Orangutan Sumatera Pongo abelii

C. Orangutan Sumatera Pongo abelii

Biologi dan Ekologi Orangutan Pongo sp. sangat rentan terhadap kepunahan yang diakibatkan oleh 1 kerusakan hutan yang terjadi dalam skala besar dan perburuan untuk tujuan diperdagangkan Rijksen dan Meijaard 1999; 2 interval kelahirannya yang jarang, yakni kira-kira mencapai 8 tahun antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya Galdikas dan Wood 1990 dan 3 ukuran tubuhnya yang relatif besar. Selain faktor kerentanan, orangutan Sumatera juga tinggal dengan densitas yang rendah mulai dari nol sampai tujuh ekor per km2 di Sumatera, sehingga membutuhkan ruang yang sangat luas berupa blok-blok hutan yang luas Departemen Kehutanan 2007. Konversi hutan alam yang cepat, penebangan dan perburuan liar di Sumatera menyebabkan populasi orangutan Sumatera menurun secara drastis dalam beberapa tahun terakhir, sehingga dalam daftar merah red list yang dikeluarkan IUCN pada tahun 2004, orangutan Sumatera dikategorikan sebagai spesies kritis critically endangered. Pada tahun 2007, populasi orangutan Sumatera diperkirakan hanya tersisa 6.624 ekor yang hidup di hutan-hutan Sumatera atau hanya 88,9 dari populasi tahun 2004, yakni sebesar 7.501 ekor Singleton et al. 2004. Menurut Groves 1972 klasifikasi dari Orangutan Sumatera adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Universitas Sumatera Utara Kelas : Mamalia Ordo : Primata Famili : Pongoidea Genus : Pongo Spesies : Pongo abelii Lesson, 1827 Morfologi Ciri fisik famili Pongoidea adalah lengannya 200 dari panjang tubuh, kaki pendek hanya 116 dari panjang tubuh. Jari telunjuk lebih kecil daripada ibu jari. Ukuran rata-rata kepala dan tubuh jantan 956 mm serta betina 776 mm. Tinggi saat berdiri tegak adalah 1.366 mm pada jantan dan 1.149 mm pada betina. Berat badan rata-rata adalah 75 kg pada jantan dan 37 kg pada betina Maple, 1980. Menurut Supriatna dan Edy 2000, jika dibandingkan dengan Orangutan di Kalimantan, rambut Orangutan Sumatera lebih terang yaitu berwarna coklat kekuningan serta lebih tebal dan panjang. Berat badan rata-rata Orangutan jantan di alam yaitu berkisar antara 50-90 kg. Orangutan jantan memiliki kantung suara untuk mengeluarkan suara yang berupa seruan panjang. Orangutan merupakan umbrella species dalam konservasi hutan hujan tropis di Indonesia, khususnya hutan Sumatera dan Kalimantan. Mengingat kondisi hutan sebagai habitat alami orangutan dan kebutuhan akan daerah jelajah yang luas serta keanekaragaman jenis flora fauna hidup bersamanya, orangutan dapat dianggap sebagai wakil terbaik dari struktur keanekaragaman hayati hutan hujan tropis yang berkualitas tinggi. Keberadaan dan kepadatan populasi orangutan dapat digunakan sebagai ukuran konservasi hutan hujan tropis tanpa Universitas Sumatera Utara analisis yang lebih jauh mengenai struktur keanekaragaman jenis flora dan fauna di suatu kawasan tertentu. Hal ini dapat berarti bahwa konservasi populasi orangutan liar identik dengan melakukan konservasi terhadap ekosistem hutan hujan tropis yang memiliki struktur keanekaragaman yang unik Onrizal dan Perbatakusuma 2010. Habitat Hutan hujan tropis di Sumatera memiliki sejarah, iklim dan ekologi yang unik. Kekayaan spesies tertinggi adalah di hutan dataran rendah Dipterocarpaceae yang memang didominasi oleh pohon-pohon dari keluarga Dipterocarpaceae Ashton; Givinish; Appanah, 1998 dalam Pujiyani, 2009. Pohon-pohon Dipterocarpaceae menyediakan buah yang secara bersamaan pada setiap dua atau lima tahun sekali. Hal tersebut mengakibatkan pada masa tertentu buah tersedia sangat banyak namun pada waktu yang lainnya buah tersebut sama sekali tidak tersedia. Hal yang berbeda terjadi pada hutan gambut Sumatera yang memiliki sedikit jenis tumbuhan endemik namun memiliki kepadatan yang tinggi, sehingga buah akan tersedia setiap tahun. Orangutan berperan penting dalam ekosistem, baik pada hutan dataran rendah Dipterocarpaceae ataupun di hutan gambut. Kebiasaan Orangutan dalam makan dan pola pergerakannya menyebabkan Orangutan merupakan penyebar bijibenih tumbuhan hutan yang sangat baik Nellemann et. al., 2007. Orangutan di Sumatera hidup di dalam hutan yang daunnya lebih rindang daripada Orangutan yang hidup di hutan Kalimantan van Schaik, 2004. Orangutan mampu beradaptasi pada berbagai tipe hutan primer, mulai dari hutan rawa, hutan dataran rendahhutan Dipterocarpaceae sampai pada tipe hutan Universitas Sumatera Utara pegunungan dengan batas ketinggian 1.800 m dpl. Rijksen, 1978. Namun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa Orangutan Sumatera hidup di dataran rendah aluvial lowland aluvial plains, daerah rawa dan daerah lereng perbukitan Singleton et. al., 2004. Kepadatan Orangutan yang ada di daerah pada ketinggian 1.000 sampai 1.200 m dpl terus menurun. Perilaku Kera besar memiliki otak yang lebih besar daripada primata lain. Pada umumnya kera besar lebih banyak yang hidup secara terestrial namun pada Orangutan hidupnya arboreal Rowe, 1996. Kehidupan Orangutan dihabiskan diatas pohon dan jarang sekali turun ke lantai hutan, kecuali untuk memakan rayap. Orangutan berpindah dengan menggunakan keempat anggota tubuhnya, berpindah dari cabang ke cabang lain. Daerah jelajah Orangutan adalah berkisar antara 2-10 km dengan luas wilayah jelajah hariannya berkisar antara 800-1200 m2 Supriatna Edy, 2000. Rijksen 1978 menyatakan bahwa ada 13 vokalisasi Orangutan sedangkan Nowak 1999 vokalisasi Orangutan terdiri dari 15 suara. Orangutan relatif lebih pendiam dibandingkan dengan primata besar lainnya. Suara yang paling banyak tercatat adalah berupa panggilan panjang long call dari jantan dewasa yang mungkin terdengar dari jarak lebih dari 1 km, hal ini mungkin merupakan mekanisme dalam mengatur jarak bagi antar individunya Pujiyani, 2009. Aktifitas Orangutan dipengaruhi oleh faktor musim berbuah dan cuaca. MacKinnon 1974 telah menjumpai saat buah sedang sulit didapat di hutan, Orangutan akan menghabiskan waktu menjelajah lebih banyak daripada waktu untuk makan. Demikian pula saat hari sedang kering panas Orangutan akan Universitas Sumatera Utara lebih banyak beristirahat pada siang hari. Pembagian penggunaan waktu oleh Orangutan adalah pada pagi hari digunakan untuk makan, siang hari untuk menjelajah dengan diselingi waktu istirahat siang Rijksen, 1978. Orangutan akan mulai istirahat malam antara pukul 15.00-18.00 dengan aktivitas malam hari yang sangat sedikit. Persentase aktivitas harian Orangutan menurut Rijksen 1978 adalah 47 untuk makan, 40 untuk istirahat, 12 untuk menjelajah dan sisa waktunya untuk aktivitas sosial. Penggunaan ruang bagi aktivitas Orangutan yaitu pada lapisan antara 15- 25 m diatas permukaan tanah hampir 70 dari waktu aktivitas hariannya, Orangutan menggunakan 20 waktu aktivitas hariannya pada lapisan lebih dari 25 m dan pada lapisan dibawah 15 m Orangutan hanya menggunakan kurang dari 10 waktu aktivitas hariannya. Orangutan biasanya selalu membuat sarang tidur di tepi sungai pada ketinggian 20-40 m diatas tanah Pardede, 2000 dalam Ginting, 2006. Populasi Orangutan Sumatera sebagian besar sebarannya terbatas pada hutan hujan dataran rendah, sebagian besar Orangutan Sumatera berada di daerah yang memiliki ketinggian di bawah 500 m dpl dan jarang menjelajah ke tempat yang lebih tinggi dari 1.500 m dpl Rijksen dan Meijaard, 1999. Orangutan Sumatera sangat bervariasi dalam pemilihan jenis makanan. Secara alami Orangutan adalah pemakan buah, tetapi juga memakan berbagai jenis makanan lain seperti daun, tunas, bunga, epifit, liana, zat pati kayu, dan kulit kayu MacKinnon, 1974. Sebagai sumber protein Orangutan juga mengkonsumsi serangga dan telur burung Supriatna dan Edy, 2000. Orangutan memiliki kebiasaan mencoba memakan segala sesuatu yang ia temui untuk dirasakan dan kemudian menentukan benda tersebut dapat dijadikan makanan atau tidak. Universitas Sumatera Utara Persentase jenis makanan Orangutan adalah 53,8 berupa buah, 29 berupa daun, 14,2 kulit kayu, 2,2 bunga, dan 0,8 adalah serangga Maple, 1980.

D. Konflik Manusia dengan Orangutan

Dokumen yang terkait

Pemetaan Sebaran Vegetasi Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus : Desa Bulu Mario, Aek Nabara dan Huraba)

5 74 99

Identifikasi dan Pemetaan Pohon Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus : Desa Bulu Mario, Aek Nabara dan Huraba)

4 89 78

Sebaran Pohon Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii. Lesson,1827.) Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis

5 53 57

Studi Mitigasi Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berbasis Sistem Informasi Geografis di Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser

3 18 113

Studi Mitigasi Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berbasis Sistem Informasi Geografis di Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser

0 0 12

Studi Mitigasi Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berbasis Sistem Informasi Geografis di Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser

0 0 2

KUESIONER WAWANCARA PENELITIAN PEMETAAN DAERAH RAWAN KONFLIK ORANGUTAN (Pongo abelii) DENGAN MANUSIA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI

0 0 9

A. Cagar Alam - Pemetaan Daerah Rawan Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus : Desa Aek Nabara, Batu Satail, Bulu Mario, dan Sitandiang)

0 0 13

Pemetaan Daerah Rawan Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus : Desa Aek Nabara, Batu Satail, Bulu Mario, dan Sitandiang)

1 1 12

A. Taksonomi dan Aktivitas Orangutan Sumatera (Pongo abelii) - Identifikasi dan Pemetaan Pohon Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus : Desa Bulu Mario, Aek Nabara dan Huraba)

0 0 16