Hasil Taksiran Biomass Above Ground – Tree dalam tonHa

26 Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990‐2008 Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II lapangan yang terbatas. Sehingga untuk konteks analisis pencermatan lebih lanjut sebaiknya untuk kelas perkebunan dan kelas hutan lahan kering bisa diabaikan atau bisa tidak dijadikan acuan dalam penghitungan taksiran apabila dikehendaki hasil taksiran yang lebih rinci. Sementara itu fluktuasi nilai batas atas dan batas bawah pada beberapa kelas seperti kelas semak belukar sebagaimana tercermin dalam nilai standard deviasinya yang tinggi dan range batas atas‐bawah yang lebar, hal ini karena kondisi variasi formasi penutupan vegetasi di lapangan yang cukup besar. Namun setidaknya ini telah di representasikan oleh beberapa sampel yang telah diambil dilapangan. Hasil taksiran potensi kayu mengindikasikan bahwa untuk kelas penutupan hutan lahan kering primersekunder diputuskan digabung mengingat luasan hutan lahan primer sangat sedikit dan kondisi hampir sama dengan kondisi hutan sekunder, hasil taksiran mulai dari 5,91 – 70,95 m3Ha. Kondisi ini merupakan ciri khas penutupan hutan sesuai kenampakan visual pada citra berupa hutan lahan kering banyak ditemukan di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Tengah khususnya di daerah‐daerah dimana lahan oleh masyarakat dibiarkan menyerupai hutan alam yang berlereng terjal namun dengan model pemanfaatan tegalan sampai dengan alas sesuai terminologi hutan rakyat. Kondisi penutupan hutan primer hasil interpretasi citra dapat disajikan dalam Gambar 4.1 di bawah ini. 27 Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990‐2008 Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II Gambar 4.1. Kenampakan Visual Citra Satelit areal diluar kawasan dengan model penutupan berupa Hutan Primer dan Hutan Sekunder dalam berbagai kerapatan. Angka taksiran dalam kisaran taksiran diatas sebenarnya dalam ukuran taksiran potensi untuk hutan primer adalah kecil jika dibandingkan dengan model taksiran yang diperoleh hasil pengukuran dari hutan alam diatas 100 m3Ha, namun hal tersebut wajar karena terminologi yang digunakan dalam konteks interpretasi berdasarkan citra satelit. Dengan demikian sebaiknya dibedakan terminologi taksiran berdasarkan hutan alam luar Jawa dengan konteks hutan alam pada lahan di luar kawasan di Jawa untuk melihat secara utuh hasil interpretasi. Sementara itu untuk taksiran model penutupan berupa Hutan Tanaman memiliki potensi mulai 26,06 – 45,75 m3ha. Model ini banyak ditemui pada hampir semua Provinsi dengan bentuk pemanfaatan lahan pekarangan 28 Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990‐2008 Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II sampai dengan model tegalan dan alas dengan pola pertanaman dominasi tanaman sejenis dengan umur yang hampir seragam. Untuk model kelas penutupan berupa perkebunan biasanya dilapangan ditemui merupakan jenis tanaman seumur dengan umur yang masih muda dibawah 7 tahun hasil taksiran diperoleh 4,22 – 13,79 m3Ha atau kelas ini paling kecil diantara kelas yang lain. Gambar 4.2. Kenampakan Visual Citra Satelit areal diluar kawasan dengan model penutupan berupa Hutan Tanaman dan Perkebunan dalam berbagai kerapatan. Selanjutnya kelas penutupan pertanian lahan kering dan lahan kering campur semak merupakan model penutupan yang paling dominan paling banyak dijumpai dilapangan dengan berbagai bentuk pemanfaatan lahan mulai dari pekarangan, tegalan sampai alas namun dengan bentuk pola pertanaman campuran tanaman semusim dan tanaman keras. Hasil taksiran untuk pertanian lahan kering adalah 26,76 – 35,57 m3Ha dan untuk taksiran kelas 29 Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990‐2008 Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II pertanian lahan kering campur semak 20,18 – 36,05 m3Ha atau dengan kata lain angka taksiran potensi untuk kedua kelas ini kurang lebih hampir sama hanya selisih beda 4 m3Ha pada rerata nilai tengahnya berdasarkan analisis statistik. Terminologi kelas pertanian lahan kering, lahan kering campur semak dan semak belukar inilah sebenarnya yang banyak dijumpai di lapangan dan jumlah sampel lapangan terbanyak karena memang demikian halnya model pemanfaatan lahan pada lahan milik dengan berbagai bentuk pemanfaatan mulai dari pekarangan, tegalan dan alas dengan berbagai macam kombinasi pola tanam. Gambar 4.3. Kenampakan Visual Citra Satelit areal diluar kawasan dengan model penutupan berupa Pertanian Lahan Kering dalam berbagai kerapatan. 30 Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990‐2008 Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II Gambar 4.4. Kenampakan Visual Citra Satelit areal diluar kawasan dengan model penutupan berupa Pertanian Lahan Kering Campur Semak dalam berbagai kerapatan. Hasil taksiran berdasarkan penghitungan luasan areal hutan rakyat total di Jawa dan Madura yang diperoleh dari interpretasi citra Satelit Landsat tahun 2006 yang di‐update dengan Citra Landsat Tahun 2008 diperoleh hasil sebagaimana dalam Tabel 4.4 di bawah ini. Tabel 4.4. Hasil penghitungan taksiran total potensi kayu hutan rakyat di Jawa dan Madura berdasarkan analisis SIG dan citra Landsat TM 2006‐2008 Berdasarkan Tabel 4.4 diperoleh hasil bahwa luasan total hutan rakyat di Jawa berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat 2006 yang diperbaharui dengan citra Landsat tahun 2008 adalah 2,58 juta Ha atau 2,6 juta Ha pembulatan. 31 Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990‐2008 Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II Hasil taksiran potensi kayu total adalah 57,6 – 103,5 juta m3 atau 74,8 juta m3 berdasarkan nilai rerata. Sedangkan taksiran karbon di Pulau Jawa dan Madura disajikan dalam Tabel 4.5 di bawah ini. Tabel 4.5. Hasil Penghitungan Taksiran Total Potensi Karbon Berdasarkan Tegakan Kayu Hutan Rakyat Above Ground Biomass – Tree Di Jawa Dan Madura Berdasarkan Analisis Citra Landsat 2006‐2008 Dan SIG Grafik 4.1. Hasil Penghitungan Taksiran Total Potensi Karbon Berdasarkan Tegakan Kayu Hutan Rakyat Above Ground Biomass – Tree Di Jawa Dan Madura Berdasarkan Analisis Citra Landsat 2006‐2008 Dan SIG Hasil taksiran yang diperoleh dengan total luasan 2,6 juta Ha karbon dari tegakan kayu above ground tree biomass adalah 26,1 – 44,2 juta ton atau 32 Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990‐2008 Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II rerata 40,7 juta ton. Angka ini kira‐kira hampir 50 dari taksiran potensi kayu hutan rakyat dengan rerata sebesar 74,8 juta m3. 4.2. Analisis Hasil Taksiran Potensi Hutan Rakyat Berdasarkan Interpretasi Citra Satelit Landsat TM 20062008 Dari hasil kegiatan penafsiran yang dikerjakan untuk periode citra 2006‐2008 diperoleh hasil penutupan dengan nilai akurasi sebesar 85 dengan nilai kappa sebesar 81 beda 4. Angka ini mengindikasikan bahwa tingkat keyakinan kebenaran hasil penafsiran adalah sebesar 85 atau dengan kata lain antara 81 ‐ 89. Dengan demikian dapat diartikan bahwa tingkat kebenaran hasil penafsiran adalah sebesar 81‐89 dengan nilai tengah 85 atau tingkat kebenarannya adalah 85. Angka 85 ini menurut Jensen 2004 dan Congalton 2004 adalah angka akurasi minimum yang disyaratkan dalam proses hasil klasifikasi penutupan lahan, hal ini pun masih dianggap wajar apabila dikaitkan dengan luasan areal yang ditafsir yaitu P Jawa dan Madura hampir 13 juta Ha. Dengan demikian level skala yang dihasilkan dalam proses ini dan dengan merujuk angka 85 akurasi maka level skala informasinya adalah level skala menengah – global. Dengan demikian hasil penaksiran potensi baik kayu dan karbon berdasarkan luasan hasil penafsiran penutupan lahan dengan nilai akurasi 85 sebenarnya adalah hasil penaksiran dengan skala memengah‐global. Untuk itu sebenarnya ada kebutuhan bahwa informasi ini apabila akan dijadikan rujukan untuk tingkat kabupaten maka sebaiknya kabupaten melakukan pendetilan hasil penafsiran untuk memperoleh hasil dengan skala informasi yang lebih baik. Dengan demikian berdasarkan tingkat akurasi hasil penafsiran sebesar 85 dan merujuk hasil perhitungan spasial maka total luasan areal indikatif hutan rakyat di Pulau Jawa adalah kurang lebih 2,6 juta Ha Tabel 4.4, apabila di rata‐rata hasil luasan dan taksiran potensi hutan rakyat berdasarkan nilai tengah rerata 33 Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990‐2008 Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II di Pulau Jawa dapat disajikan per Provinsi dalam gambaran Grafik 4.2 di bawah ini. Grafik 4.2. Taksiran Potensi Kayu Hutan Rakyat indikatif di Pulau Jawa Grafik 4.3. Sebaran Luasan Areal dan Taksiran Potensi Kayu rerata Hutan Rakyat per Provinsi di Pulau Jawa dan Madura 34 Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990‐2008 Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II Dari sajian gambar 4.3 diperoleh hasil bahwa Provinsi Jawa Barat memiliki luasan hutan rakyat paling luas yaitu 942.698,13 atau 36,4 disusul Propinsi Jawa Tengah dengan luas 742923,17 Ha atau 28,7 dan Jawa Timur dengan luasan 523.629,25 Ha atau 20,3, Sementara itu Banten berikutnya dengan luas 322.160,83 Ha atau 12,4 dan terakhir Provinsi DIY dengan luas 53.602,68 Ha atau 2. Berdasarkan taksiran potensi kayu Provinsi Jawa Barat menduduki urutan teratas dengan taksiran rerata 26,2 juta m3 atau 35, Provinsi Jawa Tengah dengan taksiran rerata sebesar 22,35 juta m3 atau 30, Provinsi Jawa Timur dengan taksiran rerata 15,6 juta m3 atau 21, kemudian disusul Provinsi Jawa Banten dengan taksiran rerata 9 juta m3 atau 12 dan terakhir Provinsi DIY dengan taksiran rerata 1,6 juta m3 atau 2. Sedangkan untuk taksiran potensi karbon pohon pada areal hutan rakyat diperoleh dengan mengkonversi parameter volume dengan persamaan allometrik oleh Purwanto 2009. Hasil perhitungan taksiran potensi karbon hutan rakyat per provinsi di Pulau Jawa Madura disajikan dalam Grafik 4.4 di bawah ini. Grafik 4.4. Sebaran Potensi Karbon pohon Hutan Rakyat per Provinsi di Pulau Jawa dan Madura 35 Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990‐2008 Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II Hasil sebaran tidak terlalu berbeda dengan kondisi sebaran berdasarkan taksiran potensi kayu yaitu Provinsi Jawa Tengah dengan proporsi 35, Jawa barat, 30 Jawa Tengah, Jawa Timur 20, Banten 15 dan DIY sebesar 2. Sementara itu total taksiran karbon Hutan rakyat di Pulau jawa total adalah 40,6 juta ton pada luasan 2,6 juta Ha hanya untuk taksiran berdasarkan tegakan kayunya saja above ground woody biomasss belum termasuk taksiran karbon dengan akar, tanaman semusim, anakanpermudaan dan tanah. Angka hasil taksiran potensi sebesar kurang lebih 74,8 juta m3 untuk luasan 2,6 juta Ha, angka ini jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Santoso 2006 menyatakan bahwa taksiran potensi hutan rakyat di Jawa sebesar 39,53 m3 pada kelas masak tebang umur 10th. Hasil taksiran potensi kayu di Jawa jika diambil berdasarkan nilai rerata per Ha diperoleh hasil kurang lebih 30 m3Ha untuk setiap penggunaan lahan Tabel 4.2, hasil tersebut kurang lebih hampir sama atau setara. Namun perbedaannya dengan kegiatan ini adalah model sampling yang dilakukan oleh Santoso 2006 dimana representasi samplingnya tidak se‐komprehensif dalam konteks sebaran spasial sebagaimana dilakukan dalam kegiatan ini. Kemungkinan kelemahan atau error yang dihasilkan dari kegiatan ini adalah jumlah sampel dan representasi sampel. Jumlah sampel sebanyak 180 petak ukur untuk luasan se‐ Pulau Jawa dan Madura dengan ukuran luasan 30m x 30m sebenarnya masih kurang jika dihitung dengan angka intensitas sampling dan representasi awal penempatan petak ukur adalah mempertimbangkan kelas kerapatan berdasarkan analisis digital namun data digital citra penginderaan jauh kondisinya tidak ideal karena disebabkan karena kualitas citra Landsat tahun 2006 yang kurang baik drop out baris SLC off sehingga berimplikasi terhadap desain sampling yang dirancang dan pengkelasan kelas kerapatan. Pada awalnya penghitungan model penaksiran dilakukan dengan analisis statisitik taksiran potensi berdasarkan kelas penutupan lahan per kelas kerapatan, 36 Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990‐2008 Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II namun hasil yang diperoleh sangat under estimate dan berdasarkan masukan dari workshop tanggal 18 Agustus 2009 hasil tersebut di perbaiki dan dihitung ulang dengan mengubah model penghitungan taksiran dengan hanya berbasis penutupan lahan. Dengan strategi ini hasil penghitungan setidaknya hampir menyamai beberapa studi khususnya yang telah dilakukan oleh Santoso 2006. Walau demikian angka taksiran total hampir 74,8 juta m3 untuk luasan hampir 2,6 juta Ha dapat dijadikan acuan sebelum ada data terbaru dengan metode dan jumlah sampel yang lebih komprehensif. Berdasarkan hasil penghitungan taksiran luasan hutan rakyat yang diperoleh sebesar hampir 2,6 juta ha jika mengacu pada Gambar 4.2 diperoleh hasil yang agak berbeda dengan studi yang dilakukan serupa oleh BPKH Wilayah XI Jawa‐ Madura Tahun 2006 untuk wilayah Provinsi DIY dimana saat itu hasil luasan hutan rakyat indikatif diperoleh seluas ± 110.000 Ha sementara hasil studi ini memberikan angka luasan ± 53.000 Ha. Perbedaan ini dimungkinkan karena kedetilan tingkat interpretasi dan melihat proses interpretasi yang digunakan berbeda metode. Dalam kegiatan ini ide awal adalah menggunakan basis penutupan lahan tahun 2006 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. Kemudian didetilkan dengan analisis digital citra transformasi NDVI sehingga diperoleh hasil luasan dalam kisaran 53.000 Ha. Sementara itu, dalam kegiatan BPKH Wilayah XI Jawa‐Madura Tahun 2006 luasan hutan rakyat diperoleh dari proses transformasi citra NDVI terlebih dahulu, kemudian dengan superimpose dengan data penutupan lahan Tahun 2003 hasil interpretasi melalui proses editing beberapa kelas penutupan lahan seperti pertanian irigasi teknis dan hutan negara dikeluarkan sehingga diperoleh luas indikasi hutan rakyat di Provinsi DIY seluas ± 110.000 Ha. Proses ini menyebabkan ada perbedaan hasil kemungkinan karena ada beberapa kelas masih disertakan dalam menurunkan luasan hutan rakyat indikatif seluas 110.000 Ha. Sementara itu, dalam kegiatan ini tentunya terjadi beberapa generalisasi karena didasarkan pada informasi satu pulau dan hanya 6 kelas 37 Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990‐2008 Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II penutupan lahan yang digunakan. Perbedaan proses generalisasi dan perbedaan jumlah kelas penutupan lahan ini perlu dikaji ulang untuk mendetilkan angka‐angka luasan untuk pendetilan data per provinsi dan kabupaten sangat direkomendasikan. Salah satu kesulitan dalam merancang desain sampling berdasarkan analisis citra satelit selain dari masalah teknsi kualitas data adalah kondisi beragamnya model hutan rakyat di lapangan alas, tegalan, pekarangan dan kenampakan dalam citra. Hal ini tergantung dari model pemanfaatan lahan oleh rakyat yang ditentukan dari kemampuan adaptasi masyarakat dalam memanfaatkan lahannya yang dipengaruhi oleh kondisi alam dan faktor ekonomi yang mendorong pola pemanfaatan lahan yang berbeda‐beda. Ini dibuktikan dari sulitnya membuat dan mengklasifikasikan kelas penutupan lahan berdasarkan strata, walaupun praktis secara strata kerapatan di lapangan rata‐rata berdasarkan data ada korelasi erat antara kelas kerapatan dengan model alas, tegalan dan pekarangan, namun ukuran terkecil piksel citra yang digunakan adalah resolusi medium sehingga sering terjadi kelas penutupan lahan dan kerapatan campur baur sehingga ketika dianalisis dengan model penggunaan lahan alas, tegalan dan pekarangan menjadi tidak berarti. Variasi model penutupan ini sebenarnya dapat di cermati lebih mendalam dengan melihat budaya, nilai ekonomi dan kemampuan adaptasi masyarakat yang di wujudkan dalam model pertanaman pola tanam. Provinsi Banten misalnya lebih didominasi model penutupan pertanian lahan kering campur semak dan hutan tanaman, data lapangan dari tally sheet menunjukkan bahwa tipologi alaspekarangantegalan dengan model tegakan seumur sedikit kombinasi dengan tanaman semusim lebih banyak dijumpai di Provinsi Banten. Berbeda dengan Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah dimana model penutupan lahan pertanian lahan kering campur banyak mendominasi luasan karena model pola pertanaman yang diterapkan lebih banyak dengan 38 Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990‐2008 Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II model tegalan dan model alas dengan pola pertanaman kombinasi semusim dan tanaman keras dominan Lampiran 2. Dari sisi penataan dan resep intervensi kebijakan apa yang tepat untuk pengembangan hutan rakyat. Sebenarnya dengan mencermati model penutupan lahan di tiap provinsi dimana model‐model penutupan lahan inilah yang perlu dikembangkan dan diperbaiki kualitasnya. Dengan kata lain model pola pertanaman model penggunaan lahan inilah yang menjadi kata kunci penting dalam pengembangan hutan rakyat. Sementara itu dari aspek tata ruang perlu dicari strategi sehingga model‐model penggunaan ini dapat diangkat sekaligus didalami kembali sehingga dapat diakomodir dalam tata ruang. Bahkan jika memungkinkan misalnya, perlu dihitung dari kacamata erosi misalnya berapa kontribusi erosi yang dihasilkan dari model‐model penutupan lahan ini yang selanjutnya bisa menjadi bahan pertimbangan dalam intervensi tata ruang. 4.3. Hasil Interpretasi, Penghitungan dan Taksiran Karbon Berdasarkan Citra Satelit Landsat TM Tahun 2000‐2003 Dari kegiatan penafsiran citra Landsat TM dengan metode yang sama sebagaimana yang dikerjakan berdasarkan kegiatan penafsiran citra satelit tahun 2006‐2008. Berdasarkan penghitungan luasan dan taksiran diperoleh hasil sebagaimana disajikan dalam Tabel 4.6 di bawah ini. 39 Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990‐2008 Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II Tabel 4.6. Tabel Luasan Hutan Rakyat Indikatif Berdsarkan Hasil Penafsiran Citra Landsat 2000‐2003 No Penutupan lahan Luas 1 hutan lahan kering sekunder primer 65.961,24 2 hutan tanaman 384.869,50 3 Perkebunan 166.553,30 4 pertanian lahan kering 1.098.215,20 5 pertanian lahan kering campur semak 984.066,80 6 semak belukar 30.946,00 Total 2.730.612,04 Berdasarkan penghitungan tersebut, memang benar sebagaimana rilis pertama kali oleh BPKH XI Jawa‐Madura bahwa luasan hutan rakyat indikatif adalah seluas 2,7 juta Ha. Selanjutnya berdasarkan luasan tersebut penghitungan potensi kayu dan biomass karbon dapat dihitung berdasarkan data hasil cek lapangan yang sama dengan pekerjaan penafsiran dengan citra Landsat tahun 2006 ‐2008 Tabel 4.5 dengan asumsi bahwa standar per Ha tidak mengalami perubahan pada tahun 2000‐2003. maka diperoleh hasil penghitungan sebagaimana tersaji dalam Tabel 4.7 di bawah ini. Tabel 4.7. Tabel Taksiran Potensi Hutan Rakyat Indikatif Berdasarkan Hasil Penafsiran Citra Landsat 2000‐2003 Sementara itu melalui metode penghitungan yang sama diperoleh nilai taksiran untuk biomass karbon hutan rakyat berdasarkan hasil penafsiran citra 40 Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990‐2008 Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II Landsat 2000‐2003 sebagaimana dihitung dan disajikan dalam Tabel 4.8 di bawah ini. Tabel 4.8. Tabel Taksiran Karbon Above Ground Biomass‐Tree Hutan Rakyat Indikatif Berdasarkan Hasil Penafsiran Citra Landsat 2000‐2003 4.4. Hasil Interpretasi, Penghitungan Dan Taksiran Biomass‐Karbon Berdasarkan Citra Satelit Landsat TM Tahun 1990‐1993 Dari kegiatan penafsiran citra Landsat TM dengan metode yang sama sebagaimana yang dikerjakan berdasarkan kegiatan penafsiran citra satelit tahun 2006‐2008. Berdasarkan penghitungan luasan dan taksiran diperoleh hasil sebagaimana dalam Tabel 4.9 di bawah ini. Tabel 4.9. Tabel Luasan Hutan Rakyat Indikatif Berdasarkan Hasil Penafsiran Citra Landsat 1990‐1993 No Penutupan lahan Luas Ha 1 hutan lahan kering sekunder primer 45.572,19 2 hutan tanaman 304.461,12 3 perkebunan 80.322,79 4 pertanian lahan kering 837.379,82 5 pertanian lahan kering campur semak 601.042,74 6 semak belukar 32.018,48 total 1.900.797,14 Berdasarkan penghitungan tersebut, luasan hutan rakyat pada tahun 1990‐ 1993 masih dibawah 2 juta Ha, angka ini tentunya perlu diverifikasi dengan data pembanding kala itu yang sayangnya belum ada. Dengan demikian angka 41 Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990‐2008 Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II ini layak untuk dijadikan acuan menarik titik awal perkembangan hutan rakyat dari titik 1990an. Selanjutnya berdasarkan luasan tersebut penghitungan potensi kayu dan biomasss‐karbon dapat dihitung berdasarkan data hasil cek lapangan yang sama dengan pekerjaan penafsiran dengan citra Landsat tahun 2006 ‐2008 tabel 4.5 dengan asumsi bahwa standar per Ha tidak mengalami perubahan pada tahun 1990‐1993, maka diperoleh hasil penghitungan sebagaimana dalam Tabel 4.10 di bawah ini. Tabel 4.10. Tabel Taksiran Potensi Hutan Rakyat Indikatif Berdasarkan Hasil Penafsiran Citra Landsat 1990‐1993 Sementara itu melalui metode penghitungan yang sama diperoleh nilai taksiran untuk biomass karbon hutan rakyat berdasarkan hasil penafsiran citra Landsat 1990‐1993 sebagaimana dihitung dan disajikan dalam Tabel 4.11 di bawah ini. Tabel 4.11. Tabel Taksiran Karbon Above Ground Biomass‐ Tree Hutan Rakyat Indikatif Berdasarkan Hasil Penafsiran Citra Landsat 1990‐1993 42 Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990‐2008 Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II

4.5. Analisis Perubahan Potensi Tegakan dan Karbon Lahan Hutan Rakyat

indikatif Jawa dan Madura Berdasarkan hasil penghitungan luasan penutupan lahan dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2008 dengan menggunakan metode analisis perubahan pasca klasifikasi yaitu dengan membandingkan perubahan luasan dari waktu t tahun ke waktu t+n tahun Howard, 1990 maka dapat dihitung serial trend perubahan luasan. Hasil penghitungan perubahan luasan penutupan lahan disajikan dalam Tabel 4.12 di bawah ini. Tabel 4.12. Trend Perubahan Luasan Hutan Rakyat Indikatif di Pulau Jawa‐Madura Berdasarkan Penafsiran Citra Periode 2006‐2008, 2000‐2003, dan 1990‐ 1993 No Penutupan lahan Luas Lahan Ha 2006 ‐2008 2000 ‐2003 1990 ‐1993 1 2 3 4 5 1 hutan lahan kering sekunder primer 107.706,97 65.961,24 45.572,19 2 hutan tanaman 374.057,31 384.869,50 304.461,12 3 perkebunan 153.441,62 166.553,30 80.322,79 4 pertanian lahan kering 935.069,26 1.098.215,20 837.379,82 5 pertanian lahan kering campur semak 977.796,44 984.066,80 601.042,74 6 semak belukar 36.942,46 30.946,00 32.018,48 Total Luas Lahan Hutan Rakyat 2.585.014,06 2.730.612,04 1.900.797,14 43 Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990‐2008 Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II Grafik 4.5. Grafik Perubahan Penutupan Lahan Hutan Rakyat Sejak Tahun 1990 Sampai Dengan Tahun 2008 Berdasarkan Analisis SIG Dari Grafik 4.5 mengenai grafik perubahan penutupan lahan sejak tahun 1990 sampai dengan tahun 2008 terlihat terjadi perubahan luasan penutupan lahan di hutan rakyat. Secara umum perubahan penutupan dimulai dengan trend sejak tahun 1990an ke 2000 adalah naik kemudian agak menurun pada tahun 2008 dimana ada penurunan luasan total hampir 200.000 Ha sementara kenaikan dari tahun 1990 ke 2000 total sebesar 800.000 Ha. Perubahan fluktuatif paling besar terjadi pada kelas‐kelas penutupan kelas hutan tanaman, perkebunan, pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur semak. Trend kenaikan terjadi pada kelas hutan lahan kering sekunderprimer dimana trend sejak tahun 1990 ke 2008 meningkat walaupun dibanding kelas lain tidak banyak. Sementara itu untuk kelas penutupan semak belukar cenderung hampir tidak banyak mengalami perubahan. Hal yang perlu diperhatikan disini adalah kelas penutupan ini tidak identik dengan kelas penutupan aktual dilapangan seusai pemahaman