanker ovarium stadium IV, kemudian diikuti dengan stadium III, II, dan I. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Lobna (2010) memperoleh hasil bahwa ekspresi p53 yang positif memiliki hubungan dengan stadium kanker ovarium, khususnya pada stadium lanjut. Penelitian yang dilakukan oleh Marks (2006) menyimpulkan bahwa ekspresi p53 positif tidak berhubungan dengan stadium kanker ovarium dan derajat histopatologis, namun sangat berhubungan dengan kejadian mutasi dari gen P53 itu sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Psyarii dkk. (2007) juga menyimpulkan bahwa ekspresi p53 tidak berhubungan dengan stadium dan derajat differensiasi kanker ovarium. Penelitian yang dilakukan oleh Marcus (2010) menyimpulkan bahwa mutasi dari gen P53 lebih banyak ditemukan pada kanker ovarium stadium dini dibandingkan dengan stadium lanjut dan ekspresi p53 tidak berhubungan dengan derajat stadium kanker ovarium.

Pada sel yang mengalami mutasi atau kehilangan P53, maka sel akan mengekspresikan p53 secara berlebih atau overekspresi p53 namun tidak dapat bekerja sebagai pengaktivasi proses transkripsi pada beberapa gen target seperti gen inhibitor cyclin-dipendent kinase CDKN1A (P21) dan GADD45. Sehingga tidak akan terjadi aktivasi p21, yang mengakibatkan siklus sel tidak berhenti pada akhir fase G1 dan tidak terjadi aktivasi GADD45, yang mengakibatkan tidak terjadinya perbaikan DNA. Ditambah lagi, pada sel yang mengalami mutasi atau kehilangan P53, tidak adanya aktivasi pada gen apoptosis yaitu BAX mengakibatkan sel gagal mengalami apoptosis. Pada akhirnya, semua hal tersebut


(23)

berdampak pada terfiksasinya mutasi pada sel yang membelah, khususnya DNA sehingga sel akan masuk menuju proses menuju transformasi ganas dalam hal ini adalah kanker ovarium (Syaifudin, 2007; Kumar dkk., 2010).

Sampai saat ini, deteksi dini kanker ovarium masih belum dapat dilakukan dan belum menunjukkan tanda-tanda adanya upaya ke arah pengembangan genetik sebagai alat deteksi dini kanker ovarium. Bahkan ide untuk memanfaatkan peran gen P53 dan protein p53 yang sedemikian besarnya pun masih belum terpikirkan. Padahal pemanfaatan peran genetik sebagai sarana deteksi dini memberikan harapan yang sangat cerah bagi kemajuan diagnostik kanker ovarium.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka melalui tesis ini dilakukan upaya pemanfaatan peran genetik, khususnya protein p53, sebagai alat deteksi terkait dengan sejauh mana tingkat keparahan atau stadium dari kanker ovarium yang telah dialami oleh penderita. Pemanfaatan tersebut dilakukan dengan penilaian korelasi atau hubungan antara p53 dengan derajat stadium kanker ovarium. Penelitian ini diharapkan menjadi masukan atau tambahan pemikiran dalam rangka mendukung pengembangan ide pemanfaatan gen P53 dan ekspresi protein p53 sebagai deteksi dini dalam diagnostik kanker ovarium.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah:

Apakah ada hubungan antara ekspresi protein 53 (p53) dengan stadium kanker ovarium?


(24)

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara ekspresi protein 53 (p53) dengan stadium kanker ovarium.

1.4Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat bagi pengetahuan

Penelitian ini diharapkan menjadi masukan atau tambahan pengetahuan dalam rangka mendukung pengembangan ide pemanfaatan gen P53 dan protein p53 sebagai deteksi dini dalam diagnostik kanker ovarium.

1.4.2 Manfaat bagi pelayanan

Penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya khasanah medis dalam alat deteksi dini dalam diagnostik kanker ovarium.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Protein 53 (p53)

Protein 53 atau p53 merupakan suatu polipeptida yang diekspresikan atau dikode oleh gen P53 yang berperan dalam menjaga keutuhan sel atau integritas genom melalui proses transkripsi dan translasi. Gen P53 tersebut merupakan suatu gen penekan tumor atau supresor tumor (Syaifudin, 2007). Pada awalnya, P53 diperkirakan sebagai suatu onkogen oleh karena ditemukan dalam jumlah yang berlebihan atau overekspresi pada sel-sel yang mengalami keganasan. Penelitian terhadap P53 menunjukkan bahwa P53 dapat diisolasi dari sejumlah klon yang terbukti mampu mempertahankan sel kultur agar tetap hidup. Kemudian diketahui bahwa P53 yang terdapat dalam sel tersebut merupakan bentuk mutan dari P53 (Bai dan Zhu, 2006). Penelitian berikutnya terungkap bahwa P53 mampu menghambat pertumbuhan sel yang disebabkan oleh onkogen dan dapat menghambat potensi tumorigenik sel pada binatang. Hal tersebut membuktikan bahwa P53 merupakan suatu gen supresor tumor (Syaifudin, 2007).

2.1.1 Struktur p53

p53 merupakan suatu nuklear fosfoprotein yang memiliki berat molekul sebesar 53 kilo Dalton (kDa). Protein ini dikode oleh 20 kilobasa (kb) gen yang mengandung 11 ekson dan 10 intron, terletak pada bagian lengan pendek dari kromosom 17. p53 mengandung sebanyak 393 asam amino dan terdiri dari


(26)

beberapa struktur atau komponen penting yang dapat dilihat pada gambar 2.1 (Bai dan Zhu, 2006).

Gambar 2.1 Struktur p53 (Bai dan Zhu, 2006)

Bagian N-terminal mengandung daerah domain terminal amino, yaitu residu 1 sampai 42 dan daerah yang memiliki asam amino prolin yang tinggi atau proline-rich region, yaitu residu 61 sampai 94 dengan urutan sekuen PXXP yang berulang, di mana X adalah asam amino. Selain itu, terdapat sebuah daerah domain inti sentral atau central core, yaitu residu 102 sampai 292 dan daerah domain C-terminal, yaitu residu 324 sampai 393. Bagian C-terminal tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu daerah yang mengandung domain oligomerisasi atau tetramerisasi, pada residu 324 sampai 355 dan domain regulasi pada terminal karboksil, merupakan daerah dasar yang kuat pada residu 363 sampai 393 (Bai dan Zhu, 2006). Daerah domain terminal asam amino digunakan untuk aktivitas transaktivasi dan interaksi dengan berbagai macam faktor


(27)

transkripsi, meliputi asetil-transferase dan Murine Double Minute 2 (MDM2). Daerah yang kaya akan prolin memainkan peranan penting dalam stabilitas dari p53 yang diregulasi oleh MDM2 tersebut, di mana p53 menjadi lebih rentan terhadap degradasi oleh MDM2 jika daerah yang kaya akan prolin tersebut dihilangkan (Syaifudin, 2007). Sehingga, MDM2 merupakan suatu protein yang berperan khusus dalam menghancurkan protein p53. Bagian domain inti sentral dari protein p53, terutama dibentuk oleh ikatan Deoxyribonucleic Acid (DNA), di mana merupakan dominan yang dibutuhkan dalam sekuen ikatan DNA spesifik yang terdiri dari dua buah kopi rantai 5’-PuPuPuC(A/T)-(T/A)GPyPyPy-3’. Pada bagian C-terminal dari p53 juga berfungsi sebagai domain regulasi negatif yang memiliki fungsi untuk menginduksi proses kematian sel atau apoptosis dan mengatur kemampuan domain binding DNA inti sebagai bentuk yang laten. Apabila interaksi antar C-terminal dan domain binding DNA inti diputus atau dihilangkan oleh modifikasi pascatranslasi, seperti proses fosforilasi dan asetilasi, domain DNA binding akan menjadi teraktivasi, sehingga akan menginduksi terjadinya aktivitas transkripsi (Bai dan Zhu, 2006).

Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa mayoritas mutasi terhadap P53 yang ditemukan dalam berbagai keganasan berupa missense mutation dan sebagian besar terletak pada domain DNA binding inti. Penelitian lainnya terhadap P53 yang dimasukkan ke dalam sel kanker yang sebelumnya telah kehilangan fungsi P53 secara endogen, ternyata dapat memperkecil proses pembentukan tumor atau tumorigenesis. Namun, sebaliknya adanya pemberian mutan P53 dapat


(28)

memperbesar proses tumorigenesis (Syaifudin, 2007). Beberapa mekanisme inkativasi fungsi P53 dalam berbagai keganasan dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1

Mekanisme Inaktivasi Gen P53

Mekansime inaktivasi gen P53 Efek inaktivasi Mutasi perubahan asam amino

pada domain DNA binding

Menghalangi p53 dari binding pada deret DNA spesifik dan mengaktifkan gen didekatnya

Delesi karboksil terminal domain Menghalangi pembentukan tetramer p53

Penggandaan gen MDM2 MDM2 ekstra menstimuli degradasi p53

Delesi gen p14ARF Kegagalan menghambat MDM2 dan menahan degradasi p53 tetap terkendali Mis-lokasi P53 pada sitoplasma,

di luar inti

Kegagalan fungsi p53, karena p53 berfungsi hanya dalam inti

(Syaifudin, 2007)

2.1.2 Peran p53

p53 merupakan suatu polipeptida yang diekspresikan atau dikode oleh gen P53 yang berperan dalam menjaga keutuhan sel atau integritas genom melalui jalur transkripsi tetramerik. p53 ini ditemukan dalam jumlah yang sangat rendah pada sel yang tidak terpapar oleh stressor. Namun, apabila terjadi suatu stressor, baik berupa hipoksia, kerusakan pada integritas seluler dan onkogen yang tidak sesuai, maka p53 tersebut akan diekspresikan dalam jumlah yang lebih tinggi untuk mengaktifkan berbagai jalur menuju ke arah modifikasi pascatranslasi protein dan stabilisasi (Syaifudin, 2007). Adanya akumulasi p53 tersebut selanjutnya akan mengaktivasi transkripsi berbagai gen yang terlibat dalam


(29)

menimbulkan efek antiproliferasi atau penghentian siklus dan aktivasi apoptosis. Sehingga p53 dianggap sebagai suatu monitor sentral terhadap stressor yang dapat mengarahkan sel untuk memberikan respon yang sesuai, baik berupa penghentian siklus ataupun apoptosis (Kumar dkk., 2010).

p53 secara normal di dalam sel yang tidak mengalami stress memiliki waktu paruh yang sangat pendek, kurang lebih dua puluh menit. Waktu paruh yang relatif pendek tersebut disebabkan oleh karena adanya ikatan p53 dengan Murine Double Minute 2 (MDM2) (Bai dan Zhu, 2006). MDM2 merupakan suatu protein yang berperan khusus dalam menghancurkan p53. p53 mengalami modifikasi pascatranskripsi yang membebaskan protein tersebut dari MDM2 sehingga dapat meningkatkan lama waktu paruhnya. Selama proses pembebasan dari MDM2, protein tersebut mengalami aktivasi menjadi suatu faktor transkripsi (Syaifudin, 2007).

Peran p53 dalam mempertahankan integritas genom dapat dilihat pada gambar 2.2. Apabila terdapat suatu stressor, baik berupa hipoksia, kerusakan pada integritas seluler atau Deoxyribonucleic Acid (DNA) dan onkogen yang tidak sesuai maka akan terjadi aktivasi p53. Namun apabila perbaikan kerusakan DNA tersebut gagal, maka p53 yang normal akan mengarahkan sel pada kematian yang terprogram atau proses apoptosis (Kumar dkk., 2010).

2.1.2.1 Peran p53 dalam perbaikan kerusakan DNA

Siklus replikasi sel dibagi menjadi empat fase, yaitu: fase gap 1 (G1), sintesis (S), gap 2 (G2), dan mitosis (M). Replikasi DNA berlangsung pada fase S dan mengalami pemisahan secara mitosis menjadi sister chromatid berlangsung pada


(30)

fase M. Fase S dan M adalah fase yang paling sensitif terhadap berbagai macam faktor risiko terjadinya kerusakan DNA. Oleh karena itu, apabila terdapat suatu faktor risiko tertentu, seperti pajanan radiasi, sel tetap berada pada tahap arrest, yaitu fase G1 atau G2. Namun, apabila perbaikan DNA tersebut telah selesai, maka pembelahan sel akan berlanjut dan memasuki fase berikutnya (Syaifudin, 2007).

Gambar 2.2 Peran p53 dalam Mempertahankan Integritas Genom (Kumar dkk., 2010)

P53 merupakan salah satu gen penekan kanker atau supresor tumor yang berperan penting dalam melindungi siklus sel. Apabila terjadi kerusakan pada sel, maka P53 di dalam inti akan teraktivasi sehingga dapat mensintesis p53. Aktivasi p53 tersebut akan meningkatan proses transkripsi pada beberapa gen target seperti gen inhibitor kinase dependent-cycklin, yaitu CDKN1A (P21) dan GADD45.


(31)

Selanjutnya aktivasi p21 menyebabkan siklus sel terhenti atau arrest pada akhir fase G1. Sementara siklus sel berhenti pada fase G1, aktivasi GADD45 selanjutnya berperan dalam melakukan perbaikan DNA. Apabila perbaikan DNA tersebut berhasil maka p53 akan meningkatkan transkripsi MDM2, yang kemudian menekan pembentukan p53, sehingga akan menghilangkan hambatan terhadap siklus sel. Selanjutnya, sel tersebut dapat melanjutkan siklus pembelahannya (Syaifudin, 2007). Namun apabila perbaikan kerusakan DNA tersebut gagal maka p53 yang normal akan mengarahkan sel pada kematian yang terprogram atau proses apoptosis (gambar 2.2a). Selain itu, p53 juga dapat mengaktivasi gen represi melalui proses aktivasi terhadap mir-34 yang merupakan keluarga mikroRNAs (miRNAs). Selanjutnya, mir-34 akan mengambat proses translasi dari gen-gen pemicu pertumbuhan atau growth promoting genes, seperti MYC dan CDK4 sehingga mengakibatkan terhentinya proses pertumbuhan sel. Protein aktivasi mir-34 juga menghambat proses translasi dari gen anti-apoptosis sehingga dapat memicu terjadinya proses apoptosis (gambar 2.2b) (Kumar dkk., 2010). 2.1.2.2 Peran p53 pada proses apoptosis

Apoptosis merupakan program bunuh diri intra seluler yang dilakukan dengan cara mengaktifkan protein kaspase, yang merupakan suatu sistein protease (Kumar dkk., 2010). Secara umum, terdapat dua jalur utama dalam proses apoptosis, yaitu: jalur intrinsik dan ekstrinsik. Jalur intrinsik meliputi pemberian kode yang memicu proses mitokondria-dependent melalui pelepasan sitokrom c dan pengaktifan kaspase-9. Jalur ekstrinsik bekerja dengan cara mengaktifkan reseptor kematian atau Death Reseptor (DR), seperti Fas (reseptor 1 Tumor


(32)

Necrotic Factor (TNF)), DR4 dan DR5 (gambar 2.3) (Bai dan Zhu, 2006). Adanya interaksi dengan ligan yang sesuai akan mengarah kepada proses transduksi sinyal yang diawali dengan peliputan molekul yang berhubungan dengan DR seperti Fas-Associative Death Domain (FADD), yang selanjutnya akan mengaktifkan kaspase-8. Kaspase ini kemudian mengkatalis sederet proses proteolitik yang manghasilkan perubahan biokimia dan morfologi khas yang berhubungan dengan apoptosis. Selain itu, apoptosis juga merupakan suatu proses yang aktif, di mana menginduksi gen seperti BAX dan ekspresi antigen Fas maupun represi atau penekanan simultan gen seperti BCL2 (Kumar dkk., 2010).

Gambar 2.3 Mekanisme Intrinsik dan Ekstrinsik pada Apoptosis

(Bai dan Zhu, 2006)

P53 memiliki peranan yang penting dalam pengaturan siklus sel dengan melakukan kontrol terhadap sejumlah gen, termasuk gen untuk apoptosis jika terdapat kerusakan seluler yang berat. Peran p53 dalam proses apoptosis ini,


(33)

terutama melibatkan mitokondria sebagai peran utama melalui pembebasan sitokrom c. Efek proapoptosis oleh p53 diperantarai melalui peningkatan sintesis Bax. Selanjutnya protein Bax tersebut akan mendorong pelepasan sitokrom c pada mitokondria, yang akhirnya akan membentuk suatu komplek dengan Apoptosis Inducing Factor-1 (APAF-1), prokaspase-9 dan Adenosine-Triphospat (ATP). Komplek tersebut mengakibatkan terjadinya aktivasi prokaspase-9 menjadi kaspase-9. Kemudian kaspase-9 akan memicu aktivasi dari kaspase-3. Kaspase-3 merupakan kaspase terakhir atau eksekutor yang memecah DNA dan substrat lainnya sehingga mengakibatkan terjadinya kematian sel (Gambar 2.4) (Kumar dkk., 2010).

Gambar 2.4 Peran p53 dalam Proses Apoptosis (Kumar dkk., 2010)

Pada sel yang mengalami mutasi atau kehilangan P53, maka sel tidak akan mampu mengekspresi p53 atau dapat terjadi ekspresi p53 secara berlebih (overekspresi p53) namun tidak dapat bekerja sebagai pengaktivasi proses


(34)

transkripsi pada beberapa gen target seperti gen inhibitor cyclin-dipendent kinase

CDKN1A (P21) dan GADD45. Sehingga tidak terjadi aktivasi p21, yang mengakibatkan siklus sel tidak berhenti pada akhir fase G1 dan tidak terjadi aktivasi GADD45, yang mengakibatkan perbaikan DNA tidak terjadi. Ditambah lagi, pada sel yang mengalami mutasi atau kehilangan gen P53, tidak adanya aktivasi pada gen apoptosis yaitu BAX mengakibatkan sel gagal mengalami apoptosis. Pada akhirnya, semua hal tersebut berdampak pada terfiksasinya mutasi pada sel yang membelah, khususnya DNA sehingga sel akan masuk menuju proses menuju transformasi ganas (gambar 2.5) (Syaifudin, 2007; Kumar dkk., 2010).

Gambar 2.5 Proses Karsinogenesis Akibat Kegagalan Peran p53


(35)

2.2 Kanker Ovarium

Kanker ovarium merupakan tumor ganas pada ovarium yang memiliki histogenisitas yang beraneka ragam, di mana dapat berasal dari ketiga dermoblast baik ekoderm, mesoderm dan endoderm. Kanker ini berdasarkan atas sel-sel penyusun ovarium dapat dibagi menjadi tiga tipe utama, yaitu: kanker ovarium tipe epitelial, germinal dan stromal (Busman, 2008). Sampai saat ini penyebab pasti dari kanker ovarium masih diperdebatkan, namun beberapa faktor risiko yang dianggap dapat menjadi penyebab timbulnya kanker ovarium, antara lain: adanya riwayat keluarga penderita kanker ovarium, mamae, dan kolon, mutasi pada gen BRCA 1 dan BRCA 2, umur di atas 50 tahun, wanita yang tidak memiliki anak atau nullipara, dan wanita yang memiliki anak pada umur lebih dari 35 tahun (Ari, 2008).

2.2.1 Epidemiologi kanker ovarium

Kanker ovarium merupakan keganasan ketiga terbanyak pada saluran genitalia wanita. Kanker ovarium sangat sulit ditemukan pada stadium awal, sehingga sebagian besar kasus baru ditemukan pada stadium yang telah lanjut (Ari, 2008). Adanya keterlambatan dan kesulitan dalam melakukan diagnosis pada kanker ovarium ini sangat berhubungan dengan sifat totipoten dari ovarium, lokasi ovarium yang tersembunyi di dalam kavum pelvis, mudah terjadinya metastasis, gejala yang tidak spesifik, sosial budaya, dan pendidikan masyarakat yang relatif rendah. Terlebih lagi, deteksi dini dari kanker ovarium, sampai saat ini masih belum dapat dilakukan (Berek dan Natarajan, 2007).


(36)

Kanker ovarium sebagian besar terjadi pada wanita umur 40 sampai 65 tahun dan sangat jarang terjadi pada umur di bawah 40 tahun. Angka kejadian kanker ovarium mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan umur wanita, di mana kurang lebih sebesar 16 kasus per 100.000 wanita umur 40 sampai 44 tahun meningkat menjadi 57 kasus per 100.000 wanita umur 70 sampai 74 tahun. World Health Organization (WHO) pada tahun 2002 melaporkan bahwa kanker ovarium di Indonesia menempati urutan ke empat terbanyak dengan angka insiden mencapai 15 kasus per 100.000 wanita setelah kanker payudara, korpus uteri, dan kolorektal (Fauzan, 2009). Di Amerika serikat, jumlah kasus baru dan angka mortalitas kanker ovarium meningkat setiap tahunnya, di mana pada tahun 2002 diperoleh sebanyak 23.300 kasus, dengan angka kematian sebesar 56,29% dari kasus tersebut. Pada tahun 2003 meningkat menjadi 25.400 kasus dengan angka kematian sebesar 59,66% dari kasus dan tahun 2007 menjadi 22.430 kasus baru dengan angka kematian meningkat mencapai 68,12%. Bahkan pada tahun 2010 diperkirakan sebanyak 21.880 kasus baru akan terdiagnosis dengan angka kematian yang masih tinggi yaitu sebesar 63,30% (American Cancer Society, 2010).

Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo pada tahun 2008 didapatkan adanya peningkatan angka kejadian kanker ovarium setiap tahunnya yang dirawat di RSUPN Cipto Mangunkusumo dari tahun 2003 sampai 2007 (gambar 2.6) (Fauzan, 2009).


(37)

Gambar 2.6 Angka Kejadian Kanker Ovarium di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada Tahun 2003 sampai 2007 (Fauzan, 2009)

Angka kejadian kanker ovarium di Indonesia berdasarkan data Badan Registrasi Kanker pada tahun 2006 mencapai 11,9% (Badan Registrasi Kanker, 2006). Angka kejadian kanker ovarium di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah pada tahun 2005 diperoleh sebesar 35% dari seluruh kanker ginekologi dengan survival rate selama lima tahunnya hanya sebesar 15% (Karyana, 2005).

2.2.2 Faktor risiko kanker ovarium

Sampai saat ini penyebab pasti dari kanker ovarium masih diperdebatkan, namun beberapa faktor risiko yang dianggap dapat menjadi penyebab timbulnya kanker ovarium, antara lain adalah: genetik, umur, kehamilan dan paritas, penggunaan obat kontrasepsi oral, terapi hormon pengganti pada masa menopause, obat-obatan yang meningkatkan kesuburan, Indek Massa Tubuh (IMT) dan riwayat keluarga (Fauzan, 2009).

2.2.2.1 Genetik

Berbagai kelainan genetik diduga berperan dalam menentukan terjadinya kanker ovarium. Beberapa gen dan ekspresi protein gen yang mengalami kelainan dan terlibat dalam karsinogenesis terjadinya kanker ovarium telah diketahui.


(38)

Secara umum berbagai gen berperan dalam karsinogenesis kanker ovarium. Adanya mutasi atau delesi pada gen P53 merupakan kelainan yang paling sering ditemukan, di mana pada lebih dari 50% kasus kanker ovarium, khususnya pada stadium yang telah lanjut (Granstrom, 2008). Pada saat sekarang ini, telah dikembangkan berbagai jenis penelitian untuk mengetahui hubungan antara gen P53 maupun ekspresi p53 terhadap stadium kanker ovarium.Hasil-hasil penelitian tersebut diharapkan dapat menjadi masukan atau tambahan pemikiran dalam rangka mendukung pengembangan ide pemanfaatan gen P53 dan ekspresi p53 sebagai deteksi dini dalam diagnostik kanker ovarium.

Penelitian yang dilakukan oleh Lobna (2010) memperoleh hasil bahwa sebanyak 42 (73,7%) dari 57 sampel mengalami ekspresi p53 positif. Adanya ekspresi p53 yang positif tersebut memiliki hubungan dengan stadium kanker ovarium, khususnya pada stadium lanjut. Penelitian yang dilakukan oleh Rauf dan Masadah (2009) dari Universitas Hassanudin, Makasar terhadap 41 pasien kanker ovarium. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi nilai prognostik ekspresi p53 terhadap kanker ovarium. Pada seluruh sampel dilakukan analisis imunohistokimia p53 dalam jaringan kanker ovarium dari pasien yang telah dioperasi. Hasilnya, derajat ekspresi p53 ditemukan lebih tinggi pada kanker ovarium stadium lanjut dan pemantauan selama enam bulan sampai dua tahun setelah operasi menunjukkan bahwa pasien yang mempunyai ekspresi p53 yang tinggi juga diperoleh angka kematian yang tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Pasyrii dkk. (2007) pada 141 jaringan pasien kanker ovarium stadium lanjut, bertujuan untuk menentukan peran dari p53 sebagai faktor prognostik pada kanker


(39)

ovarium. Pada seluruh sampel tersebut dilakukan analisis p53 dengan menggunakan teknik analisis protein secara kuantitatif. Hasilnya, diperoleh jumlah ekspresi p53 inti dan sitoplasma yang tinggi berhubungan dengan semakin besarnya harapan hidup lima tahunan dari pasien tersebut, masing-masing dengan nilai p= 0,0338 dan p= 0,0002 (p<0,005). Penelitian yang dilakukan oleh Adiyanti (2007) yang bertujuan untuk menilai hubungan antara ekspresi p53 dengan stadium kanker ovarium di Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta. Penelitian tersebut memperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara ekspresi p53 dengan stadium kanker ovarium. Penelitian yang dilakukan oleh Havrilesky dkk. (2002) pada 125 blok parafin pasien kanker ovarium stadium lanjut. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan peran dari p53 sebagai faktor prognostik pada kanker ovarium, khusunya dalam hubungannya dengan derajat differensiasi dan lama harapan hidup pasien kanker ovarium serta hubungan overekspresi p53 dengan jenis kelainan gen P53 yang ditemukan pada sampel. Pada seluruh sampel dilakukan analisis p53 dengan menggunakan teknik imunohistokimia. Hasilnya, diperoleh jumlah ekspresi p53 berhubungan positif dengan derajat differensiasi namun tidak berhubungan dengan besarnya harapan hidup lima tahunan dari pasien tersebut. Dari 55 sampel yang mengalami overekspresi p53, sebesar 100% ditemukan kelainan berupa missense mutation.

Kanker ovarium juga diduga berhubungan dengan terjadinya mutasi pada gen BRCA 1 dan BRCA 2. Kedua gen tersebut juga telah diketahui memiliki peranan yang penting dalam patogenesis molekuler terjadinya kanker payudara atau mamae (Chen dan Parmigiani, 2007; Busman, 2008).


(40)

Berbagai kelainan pada gen dan ekspresi protein gen tersebut dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu onkogen yang memicu pertumbuhan, gen supresor kanker atau tumor yang tidak aktif, perubahan gen perbaikan DNA, dan perubahan gen apoptosis (Kumar dkk., 2010). Secara lengkap pembagian dan fungsi dari masing-masing gen dapat dilihat pada tabel 2.2.

Tabel 2.2

Kelompok Gen dan Ekspresi Protein Abnormal pada Kanker Ovarium Kelompok Lokasi/Kategori Gen Keterangan

Onkogen TGF-α TGFA Overekspresi

EGFreceptor HER-2/neu Overekspresi

FMS- like tyrosine FLT3 Amplifikasi

Kinase 3

GTP-binding KRAS/HRAS Point mutation RAS signal BRAF Point mutation transduction

Transcriptional MYC Amplifikasi

activator

Cyclin dependent CDK1 Amplifikasi

kinase

Inaktivasi gen Inti sel P53 Penghentian siklus

supresor tumor sel, apoptosis(-)

Perubahan gen Inti sel BRCA1

perbaikan DNA BRCA2 Perbaikan DNA(-) Perubahan Inti sel BCL2 Inhibisi apoptosis

gen apoptosis meningkat

(Kumar dkk., 2010)

2.2.2.2 Umur

Risiko kejadian kanker ovarium meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Sebanyak 80% dari kejadian kanker ovarium ditemukan pada umur wanita lebih dari 45 tahun, namun pada beberapa kasus kanker ovarium juga dapat


(41)

ditemukan pada umur yang relatif lebih muda daripada kanker pada wanita lainnya, yaitu umur 20 sampai 30 tahun (Fauzan, 2009).

Kanker ovarium dapat ditemukan pada semua golongan umur, bahkan pada kasus yang jarang, juga dapat ditemukan pada bayi bawah lima tahun (balita) dan anak-anak. Namun angka kejadian paling banyak ditemukan pada rentang umur 60 sampai 74 tahun dengan median umur saat terdiagnosis adalah 59 tahun. Bahkan, risiko tumor ovarium untuk mangalami degradasi keganasan pun meningkat seiring dengan bertambahnya umur, di mana risiko keganasan didapatkan sebesar 13% pada wanita premenopause dan 45% postmenopause (Colditz, 2004).

Gambar 2.7 Angka Kejadian Kanker Ovarium Berdasarkan Umur Spesifik dan Jumlah Wanita di United of Kingdom pada tahun 2006 (Granstrom, 2008)

Penelitian yang dilakukan oleh Cancer Research United of Kingdom pada tahun 2006, diperoleh hasil bahwa, angka kejadian kanker ovarium meningkat seiring dengan bertambahnya umur, di mana kasus tertinggi kanker ovarium


(42)

ditemukan pada kelompok wanita umur 60 sampai 64 tahun (gambar 2.7) (Granstrom, 2008).

2.2.2.3 Kehamilan dan paritas

Kehamilan dan paritas merupakan salah satu faktor risiko yang penting dalam menentukan terjadinya kanker ovarium. Wanita yang sudah pernah hamil memiliki risiko untuk mengalami kanker ovarium sekitar 50% lebih rendah daripada wanita yang belum pernah hamil atau nullipara. Bahkan, wanita yang telah beberapa kali hamil risiko terjadinya kanker ovarium menjadi semakin berkurang (Czyz, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Cancer Research United of Kingdom pada tahun 2006 menyimpulkan bahwa semakin tinggi jumlah paritas maka semakin rendah kemungkinan risiko terjadinya kanker ovarium. Pada wanita yang tidak memiliki anak atau nullipara memiliki risiko dua kali lipat lebih besar untuk terjadinya kanker ovarium daripada wanita dengan paritas tiga atau lebih (tabel 2.3) (Granstrom, 2008).

Tabel 2.3

Hubungan Jumlah Paritas dengan Risiko Kanker Ovarium

Jumlah paritas Risiko Relatif (95% CI)

3 + 1,0

2 1,21 (1,10-1,32)

1 1,60 (1,43-1,79)

0 2,12 (1,81-2,48)

(Granstrom, 2008)

2.2.2.4 Penggunaan kontrasepsi oral

Penelitian yang dilakukan oleh Center of Diseases Control (CDC) menyimpulkan bahwa penggunaan obat kontrasepsi oral dapat menurunkan risiko kejadian kanker ovarium kurang lebih sebesar 40% pada wanita yang berumur 20


(43)

sampai 54 tahun, dengan risiko relatif sebesar 0,6. Penelitian lainnya melaporkan bahwa penggunaan pil kontrasepsi selama kurang lebih satu tahun dapat menurunkan risiko kejadian kanker ovarium sebesar 11%, sedangkan apabila pemakaian mencapai lima tahun maka risiko terjadinya kanker ovarium dapat semakin menurun, bahkan mencapai 50% (Fauzan, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Beral (2008) juga memperoleh hasil bahwa penurunan risiko relatif terjadinya kanker ovarium sesuai dengan lamanya pemakaian kontrasepsi oral, di mana pada wanita yang memakai kontrasepsi oral selama kurang dari satu tahun memiliki risiko relatif 1 dan semakin menurun mencapai 0,42 pada pemakaian yang lebih dari lima belas tahun (gambar 2.8).

Gambar 2.8 Hubungan Lama Pemakaian Kontrasepsi Oral dengan Risiko Kanker Ovarium (Beral, 2008)

Setelah dilakukan analisis lanjutan terhadap jenis hormon pada obat kontrasepsi, diperoleh bahwa hormon yang berperan dalam menurunkan risiko terjadinya kanker ovarium tersebut adalah progesteron. Penggunaan obat yang menggandung hormon estrogen saja khususnya pada wanita pascamenopause

Never use


(44)

justru meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium namun penggunaan kombinasi progesteron dan estrogen atau progesteron saja akan menurunkan risiko terjadinya kanker ovarium (Busman, 2008).

2.2.2.5 Terapi hormon pengganti pada masa menopause

Pemakaian terapi hormon pengganti pada wanita menopause dengan menggunakan estrogen dalam jangka waktu sepuluh tahun dapat meningkatkan risiko relatif sebesar 2,2 untuk terjadinya kanker ovarium. Pada pemakaian yang lebih lama lagi, selama 20 tahun lebih meningkatkan risiko relatif menjadi 3,2 untuk terjadinya kanker ovarium (Busman, 2008). Pada pemakaian terapi hormonal yang dikombinasikan dengan pemberian progestin juga masih meningkatkan risiko relatif sebesar 1,5 untuk terjadinya kanker ovarium (Zhou, 2008; Beral, 2007).

2.2.2.6 Obat-obatan yang meningkatkan kesuburan

Obat-obat yang meningkatkan kesuburan atau fertilitas, seperti klomifen sitrat dan obat-obatan gonadotropin, seperti Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan

Luteinizing Hormone (LH) dapat menginduksi terjadinya ovulasi baik tunggal maupun multipel. Hal tersebut ternyata meningkatkan risiko seorang wanita mengalami kanker ovarium. Pada pemakaian klomifen sitrat lebih dari dua belas siklus, dapat meningkatkan risiko relatif sebesar sebelas kali untuk menjadi kanker ovarium (Busman, 2008).

2.2.2.7 Indek Massa Tubuh (IMT)

Berbagai penelitian membuktikan bahwa peningkatan IMT dapat meingkatkan risiko terjadinya kanker ovarium (Reeves, 2007). Penelitian yang


(45)

dilakukan oleh European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition

tahun 2006 memperoleh hasil bahwa pada wanita dengan IMT di atas 30 atau obesitas memiliki risiko relatif sebesar 1,59 untuk terjadinya kanker ovarium dibandingan dengan wanita dengan IMT normal (Lahmann, 2009). Penelitian yang berbeda memperoleh hasil bahwa peningkatan IMT pada wanita premenopause meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium dengan risiko relatif sebesar 1,72. Namun peningkatan IMT tersebut tidak bermakna meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium pada wanita pascamenopause (Schouten, 2008).

2.2.2.8 Riwayat keluarga

Adanya riwayat keluarga yang menderita kanker ovarium dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium pada anggota keluarga yang lainnya (Granstrom, 2008). Secara umum, risiko terjadinya kanker ovarium adalah 1,6% pada keseluruhan populasi. Risiko tersebut dapat lebih meningkat menjadi 4 sampai 5% apabila ada satu anggota keluarga, baik ibu atau saudara kandung, menderita kanker ovarium. Apabila terdapat dua anggota keluarga yang menderita kanker ovarium, maka risiko menderita kanker ovarium meningkat menjadi 7%. Adanya riwayat kanker payudara dan kolon juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium pada anggota keluarga yang lainnya (Busman, 2008).

2.2.3 Patogenesis kanker ovarium

Berbagai penelitian dalam rangka mengungkap patogenesis berbagai karsinogen sebagai penyebab terjadinya kanker ovarium masih belum menujukkan hasil. Walaupun penyebab pasti kanker ovarium masih belum


(46)

ditemukan, beberapa teori telah dikemukakan oleh para ahli dalam rangka mengungkap patogenesis terjadinya kanker ovarium, antara lain: teori incessant ovulation, inflamasi dan gonadotropin.

2.2.3.1 Teori incessant ovulation

Teori Incessant ovulation ini beranggapan bahwa adanya trauma berulang pada ovarium selama proses ovulasi, mengakibatkan epitel ovarium mudah terpajan atau terpapar oleh berbagai faktor risiko sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kelainan atau abnormalitas genetik. Semakin dini usia wanita mengalami menstruasi, semakin terlambat mencapai menopause, tidak pernah hamil atau memiliki keturunan merupakan berbagai kondisi yang dapat meningkatkan frekuensi ovulasi. Berbagai kondisi yang menekan frekuensi ovulasi, seperti kehamilan dan menyusui justru menurunkan risiko terjadinya kanker ovarium (Choi, 2007).

Adanya ovulasi dan semakin bertambahnya umur seorang wanita meyebabkan terperangkapnya fragmen epitel permukaan ovarium pada cleft atau invaginasi pada permukaan dan badan inklusi pada kortek ovarium. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa terdapat hubungan antara frekuensi metaplasia dan neoplasma pada daerah-daerah ovarium yang mengalamai invaginasi dan terbentuknya badan inklusi (Choi, 2007).

2.2.3.2 Teori inflamasi

Teori ini diangkat berdasarkan pada penelitian yang memperoleh hasil bahwa angka insiden kanker ovarium meningkat pada wanita yang mengalami infeksi atau radang pada panggul. Menurut teori ini, berbagai karsinogen dapat mencapai


(47)

ovarium melalui saluran genitalia. Walaupun adanya proteksi terhadap risiko kanker ovarium melalui ligasi tuba dan histerektomi mendukung teori ini, namun peranan signifikan faktor reproduksi lainnya tidak dapat dijelaskan dengan teori ini (Choi, 2007).

2.2.3.3 Teori gonadotropin

Teori ini dapat dijadikan sebagai dasar timbulnya kanker ovarium. Adanya kadar gonadotropin yang tinggi, berkaitan dengan lonjakan yang terjadi selama proses ovulasi dan hilangnya gonadal negative feedbeck pada menopause dan kegagalan ovarium prematur memegang peranan penting dalam perkembangan dan progresivitas kanker ovarium (Choi, 2007).

Perkembangan kanker ovarium dipengaruhi oleh hormon-hormon hipofisis pada berbagai macam tikus. Pada hewan tersebut, adanya penurunan estrogen dan peningkatan sekresi gonadotropin hipofisis dapat mengakibatkan perkembangan kanker ovarium. Ovarium yang terpapar bahan karsinogen, seperti

Dimethylbenzanthrene (DMBA) akan berkembang menjadi kanker setelah ditransplantasikan pada tikus yang telah menjalani ooforektomi, namun hal tersebut tidak ditemukan pada tikus yang sebelumnya dilakukan pengangkatan kelenjar pituitari (Choi, 2007).

Penelitian yang dilakukan Cramer dan Welch bertujuan untuk menilai hubungan antara kadar gonadotropin dengan estrogen. Adanya sekresi gonadotropin dalam jumlah yang tinggi ternyata mengakibatkan peningkatan stimulasi estrogen pada epitel permukaan ovarium. Hal tersebut diduga berperan dalam meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium (Choi, 2007).


(48)

2.2.4 Stadium kanker ovarium

Stadium kanker ovarium ditentukan berdasarkan pada penemuan yang dilakukan saat melakukan eksplorasi. Stadium kanker ovarium menurut

International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) berdasarkan pada hasil evaluasi pembedahan terhadap tumor ovarium primer dan penemuan penyebarannya dapat dilihat pada tabel 2.4 (Berek dan Natarajan, 2007).

Tabel 2.4

Kriteria Stadium Kanker Ovarium Menurut FIGO

Stadium Kriteria

I Pertumbuhan tumor terbatas pada ovarium

Ia Pertumbuhan tumor terbatas pada satu ovarium, cairan ascites tidak mengandung sel-sel ganas, tidak ada pertumbuhan tumor pada permukaan luar tumor, kapsul utuh

Ib Pertumbuhan tumor terbatas pada kedua ovarium, cairan ascites tidak mengandung sel-sel ganas, tidak ada pertumbuhan tumor pada permukaan luar tumor, kapsul utuh.

Ic Tumor pada stadium Ia atau Ib tetapi dengan pertumbuhan tumor pada permukaan luar dari satu atau kedua atau kapsul pecah atau cairan ascites atau cairan bilasan peritoneum mengandung sel-sel ganas

II Pertumbuhan tumor pada satu atau kedua ovarium dengan perluasan ke rongga pelvis

IIa Penyebaran dan atau metastasis ke uterus dan atau tuba fallopi

IIb Penyebaran tumor ke organ pelvis lainnya

IIc Tumor dengan stadium IIa atau IIb, tetapi dengan pertumbuhan tumor pada pemukaan luar dari satu atau kedua ovarium atau kapsul pecah atau cairan ascites atau cairan bilasan peritoneum mengandung sel-sel ganas

III Tumor melibatkan satu atau kedua ovarium dengan implantasi di luar pelvis dan atau terdapat pembesaran kelenjar limfe inguinal atau retroperitoneal. Metastasis pada pemukaan liver sesuai dengan stadium III. Tumor terbatas pada pelvis, tetapi pemeriksaan histologi menunjukkan penyebaran tumor ke usus halus atau omentum


(49)

Tabel 2.4

Kriteria Stadium Kanker Ovarium Menurut FIGO (lanjutan)

Stadium Kriteria

IIIa Tumor secara makroskopis terbatas pada pelvis dan tidak ada pembesaran kelenjar limfe, tetapi pemeriksaan histologi menunjukkan penyebaran ke permukaan peritoneum abdominal

IIIb Tumor pada satu atau kedua ovarium dengan penyebaran di permukaan peritoneum berdiameter tidak lebih dari 2 cm dan didukung oleh hasil pemeriksaan histologi. Tidak ada penyebaran ke kelenjar limfe

IIIc Terdapat penyebaran pada peritoneum abdominal dengan diameter lebih dari 2 cm atau terdapat penyebaran ke kelenjar limfe retroperitoneal atau inguinal atau keduanya IV Pertumbuhan tumor meliputi satu atau kedua ovarium

dengan metastase jauh. Bila terdapat efusi pleura, harus ditemukan sel-sel ganas pada pemeriksaan sitologi. Metastasis pada parenkim liver sesuai dengan stadium IV (Berek dan Natarajan, 2007)

2.3 Imunohistokimia

Imunohistokimia merupakan suatu teknik untuk menentukan keberadaan suatu antigen atau protein target dalam jaringan atau sel dengan menggunakan reaksi antigen-antibodi. Teknik ini diawali dengan prosedur histoteknik, yaitu suatu prosedur pembuatan irisan jaringan yang kemudian diamati di bawah mikroskop. Setelah terbentuk suatu irisan jaringan, selanjutnya dapat dilakukan prosedur imunohistokimia (Fatchiyah, 2006).

Interaksi antara antigen dan antibodi merupakan suatu reaksi kimia yang tidak kasat mata, sehingga diperlukan visualisasi adanya ikatan tersebut dengan melabel antibodi yang digunakan dengan enzim atau fluorokrom. Enzim yang digunakan untuk melabel selanjutnya direaksikan dengan substrat kromogen, yaitu substrat yang menghasilkan produk akhir berwarna dan tidak larut, yang dapat diamati dengan mikroskop cahaya. Pengecatan imunohistokimia yang menggunakan


(50)

fluorokrom untuk melabel antibodi, dapat langsung diamati tanpa harus direaksikan dengan bahan-bahan yang menghasilkan warna di bawah mikroskop

fluorescence (Fatchiyah, 2006).

Terdapat dua metode dasar dalam melakukan identifikasi antigen pada suatu jaringan melalui pemeriksaan imunohistokimia, yaitu (CCRC, 2009a):

a. Metode langsung (direct method)

Metode langsung merupakan metode pengecatan satu langkah, oleh karena hanya melibatkan satu jenis antibodi, yaitu antibodi yang berlabel. Salah satu contoh antibodi berlabel adalah antiserum terkonjugasi Fluorescein isothiocyanate (FITC) dan rodhamin.

b. Metode tidak langsung (indirect method)

Metode tidak langsung menggunakan dua macam antibodi, yaitu antibodi primer yang tidak berlabel dan antibodi sekunder yang berlabel. Antibodi primer berperan dalam mengenali antigen yang diidentifikasi pada jaringan (first layer) sedangkan antibodi sekunder akan berikatan dengan antibodi primer (second layer). Antibodi kedua merupakan anti-antibodi primer. Pelabelan antibodi sekunder diikuti dengan penambahan substrat berupa kromogen. Kromogen merupakan suatu gugus fungsi senyawa kimiawi yang dapat membentuk senyawa berwarna bila bereaksi dengan senyawa tertentu. Penggunaan kromogen fluorescent dye seperti FITC, rodhamin dan texas-red

disebut metode immunofluorescence, sedangkan penggunaan kromogen enzim seperti peroksidase, alkali fosfatase atau glukosa oksidase disebut metode


(51)

Untuk menjamin agar antibodi dapat mengikat antigen, maka sel harus difiksasi dengan ditempelkan pada bahan pendukung padat sehingga antigen menjadi immobile. Hal ini dapat dilakukan dengan menumbuhkan sel pada slide mikroskop, coverslip, atau bahan pendukung plastik yang sesuai. Secara umum, terdapat dua macam metode fiksasi, yaitu pelarut organik dan reagen cross-linking. Pelarut organik seperti alkohol dan aseton akan memindahkan lipid, mendehidrasi sel dan mengendapkan protein. Reagen cross-linking seperti paraformaldehid membentuk jembatan intermolekuler melalui gugus amino bebas (CCRC, 2009a).

Imunohistokimia melibatkan inkubasi sel dengan antibodi. Antibodi akan berikatan dengan antigen atau protein spesifik di dalam sel. Antibodi yang tidak berikatan dapat dipisahkan dengan pencucian, sedangkan antibodi yang berikatan dideteksi secara langsung dengan antibodi primer berlabel, maupun secara tidak langsung dengan antibodi sekunder berlabel enzim atau fluorescence (CCRC, 2009a).


(52)

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Sampai saat ini penyebab pasti dari kanker ovarium masih diperdebatkan, namun beberapa faktor risiko yang dianggap mampu mengakibatkan terjadinya kanker ovarium, antara lain: faktor genetik, umur, kehamilan, penggunaan obat kontrasepsi hormonal, terapi hormon pengganti pada masa menopause, Indek Massa Tubuh (IMT) dan riwayat adanya keluarga dengan kanker ovarium, mamae, dan kolon.

Berbagai kelainan genetik diduga berperan dalam menentukan terjadinya kanker ovarium. Beberapa gen dan ekspresi protein gen yang mengalami kelainan dan terlibat dalam karsinogenesis terjadinya kanker ovarium telah diketahui. Kelainan pada gen dan ekspresi protein gen tersebut dapat dibagi menjadi tiga, yaitu onkogen yang memicu pertumbuhan, inaktivasi gen supresor tumor dan perubahan gen apoptosis.

Pertama adalah onkogen, beberapa gen yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya adalah gen HER2-neu, RAS, MYC, dan CDK1. Onkogen merupakan suatu kelainan pada gen yang mengakibatkan terjadinya peningkatan aktivasi pertumbuhan dan atau pembelahan seluler, sehingga akan mengarahkan sel pada pertumbuhan yang tidak terkendali.

Kedua adalah inaktivasi gen supresor tumor. Gen-gen yang termasuk dalam kelompok ini meliputi BRCA1, BRCA2 dan P53. Adanya inaktivasi pada BRCA1


(53)

dan BRCA2 mengakibatkan terjadinya gangguan penyembuhan kerusakan sel atau DNA. P53 yang mengalami inaktivasi, misalnya pada sel yang mengalami mutasi atau kehilangan gen P53, maka ekspresi p53 tidak terjadi atau terjadi ekspresi p53 namun tidak dapat mengaktivasi proses transkripsi pada beberapa gen target seperti gen inhibitor kinase dipendent-cyclin CDKN1A (P21) dan GADD45. Kegagalan ekspresi p21 mengakibatkan siklus sel tidak dapat berhenti pada akhir fase G1 dan ekspresi GADD45 mengakibatkan tidak terjadinya perbaikan DNA. Keberadaan onkogen dan inaktivasi gen supresor tumor selanjutnya akan mengakibatkan proliferasi sel menjadi tidak terkontol.

Ketiga, perubahan pada gen pengatur apoptosis, terutama diperankan oleh BAX dan BCL2. Pada perubahan fungsi proapoptosis dari gen BAX, di mana tidak terjadi aktivasi BAX akan mengakibatkan sel tidak mampu mengalami proses apoptosis. Perubahan fungsi anti apoptosis gen BCL2, justru akan memperberat ketidakmampuan sel untuk mengalami proses apoptosis.

Pada akhirnya, proliferasi sel yang tidak terkendali dan kegagalan proses apoptosis akan berdampak pada terfiksasinya mutasi pada sel yang membelah, khususnya DNA sehingga mengarahkan sel menuju proses transformasi ganas, salah satunya adalah kanker ovarium.


(54)

3.2 Konsep Penelitian

Secara skematis konsep penelitian diperlihatkan pada gambar 3.1.

Gambar 3.1 Konsep Penelitian

3.3 Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis pada penelitian ini adalah:

Ada hubungan antara ekspresi protein 53 (p53) dengan stadium kanker ovarium.

- Umur

- Paritas

- Indek Massa Tubuh

(IMT)

- Riwayat kontrasepsi

hormonal

- Riwayat terapi

hormonal pada masa menopause

- Riwayat keluarga

kanker ovarium, mamae dan kolon

Genetik

Onkogen Inaktivasi gen supresor tumor

Perubahan gen apoptosis HER2-neu,

RAS, MYC, CDK1

P53 BCL2 BAX

Stadium Kanker Ovarium

BRCA1 BRCA2

(-) DNA

repair

(GADD45)

(-) cycle cell arrest (P21)

Inhibisi apoptosis↑ ↑Aktivasi pertumbuhan Proliferasi sel tidak terkontrol Penurunan apoptosis Kanker Ovarium


(55)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah observasional analitik (cross-sectional). Secara sistematik penelitian dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 4.1 Rancangan Penelitian

p53 (+) Stadium I

Stadium II

Stadium IV Stadium III Kanker Ovarium

p53 (+) p53 (+)

p53 (+) p53 (-)

p53 (-)

p53 (-)

p53 (-)


(56)

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan, Patologi Anatomi dan Rekam Medis Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, Denpasar. Waktu Penelitian dilaksanakan mulai Juli 2011 sampai Juli 2013.

4.3 Populasi Penelitian

Populasi target penelitian adalah pasien kanker ovarium yang berobat ke RSUP Sanglah. Populasi tarjangkau penelitian adalah pasien kanker ovarium yang telah menjalani pembedahan di RSUP Sanglah dari tahun 2008 sampai 2013, di mana jaringan hasil pembedahannya tersebut telah dibuat blok parafin di Bagian Patologi Anatomi RSUP Sanglah.

4.4 Sampel Penelitian

Sampel penelitian ini adalah pasien kanker ovarium yang telah menjalani pembedahan di RSUP Sanglah dari tahun 2008 sampai 2013, di mana jaringan hasil pembedahannya tersebut telah dibuat blok parafin di Bagian Patologi Anatomi RSUP Sanglah serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

4.4.1 Kriteria inklusi

Kriteria inklusi penelitian adalah:

a. Blok parafin telah diperiksa secara histopatologis, sehingga telah terdiagnosis pasti kanker ovarium.

b. Data rekam medis yang lengkap, meliputi: stadium kanker ovarium, umur, paritas, Indek Massa Tubuh (IMT), riwayat kontrasepsi hormonal, riwayat terapi hormonal pada masa menopause, riwayat keluarga kanker ovarium, mamae, dan kolon.


(57)

4.4.2 Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi penelitian adalah:

a. Pasien pernah menjalani kemoterapi sebelum pembedahan (neoadjuvant). b. Blok parafin rusak sehingga tidak dapat digunakan atau dianalisis.

c. Data rekam medis pasien kanker ovarium tidak ditemukan atau tidak lengkap.

4.4.3 Perhitungan besar sampel

Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Araoye, 2003):

Zα2 (pq)

n = ……..………...(1) d 2

Keterangan:

n = besar sampel

Zα = 1,96 (α = 0,05)

p = 11,9% (prevalensi dari stadium kanker ovarium di populasi) q = 88,1% (1-p)

d = 10% (penyimpangan absolut penelitian)

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus di atas, diperoleh besar sampel penelitian adalah 43,8 buah. Sehingga dalam penelitian ini diambil sampel penelitian sebanyak 44 buah blok parafin.

4.4.4 Cara pengambilan sampel

Blok parafin dari pasien kanker ovarium yang telah menjalani pembedahan di RSUP Sanglah dari tahun 2008 sampai 2013 serta telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, kemudian dipilih dengan cara random sampling sebanyak 44 buah.


(58)

4.5 Variabel Penelitian 4.5.1 Identifikasi variabel

Identifikasi variabel adalah sebagai berikut:

4.5.1.1 Variabel bebas : stadium kanker ovarium 4.5.1.2 Variabel tergantung : protein 53 (p53)

4.5.1.3 Variabel terkontrol : umur, paritas, Indek Massa Tubuh (IMT), riwayat kontrasepsi hormonal, riwayat terapi hormonal pada masa menopause, riwayat keluarga kanker ovarium, mamae, dan kolon.

4.5.2 Definisi operasional variabel

Adapun definisi operasional variabel penelitian adalah sebagai berikut:

a. Protein 53 (p53) adalah suatu polipeptida yang diekspresikan atau dikode oleh gen P53 yang dinilai secara imunohistokimia menggunakan antibodi monoklonal p53 Labvision, secara semikuantitatif, diantara 200 epitel ganas, diamati dengan mikroskop cahaya binokuler merk Olympus dengan pembesaran 400 kali. Penghitungan dilakukan pada sepuluh lapangan pandang dimulai dari bagian tumor dengan ekspresi p53 terkuat ke bagian yang lebih lemah. Pemeriksaan imunohistokimia p53 dikerjakan di Bagian Patologi Anatomi RSUP Sanglah. Interpretasi p53 dilakukan tanpa mengetahui data klinikopatologi pasien. Sel yang mengekspresikan p53 akan tampak berwarna coklat pada membran sel. Penilaian ekspresi p53 ditentukan berdasarkan analisis persentase sel tumor yang positif dan intensitas pewarnaan, yang kemudian diberikan skor 0, 1+, 2+, dan 3+ (Rosai, 2004). Kemudian dari skor


(59)

tersebut dikelompokkan menjadi dua yaitu ekspresi p53 dikatakan (+) apabila skor 1+, 2+, atau 3+. Ekspresi p53 dikatakan (-) apabila skor 0, (Yamashita, 2004).

b. Stadium kanker ovarium adalah derajat beratnya kanker ovarium menurut

International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) yang diperoleh berdasarkan evaluasi pembedahan terhadap tumor ovarium primer dan penyebarannya, yang terdiri dari stadium I, II, III, dan IV. Stadium kanker ovarium diperoleh dari data atau rekam medis pasien.

c. Umur adalah usia pasien dalam tahun yang diperoleh dari rekam medis pasien. d. Paritas adalah jumlah janin viabel yang dilahirkan, diperoleh dari rekam medis

pasien.

e. Indek Massa Tubuh (IMT) adalah indek antopometri yang dihitung dengan menggunakan parameter berat badan dan tinggi badan, yaitu barat badan (dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat dari tinggi badan (dalam meter). Barat badan dan tinggi badan diperoleh dari catatan rekam medis. Kemudian hasil perhitungan tersebut dimasukkan dalam kelompok berdasarkan kategori IMT menurut Departemen kesehatan (Depkes) tahun 1994, dapat dilihat pada tabel 4.1 (Supariasa, 2001).

Tabel 4.1

Kategori Indek Massa Tubuh (IMT) untuk Indonesia

Kategori IMT (kg/m2)

Kurang berat badan berat < 17,0 Kurang berat badan ringan 17,0 – 18,5

Normal > 18,5 – 25,0

Kelebihan berat badan ringan > 25,0 – 27,0 Kelebihan berat badan berat > 27,0 (Supariasa, 2001)


(60)

f. Riwayat kontrasepsi hormonal adalah alat atau metode kontrasepsi hormonal yang pernah dipergunakan, yang diperoleh dari rekam medis pasien.

g. Riwayat terapi hormonal pada masa menopause adalah penggunaan obat hormonal setelah pasien tidak mengalami menstruasi selama satu tahun, yang diperoleh dari rekam medis pasien.

h. Riwayat keluarga kanker ovarium, mamae dan kolon adalah adanya keluarga pasien yang sebelumnnya atau sedang menderita kanker ovarium, mamae dan kolon yang diperoleh dari rekam medis pasien.

4.6Alur Penelitian

Blok parafin kanker ovarium di Bagian Patologi Anatomi RSUP Sanglah dari pasien kanker ovarium yang menjalani pembedahan di RSUP Sanglah dari tahun 2008 sampai 2013. Blok parafin tersebut telah diperiksa secara histopatologi di Bagian Patologi Anatomi dan terdiagnosis pasti kanker ovarium. Blok parafin kanker ovarium selanjutnya harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian. Pada kriteria inklusi, blok parafin telah diperiksa secara histopatologis, sehingga telah terdiagnosis pasti kanker ovarium di Bagian Patologi Anatomi RSUP Sanglah. Selanjutnya blok parafin tersebut didata kelengkapan rekam medisnya di Bagian Rekam Medis RSUP Sanglah. Kelengkapan yang dicari, meliputi: stadium kanker ovarium, umur, paritas, Indek Massa Tubuh (IMT), riwayat kontrasepsi hormonal, riwayat terapi hormonal pada masa menopause, riwayat keluarga kanker ovarium, mamae dan kolon. Pada kriteria eksklusi, antara lain: pasien pernah menjalani kemoterapi sebelum pembedahan (neoadjuvant),


(61)

blok parafin rusak sehingga tidak dapat digunakan atau dianalisis dan data rekam medis pasien kanker ovarium tidak ditemukan atau tidak lengkap.

Blok parafin dari semua pasien kanker ovarium yang telah menjalani pembedahan di RSUP Sanglah dari tahun 2008 sampai 2013 serta telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, kemudian dipilih dengan cara random sampling sebanyak 44 buah. Sampel blok parafin ini dikelompokkan berdasarkan atas stadium kanker ovarium yang diperoleh dari data rekam medis, yaitu: kanker ovarium stadium I, II, III, dan IV. Kemudian masing-masing kelompok stadium dilakukan pemeriksaan ekspresi p53 dengan teknik imunohistokimia peroksidase anti-peroksidase memakai antibodi primer p53. Akhirnya, dilakukan analisis terhadap hasil pemeriksaan ekspresi p53 pada masing-masing kelompok stadium kanker ovarium. Secara sistematis alur penelitian ditunjukkan pada gambar 4.2.


(62)

Gambar 4.2 Alur Penelitian

4.7 Instrumen Penelitian dan Metode Pemeriksaan 4.7.1 Instrumen penelitian

Instrumen untuk alat-alat tulis yaitu meja tulis, formulir penelitian, komputer, kertas dan alat tulis serta perlengkapan lainnya.

4.7.2 Metode pemeriksaan

Teknik pemeriksaan yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan pemeriksaan imunohistokimia.

Adapun langkah-langkah pemeriksaan imunohistokimia p53 adalah sebagai berikut (CCRC, 2009b):

Stadium I Stadium II Stadium III Stadium IV

Blok parafin pasien kanker ovarium

Ekspresi p53 (+)/(-) Sampel penelitian

Kriteria eksklusi Kriteria inklusi

Analisis


(63)

a. Potong jaringan empat mikrometer, kemudian ditempelkan pada gelas objek yang sebelumnya telah dilapisi poly-L-lysine.

b. Inkubasi dalam oven dengan suhu 37°C selama satu malam.

c. Deparafinisasi dengan xylene sebanyak tiga kali, masing-masing tiga menit. d. Rehidrasi preparat dengan menggunakan etanol 100%, etanol 95% dan etanol

70%, masing-masing selama dua menit, dua menit, satu menit dan terakhir dengan air selama satu menit.

e. Rendam dalam peroxidase blocking solution pada suhu kamar selama sepuluh menit.

f. Inkubasi preparat dalam prediluted blocking serum dengan suhu 25°C selama sepuluh menit.

g. Rendam preparat di dalam antibodi monoklonal anti-p53 dengan suhu 25°C selama sepuluh menit.

h. Cuci preparat dengan Phospate Buffer Saline (PBS) selama lima menit.

i. Inkubasi preparat dengan antibodi sekunder dengan suhu 25°C selama sepuluh menit.

j. Cuci preparat dengan PBS selama lima menit.

k. Inkubasi preparat dengan peroksidase dalam suhu 25°C selama sepuluh menit. l. Cuci preparat dengan PBS selama lima menit.

m. Inkubasi preparat dengan kromogen Diaminobenzinidine (DAB) dengan suhu 25°C selama sepuluh menit.

n. Inkubasi preparat dengan Hematoxylin Eosin selama tiga menit. o. Cuci preparat dengan air mengalir.


(64)

p. Bersihkan preparat dan tetesi dengan mounting media. q. Tutup preparat dengan coverslip.

Kemudian setelah dilakukan pengecatan imunohistokimia p53 atau dipulas dengan antibodi monoklonal p53, selanjutnya sediaan dilakukan interpretasi sebagai berikut (Rosai, 2004):

a. Interpretasi p53 dilakukan tanpa mengetahui data klinis dan patologik dari setiap kasus.

b. Perhitungan ekspresi p53 dilakukan secara semikuantitatif. Pertama, dilakukan penghitungan persentase sel ganas yang tercatat positif di antara 200 sel ganas, menggunakan mikroskop cahaya binokuler merk Olympus dengan pembesaran 400 kali.

c. Pewarnaan yang dinyatakan positif hanya membran sel yang berwarna coklat. Intensitas pewarnaan dievaluasi secara objektif yaitu lemah, sedang dan kuat. i. Skor diperoleh berdasarkan kombinasi antara persentase sel yang terpulas dan

intensitas pewarnaannya, dengan rentang skor 0, 1+, 2+, 3+ (tabel 4.2). Kemudian dari skor tersebut dikelompokkan menjadi dua yaitu ekspresi p53 dikatakan (+) apabila skor 1+, 2+, atau 3+. Ekspresi p53 dikatakan (-) apabila skor 0, (Yamashita, 2004).


(65)

Tabel 4.2

Interpretasi Pulasan Imunohistokimia p53

Pola Pulasan Skor

Tidak ada sel terpulas atau terpulas kurang 10% 0 Terpulas lebih dari 10% sel, intensitas pulasan lemah, membran sel 1+ terpulas hanya sebagian.

Terpulas lebih dari 10% sel, intensitas pulasan lemah sampai sedang, 2+ Membran sel terpulas komplit.

Terpulas lebih dari 10% sel, intensitas kuat dan komplit 3+ (Rosai, 2004)

4.8Pengumpulan dan Analisis Data 4.8.1Pengumpulan data

Data hasil penelitian yang diperoleh dari Bagian Obstetri dan Ginekologi, Patologi Anatomi dan Rekam Medis RSUP Sanglah dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam formulir penelitian (terlampir).

4.8.2Analisis data

Data pada formulir penelitian kanker ovarium diolah dengan menggunakan

SPSS 17,0 for windows. Kemudian dilakukan beberapa tes atau uji, antara lain: a. Karakteristik sampel disajikan secara deskriptif, dengan menggunakan tabel

dan narasi.

b. Uji One Sample Kolmogorov-Smirnov untuk normalitas data dan Levene’s Test untuk homogenitas data.


(66)

50

Selama periode penelitian, sebanyak 44 sampel blok parafin dijadikan sampel penelitian yang dilaksanakan di Bagian Obstetri dan Ginekologi, Patologi Anatomi dan Rekam Medis RSUP Sanglah.

5.1 Karakteristik Sampel Penelitian

Pada penelitian ini dilakukan uji normalitas data dengan uji kolmogorov-smirnov dan uji homogenitas data dengan Levene’s Test terhadap variabel umur, Indek Massa Tubuh (IMT), paritas dan riwayat kontrasepsi hormonal. Hasil analisis menunjukkan bahwa data pada variabel umur, IMT, paritas, dan riwayat kontrasepsi hormonal berdistribusi normal (p>0,05) dan homogen (p>0,05), sedangkan untuk membandingkan nilai rerata masing-masing variabel digunakan uji One Way Anova.

Tabel 5.1

Distribusi Umur, IMT, Paritas, dan Riwayat Kontrasepsi Hormonal pada Kelompok Stadium Kanker Ovarium

Variabel Stadium Kanker Ovarium

p I (n=7) rerata±2SD II (n=9) rerata±2SD III (n=21) rerata±2SD IV (n=7) rerata±2SD Umur

(tahun) 40,86±5,24 43,56±12,70 45,57± 9,77 57,86±8,78 0,814 IMT

(kg/m2) 19,9±1,51 25,15±4,04 21,76±4,95 21,38±3,75 0,304 Paritas Kontrasepsi hormonal 1,57±0,78 1,71±0,48 1,33 ±0,70 1,78±0,44 2,00±1,30 1,90±0,30 2,43±0,97 1,71±0,48 0,057 0,562


(1)

31 ni luh murti 01.55.81.11 58 IIIC negatif 0 - 1 tidak ya 24.5 tidak tidak pp0017092012 32

putri sang ayu

made 01.18.69.85 39 IIIC negatif 0 - 2 tidak tidak 15.5 tidak tidak pp0012852012 33 erni mutiara 01.55.43.48 48 IIIC kuat 90 + unmarried tidak tidak 23.8 tidak tidak pp0013212012 34 Nur zannah 01.55.04.87 63 IV negatif 0 - 4 tidak ya 17.7 tidak tidak pp0013242012 35 Ni made tirta 01.14.23.14 35 IIC sedang 30 + 0 tidak tidak 23.4 tidak tidak pp0013482012 36 made suparingsih 01.55.66.84 66 IV sedang 40 + 4 tidak ya 17.8 tidak tidak 554/pp/2012 37 wayan taluh 01.52.30.28 46 IIIC negatif 0 - 0 tidak tidak 20.0 tidak tidak 4335/pp/2011 38 Nyoman Sari 01.60.66.47 46 IA negatif 0 - 2 tidak tidak 22.2 tidak tidak 0022/pp/2013 39 Ni Made Nili 01.60.65.71 45 IIIC negatif 0 - 2 tidak tidak 19.8 tidak tidak 0154/pp/2013 40 karmini 01.61.98.89 51 IIIC negatif 0 - 4 tidak tidak 20.4 tidak tidak pp/000829/2013 41 Mihin 01.61.89.00 50 IIIC negatif 0 - 4 tidak tidak 22.0 tidak tidak pp/0012462013 42 ni kadek astini 01.55.59.01 44 IIIC negatif 0 - 3 tidak tidak 21.2 tidak tidak pp0014632013 43 No name tidak ada 13 IIIC kuat 100 + unmarried tidak tidak 17.6 tidak tidak pp004202/pp/12 44 No name tidak ada 48 IIIC negatif 0 2 tidak tidak 19,2 tidak tidak pp004103/pp/12


(2)

Lampiran 3. Perhitungan Statistik

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

paritas Umur IMT

N 44 44 44

Normal Parametersa,,b Mean 1.86 46.36 22.102

Std. Deviation 1.112 10.835 4.4290

Most Extreme Differences Absolute .201 .096 .146

Positive .201 .096 .146

Negative -.185 -.095 -.094

Kolmogorov-Smirnov Z 1.335 .636 .970

Asymp. Sig. (2-tailed) .057 .814 .304

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.

Test of Homogeneity of Variances

Levene Statistic df1 df2 Sig.

paritas 1.713 3 40 .180

Umur 1.172 3 40 .332


(3)

Oneway

Descriptives

N Mean Std. Deviation Std. Error

paritas stadium 1 7 1.57 .787 .297

stadium 2 9 1.33 .707 .236

stadium 3 21 2.00 1.304 .285

stadium 4 7 2.43 .976 .369

Total 44 1.86 1.112 .168

Umur stadium 1 7 40.86 5.242 1.981

stadium 2 9 43.56 12.700 4.233

stadium 3 21 45.57 9.770 2.132

stadium 4 7 57.86 8.783 3.320

Total 44 46.36 10.835 1.633

IMT stadium 1 7 19.900 1.5166 .5732

stadium 2 9 25.156 4.0439 1.3480

stadium 3 21 21.767 4.9513 1.0805

stadium 4 7 21.386 3.7583 1.4205

Total 44 22.102 4.4290 .6677

N Mean Std. Deviation Std. Error

riwayat stadium 1 7 2.00 .000 .000

stadium 2 9 2.00 .000 .000

stadium 3 21 2.00 .000 .000

stadium 4 7 2.00 .000 .000

Total 44 2.00 .000 .000

kontrasepsi stadium 1 7 1.71 .488 .184

stadium 2 9 1.78 .441 .147

stadium 3 21 1.90 .301 .066

stadium 4 7 1.71 .488 .184


(4)

HRT stadium 1 7 2.00 .000 .000

stadium 2 9 2.00 .000 .000

stadium 3 21 2.00 .000 .000

stadium 4 7 2.00 .000 .000

Total 44 2.00 .000 .000

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

paritas Between Groups 5.753 3 1.918 1.617 .200

Within Groups 47.429 40 1.186

Total 53.182 43

Umur Between Groups 1221.102 3 407.034 4.254 .011

Within Groups 3827.079 40 95.677

Total 5048.182 43

IMT Between Groups 123.812 3 41.271 2.294 .093

Within Groups 719.677 40 17.992


(5)

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

riwayat Between Groups .000 3 .000 . .

Within Groups .000 40 .000

Total .000 43

kontrasepsi Between Groups .323 3 .108 .693 .562

Within Groups 6.222 40 .156

Total 6.545 43

HRT Between Groups .000 3 .000 . .

Within Groups .000 40 .000

Total .000 43

Correlations

p53 Stadium

Spearman's rho p53 Correlation Coefficient 1.000 -.099

Sig. (2-tailed) . .522

N 44 44

Stadium Correlation Coefficient -.099 1.000

Sig. (2-tailed) .522 .


(6)

Lampiran 4. Hasil Pemeriksaan Imunohistokimia p53

Positif