Pengaruh Ketangguhan Sambungan Las Pada Material Aluminium-Magnesium Terhadap Beban Impak Dengan Variasi Sudut Kampuh V 60 Derajat dan 90 Derajat
PENGARUH KETANGGUHAN SAMBUNGAN LAS PADA
MATERIAL ALUMINIUM-MAGNESIUM TERHADAP BEBAN
IMPAK DENGAN VARIASI SUDUT KAMPUH V 60
oDAN 90
oSKRIPSI
Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik
HARRY PRAMANA NIM.080401107
DEPARTEMEN TEKNIK MESIN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulilah saya ucapkan Kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat kesehatan dan kesempatan sehingga tugas sarjana ini dapat selesai. Tugas sarjana yang berjudul “Pengaruh Ketangguhan Sambungan Las
Pada Material Aluminium-Magnesium Terhadap Beban Impak Dengan Variasi Sudut Kampuh V 60o dan 90o” ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Sarjana Teknik Mesin Program Reguler di Departemen Teknik Mesin – Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.
Selama pembuatan tugas sarjana ini dimulai dari penelitian sampai penulisan, saya banyak mendapat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Kedua orangtuaku, Ayahanda Ir. Zul Yusri Lubis dan Ibunda T. Sahara
Rosnani yang telah memberikan perhatian, do’a, nasehat dan dukungan baik
moril maupun materil, juga adik-adikku Hendry Prabowo, Cynthia Zulina, dan Cindy Zulani yang terus menerus memberikan masukan selama pembuatan tugas sarjana ini.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Bustami Syam, MSME. selaku dosen pembimbing Tugas sarjana yang telah banyak membantu menyumbang pikiran dan meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan dalam menyelesaikan tugas sarjana ini.
3. Bapak Dr. Ing. Ir. Ikhwansyah Isranuri selaku ketua Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Zulfikar, ST, MT, Nuzuli, ST, dan kepada timPeneliti Impak Fracture Research Center (IFRC) yang telah membantu penulis.
5. Seluruh staf pengajar dan pegawai administrasi di Departemen Teknik Mesin, Ibu Ismawati, Kak Sonta, Bapak Syawal, Bang Sarjana, dan Bang Lilik yang telah banyak membantu dan memberikan ilmu selama perkuliahan.
(3)
6. Anggota dalam tim penelitian ini, Syahrul Ramadhan, dan Ikram atas kerja sama dan waktu yang diberikan sehingga laporan ini bisa terselesaikan. Penelitian ini merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga bagi saya untuk dapat meningkatkan ilmu, dan kualitas, serta pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan.
7. Shanaz Olivia Hutami yang telah memberikan semangat dan kasih sayangnya agar selalu berjuang menyelesaikan skripsi ini.
8. Seluruh teman–teman stambuk 2008, Munawir, Gio, Ary Fadila, Rozy, Felix, Maraghi, Ramadhan dan yang lainnya yang namanya tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan bantuan baik selama perkuliahan maupun dalam pembuatan tugas sarjana ini.
Saya menyadari bahwa tugas sarjana ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik dari pembaca sekalian sangat diharapkan demi kesempurnaan skrispi ini. Semoga tugas sarjana ini bermanfaat dan berguna bagi semua pihak.
Medan, Juli 2013
Harry Pramana NIM: 080401107
(4)
ABSTRAK
Salah satu faktor yang mempengaruhi ketangguhan material adalah sifat mekanik dari material tersebut. Jika material diberi proses pengelasan, maka akan dapat merubah sifat mekanik dari material tersebut. Untuk mengkaji hal tersebut disusunlah sebuah konsep penelitian yang terdiri dari dua tahapan. Mengukur ketangguhan impak hasil pengelasan akibat variasi besar sudut kampuh V 60o dan 90o terhadap variasi paduan aluminium-magnesium dan memeriksa cacat las pada hasil lasannya. Hasil dari pengujian menunjukkan pengelasan dengan variasi sudut kampuh V 60o pada paduan paduan aluminium-magnesium dengan kadar magnesium 2.2% dan dengan sudut kampuh 60o mempunyai nilai ketangguhan impak rata-rata yang lebih baik dibandingkan sudut kampuh 90o, nilai ketangguhan impak yang dihasilkan untuk Al 98%-Mg 1.4% dengan sudut kampuh 60o adalah 0,2877 Joule/mm2, untuk Al 98%-Mg 1.4% dengan sudut kampuh 90o adalah 0,2739 Joule/mm2, Al 97%-Mg 2.2% dengan sudut kampuh 60o adalah 0,3064 Joule/mm2, dan untuk Al 97%-Mg 2.2% dengan sudut kampuh 90o adalah 0,3038 Joule/mm2. Pengujian pada pengelasan oxy-acetylen gas untuk paduan aluminium-magnesium, menunjukkan bahwa sudut kampuh dan penambahan kadar magnesium mempengaruh hasil lasan (ketangguhan impak).
Kata kunci: ketangguhan impak, pengelasan oxy-acetylene, sudut kampuh, aluminium-magnesium.
(5)
ABSTRACT
One of the factors that affect material toughness is the mechanical properties of the material . If the material given welding process , it will be able to change the mechanical properties of the material . To look into the matter was composed of a concept study consisted of two phases . Measuring the impact toughness weld seam angle due to large variations in V 60o and 90o to the variation of aluminum-magnesium alloy welding defects and check on the results welding . Results of the testing showed the variation of the welding seam V 60o angle on aluminum-magnesium alloy with aluminum-magnesium levels of 2.2 % and at an angle of 60o seam has a value of impact toughness on average better than the seam angle 90o, the resulting impact toughness values for Al 98%-Mg1.4% at an angle of 60° is 0.2877 Joule/mm2 hem , for the Al 98%-Mg 1.4 % at an angle of 90° is 0.2739 Joule/mm2 hem, Al 97 %-Mg 2.2% at an angle of 60o hem is 0,3064 Joule/mm2, and 97 % for Al-Mg 2.2 % at an angle of 90° is 0.3038 Joule/mm2 hem . Tests on
Oxy-Acetylene gas welding for aluminum-magnesium alloy, showed that the addition of the corner seam and welded magnesium levels influence the outcome (impact toughness).
Keywords: impact toughness, oxy-acetylene welding, seam angle, aluminum-magnesium.
(6)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
ABSTRAK ………. iii
DAFTAR ISI ……….. v
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR NOTASI ………... xi
BAB 1 PENDAHULUAN ……….. 1
1.1 Latar Belakang ……….... 1
1.2 Perumusan Masalah ……….... 2
1.3 Tujuan Penelitian ……… 3
1.3.1 Tujuan Umum ……….. 3
1.3.2 Tujuan Khusus ……….. 3
1.4 Batasan Masalah ………. 3
1.5 Manfaat Penelitian ……….. 4
1.6 Sistematika Penulisan ………. 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ………. 6
2.1 Pengelasan ……….. 6
(7)
2.1.2 Las Oxy-Acetylene ………... 8
2.2 Pengelasan pada Aluminium ……….. 15
2.2.1 Aluminium dan Paduannya ……….. 15
2.2.2 Sifat Umum Dari Beberapa Jenis Paduan ………… 15
2.2.3 Paduan Aluminium Magnesium……..……….. 18
2.2.4 Sifat Mampu Las ... 19
2.3 Cacat Pada Las ……… 20
2.4 Metode Non Destructive Test……… 32
2.5 Uji Impak ……… 36
2.5.1 Pengujian Impak Metode Charpy ………. 37
2.5.2 Mesin Uji Impak ……… 38
2.5.3 Jenis Patahan ... 43
2.6 Kampuh Las ……… 44
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN……… 48
3.1 Jadwal Penelitian dan Lokasi Penelitian ………. 48
3.2 Metode Penelitian ……… 48
3.3 Variabel-Variabel Pengujian ………... 49
3.3.1 Spesimen ……… 49
3.3.2 Elektroda yang Digunakan ……… 50
3.3.3 Proses Pembentukan ……….. 51
(8)
3.5 Prosedur Pengujian Impak ……….. 54
3.6 Prosedur Pembentukan Kampuh ...……….. 58
3.6 Diagram Alir ………... 59
BAB 4 HASIL DAN DISKUSI……….. 60
4.1 Pendahuluan ………... 60
4.2 Hasil Pengujian ……….. 60
4.2.1 Hasil Pengujian Cacat Las …...………. 60
4.2.2 Hasil Pengujian Impak …...………. 61
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN………...………... 72
5.1 Kesimpulan ………. 72
5.2 Saran ……… 73
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(9)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Klasifikasi pengelasan ………. 8
Gambar 2.2. Tabung oksigen dan acetylene………. 9
Gambar 2.3. Nyala karburasi ………. 11
Gambar 2.4. Nyala oksidasi ……….. 11
Gambar 2.5. Nyala netral ……….. 12
Gambar 2.6. Lubang jarum ……… 20
Gambar 2.7. Percikan las ……….. 21
Gambar 2.8. Retak ………. 22
Gambar 2.9. Keropos ………. 22
Gambar 2.10. Muka cekung ……… 23
Gambar 2.11. Longsor pinggir ……… 24
Gambar 2.12. Penguat berlebihan ………... 24
Gambar 2.13. Jalur terlalu lebar ……….. 25
Gambar 2.14. Tinggi rendah ……… 25
Gambar 2.15. Lapis dingin ……….. 26
Gambar 2.16. Penetrasi tak sempurna ………. 26
Gambar 2.17. Penetrasi berlebihan ……….. 27
Gambar 2.18. Retak akar ………. 28
Gambar 2.19. Terbakar tembus ………... 28
Gambar 2.20. Longsor pinggir akar ……… 29
Gambar 2.21. Akar cekung ………. 30
Gambar 2.22. Stop start A ………... 30
Gambar 2.23. Stop start B ………... 31
Gambar 2.24. Metode penetran ………... 33
Gambar 2.25. Pembebanan metode Charpy dan metode Izod …………... 37
Gambar 2.26. Mesin uji impak charpy ………... 39
(10)
Gambar 2.28. Sifat-sifat patahan ………... 44
Gambar 2.29. Jenis-jenis sambungan las ………... 47
Gambar 3.1. Kawat las AWS-A5.2 ... 50
Gambar 3.2. Bentuk dan ukuran spesimen ……… 51
Gambar 3.3. Spesimen yang telah disemprot cairan penetran ………….. 53
Gambar 3.4. Cairan developer, penetran, dan cleaner ………... 53
Gambar 3.5. Mesin impak Charpy ……… 54
Gambar 3.6. Skema pengujian impak ………... 55
Gambar 3.7. Tool untuk mengatur bandul ……… 56
Gambar 3.8. Posisi spesimen pada tumpuan ………. 56
Gambar 3.9. Trigger……….. 57
Gambar 3.10. Scale………. 57
Gambar 3.11. Material Al 98%-Mg 1,4% ………... 58
Gambar 3.12. Material Al 97%-Mg 2,2% ………... 58
Gambar 3.13. Bentuk dan posisi sudut kampuh ……….. 58
Gambar 3.14. Diagram alir penelitian ………. 59 Gambar 4.1. Spesimen aluminium-magnesium dengan kadar
magnesium 1.4% dan sudut kampuh 90o……….. 62 Gambar 4.2. Spesimen aluminium-magnesium dengan kadar
magnesium 2,2% dan sudut kampuh 90o……….. 63 Gambar 4.3. Spesimen aluminium-magnesium dengan kadar
magnesium 1,4% dan sudut kampuh 60o……….. 64 Gambar 4.4. Spesimen aluminium-magnesium dengan kadar
magnesium 2,2% dan sudut kampuh 60o……….. 64 Gambar 4.5. Grafik perbandingan nilai variasi kadar magnesium
terhadap sudut kampuh 60o………... 68 Gambar 4.6. Grafik perbandingan nilai variasi kadar magnesium
terhadap sudut kampuh 90o………... 69 Gambar 4.7. Grafik nilai ketangguhan impak pada spesimen ...
(11)
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 4.1. Hasil pengujian impak pada spesimen aluminium-magnesium
dengan kadar magnesium 1,4% dan Sudut kampuh 90o………… 62 Tabel 4.2. Hasil pengujian impak pada spesimen aluminium-magnesium
dengan kadar magnesium 2,2% dan Sudut kampuh 90o………… 63 Tabel 4.3. Hasil pengujian impak pada spesimen aluminium-magnesium
dengan kadar magnesium 1,4% dan Sudut kampuh 60o………… 63 Tabel 4.4. Hasil pengujian impak pada spesimen aluminium-magnesium
dengan kadar magnesium 1,4% dan Sudut kampuh 60o………… 64 Tabel 4.5. Hasil perhitungan data ……….. 67 Tabel 4.6. Perbandingan nilai variasi kadar magnesium terhadap sudut
kampuh 60o ... 68 Tabel 4.7. Perbandingan nilai variasi kadar magnesium terhadap sudut
(12)
DAFTAR NOTASI
Ep = Energi Potensial. Em = Energi Mekanik.
I = Nilai ketangguhan impak (Joule/mm2) E = Energi yang diserap (Joule) m = Massa Bandul (Kg) g = Gravitasi (m/s2) h1 = Ketinggian awal bandul (m)
h2 = Ketinggian akhir bandul (m)
λ = Jarak lengan pengayun (m)
α = Sudut posisi awal pendulum
β = Sudut posisi akhir pendulum
(13)
ABSTRAK
Salah satu faktor yang mempengaruhi ketangguhan material adalah sifat mekanik dari material tersebut. Jika material diberi proses pengelasan, maka akan dapat merubah sifat mekanik dari material tersebut. Untuk mengkaji hal tersebut disusunlah sebuah konsep penelitian yang terdiri dari dua tahapan. Mengukur ketangguhan impak hasil pengelasan akibat variasi besar sudut kampuh V 60o dan 90o terhadap variasi paduan aluminium-magnesium dan memeriksa cacat las pada hasil lasannya. Hasil dari pengujian menunjukkan pengelasan dengan variasi sudut kampuh V 60o pada paduan paduan aluminium-magnesium dengan kadar magnesium 2.2% dan dengan sudut kampuh 60o mempunyai nilai ketangguhan impak rata-rata yang lebih baik dibandingkan sudut kampuh 90o, nilai ketangguhan impak yang dihasilkan untuk Al 98%-Mg 1.4% dengan sudut kampuh 60o adalah 0,2877 Joule/mm2, untuk Al 98%-Mg 1.4% dengan sudut kampuh 90o adalah 0,2739 Joule/mm2, Al 97%-Mg 2.2% dengan sudut kampuh 60o adalah 0,3064 Joule/mm2, dan untuk Al 97%-Mg 2.2% dengan sudut kampuh 90o adalah 0,3038 Joule/mm2. Pengujian pada pengelasan oxy-acetylen gas untuk paduan aluminium-magnesium, menunjukkan bahwa sudut kampuh dan penambahan kadar magnesium mempengaruh hasil lasan (ketangguhan impak).
Kata kunci: ketangguhan impak, pengelasan oxy-acetylene, sudut kampuh, aluminium-magnesium.
(14)
ABSTRACT
One of the factors that affect material toughness is the mechanical properties of the material . If the material given welding process , it will be able to change the mechanical properties of the material . To look into the matter was composed of a concept study consisted of two phases . Measuring the impact toughness weld seam angle due to large variations in V 60o and 90o to the variation of aluminum-magnesium alloy welding defects and check on the results welding . Results of the testing showed the variation of the welding seam V 60o angle on aluminum-magnesium alloy with aluminum-magnesium levels of 2.2 % and at an angle of 60o seam has a value of impact toughness on average better than the seam angle 90o, the resulting impact toughness values for Al 98%-Mg1.4% at an angle of 60° is 0.2877 Joule/mm2 hem , for the Al 98%-Mg 1.4 % at an angle of 90° is 0.2739 Joule/mm2 hem, Al 97 %-Mg 2.2% at an angle of 60o hem is 0,3064 Joule/mm2, and 97 % for Al-Mg 2.2 % at an angle of 90° is 0.3038 Joule/mm2 hem . Tests on
Oxy-Acetylene gas welding for aluminum-magnesium alloy, showed that the addition of the corner seam and welded magnesium levels influence the outcome (impact toughness).
Keywords: impact toughness, oxy-acetylene welding, seam angle, aluminum-magnesium.
(15)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada era industrialisasi dewasa ini teknik pengelasan telah banyak dipergunakan secara luas pada penyambungan logam, konstruksi bangunan dan konstruksi mesin. Penggunaan teknologi pengelasan dan sambungan ini disebabkan karena bangunan dan mesin yang dibuat dengan teknik penyambungan menjadi ringan dan lebih sederhana dalam proses pembuatannya.
Ruang lingkup penggunaan teknologi pengelasan ini cakupannya meliputi rangka baja, perkapalan, jembatan, kereta api, pipa saluran dan lain sebagainya. Dalam pekerjaan konstruksi, pengelasan bukan tujuan utamanya melainkan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih sempurna (baik). Dalam pengerjaan pengelasan kita harus memperhatikan kesesuaian pada konstruksi las agar tercapai hasil yang maksimal. Untuk itu pengelasan harus diperhatikan beberapa hal yang penting, diantaranya efisiensi pengelasan, penghematan tenaga, penghematan energi, dan tentunya dengan biaya yang murah.
Pengelasan adalah proses penyambungan antara dua bagian logam atau lebih dengan menggunakan energi panas, secara umum pengelasan dapat diartikan sebagai suatu ikatan metalurgi pada sambungan logam atau logam paduan yang dilaksanakan saat logam dalam keadaan cair.
Sambungan las merupakan bagian yang paling rawan terjadi kegagalan pada komponen mesin/konstruksi karena terjadi perubahan sifat material akibat
(16)
pengaruh panas dan kecenderungan terdapat cacat pengelasan pada sambungan. Pada komponen/konstruksi yang mengalami beban dinamis, hal tersebut merupakan salah satu faktor penentu dalam ketangguhan material. Berbagai upaya dilakukan untuk mengantisipasi kerawanan tersebut seperti pengelasan yang benar sesuai WPS (Welding Procedure Specification).
Aluminium dan paduan aluminium termasuk logam ringan yang memiliki kekuatan tinggi, tahan terhadap karat dan merupakan konduktor listrik yang cukup baik. Aluminium memiliki ductility yang bagus pada kondisi dingin dan memiliki daya tahan korosi yang tinggi.. Aluminium dan paduannya memiliki sifat mampu las yang kurang baik. Hal ini disebabkan oleh sifat aluminium itu sendiri seperti konduktivitas panas yang tinggi, koefisien muai yang besar, reaktif dengan udara membentuk lapisan aluminium oxide serta berat jenis dan titik cairnya yang rendah.
Aluminium terdiri dari beberapa kelompok yang dibedakan berdasarkan paduan penyusunnya. Penambahan paduan ini akan menghasilkan sifat yang berbeda. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penelitian ini mengambil judul:
“Pengaruh Ketangguhan Sambungan Las Pada Material Aluminium-Magnesium
Terhadap Beban Impak Dengan Variasi Sudut Kampuh V 60o dan 90o.
1.2 Perumusan Masalah
Penelitian ini menggunakan bahan bermaterial aluminium-magnesium yang diberi perlakuan pengelasan dengan variasi sudut kampuh V sebesar 60o dan 90o
(17)
dengan menggunakan las oxy-acetylene. Spesimen dilakukan uji penetran dan uji impak.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mendapatkan nilai ketangguhan sambungan las pada material aluminium-magnesium terhadap beban impak dengan variasi sudut kampuh V 60o dan 90o.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Memeriksa cacat yang terjadi setelah proses pengelasan.
2. Mengukur nilai ketangguhan material Al 98%-Mg 1.4% dan Al 97%-Mg 2.2% akibat variasi sudut kampuh V 60o dan 90o terhadap pengujian impak Charpy.
1.4 Batasan Masalah
Adapun batasan dari penelitian ini yaitu:
1. Jenis Las yang digunakan adalah jenis las oxy-acetylene dengan variasi sudut kampuh V 60o dan 90o.
2. Material yang digunakan adalah Al 98%-Mg 1.4% dan Al 97%-Mg 2.2%.
3. Suhu spesimen pada saat pengujian dilakukan adalah pada suhu normal. 4. Pengujian yang dilakukan adalah uji penetran, dan uji impak.
(18)
1.5 Manfaat Penelitian
Sebagai peran nyata dalam pengembangan teknologi khususnya pada pengelasan, maka penulis berharap dapat mengambil manfaat dari penelitian ini, diantaranya:
1. Sebagai literatur pada penelitian yang sejenisnya dalam rangka pengembangan teknologi khususnya di bidang pengelasan.
2. Sebagai informasi bagi juru las untuk meningkat kualitas hasil pengelasan.
3. Sebagai informasi penting guna meningkatkan pengetahuan bagi peneliti dalam bidang pengujian bahan, pengelasan dan bahan teknik.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan disusun sedemikian rupa sehingga konsep penulisan proposal maenjadi berurutan dalam kerangka alur pemikiran yang mudah dan prektis. Sistematika tersebut disusun dalam bentuk bab-bab yang saling berkaitan satu sama lain yang terdiri dari 5 bab.
Bab 1 Pendahuluan, bab ini memberikan gambaran menyeluruh mengenai Tugas Akhir yang meliputi, pembahasan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan, manfaat dan sistematika penulisan. Bab 2 Tinjauan Pustaka, berisikan landasan teori dan studi literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan serta metode pendekatan yang digunakan untuk menganalisa persoalan. Bab 3 Metodologi Penelitian, berisikan metode pengujian. Berisi juga spesifikasi dari spesimen yang digunakan serta berisi langkah-langkah pengujian
(19)
yang digunakan dalam pengamatan. Bab 4 Hasil dan Pembahasan, berisikan penyajian hasil yang diperoleh dari uji impak. Bab 5 Kesimpulan dan Saran, berisikan jawaban dari tujuan penelitian. Daftar Pustaka, berisikan literatur yang digunakan sebagai refenrensi dalam penulisan tugas akhir ini. Lampiran, merupakan lampiran data-data yang diperoleh selama penelitian berupa form asli ataupun data yang bersumber dari literatur acuan.
(20)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengelasan
Pengelasan (welding) adalah salah salah satu teknik penyambungan logam dengan cara mencairkan sebagian logam induk dan logam pengisi dengan atau tanpa tekanan dan dengan atau tanpa logam penambah dan menghasilkan sambungan yang continue.
Definisi pengelasan menurut DIN (Deutsche Industrie Normen) adalah ikatan metalurgi pada sambungan logam atau logam paduan yang dilaksanakan dalam keadaan lumer atau cair. Dengan kata lain, las adalah sambungan setempat dari beberapa batang logam dengan menggunakan energi panas. Dalam proses penyambungan ini adakalanya disertai dengan tekanan dan material tambahan
(filler material).
Teknik pengelasan secara sederhana telah diketemukan dalam rentang waktu antara 4000 sampai 3000 SM. Setelah energi listrik dipergunakan dengan mudah, teknologi pengelasan maju dengan pesatnya sehingga menjadi sesuatu teknik penyambungan yang mutakhir. Hingga saat ini telah dipergunakan lebih dari 40 jenis pengelasan.
Pada tahap-tahap permulaan dari pengembangan teknologi las, biasanya pengelasan hanya digunakan pada sambungan-sambungan dari reparasi yang kurang penting. Tapi setelah melalui pengalaman dan praktek yang banyak dan waktu yang lama, maka sekarang penggunaan proses-proses pengelasan dan
(21)
penggunaan konstruksi-konsturksi las merupakan hal yang umum di semua negara di dunia.
Terwujudnya standar-standar teknik pengelasan akan membantu memperluas ruang lingkup pemakaian sambungan las dan memperbesar ukuran bangunan konstruksi yang dapat dilas. Dengan kemajuan yang dicapai sampai saat ini, teknologi las memegang peranan penting dalam masyarakat industri modern.
2.1.1 Klasifikasi Cara-cara Pengelasan
Sampai pada waktu ini banyak sekali cara-cara pengklasifikasian yang digunakan dalam bidang las, ini disebabkan karena belum adanya kesepakatan dalam hal tersebut. Secara konvensional cara-cara pengklasifikasiaan tersebut pada waktu ini dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu klasifikasi berdasarkan cara kerja dan klasifikasi berdasarkan energi yang digunakan. Klasifikasi pertama membagi las dalam kelompok las cair, las tekan, las patri dan lain-lainnya, sedangkan klasifikasi yang kedua membedakan adanya kelompok-kelompok seperti las listrik, las kimia, las mekanik dan seterusnya. Bila diadakan klasifikasi yang lebih terperinci lagi, maka kedua klasifikasi tersebut di atas akan terbaur.
Di antara kedua cara klasifikasi tersebut, kelihatannya klasifikasi berdasarkan cara kerja lebih banyak digunakan, berdasarkan klasifikasi ini pengelasan dapat dibagi dalam tiga kelas utama yaitu:
1. Pengelasan cair adalah cara pengelasan di mana sambungan dipanaskan sampai mencair dengan sumber panas dari busur listrik atau semburan api gas yang terbakar.
(22)
2. Pengelasan tekan adalah cara pengelasan di mana sambungan dipanaskan dan kemudian ditekan hingga menjadi satu.
3. Pematrian adalah cara pengelasan di mana sambungan diikat dan disatukan dengan menggunakan paduan logam yang mempunyai titik cair rendah. Dalam cara ini logam induk tidak turut mencair.
Klasifikasi cara pengelasan dapat dilihat pada gambar 2.1.
Gambar 2.1 Klasifikasi pengelasan.
(Sumber: http://www.mesin-teknik.blogspot.com)
2.1.2 Las Oxy-Acetylene
Pengelasan dengan oxy-acetylene adalah proses pengelasan secara manual dengan pemanasan permukaan logam yang akan dilas atau disambung sampai mencair oleh nyala gas acetylene melalui pembakaran C2H2 dengan gas O2 dengan
(23)
atau tanpa logam pengisi. Proses penyambungan dapat dilakukan dengan tekanan sangat tinggi sehingga dapat mencairkan logam.
Pengelasan dengan gas dilakukan dengan membakar bahan bakar gas yang dicampur dengan oksigen (O2) sehingga menimbulkan nyala api dengan suhu
tinggi (3000oC) yang mampu mencairkan logam induk dan logam pengisinya. Jenis bahan bakar gas yang digunakan adalah acetylene, propana atau hidrogen, sehingga cara pengelasan ini dinamakan las oxy-acetylene atau dikenal dengan nama las karbit. Gambar tabung oksigen dan acetylene dapat dilihat pada gambar 2.2.
Gambar 2.2 Tabung oksigen dan acetylene.
(Sumber : Sri Widharto, 2007)
Nyala acetylene diperoleh dari nyala gas campuran oksigen dan acetylene
yang digunakan untuk memanaskan logam sampai mencapai titik cair logam induk. Pengelasan dapat dilakukan dengan atau tanpa logam pengisi. Oksigen diperoleh dari proses elektrolisa atau proses pencairan udara. Oksigen komersil
(24)
umumnya berasal dari proses pencairan udara dimana oksigen dipisahkan dari nitrogen. Oksigen ini disimpan dalam silinder baja pada tekanan 14 MPa. Gas asetilen (C2H2) dihasilkan dari reaksi kalsium karbida dengan air.
Gelembung-gelembung gas naik dan endapan yang terjadi adalah kapur tohor. Reaksi yang terjadi dalam tabung asetilen adalah:
2C2H2 + 5O2 4CO2 + H20
Karbida kalsium keras, mirip batu, berwarna kelabu dan terbentuk sebagai hasil reaksi antara kalsium dan batu bara dalam dapur listrik. Hasil reaksi ini kemudian digerus, dipilih dan disimpan dalam drum baja yang tertutup rapat. Gas
acetylene dapat diperoleh dari generator acetylene yang menghasilkan gas
acetylene dengan mencampurkan karbid dengan air atau kini dapat dibeli dalam tabung-tabung gas siap pakai. Agar aman tekanan gas asetilen dalam tabung tidak boleh melebihi 100 KPa, dan disimpan tercampur dengan aseton. Tabung
acetylene diisi dengan bahan pengisi berpori yang jenuh dengan aseton, kemudian diisi dengan gas acetylene. Tabung jenis ini mampu menampung gas acetylene
bertekanan sampai 1,7 MPa.
Nyala hasil pembakaran dalam las oxy-acetylene dapat berubah bergantung pada perbandingan antara gas oksigen dan gas acetylene nya. Ada tiga macam nyala api dalam las oxy-acetylene seperti ditunjukkan pada gambar di bawah:
1. Nyala acetylene lebih (Nyala karburasi)
Bila terlalu banyak perbandingan gas acetylene yang digunakan maka di antara kerucut dalam dan kerucut luar akan timbul kerucut nyala baru berwarna biru. Di antara kerucut yang menyala dan selubung
(25)
luar akan terdapat kerucut antara yang berwarna keputih-putihan, yang panjangnya ditentukan oleh jumlah kelebihan acetylene. Hal ini akan menyebabkan terjadinya karburisasi pada logam cair. Nyala ini banyak digunakan dalam pengelasan logam monel, nikel, berbagai jenis baja dan bermacam-macam bahan pengerasan permukaan non-ferous. Gambar 2.3 merupakan gambar nyala karburasi.
Gambar 2.3 Nyala karburasi. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
2. Nyala oksigen lebih (Nyala oksidasi)
Bila gas oksigen lebih daripada yang dibutuhkan untuk menghasilkan nyala netral maka nyala api menjadi pendek dan warna kerucut dalam berubah menjadi ungu. Nyala ini akan menyebabkan terjadinya proses oksidasi atau dekarburisasi pada logam cair. Nyala yang bersifat oksidasi ini harus digunakan dalam pengelasan fusion dari kuningan dan perunggu namun tidak dianjurkan untuk pengelasan lainnya. Gambar 2.4 merupakan gambar nyala oksidasi.
Gambar 2.4 Nyala oksidasi. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
(26)
3. Nyala netral
Nyala ini terjadi bila perbandingan antara oksigen dan acetylene
sekitar satu. Nyala terdiri atas kerucut dalam yang berwarna putih bersinar dan kerucut luar yang berwarna biru bening. Oksigen yang diperlukan nyala ini berasal dari udara. Suhu maksimum setinggi 3300 sampai 3500o C tercapai pada ujung nyala kerucut. Gambar 2.5 merupakan gambar nyala netral.
Gambar 2.5 Nyala netral. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
Karena sifatnya yang dapat merubah komposisi logam cair maka nyala
acetylene berlebih dan nyala oksigen berlebih tidak dapat digunakan untuk mengelas baja. Suhu Pada ujung kerucut dalam kira-kira 3000o C dan di tengah kerucut luar kira-kira 2500o C.
Pada posisi pengelasan dengan oxy-acetylene arah gerak pengelasan dan posisi kemiringan pembakar dapat mempengaruhi kecepatan dan kualitas las. Dalam teknik pengelasan dikenal beberapa cara yaitu:
1. Pengelasan di bawah tangan
Pengelasan di bawah tangan adalah proses pengelasan yang dilakukan di bawah tangan dan benda kerja terletak di atas bidang datar. Sudut ujung pembakar (brander) terletak diantara 60° dan kawat pengisi
(27)
(filler rod) dimiringkan dengan sudut antara 30°-40° dengan benda kerja. Kedudukan ujung pembakar ke sudut sambungan dengan jarak 2– 3 mm agar terjadi panas maksimal pada sambungan. Pada sambungan sudut luar, nyala diarahkan ke tengah sambungan dan gerakannya adalah lurus.
2. Pengelasan mendatar (horizontal)
Pada posisi ini benda kerja berdiri tegak sedangkan pengelasan dilakukan dengan arah mendatar sehingga cairan las cenderung mengalir ke bawah, untuk itu ayunan brander sebaiknya sekecil mungkin. Kedudukan brander terhadap benda kerja menyudut 70° dan miring kira-kira 10° di bawah garis mendatar, sedangkan kawat pengisi dimiringkan pada sudut 10° di atas garis mendatar.
3. Pengelasan tegak (vertikal)
Pada pengelasan dengan posisi tegak, arah pengelasan berlangsung ke atas atau ke bawah. Kawat pengisi ditempatkan antara nyala api dan tempat sambungan yang bersudut 45°-60° dan sudut
brander sebesar 80°.
4. Pengelasan di atas kepala (over head)
Pengelasan dengan posisi ini adalah yang paling sulit dibandingkan dengan posisi lainnya dimana benda kerja berada di atas kepala dan pengelasan dilakukan dari bawahnya. Pada pengelasan posisi ini sudut brander dimiringkan 10° dari garis vertikal sedangkan kawat pengisi berada di belakangnya bersudut 45°-60°.
(28)
5. Pengelasan dengan arah ke kiri (maju)
Cara pengelasan ini paling banyak digunakan dimana nyala api diarahkan ke kiri dengan membentuk sudut 60° dan kawat las 30° terhadap benda kerja sedangkan sudut melintangnya tegak lurus terhadap arah pengelasan. Cara ini banyak digunakan karena cara pengelasannya mudah dan tidak membutuhkan posisi yang sulit saat mengelas.
6. Pengelasan dengan arah ke kanan (mundur)
Cara pengelasan ini adalah arahnya kebalikan daripada arah pengelasan ke kiri. Pengelasan dengan cara ini diperlukan untuk pengelasan baja yang tebalnya 4,5 mm ke atas.
Keuntungan dan kegunaan pengelasan oxy-acetylene sangat banyak, antara lain:
1. Peralatan relatif murah dan memerlukan pemeliharaan minimal/sedikit. 2. Cara penggunaannya sangat mudah, tidak memerlukan teknik-teknik
pengelasan yang tinggi sehingga mudah untuk dipelajari.
3. Mudah dibawa dan dapat digunakan di lapangan maupun di pabrik atau di bengkel-bengkel karena peralatannya kecil dan sederhana.
4. Dengan teknik pengelasan yang tepat hampir semua jenis logam dapat dilas dan alat ini dapat digunakan untuk pemotongan maupun penyambungan.
(29)
2.2 Pengelasan Pada Aluminium 2.2.1 Aluminium dan paduannya
Aluminium dan paduan aluminium termasuk logam ringan yang mempunyai kekuatan tinggi, tahan terhadap karat dan merupakan konduktor listrik yang cukup baik. Logam ini dipakai secara luas dalam bidang kimia, listrik, bangunan, transportasi dan alat-alat penyimpanan. Kemajuan akhir-akhir ini dalam teknik pengelasan busur listrik dengan gas mulia menyebabkan pengelasan aluminium dan paduannya menjadi sederhana dan dapat dipercaya. Karena hal ini maka penggunaan aluminium dan paduannya di dalam banyak bidang telah berkembang.
Paduan aluminium dapat diklasifikasikan dalam tiga cara, yaitu berdasarkan pembuatan, dengan klasifikasi paduan cor dan paduan tempa, berdasarkan perlakuan panas dengan klasifikasi, dapat dan tidak dapat diperlaku-panaskan dan cara yang ketiga yaitu berdasarkan unsur-unsur paduan. Berdasarkan klasifikasi ketiga ini aluminium dibagi dalam tujuh jenis yaitu jenis Al murni, Al-Cu, Al-Mn, Al-Si, Al-Mg, Al-Mg-Si, Al-Zn.
2.2.2 Sifat Umum Dari Beberapa Jenis Paduan
1. Aluminium murni (seri 1000)
Jenis ini adalah aluminium dengan kemurnian antara 99,0% dan 99,9%. Aluminium dalam seri ini di samping sifatnya yang baik dalam tahan karat, konduksi panas dan konduksi listrik juga memiliki sifat
(30)
yang memuaskan dalam mampu las dan mampu potong. Hal yang kurang baik adalah kekuatannya yang rendah.
2. Paduan Al-Cu (seri 2000)
Jenis paduan Al-Cu adalah jenis yang dapat diperlaku-panaskan, dengan melalui pengerasan endap atau penyepuhan sifat mekanik paduan ini dapat menyamai sifat dari baja lunak, tetapi daya tahan korosinya rendah bila dibanding dengan jenis paduan yang lainnya. Sifat mampu-lasnya juga kurang baik , karena itu paduannya jenis ini biasanya digunakan pada konstruksi keling dan banyak sekali digunakan dalam konstruksi pesawat terbang seperti duralumin dan super duralumin.
3. Paduan Al-Mn (seri 3000)
Jenis paduan ini adalah jenis yang tidak dapat diperlaku-panaskan sehingga penaikan kekuatannya hanya dapat diusahakan melalui pengerjaan dingin dalam proses pembuatannya. Bila dibandingkan dengan jenis aluminium murni paduan ini mempunyai sifat yang sama dalam hal tahan korosi, mampu potong dan mampu lasnya. Dalam hal kekuatan jenis paduan ini lebih unggul dari pada jenis aluminium murni.
4. Paduan Al-Si (seri 4000)
Jenis paduan ini adalah jenis yang tidak dapat diperlaku-panaskan. Jenis ini dalam keadaan cair mempunyai sifat mampu alir yang baik dan dalam prose pembekuannya hampir tidak terjadi retak.
(31)
Karena sifat-sifatnya, maka paduan jenis Al-Si banyak digunakan sebagai bahan atau logam las dalam pengelasan paduan aluminium baik paduan cor maupun paduan tempa.
5. Paduan Al-Mg (seri 5000)
Jenis paduan ini termasuk paduan yang tidak dapat diperlaku-panaskan, teapi mempunyai sifat yang baik dalam daya tahan korosi, terutama korosi oleh air laut, dan dalam sifat mampu-lasnya. Paduan Al-Mg banyak digunakan tidak hanya dalam konstruksi umum, tetapi juga untuk tangki-tangki penyimpanan gas alam cair dan oksigen cair. 6. Paduan Al-Mg-Si (seri 6000)
Jenis paduan ini termasuk dalam jenis yang dapat diperlaku-panaskan dan mempunyai sifat mampu potong, mampu las dan daya tahan korosi yang cukup. Sifat yang kurang baik dari paduan ini adalah terjadi pelunakan pada daerah las sebagai akibat dari panas pengelasan yang timbul.
7. Paduan Al-Zn (seri 7000)
Jenis paduan ini termasuk jenis yang dapat diperlaku-panaskan. Biasanya kedalam paduan pokok Al-Zn ditambahkan Mg, Cu, Cr. Sifat mampu-las dan daya tahannya terhadap korosi kurang menguntungkan. Dalam waktu akhir-akhir ini paduan Al-Zn-Mg mulai banyak digunakan dalam kontruksi, karena jenis ini mempunyai sifat mampu las dan daya tahan korosi yang lebih baik dari pada paduan dasar Al-Zn.
(32)
Di samping itu juga pelunakan pada daerah las dapat mengeras kembali karena pengerasan alamiah.
2.2.3 Paduan Aluminium Magnesium
Dalam paduan biner Al-Mg satu fasa yang ada dalam keseimbangan dengan larutan padat Al adalah larutan padat yang merupakan senyawa antar logam Al3Mg2. Sel satuannya merupakan hexagonal susunan rapat (eph) tetapi ada juga
yang sel satuannya kubus berpusat muka (fcc) rumit. Titik eutetiknya adalah 450 ºC, 35% Mg dan batas kelarutan padatnya pada temperature eutektik adalah 17,4% yang menurun pada temperature biasa sampai kira-kira 1,9% Mg, jadi kemampuan penuaan dapat diharapkan.
Paduan Al-Mg mempunyai ketahanan korosi yang sangat baik disebut hidrinalium. Paduan dengan 2-3% Mg dapat mudah ditempa, dirol dan diekstrusi. Paduan Al-Mg umumnya non heat tretable. Seri 5052 banyak digunakan pada pipa hidrolik, lembarlogampembuatanmobil, truk, dan lain-lain. Seri 5052 biasa digunakan sebagai bahan tempaan. Paduan 5056 adalah paduan paling kuat setelah dikeraskan oleh pengerasan regangan apabila diperlakukan kekerasan tinggi. Paduan 5083 yang dianil adalah paduan antara (4,5% Mg) yang kuat dan mudah dilas sehingga banyak digunakan sebagai bahan untuk tangki LNG. Seri 5005 dengan 0,8% Mg banyak digunakan sebagai batang profil extrusi. Seri 5050 dengan 1,4%Mg dipakai sebagai pipa saluran minyak dan gas pada kendaraan.
(33)
2.2.4 Sifat Mampu las
Dalam hal pengelasan, paduan aluminium mempunyai sifat yang kurang baik bila dibandingkan dengan baja. Sifat-sifat yang kurang baik tersebut adalah:
1. Karena panas jenis dan daya hantar panasnya tinggi maka sukar sekali untuk memanaskan dan mencairkan sebagian kecil saja.
2. Paduan aluminium mudah teroksidasi dan membentuk oksida aluminium AlO3 yang mempunyai titik cair yang tinggi. Karena sifat ini
maka peleburan antara logam dasar dan logam las menjadi terhalang. 3. Karena mempunyai koefisien muai yang besar, maka mudah sekali
terjadi deformasi sehingga paduan-paduan yang mempunyai sifat getas panas akan cenderung membentuk retak-panas.
4. Karena perbedaan yang tinggi antara kelarutan hidrogen dalam logam cair logam padat, maka dalam proses pembekuan yang terlalu cepat akan terbentuk rongga halus bekas kantong-kantong hidrogen.
5. Paduan aluminium mempunyai berat jenis rendah, karena itu banyak zat-zat lain yang terbentuk selama pengelasan akan tenggelam. Keadaan ini memudahkan terkandungnya zat-zat yang tidak dikehendaki ke dalamnya.
6. Karena titik cair dan viskositasnya rendah, maka daerah yang kena pemanasan mudah mencair dan jatuh menetes.
Akhir-akhir ini sifat yang kurang baik ini telah dapat diatasi dengan alat dan teknik las yang lebih maju dan dengan menggunakan gas mulia sebagai pelindung
(34)
selama pengelasan. Dengan kemajuan ini maka sifat mampu las dari paduan aluminium menjadi lebih baik lagi.
2.3 Cacat Pada las
Jenis Cacat Permukaan Las: 1. Lubang Jarum (Pin Hole)
Sebab: Terbentuk gas di dalam bahan las sewaktu pengelasan akibat kandungan belerang dalam bahan.
Akibat: Kemungkinan bocor di lokasi cacat.
Penanggulangan: Gouging 100% di lokasi cacat dan perbaiki sesuai WPS asli. Cacat lubang jarum ditunjukkan pada gambar 2.6.
Gambar 2.6 Lubang jarum. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
2. Percikan Las (Spatter)
Sebab: Elektrode lembab, kampuh kotor, angin kencang, lapisan galvanisir, ampere capping terlalu tinggi.
Akibat: Tampak jelek, mengalami karat permukaan.
Penanggulangan: Cukup dibersihkan dengan pahat. Pembersih dengan gerinda tidak boleh mengingat akan
(35)
memakan bahan induk. Cacat percikan las ditunjukkan pada gambar 2.7.
Gambar 2.7 Percikan las. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
3. Retak (Crack)
Sebab: Tegangan di dalam material, penggetasan pada bahan dan daerah terimbas panas, karat tegangan, bahan tidak cocok dengan kawat las, pengelasan tanpa perlakuan panas yang benar.
Akibat: Fatal.
Penanggulangan: Diselidiki dulu sebabnya, setelah diketahui baru ujung-ujung retak dibor dan bagian retak digouging (dikikis) 100% kemudian diisi dengan bahan yang cocok sesuai dengan WPS. Jika sebabnya adalah ketidakcocokan materil atau retak berada di luar kampuh, maka seluruh sambungan las berikut bahannya diganti. Cacat retak ditunjukkan pada gambar 2.8.
(36)
Gambar 2.8 Retak. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
4. Keropos (Porosity)
Sebab: Lingkungan las lembab atau basah, kampuh kotor, angin berhembus dipermukaan las, lapisan galvanis, salah jenis arus, salah jenis polaritas, ampere capping terlalu besar. Akibat: Melemahkan sambungan, tampak buruk, mengawali karat
permukaan.
Penanggulangan: Cacat digerinda hingga hilang kemudian dilas isi sesuai WPS. Cacat keropos ditunjukkan pada gambar 2.9.
Gambar 2.9 Keropos. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
(37)
5. Muka Cekung (Concavity)
Sebab: Tukang las terlalu cepat selesai, amper capping terlalu tinggi, kecepatan las capping terlalu tinggi, elektroda terlalu kecil, bukaan sudut kampuh terlalu besar.
Akibat: Melemahkan sambungan, mengawali karat permukaan, dapat terjadi keretakan akibat tegangan geser.
Penanggulangan: Cukup di sempurnakan bentuk capping dan sedikit penguat (reinforcement). Cacat muka cekung ditunjukkan pada gambar 2.10
Gambar 2.10 Muka cekung. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
6. Longsor Pinggir (Undercut)
Sebab: Suhu metal terlalu tinggi, ampere capping terlalu tinggi. Akibat: Melemahkan sambungan, mengawali karat permukaan.
Penanggulangan: Cukup diisi dengan stringer saja. Undercut yang tajam seperti takik, dilarang (harus segera diperbaiki) karena dapat menyebabkan keretakan
notch. Cacat longsor pinggir ditunjukkan pada gambar 2.11.
(38)
Gambar 2.11 Longsor Pinggir. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
7. Penguat berlebihan (Excessive Reinforcement)
Sebab: Elektrode terlalu rapat, kecepatan capping terlalu rendah, ampere capping terlalu rendah, suhu metal terlalu dingin. Akibat: Diragukan fusi dan kekuatannya, perlu diuji ultrasonik proba
sudut (angle probe), jika ternyata fusi tidak ada, seluruh sambungan diapkir.
Penanggulangan: Gounging 100% dan dilas ulang sesuai WPS. Welder
diperingatkan. Cacat penguat berlebihan ditunjukkan pada gambar 2.12.
Gambar 2.12 Penguat berlebihan. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
8. Jalur Terlalu Lebar (Wide Bead)
Sebab: Mungkin telah terjadi manipulasi mutu las.
Akibat: Jika terbukti, seluruh material diapkir. Cacat jalur terlalu lebar ditunjukkan pada gambar 2.13.
(39)
Gambar 2.13 Jalur terlalu lebar. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
9. Tinggi Rendah (High Low)
Sebab: Penyetelan tidak benar. Akibat: Sambungan diapkir.
Penanggulangan: Gouging 100%, disetel dan dilas ulang sesuai WPS. Welder diperingatkan. Cacat tinggi rendah ditunjukkan pada gambar 2.14.
Gambar 2.14 Tinggi rendah. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
10. Lapis Dingin (Cold Lap)
Sebab: Suhu metel terlalu dingin, ampere capping terlalu rendah, ayunan (sway) tidak tetap (consistent).
Akibat: Terjadi fusi tidak sempurna dipermukaan dan mungkin juga di dalam. Karenanya mutu las dipertanyakan.
(40)
Penanggulangan: Bongkar keseluruhan jalur las untuk kemudian dibuat kampuh lagi dan dilas ulang sesuai WPS. Cacat lapis dingin ditunjukkan pada gambar 2.15.
Gambar 2.15 Lapis dingin. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
11. Penetrasi Tidak Sempurna (Incomplete Penetration)
Sebab: Celah terlalu sempit, elektrode terlalu tinggi, ampere mesin las tidak tetap, celah tidak seragam (sempit dan lebar tidak beraturan), ampere akar las rendah, kampuh kotor, elektrode terlalu besar.
Akibat: Di bagian cacat berpotensi retak.
Penanggulangan: Gouging 100% pada bagian cacat dan dilas ulang sesuai WPS. Cacat penetrasi tidak sempurna ditunjukkan pada gambar 2.16.
Gambar 2.16 Penetrasi tidak sempurna. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
(41)
12. Penetrasi Berlebihan (Excessive Penetration)
Sebab: Celah terlalu lebar, elektrode terlalu kecil, ampere akar terlalu tinggi, kecepatan akan terlalu rendah, elektrode terlalu dalam.
Akibat: Biasa menyebabkan retak akar, karat sebelah dalam, menghancurkan piq (bola pembersih dalam pipa).
Penanggulangan: Bongkar total, setel kembali dan dilas ulang sesuai WPS. Cacat penetrasi berlebihan ditunjukkan pada gambar 2.17.
Gambar 2.17 Penetrasi berlebihan. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
13. Retak Akar (Root Crack)
Sebab: Celah terlalu lebar, elektrode terlalu kecil, ampere akar terlalu tinggi, kecepatan akan terlalu rendah, elektrode terlalu dalam.
Akibat: Biasa menyebabkan retak akar, karat sebelah dalam, menghancurkan piq (bola pembersih dalam pipa).
Penanggulangan: Bongkar total, setel kembali dan dilas ulang sesuai WPS. Jika retak keluar dari jalur las maka seluruh
(42)
material diganti. Cacat retak akar ditunjukkan pada gambar 2.18.
Gambar 2.18 Retak akar. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
14. Terbakar Tembus (Blow Hole)
Sebab: Celah tidak seragam, ampere mesin las tiba-tiba naik, posisi elektrode naik turun.
Akibat: Pada lokasi cacat sambungan lemahdan terdapat kemungkinan bocor, mengawali erosi dan karat tegangan pada lokasi cacat.
Penanggulangan: Gouging 100% di lokasi cacat dan diisi ulang sesuai WPS. Cacat terbakar tembus ditunjukkan pada gambar 2.19.
Gambar 2.19 Terbakar tembus. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
(43)
15. Longsor Pinggir Akar (Root Undercut)
Sebab: Suhu metal terlalu tinggi pada saat pengelasan akar, ampere akan terlalu besar.
Akibat: Mengawali erosi dan karat sebelah dalam, memungkinkan terjadinya retak takik (notch).
Penanggulangan: Lokasi cacat di gouging 100% dan dilas ulang sesuai WPS. Cacat longsor pinggir akar ditunjukkan pada gambar 2.20.
Gambar 2.20 Longsor pinggir akar. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
16. Akar Cekung (Root Concavity/ Such Up)
Sebab: Terhisapnya las akar oleh jalur las di atasnya (khususnya pada GTAW), kecepatan las akar terlalu tinggi.
Akibat: Melemahkan sambungan, potensi terjadi erosi dan karat tegangan.
Penanggulangan: Lokasi cacat di gouging 100% dan dilas ulang sesuai WPS. Cacat akar cekung ditunjukkan pada gambar 2.21.
(44)
Gambar 2.21 Akar cekung. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
17. Stop Start A
Sebab: Penggantian elektrode terlalu mundur. Akibat: Tampak buruk.
Penanggulangan: Cukup disesuaikan dengan sekitarnya. Cacat stop start A ditunjukkan pada gambar 2.22
Gambar 2.22 Stop start A. (Sumber : Sri Widharto, 2007)
18. Stop start B
Sebab: Penggantian elektrode terlalu maju.
Akibat: Terjadi bagian yang tidak terjadi (underfill) yang berpotensi retak.
Penanggulangan: Bersihkan bagian yang underfill. Cacat stop start B ditunjukkan pada gambar 2.23.
(45)
Gambar 2.23 Stop start B. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
Cacat las dapat dibagi dalam tiga kelompok, yakni: 1. Kelompok cacat visual
Yakni cacat yang tampak di permukaan las, seperti : spatters
(percikan las), pin hole (lubang jarum), porosity (gelembung gas/keropos), convacity (cekung), crack (retak) memanjang atau melintang, cold lap (lapis dingin), undercut (longsor pinggir) baik yang bertegangan rendah maupun tinggi (notch), excessive reinforcement
(terlalu menonjol), wide bead (terlalu lebar), high low (tinggi rendah/salah penyetelan), stop start (salah sewaktu mengganti elektrode).
2. Kelompok cacat non visual
Yakni cacat yang terdapat di permukaan namun tidak tampak karena berada pada akar las, seperti : porosity, convacity, undercut, crack, excessive penetration (tembusan berlebihan), incomplete penetration (tidak ada tembusan), blow hole (terbakar tembus).
(46)
Yakni cacat yang terdapat di dalam bahan las yang baru dapat dideteksi dengan menggunakan teknik uji tanpa merusak seperti : radiografi, ultrasonik maupun magnetik partikel, seperti : slag inclusion
(inklusi terak), porosity, slag lines (jajaran terak) atau wagon track
(jejak gerobak), crack, worm metal (inklusi tungsten/ logam berat),
incomplete fussion (fusi tidak sempurna), cold lap.
2.4 Metode Non Destructive Test
Adapun Metode utama Non Destructive Testing meliputi:
1. Visual Inspection
Sering kali metode ini merupakan langkah yang pertama kali diambil dalam NDT.Metode ini bertujuan menemukan cacat atau retak permukaan dan korosi.Dalam hal ini tentu saja adalah retak yang dapat terlihat oleh mata telanjang atau dengan bantuan lensa pembesar ataupun boroskop.
2. Liquid Penetrant Test
Metode Liquid Penetrant Test merupakan metode NDT yang paling sederhana. Metode ini digunakan untuk menemukan cacat di permukaan terbuka dari komponen solid, baik logam maupun non logam, seperti keramik dan plastik fiber. Melalui metode ini, cacat pada material akan terlihat lebih jelas. Caranya adalah dengan memberikan cairan berwarna terang pada permukaan yang diinspeksi. Cairan ini harus memiliki daya penetrasi yang baik dan viskositas yang rendah agar dapat masuk pada
(47)
cacat dipermukaan material. Selanjutnya, penetrant yang tersisa di permukaan material disingkirkan. Cacat akan nampak jelas jika perbedaan warna penetrant dengan latar belakang cukup kontras. Seusai inspeksi, penetrant yang tertinggal dibersihkan dengan penerapan developer. Semua ketidaksempurnaan yang terdapat pada permukaan bahan dapt dideteksi dengan cara ini, tidak terpengaruh oleh orientasi cacatnya. Sedangkan cacat-cacat yang terletak dibawah permukaan tidak dapat dideteksi dengan pengujian ini.
Gambar 2.24 Metode Penetran. (Sumber: www.google.com)
Kelemahan dari metode ini antara lain adalah bahwa metode ini hanya bisa diterapkan pada permukaan terbuka. Metode ini tidak dapat diterapkan pada komponen dengan permukaan kasar, berpelapis, atau berpori.
(48)
Dengan menggunakan metode ini, cacat permukaan (surface) dan bawah permukaan (subsurface) suatu komponen dari bahan ferromagnetik dapat diketahui. Prinsipnya adalah dengan memagnetisasi bahan yang akan diuji. Adanya cacat yang tegak lurus arah medan magnet akan menyebabkan kebocoran medan magnet. Kebocoran medan magnet ini mengindikasikan adanya cacat pada material. Cara yang digunakan untuk memdeteksi adanya kebocoran medan magnet adalah dengan menaburkan partikel magnetik dipermukaan. Partikel-partikel tersebuat akan berkumpul pada daerah kebocoran medan magnet.
Kelemahannya, metode ini hanya bisa diterapkan untuk material ferromagnetik. Selain itu, medan magnet yang dibangkitkan harus tegak lurus atau memotong daerah retak serta diperlukan demagnetisasi di akhir inspeksi.
4. Eddy Current Test
Inspeksi ini memanfaatkan prinsip elektromagnet. Prinsipnya, arus listrik dialirkan pada kumparan untuk membangkitkan medan magnet didalamnya. Jika medan magnet ini dikenakan pada benda logam yang akan diinspeksi, maka akan terbangkit arus Eddy. Arus Eddy kemudian menginduksi adanya medan magnet. Medan magnet pada benda akan berinteraksi dengan medan magnet pada kumparan dan mengubah impedansi bila ada cacat.
(49)
Keterbatasan dari metode ini yaitu hanya dapat diterapkan pada permukaan yang dapat dijangkau.Selain itu metode ini juga hanya diterapkan pada bahan logam saja.
5. Ultrasonic Inspection
Prinsip yang digunakan adalah prinsip gelombang suara. Gelombang suara yang dirambatkan pada spesimen uji dan sinyal yang ditransmisi atau dipantulkan diamati dan interpretasikan. Gelombang ultrasonic yang digunakan memiliki frekuensi 0.5 – 20 MHz. Gelombang suara akan terpengaruh jika ada void, retak, atau delaminasi pada material. Gelombang ultrasinic ini dibnagkitkan oleh tranducer dari bahan piezoelektri yang dapat mengubah energi listrik menjadi energi getaran mekanik kemudian menjadi energi listrik lagi.
6. Radiographic Inspection
Metode NDT ini dapat untuk menemukan cacat pada material dengan menggunakan sinar X dan sinar gamma. Prinsipnya, sinar X dipancarkan menembus material yang diperiksa. Saat menembus objek, sebagian sinar akan diserap sehingga intensitasnya berkurang. Intensitas akhir kemudaian direkam pada film yang sensitif. Jika ada cacat pada material maka intensitas yang terekam pada film tentu akan bervariasi. Hasil rekaman pada film ini lah yang akan memeperlihatkan bagian material yang mengalami cacat.
(50)
2.5 Uji Impak
Menurut Dieter, George E (1988) uji impak digunakan dalam menentukan kecenderungan material untuk rapuh atau ulet berdasarkan sifat ketangguhannya. Uji ini akan mendeteksi perbedaan yang tidak diperoleh dari pengujian tegangan regangan. Hasil uji impak juga tidak dapat membaca secara langsung kondisi perpatahan batang uji, sebab tidak dapat mengukur komponen gaya-gaya tegangan tiga dimensi yang terjadi pada batang uji. Hasil yang diperoleh dari pengujian impak ini, juga tidak ada persetujuan secara umum mengenai interpretasi atau pemanfaatannya.
Sejumlah uji impak batang uji bertakik dengan berbagai desain telah dilakukan dalam menentukan perpatahan rapuh pada logam. Metode yang telah menjadi standar untuk uji impak ini ada 2, yaitu uji impak metode Charpy dan metode Izod. Metode charpy banyak digunakan di Amerika Serikat, sedangkan metode Izod lebih sering digunakan di sebagian besar dataran Eropa. Batang uji metode charpy memiliki spesifikasi, luas penampang 10 mm x 10 mm, takik berbentuk V. Proses pembebanan uji impak pada metode Charpy dan metode Izod dengan sudut 45°, kedalaman takik 2 mm dengan radius pusat 0.25 mm.
Batang uji Charpy kemudian diletakkan horizontal pada batang penumpu dan diberi beban secara tiba-tiba di belakang sisi takik oleh pendulum berat berayun (kecepatan pembebanan ±5 m/s). Batang uji Izod, lebih banyak dipergunakan saat ini, memiliki luas penampang berbeda dan takik berbentuk v yang lebih dekat pada ujung batang. Dua metode ini juga memiliki perbedaan
(51)
pada proses pembebanan. (Dieter, George E., 1988). Metode pembebanan impak ditunjukkan pada gambar 2.25.
Gambar 2.25 Pembebanan metode Charpy dan metode Izod. (Sumber: Fajar Ismail, 2012)
2.5.1 Pengujian Impak Metode Charpy
Pengujian impak Charpy (juga dikenal sebagai tes Charpy v-notch) merupakan standar pengujian laju regangan tinggi yang menentukan jumlah energi yang diserap oleh bahan selama terjadi patahan. Energi yang diserap adalah ukuran ketangguhan bahan tertentu dan bertindak sebagai alat untuk belajar bergantung pada suhu transisi ulet getas. Metode ini banyak digunakan pada industri dengan keselamatan yang kritis, karena mudah untuk dipersiapkan dan dilakukan. Tes ini dikembangkan pada 1905 oleh ilmuwan Perancis Georges Charpy. Pengujian ini penting dilakukan dalam memahami masalah patahan kapal selama Perang Dunia II. Metode pengujian material ini sekarang digunakan di banyak industri untuk menguji material yang digunakan dalam pembangunan kapal, jembatan, dan untuk menentukan bagaimana keadaan alam (badai, gempa bumi, dan lainnya) akan mempengaruhi bahan yang digunakan dalam berbagai macam aplikasi industri. Tujuan uji impact charpy adalah untuk mengetahui
(52)
kegetasan atau keuletan suatu bahan (spesimen) yang akan diuji dengan cara pembebanan secara tiba-tiba terhadap benda yang akan diuji secara statik.
Dimana benda uji dibuat takikan terlebih dahulu sesuai dengan standar ASTM E23 05 dan hasil pengujian pada benda uji tersebut akan terjadi perubahan bentuk seperti bengkokan atau patahan sesuai dengan keuletan atau kegetasan terhadap benda uji tersebut. Percobaan uji impact charpy dilakukan dengan cara pembebanan secara tiba-tiba terhadap benda uji yang akan diuji secara statik, dimana pada benda uji dibuat terlebih dahulu sesuai dengan ukuran standar ASTM E23 05.
2.5.2 Mesin Uji Impak
Mesin uji bentur (impact) yang digunakan untuk mengetahui harga impak suatu bahan yang diakibatkan oleh gaya kejut pada bahan uji tesebut. Tipe dan bentuk konstruksi mesin uji bentur beraneka ragam mulai dari jenis konvensional sampai dengan sistem digital yang lebih maju. Dalam pembebanan statis dapat juga terjadi laju deformasi yang tinggi kalau bahan diberi takikan, maka tajam takikan makin besar deformasi yang terkonsentrasikan pada takikan, yang memungkinkan meningkatkan laju regangan beberapa kali lipat. Patah getas menjadi permasalahan penting pada baja dan besi. Pengujian impact charpy banyak dipergunakan untuk menentukan kualitas bahan. Benda uji takikan berbentuk V yang mempunyai keadaan takikan 2 mm banyak dipakai. Permukaan benda uji pada impact charpy dikerjakan halus pada semua permukaan. Mesin uji impak charpy ditunjukkan pada gambar 2.30.
(53)
Gambar 2.26 Mesin Uji Impak Charpy. (Sumber: http://www.batan.go.id/ )
Takikan dibuat dengan mesin freis atau alat notch khusus takik. Semua dikerjakan menurut standar yang ditetapkan. Pada pengujian adalah suatu bahan uji yang ditakikan, dipukul oleh pendulum (bandul) yang mengayun. Dengan pengujian ini dapat diketahui sifat kegetasan suatu bahan. Berikut ini merupakan salah satu mesin uji impak.
Cara ini dapat dilakukan dengan cara charpy. Pada pengujian kegetasan bahan dengan cara impact charpy, pendulum diarahkan pada bagian belakang takik dari batang uji. Sedangkan pada pengujian impact cara izod adalah pukulan pukulan pendulum diarahkan pada jarak 22 mm dari penjepit dan takikannya menghadap pendulum. Standar ASTM untuk pengujian impak ditunjukkan pada gambar 2.27.
(54)
Gambar 2.27 Standar ASTM untuk pengujian impak. (Sumber: http://civil112web01.unm.edu/)
Perbedaan Charpy dengan Izod adalah peletakan spesimen. Pengujian dengan menggunkan Charpy lebih akurat karena pada Izod, pemegang spesimen juga turut menyerap energi, sehingga energi yang terukur bukanlah energi yang mampu di serap material seutuhnya.
Faktor yang mempengaruhi kegagalan material pada pengujian impak adalah:
1. Notch
Notch pada material akan menyebabkan terjadinya konsentrasi tegangan pada daerah yang lancip sehingga material lebih mudah patah. Selain itu notch juga akan menimbulkan triaxial stress. Triaxial stress
(55)
menyebabkan material menjadi getas. Sehingga tidak ada tanda-tanda bahwa material akan mengalami kegagalan.
2. Temperatur
Pada temperatur tinggi material akan getas karena pengaruh vibrasi elektronnya yang semakin rendah, begitupun sebaliknya.
3. Strainrate
Jika pembebanan diberikan pada strain rate yang biasa-biasa saja, maka material akan sempat mengalami deformasi plastis, karena pergerakan atomnya (dislokasi). Dislokasi akan bergerak menuju ke batas butir lalu kemudian patah. Namun pada uji impak, strain rate yang diberikan sangat tinggi sehingga dislokasi tidak sempat bergerak, apalagi terjadi deformasi plastis, sehingga material akan mengalami patah transgranular, patahnya ditengah-tengah atom, bulan di batas butir.
Pada baja dan aluminium terdapat perbedaan harga impak. Harga impak baja lebih tinggi daripada aluminium menunjukkan bahwa ketangguhan baja lebih tinggi jika dibandingkan dengan aluminium. Ketangguhan adalah kemampuan material untuk menyerap energi dan berdeformasi plastis hingga patah.
Selain suhu, hal lain yang mempengaruhi harga impak suatu material adalah kadar karbonnya. Material yang memiliki kadar karbon yang tinggi akan lebih getas. Hal ini akan mempengaruhi harga impaknya dan temperature transisi. Material yang memiliki kadar karbon tinggi akan memiliki temperature transisi yang lebih panjang jika dibandingkan dengan material yang memiliki kadar
(56)
karbon rendah. Temperatur transisi yang berbeda-beda ini akan mempengaruhi ketahanan material terhadap perubahan suhu. Material yang memiliki temperature transisi rendah maka material tersebut tidak akan tehan terhadap perubahan suhu. Pada pembebanan impak ini, terjadi proses penyerapan energy yang besar. Usaha yang dilakukan pendulum waktu memukul benda uji atau energi yang diserap benda uji sampai patah didapat rumus yaitu :
E = Ep1 – Ep2
= m. g. h1 – m. g. h2 = m . g (h1 – h2 )
= m . g (λ (1- cos α) - λ (cosβ– cos α) = m. g . λ (cosβ– cos α)
E = m . g. λ (cos β – cos α)
Keterangan: Ep = Energi Potensial Em = Energi Mekanik m = Berat Pendulum (Kg) g = Gravitasi 9,81 m/s2
h1 = Jarak awal antara pendulum dengan benda uji (m) h2 = Jarak akhir antara pendulum dengan benda uji (m)
λ = Jarak lengan pengayun (m)
cos α = Sudut posisi awal pendulum cos β = Sudut posisi akhir pendulum
(57)
Dari persamaan rumus diatas didapatkan besarnya harga impak yaitu:
I = E A
Dimana: I = Nilai Ketangguhan Impak (Joule/mm2) E = Energi Yang Diserap (Joule)
A = Luas Penampang Dibawah Takikan (mm2)
Takik (notch) dalam benda uji standar ditujukan sebagai suatu konsentrasi tegangan sehingga perpatahan diharapkan akan terjadi di bagian tersebut. Selain berbentuk V dengan sudut 45o, takik dapat pula dibuat dengan bentuk lubang kunci ( key hole ). Pengukuran lain yang biasa dilakukan dalam pengujian impak Charpy adalah penelaahan permukaan perpatahan untuk menentukan jenis perpatahan yang terjadi.
2.5.3 Jenis Patahan
Pada spesimen yang telah dilakukan pengujian impak, akan dapat diketahui jenis patahan yang dihasilkan. Adapun jenis-jenis patahan tersebut antara lain:
1.Patahan Getas
Ciri-ciri patahan getas adalah memiliki permukaan rata dan mengkilap, apabila potongan ini disambung kembali maka kedua potongan ini akan menyambung dengan baik dan rapat. Hal ini disebabkan pada saat proses patahnya, spesimen tidak mengalami
(58)
deformasi. Bahan yang memiliki jenis patahan ini mempunyai kekuatan impak yang rendah.
2.Patahan Liat
Ciri-ciri permukaan patahan jenis ini tidak rata dan tampak seperti beludru, buram dan berserat. Jika potongan disambungkan kembali maka sambungan tidak akan rapat. Bahan yang memiliki jenis patahan ini mempunyai kekuatan impak yang tinggi, karena sebelum patah bahan mengalami deformasi terlebih dahulu.
3.Patahan Campuran
Ciri-cirinya patahan jenis ini adalah permukaan patahan sebagian terdiri dari patahan getas dan sebagian yang lain adalah patahan liat. Sifat-sifat patahan ditunjukkan pada gambar 2.32.
(a) (b) (c)
Gambar 2.28: Sifat-sifat Patahan (a) Patahan getas, (b) Patahan liat, dan (c) Patahan campuran
2.6 Kampuh Las
Untuk menghasilkan kualitas sambungan las yang baik, salah satu faktor yang harus diperhatikan yaitu kampuh las. Kampuh las ini berguna untuk menampung bahan pengisi agar lebih banyak yang merekat pada benda kerja, dengan demikian kekuatan las akan terjamin.
(59)
Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan jenis kampuh adalah:
1. Ketebalan benda kerja. 2. Jenis benda kerja.
3. Kekuatan yang diinginkan. 4. Posisi pengelasan.
Sebelum memulai proses pengelasan terlebih dahulu ditentukan jenis sambungan las yang akan dipilih. Hal-hal yang harus diperhatikan bahwa sambungan yang dibuat akan mampu menerima beban (beban statis, beban dinamis, atau keduanya).
Dengan adanya beberapa kemungkinan pemberian beban sambungan las, maka terdapat beberapa jenis sambungan las, yaitu sebagai berikut:
1. Kampuh V Tunggal
Sambungan V tunggal juga dapat dibuat tertutup dan terbuka. Sambungan ini juga lebih kuat dari pada sambungan persegi, dan dapat dipakai untuk menerima gaya tekan yang besar, serta lebih tahan terhadap kondisi beban statis dan dinamis. Pada pelat dengan tebal 5 mm–20 mm penetrasi dapat dicapai 100%.
2. Kampuh Persegi
Sambungan ini dapat dibuat menjadi 2 kemungkinan, yaitu sambungan tertutup dan sambungan terbuka. Sambungan ini kuat untuk beban statis tapi tidak kuat untuk beban tekuk.
(60)
3. Kampuh V Ganda
Sambungan ini lebih kuat dari pada V tunggal, sangat baik untuk kondisi beban statis dan dinamis serta dapat menjaga perubahan bentuk kelengkungan sekecil mungkin. dipakai pada ketebalan 18 mm-30 mm. 4. Kampuh Tirus Tunggal
Sambungan ini digunakan untuk beban tekan yang besar. Sambungan ini lebih baik dari sambungan persegi, tetapi tidak lebih baik dari pada sambungan V. Letaknya disarankan terbuka dan dipakai pada ketebalan pelat 6 mm-20 mm.
5. Kampuh U Tunggal
Kampuh U tunggal dapat dibuat tertutup dan terbuka. Sambungan ini lebih kuat menerima beban statis dan diperlukan untuk sambungan berkualitas tinggi. Dipakai pada ketebalan 12 mm-25 mm. 6. Kampuh U Ganda
Sambungan U ganda dapat jg dibuat secara tertutup dan terbuka, sambungan ini lebih kuat menerima beban statis maupun dinamis dengan ketebalan pelat 12 mm-25 mm dapat dicapai penetrasi 100%. 7. Kampuh J Ganda
Sambungan J ganda digunakan untuk keperluan yang sama dengan sambungan V ganda, tetapi tidak lebih baik untuk menerima beban tekan. Sambungan ini dapat dibuat secara tertutup ataupun terbuka. Jenis-jenis sambungan las diperlihatkan pada gambar 2.33.
(61)
Gambar 2.29 Jenis sambungan las. (Sumber: Harsono Wiryosumarto, 2000)
(62)
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam bab ini akan dijelaskan metode-metode yang dilakukan pada proses pengujian.
3.1 Jadwal Penelitian Dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ilmu Logam Fisik Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan maret sampai dengan bulan juli.
3.2 Metode penelitian
1. Proses pengujian dilaksanakan sepenuhnya, terhadap variable-variabel yang mempengaruhi pemakaian dari metode penyambungan, dalam hal ini penyambungan las oxy-acetylene terhadap sambungan pelat aluminium-magnesium yang ditinjau dari pemeriksaan cacat lasan dan uji merusak dengan jenis pengujian impak.
2. Teknik pengumpulan data yang diperoleh dari proses pengelasan yang dilakukan dari hasil pengujian impak terhadap benda uji sebanyak 12 spesimen, masing-masing 6 spesimen dengan variasi kadar magnesium Al 98%-Mg 1.4% dan Al 97%-Mg 2.2% dan dengan variasi sudut kampuh 60o dan 90o. Keseluruhannya dilakukan pengujian penetran dan pengujian impak.
(63)
3. Metode analisa dan evaluasi data yang diperoleh dari pengujian yang dilakukan di laboraturium pada masing-masing spesimen adalah kualitatif. Dari data inilah akan dicari harga untuk uji impak masing-masing spesimen dan merupakan nilai yang dicapai dari uji impak bahan tersebut.
4. Dari sinilah penlitian akan mendapatkan kesimpulan yang sebenarnya bagaimana pengaruh variasi sudut kampuh pengelasan oxy-acetylene terhadap ketangguhan impak dari aluminium-magnesium di dalam standar pengujian yang berlaku.
5. Penyusunan laporan, yang termasuk di dalamnya kesimpulan dari hasil yang dicapai serta pengambilan langkah-langkah yang berhubungan terhadap hasil ketangguhan sambungan las pada material uji lebih ditekankan, sehingga pada akhirnya tujuan penelitian dapat sepenuhnya tercapai.
3.3 Variabel Variabel Pengujian
Dari metode penelitian diatas maka dapat ditentukan hal-hal dasar terhadap variable-variabel pengujian berikut ini:
3.3.1 Spesimen
Spesimen yang digunakan pada penelitian adalah pelat aluminium-magnesium dengan pertimbangan:
(64)
1. Aluminium-magnesium banyak digunakan di industri, seperti industri pembuatan kapal laut.
2. Proses pengelasan aluminium-magnesium memerlukan keterampilan khusus dalam proses lasan.
3. Proses pembuatan aluminium-magnesium dilakukan dengan pengecoran tradisional.
Ukuran spesimen pada pengujian ini adalah: 1. Panjang = 55 mm
2. Lebar = 10 mm 3. Tinggi = 10 mm
3.3.2 Elektroda Yang Digunakan
Elektroda/kawat las yang digunakan pada proses pengujian adalah elektroda tipe AWS-A5.2 dengan gambar dan spesifikasi sebagai berikut:
Gambar 3.1 Kawat las AWS-A5.2.
Kawat las yang terbuat dari aluminium dan ada yang terbuat dari campuran fosfor dan perunggu (bronze) yang dipakai untuk menyambung dan membentuk lapisan pada aluminium, steel dan cast iron, kuningan, dan sebagainya.
(65)
1. Standard: AWS A.5.2: AI-43, DIN 1732 : EL-AISI 5-12, Mat No.: 3.2585
2. Komposisi Bahan: Ai: 94, Si: 5.0, Fe: 0.55, Mg: 0.45.
3. Sifat Bahan: Elongation: 10% , Tensile Strenght: 200 N/ mm2, 0.2
Elongation Limit: 100N/ mm2, Hardness: 50HB.
4. Kegunaan: Kawat las yang terbuat dari aluminium yang digunakan untuk pengelasan Al-Mg, Al-Cu, Al-Mn, Al-Si, dan Al-Zn. Sangat mudah untuk melakukan pengelasannya dan dengan bahan yang tahan karat.
3.3.3 Proses Pembentukan
Bentuk spesimen mengikuti standar untuk pengujian impak dengan metode charpy seperti pada gambar 3.2.
Gambar 3.2 Bentuk dan ukuran spesimen. (Sumber: http://civil112web01.unm.edu/)
(66)
Pembentukan spesimen berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menurut variasi kadar magnesiumnya, spesimen terbagi menjadi 2 variasi. Spesimen dipotong dan dibentuk menjadi 12 bagian, yaitu 6 bagian pada variasi Al 98%-Mg 1.4% dan 6 bagian pada variasi Al 97%-Mg 2.2% sesuai dengan ukuran spesimen pada pengujian impak charpy dengan dimensi 55 mm x 10 mm x 10 mm.
2. Dari tiap variasi, dibentuk kampuh v tunggal dengan sudut 60o dan 90o. Pada aluminium-magnesium dengan kadar magnesium Al 98%-Mg 1.4%, 3 spesimen dbentuk kampuh dengan sudut 60o dan 3 spesimen dibentuk kampuh dengan sudut 90o. Begitu juga dengan aluminium-magnesium dengan kadar magnesium Al 97%-Mg 2.2%.
3.4 Pengujian Cacat Las
Adapun metode yang digunakan untuk pengujian cacat las adalah non destructive test dengan menggunakan metode penetran test, metode penetrant test
merupakan metode NDT yang paling sederhana, metode ini digunakan untuk menemukan cacat di permukaan, dan dapat digunakan pada posisi apapun. Melalui metode ini, cacat pada material akan terlihat lebih jelas, prosedur percobaan untuk uji penetran adalah:
1. Spesimen yg telah dibentuk, dan dilas, terlebih dahulu dibersihkan dengan detergen atau zat pembersih lainnya agar kotoran pada spesimen hilang. Lalu disemprot dengan menggunakan cairan penetran pada daerah lasan nya seperti pada gambar 3.3.
(67)
Gambar 3.3 Spesimen yang telah disemprot cairan penetran.
Spesifikasi Cairan Penetran, Cleaner, dan Developer: Merk: Magnaslux
Buatan: USA
Expire Date: 2015
2. Spesimen dibiarkan mengering selama setengah jam, dan setelah mengering, spesimen dibersihkan dengan cairan cleaner, gambar 3.4 merupakan jenis cairan yang dipakai dalam prosedur penetran.
(68)
3. Setelah dibersihkan menggunakan cairan cleaner, lalu spesimen disemprot dengan menggunakan cairan developer, dan dilihat jika cairan penetran masih terdapat pada daerah yang disemprot itu berarti terdapat cacat las pada spesimen.
3.5 Prosedur Pengujian Impak
1. Spesimen diuji impak dengan menggunakan alat uji impak charpy yang berada pada Laboratorium Ilmu Logam Fisik Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Mesin impak Charpy dan skema pengujian diperlihatkan pada gambar 3.5 dan 3.6.
Gambar 3.5 Mesin impak charpy.
Keterangan gambar: 1. Trigger.
2. Scale.
3. Tool pemutar bandul. 4. Handbrake.
5. Bandul.
1
2
3 6
5
(69)
Spesifikasi mesin:
a. Merk: Torsee Charpy Impact Testing Machine. b. TYPE: CI-30.
c. CAP: 30 Kg-m. d. MFG.NO: EK9246. e. DATE: Oct. 1992. f. Made in Japan.
Gambar 3.6 Skema proses pengujian impak. (Sumber: http://www.twi.co.uk/technical-knowledge/)
2. Takik dibuat pada spesimen dengan ukuran sudut 45o dan dengan kedalaman takik 2 mm.
3. Sudut bandul diatur sesuai dengan standar prosedur pengujian yang sesuai dengan alat uji yaitu 147o, dengan menggunakan salah satu tool yang ada di alat uji impak tersebut. Tool tersebut dapat dilihat pada gambar 3.7.
(70)
Gambar 3.7 Tool untuk mengatur sudut bandul.
4. Spesimen diletakkan pada tumpuan, posisi takik diatur membelakangi posisi pemukulan seperti pada gambar 3.8.
Gambar 3.8 Posisi spesimen pada tumpuan.
5. Trigger ditarik, lalu bandul akan terlepas dan akan menghantam spesimen, Trigger dapat dilihat pada gambar 3.9.
(71)
Gambar 3.9 Trigger.
6. Lalu dihitung sudut dari saat bandul memukul spesimen hingga bandul mencapai sudut maksimal, dengan melihat pada scale seperti pada gambar 3.10.
(72)
3.6 Prosedur Pembentukan Kampuh
1. Material Al 98%-Mg 1,4% dan Al 97%-Mg 2,2% hasil pengecoran seperti Gambar 3.11 dan Gambar 3.12 dibentuk sesuai dengan ukuran standar ASTM untuk pengujian impak seperti pada gambar 3.2.
Gambar 3.11 Material Al 98%-Mg 1,4%.
Gambar 3.12 Material Al 97%-Mg 2,2%.
2. Material yang telah terbentuk menjadi spesimen, lalu dibentuk kampuh V tunggal dengan sudut 90o dan 60o seperti pada Gambar 3.13.
Gambar 3.13 Bentuk dan posisi sudut kampuh. (a) Sudut 60o. (b) Sudut 90o.
3. Spesimen yang telah terbentuk kampuh, lalu dilas dengan menggunakan las oxy-acetylene.
(73)
3.7 Diagram Alir
Diagram alir penelitian ditunjukan oleh Gambar 3.14.
Gambar 3.14 Diagram alir penelitian.
MULAI
PEMBENTUKAN SPESIMEN UJI IMPAK KAMPUH V 600 DAN 90O
PROSES PENGELASAN OXY-ACETYLENE KAMPUH V 600 DAN
90O
PENGUJIAN PENETRAN
BERHASIL
PENGUJIAN IMPAK KAMPUH V 600 DAN 90O
DATA PENGUJIAN IMPAK
ANALISA DATA
SELESAI YA TIDAK
(74)
BAB 4
HASIL DAN DISKUSI
4.1 Pendahuluan
Pada bab ini akan membahas mengenai hasil dari percobaan penetran dan impak yang dilakukan pada spesimen Al 98%-Mg 1.4% dan Al 97%-Mg 2.2%. Setelah melakukan tahapan–tahapan seperti pada metodologi penelitian maka didapat hasil dari nilai energi yang diserap dan nilai ketangguhan impak pada pengujian impak.
4.2 Hasil Pengujian
Hasil pengujian pada penelitian ini meliputi hasil pengujian cacat las dan pengujian impak.
4.2.1 Hasil Pengujian Cacat Las
Non Destructive Test (NDT) metode pentrant test (PT) dapat memeriksa pada cacat yang ada di permukaan. Pada spesimen uji, maka diindikasikan terdapat crack dibeberapa spesimen tetapi masi pada batas aman dikarenakan masih berada diatas permukaan spesimen tepatnya di daerah permukaan lasannya.
Dalam metode penetrant test ini semua langkah kerja tidak bisa diabaikan begitu saja dan harus berurutan.Untuk menunjang keberhasilan suatu pengujian menggunakan penetrant test, persiapan alat dan bahan harus lengkap. Selain itu, persiapan permukaan benda kerja juga sangat perlu diperhatikan, karena jika suatu
(75)
benda kerja yang hendak dilakukan test uji penetrant pada permukaanya masih terdapat kotoran seperti grease, oli, minyak, dan lain-lain, maka hasil ini akan mempengaruhi hasil uji penetrant.
Untuk jarak penyemprotan pun tidak bisa sembarangan yaitu sekitar 30 cm. Ketika membersihkan penetrant dengan cleaner/pembersih tidak boleh disemprotkan secara langsung karena dapat menghilangkan penetrant yang ada didalam cacat, tetapi disemprotkan kepada kain pembersih kemudian kain pembersih itulah yang digunakan untuk membersihkan penetran pada specimen uji. Pembersihannya dilakukan secara searah agar penetrant yang ada didalam pada specimen tidak terbawa. Dan perlu diperhatikan bahwa harus benar-benar terlihat bersih tidak menimbulkan indikasi palsu. Pada penyemprotan developer pun harus merata, agar semua cacat yang ada dapat diketahui.
4.2.2 Hasil Pengujian Impak
Maksud utama pengujian ketangguhan ialah untuk mengukur kegetasan bahan atau juga keuletan bahan terhadap beban tiba-tiba dengan cara mengukur perubahan energi potensial sebuah bandul yang dijatuhkan pada ketinggian tertentu. Perbedaan tinggi ayunan bandul merupakan ukuran energi yang diserap oleh benda uji. Besar energi yang di serap tergantung pada keuletan bahan uji. Bahan yang ulet menunjukkan nilai ketangguhan (impak) yang besar. Suatu bahan yang diperkirakan ulet ternyata dapat mengalami patah getas. Patah getas ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: adanya takikan (notch), kecepatan pembebanan yang tinggi yang menyebabkan kecepatan regangan yang tinggi pula.
(76)
Pengujian dilakukan dengan menggunakan metode Charpy dengan sudut awal pemukulan 147o. Dibawah ini hasil pengujian impak yang dilakukan di laboratorium FT.USU jurusan Teknik Mesin di laboratorium Ilmu Logam. Pengujian dilakukan untuk mengetahui ketangguhan pada aluminium yang telah diberi penambahan unsur Mg. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 4.1, 4.2, 4.3, dan 4.4.
Tabel 4.1 Hasil pengujian impak pada spesimen Al 98%-Mg 1.4% dengan Sudut kampuh 90o.
Spesimen Sudut α Sudut β A (mm2) Jenis Patahan
1 147o 135,02o 85 Liat
2 147o 135,51o 89 Liat
3 147o 136,51o 91,5 Liat
Gambar 4.1 merupakan gambar dari patahan spesimen Al 98%-Mg 1.4% dengan sudut kampuh 90o.
(77)
Tabel 4.2 Hasil pengujian impak pada spesimen Al 97%-Mg 2.2% dengan Sudut kampuh 90o.
Spesimen Sudut α Sudut β A Jenis Patahan
1 147o 135,03o 89,5 Liat
2 147o 133,52o 91,5 Liat
3 147o 133,52o 88,5 Liat
Gambar 4.2 merupakan gambar dari patahan spesimen Al 97%-Mg 2.2% dengan sudut kampuh 90o.
Gambar 4.2 Spesimen Al 97%-Mg 2.2% dengan sudut kampuh 90o.
Tabel 4.3 Hasil pengujian impak pada spesimen Al 98%-Mg 1.4% dengan Sudut kampuh 60o.
Spesimen Sudut α Sudut β A Jenis Patahan
1 147o 135,51o 88
Liat
2 147o 135,52o 85,5 Liat
3 147o 134,51o 83 Liat
Gambar 4.3 merupakan gambar dari patahan spesimen Al 98%-Mg 1.4% dengan sudut kampuh 60o.
(1)
0,3064 Joule/mm2 dibandingkan dengan Al 98%-Mg 1.4% sebesar 0.2877 Joule/mm2.
Pada tabel 4.7 dan gambar 4.6 diperlihatkan nilai dari perbandingan kadar magnesium pada sudut kampuh 90o.
Tabel 4.7 Perbandingan nilai variasi kadar magnesium terhadap sudut kampuh 90o.
Kadar Magnesium Spesimen E (Joule) I (Joule/mm2) Rata-rata I
Al 98%-Mg 1,4% Sudut 90o
3a 3b 3c 24,9364 26,1323 21,5006 0,2933 0,2936 0,2349 0,2739
Al 97%-Mg 2,2% Sudut 90o
4a 4b 4c 24,9174 28,4861 28,4861 0,2784 0,3113 0,3218 0,3038
Gambar 4.6 Grafik perbandingan nilai variasi kadar magnesium terhadap sudut kampuh 90o.
(2)
Dari tabel 4.7 dan gambar 4.6 dapat disimpulkan penambahan kadar magnesium berpengaruh pada nilai ketangguhan. Terlihat bahwa pada sudut kampuh 90o Al 97%-Mg 2.2% memiliki nilai ketangguhan yang lebih baik sebesar 0,3038 Joule/mm2 dibandingkan dengan Al 98%-Mg 1.4% sebesar 0.2739 Joule/mm2.
Pada gambar 4.7 diperlihatkan nilai rata-rata ketangguhan dari perbandingan kadar magnesium terhadap sudut kampuh 90o dan 60o.
Gambar 4.7 Grafik nilai ketangguhan impak rata-rata pada spesimen.
(3)
sudut kampuh 90o. Dari perbandingan pada gambar 4.7 dibawah dapat disimpulkan bahwa, semakin besar sudut kampuh V, maka semakin besar deformasi dan tegangan sisa yang dihasilkan, Hal ini dapt dimengerti dikarenakan pada sudut terbesar, memiliki luas melintang lasan yang lebih besar. Sehingga deposit lasan yang dihasilkan lebih besar. Adapun deposit dan tegangan sisa mempengaruhi besarnya ketangguhan dari hasil lasan, karena tegangan sisa juga bertindak sebagai beban yang tetap yang akan menambah nilai beban kerja yang diberikan dari luar, sehingga ketangguhan las pada kampuh V sudut 600 memiliki ketangguhan las yang lebih baik. Semakin besar penambahan kadar magnesium pada aluminium maka semakin besar ketangguhan dari material aluminium-magensium terlihat pada gambar 4.5 dan 4.6, sehingga material Al 97%-Mg 2.2% dengan sudut kampuh 600 memiliki nilai ketangguhan lasan yang lebih baik sebesar 0.3064 Joule/mm2.
(4)
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Adapun hasil dari pengujian pada spesimen aluminium-magnesium dengan kadar magnesium 1.4%, 2.2% dan variasi sudut kampuh V 90o, 60o adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan cacat las dengan metode NDT (Non Destructive Test)
menggunakan cairan penetrant, pada 12 spesimen aluminium-magnesium yang telah mengalami pengelasan tidak menunjukan adanya cacat las yang signifikan.
2. Dari variasi sudut kampuh 600 dan 900 dengan paduan aluminium-magnesium menghasilkan nilai ketangguhan yang berbeda. Nilai ketangguhan tertinggi dihasilkan oleh paduan Al 97%-Mg 2.2% sebesar 0,3064 Joule/mm2 dengan sudut kampuh 600 sedangkan nilai ketangguhan terendah terdapat pada paduan Al 98%-Mg 1.4% dengan sudut kampuh 900 sebesar 0,2739 Joule/mm2. Dari hasil pengujian terlihat bahwa untuk paduan aluminium-magnesium, kandungan magnesium, besar sudut kampuh sangat mempengaruhi hasil lasan
(5)
5.2 Saran
1. Diharapkan pada peneliti selanjutnya untuk mengembangkan penelitian tentang pengelasan ini agar dapat mendapatkan hasil lasan yang lebih baik lagi seiring dengan perkembangan teknologi.
2. Pada proses pengelasan, diharapkan pada pelaksana proses pengelasan agar lebih memperhatikan faktor keamanan.
3. Hasil Skripsi ini dapat dijadikan sebagai rujukan kepada peneliti berikutnya.
(6)
DAFTAR PUSTAKA
1.http://anan-dk.blogspot.com/
2.http://civil112web01.unm.edu/
3.http://www.batan.go.id/
4.http://www.mesin-teknik.blogspot.com
5. Prof. Ir. Tata Sudardia MS.Met.E. Prof DR. Shinroku Saitu, Pengetahuan Bahan Teknik. PT Pradnya Pramita Jakarta.
6.S, Widharto, 2007. Menuju Juru Las Tingkat Dunia, cetakan pertama, Jakarta, Pradnya Pramita.
7.W, Harsono. T, Okumura, 200. Teknologi Pengelasan Logam. Pradnya Pramita, Jakarta Cetakan ke VIII.