Kerangka Pemikiran METODE KEGIATAN

4 Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990‐2008 Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II hutan tropis, sering kali berisi 300 atau lebih banyak jenis. Beberapa penelitian sudah menunjukkan bahwa hubungan alometrik yang bersifat spesifik untuk setiap jenis tidak begitu signifikan untuk meningkatkan akurasi penaksiran potensi karbon yang dapat dipercaya. Beberapa jenis dapat dikelompokkan sesuai kecenderungannya yang sama dengan menggunakan hubungan‐hubungan alometrik yang bersifat umum, dengan membuat stratifikasi tipe hutan atau zone ekologis, hal ini akan lebih efektif untuk daerah tropis karena dari pengukuran DBH sudah cukup untuk dapat mewakili 95 dari keragaman potensi karbon yang ada pada hutan tropis, bahkan pada wilayah yang berbeda‐beda Brown, 2002. Penggunaan persamaan alometrik umum juga mempunyai keuntungan terhadap sebaran diamater pohon‐pohon yang lebih lebar Brown, 1997, Chave et al 2005. Satu kajian yang dilakukan terhadap persamaan alometrik menyimpulkan bahwa model‐model pada daerah tropis adalah cara terbaik yang tersedia untuk menaksir biomassa hutan dan dapat direkomendasikan untuk digunakan dibandingkan dengan menggunakan model‐model alometrik lokal yang didasarkan dari 100 sampel pohon dengan cara merusak Chave et al 2004. b. Penaksiran berdasarkan data inventarisi kayu yang sudah ada Untuk mengetahui potensi karbon pohon pada suatu areal Pengelolaan Hutan Lestari Berbasis Masyarakat PHLBM, dapat juga menggunakan data hasil inventarisasi kayu yang sudah pernah dilakukan pada areal tersebut. Caranya yaitu dengan menaksir volume kayu untuk masing‐masing pohon yang telah diinventarisasi menggunakan suatu persamaan volume, kemudian mengkonversi volume kayu menjadi biomassa kayu dengan menggunakan berat jenis kayu. Tahap selanjutnya mengkonversi nilai biomassa kayu menjadi biomassa pohon total dengan menggunakan suatu nilai konstanta biomass expansion factor BEF. 5 Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990‐2008 Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II c. Penggunaan data penginderaan jauh remote sensing Potensi karbon hutan dapat juga ditaksir dengan menggunakan instrumen‐ instrumen penginderaan jauh , walaupun tidak ada satupun citra penginderaan jauh yang dapat mengukur potensi karbon hutan secara langsung, sehingga tetap memerlukan pengecekanpengukuran di lapangan Rosenqvist et al 2003a, Drake et al 2003. Dengan adanya suatu pendekatan sampling bisa digunakan untuk menaksir potensi karbon hutan pada seluruh areal. Metode penginderaan jauh telah lebih berhasil mengukur potensi karbon pada wilayah utara dan hutan beriklim sedang dan pada tegakan muda dengan kepadatan‐kepadatan karbon hutan yang lebih rendah Rosenqvist et al 2003b. Hutan tropis yang lebih besar potensi karbonnya serta ekosistem yang lebih kompleks di dunia memerlukan instrumen remote sensing yang lebih akurat. Remote‐sensing sistem yang berbasis data optic untuk wilayah tropis mempunyai keterbatasan dengan adanya tutupan awan, tetapi teknologi terkini, seperti sistem radar, dapat menembus awan dan menyediakan data baik siang maupun malam hari Asner, 2001. Beberapa instrumen penginderaan jauh yang digunakan dalam penaksiran karbon dikelompokkan menjadi : 1 Optical remote sensing data. Citra satelit yang termasuk dalam kelompok ini, seperti Landsat, SPOT, AVHRR dan MODIS, dapat digunakan untuk menaksir karbon persediaan hutan tropis walaupun tidak dapat dilakukan secara langsung. Untuk menaksir potensi karbon hutan secara tidak langsung dengan citra satelit tersebut, dilakukan pengembangan hubungan ‐hubungan statistik antara pengukuran lapangan dengan data indek vegetasi yang ada pada citra satelit.. Tetapi metoda ini pada umumnya menghasilkan nilai potensi karbon yang underestimate terutama pada hutan tropis, satelit berbasis optik tidak dapat menembus tajuk hutan 6 Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990‐2008 Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II yang lebat Waring et al, 1995. Sehingga diperlukan bantuan pengukuran lapangan dengan jumlah sampling yang cukup. 2 Very high‐resolution aerial imagery. Detil spasial citra optik dari sensor‐ sensor airbone resolusi sampai 10 pixel cm dapat digunakan secara langsung untuk mengukur tinggi pohon dan diameter tajuk. Hubungan‐ hubungan alometrik antara pengukuran karbon pohon di lapangan dengan atau tanpa data tinggi pohon dapat diberlakukan bagi perkiraan karbon hutan dengan akurasi yang tinggi pada metode ini. 3 Microwave radar data. Sensor pada radar mengirim gelombangsinyal yang dapat menembus vegetasi dan awan sehingga dapat meliput lantai hutan sampai bidang tajuk hutan.Gelombang radar memantul dari tanah dan pucuk pohon sehingga dapat digunakan untuk menaksir tinggi pohon, yang kemudian dikonversi menjadi nilai potensi karbon hutan dengan menggunakan persamaan alometrik. Mette et al 2003, Kellndorfer et al 2004, Shimada et al 2005. Sensor synthetic aperture radar SAR pada beberapa satelit ERS‐1, JERS‐1, Envisat dapat digunakan untuk mengukur potensi karbon hutan pada tegakan yang relatif homogen atau hutan‐ hutan muda, pada kondisi topografi berbukit atau bergunung‐gunung menyebabkan tingkat kesalahan yang cukup besar. Satelit ALOS yang diluncurkan tahun 2005 mempunyai kelebihan untuk memperbaiki penaksiran potensi karbon pada wilayah tropis terutama untuk hutan‐ hutan sekunder atau hutan yang terdegradasi, tetapi juga dapat digunakan untuk menaksir hutan primer dengan nilai biomassa yang lebih tinggi Rosenqvist et al 2003b, Shimada et al 2005. 4 LiDAR light detection and ranging. Prinsip kerja sistem LiDAR adalah dengan memancarkan laser, sehingga waktu yang dibutuhkan sinyal untuk kembali diukur sebagai parameter yang dapat digunakan untuk menaksir tinggi dan struktur vertikal dari hutan Dubayah dan Drake 2000, Patenaude et al 2004.Potensi karbon hutan diperkirakan dengan 7 Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990‐2008 Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II menerapkan hubungan‐hubungan alometrik karbon dengan tinggi pohon Hese et al 2005. Bagaimanapun, sinyal pada LiDAR jauh melebihi kemampuan dari radar dan sensor‐sensor berbasis optic untuk menaksir potensi karbon untuk semua tipe hutan Means et al 1998, Lefsky et al 1999, Drake et al 2003. Saat ini, sistem LiDAR yang dipasang pada pesawat udara masih terlalu mahal untuk digunakan pada suatu areal yang luas. Kegiatan penyusunan basis data potensi hutan dan dinamika karbon rakyat di Pulau Jawa sebagai prakondisi rencana proyek karbon hutan yang dilaksanakan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Jawa‐Madura ini menggunakan metode pendekatan pengunaan instrumen Optical Remote Sensing Data. Metode yang digunakan adalah berdasarkan penafsiran data spasial citra Landsat ETM 7+ untuk penyadapan data penutupan lahan dan data kerapatan vegetasi sedangkan untuk informasi potensi biomassanya menggunakan metode pengolahan survey data lapangan dan persamaan allometrik dengan melakukan pengambilan sampel pada masing masing sampel plot terpilih per penutupan lahan.

2.2. Metode Pengolahan Data dan Desain Sampling

a. Pengolahan basis data spasial data penginderaan Jauh 1. Penyiapan data citra penginderaan jauh citra satelit optis 2. Citra satelit optis yang digunakan adalah citra Landsat ‐7 ETM+ perekaman tahun 1990, tahun 2000 dan tahun 2006. Untuk citra tahun 1990 dan tahun 2000 dilakukan interpretasi data penutupan lahan untuk mendapatkan informasi tutupan lahan, data ini digunakan sebagai basis data spasial untuk monitoring perubahan tutupan lahan . 3. Untuk data citra Landsat‐7 ETM+ tahun 2006 juga digunakan sebagai data spasial untuk untuk mendapatkan informasi nilai kerapatan vegetasi. Informasi ini nantinya nersama data tutupan lahan tahun 2006 8 Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990‐2008 Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II akan digunakan sebagai data dasar pengambilan sampel survey lapangan. Tahapan kegiatan ini meliputi kegiatan sebagai berikut : 4. Pengolahan awal koreksi atmosfer, koreksi radiometri, dan koreksi geometri data SPOT atau Landsat‐7 ETM+ terbaru. 5. Penentuan klasikasi tutupan lahan dari citra tahun 1990, 2000, 2006 update 2008 . Secara umum, klasifikasi tutupan lahan mengacu pada klasifikasi 23 kelas Tutupan Lahan berdasarkan petunjuk teknis Dirjen Planologi Kehutanan. Klasifikasi lahan yang termasuk kategori hutan rakyat adalah hutan sekunder, hutan tanaman, perkebunan, hutan tanaman, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur semak. Hasil klasikasi ini juga akan digunakan sebagai dasar stratikasi penutupan lahan untuk keperluan disain survei. 6. Perhitungan indeks vegetasi Landsat 7 ETM + 7. Indeks vegetasi, seperti Normalized Difference Vegetation Index NDVI, adalah salah satu produk data penginderaan jauh yang umum dalam menganalisa kondisi vegetasi. Dalam kegiatan ini beberapa metode indeks transformasi seperti NDVI, TVI dan Avi dicoba digunakan untuk mendapatkan korelasi yang terbaik untuk mengkaitkan data lapangan dengan klasifikasi kerapatan vegetasi. Data raster hasil NDVI ini selanjutnya menjadi penentu untuk menetapkan luas minimum informasi spasial yang disebut ”hutan rakyat” adalah setara dengan 4 piksel yang saling terkoneksi. Hal ini berdasarkan beberapa pertimbangan yaitu : - Berdasarkan ketentuan perundang‐undangan bahwa yang disebut hutan rakyat mempunyai luas minimal 0,25 Ha atau setara dengan 4 piksel. - Level detil informasi yang digunakan adalah berasal dari citra resolusi medium sehingga untuk dapat membentuk satu poligon terkecil diperlukan luasan minimum 0,27 Ha atau 4 piksel.