Paribasan yaiku unen-unen gumathok kang ajeg panganggone, ngemu teges wantah. Kalimat yang memiliki arti kias, tidak mengandung makna
perumpamaan. Bebasan yaiku unen-unen gumathok kang ajeg panganggone, ngemu teges
pepindhan, kang dipindhakake pakarti utawa kaanane uwong. Kalimat yang mengandung makna perumpamaan tentang perbuatan atau keadaan orang.
Saloka yaiku unen-unen gumathok kang ngemu surasa pepindhan, dene pepindhan mau tumrap uwong. Kalimat yang menagandung makna
perumpamaan, yang diumpamakan adalah orangnya. Definisi isbat menurut Patmoesoekatja dalam Herawati, isbat yaiku ukara
pepindhan kang ngemot piwulang babagan ilmu gaib, ngelmu kebatinan, lan ngelmu kesempurnaan pati. Dengan kata lain, isbat adalah perumpamaan yang
menggambarkan keadaan apa saja yag ada di duniadan di akhirat. Simpulan dari beberapa pendapat di atas pengertian paribasan adalah
kalimat yang mengandung makna kias tetapi bukan perumpamaan. Bebasan adalah kalimat yang mengandung perumpamaan, yang diumpamakan adalah
keadaan, sifat, atau barangnya. Saloka adalah kalimat yang mengandung perumpamaan, yang diumpamakan adalah orangnya dengan sifat, keadaan, dan
wataknya. Isbat adalah kalimat yang mengandung nilai magis atau spiritual.
2.2.2 Fungsi Ungkapan Tradisional Jawa
Ungkapan tradisional adalah kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman panjang; atau kebijakan orang banyak tetapi merupakan kecerdasan
seseorang; maka ungkapan tradisional seperti bahasa rakyat pedendukungnya
adalah sebagai sistem proyeksi, sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga kebudayaan, sebagai alat pendidik anak, dan sebagai alat pemaksa dan
pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi Reksodihardjo 2986:165.
Menurut Endraswara 2002:27, ungkapan tradisional memiliki makna dan fungsi yang khas, yaitu:
1. sebagai sistem proyeksi angan-angan, misalnya: ajining dhiri ana pucuking
lathi artinya kehormatan dan kewibawaan seseorang terletak pada ujung lidahnya,
2. sebagai alat pengesahan pranata-pranata lembaga kebudayaan, contoh: Negara
mawa tata desa mawa cara, mangkat becik mulih apik, 3.
sebagai alat pendidikan, contoh: aja mongkog ing pambombong aja nglokro ingpanyendhu.
4. sebagai alat pemaksa dan pengawas norma masyarakat, misalnya: ngrusak
pager ayu¸ murang tata tanpa karma, aja ngege mangsa.
2.2.3 Makna Ungkapan Tradisional
Sesuai dengan fungsinya bahwa ungkapan tradisional sebagai sistem proyeksi, pengesahan pranata, alat pendidikan, alat pengawas norma-norma yang
ada dalam masyarakat, Reksodihardjo, dkk 1986:165 menyampaikan bahwa ungkapan tradisional mengandung hal-hal berupa:
a. nasihat : karena di dalam ungkapan tradisional tersebut tersirat ajaran tentang
baik dan buruk serta berisi tentang nasihat agar kita berbuat baik.
b. pesan : karena ungkapan tersebut membawa pesan masa depan yang baik bagi
siapa saja yang menuruti apa yang tersurat dan apa yang tersirat pada ungkapan tradisional tersebut.
c. kritik : karena di dalam ungkapan tradisional tersebut baik secara halus
maupun secara terus terang mengemukakan pendapat dan pendiriannya yang bertentangan dengan hati nurani pendukung ungkapan tradisional tersebut.
d. teguran : karena di dalam ungkapan tradisional tersebut kalimatnya
mengandung teguran halus atau keras yang semata-mata agar norma yang ada dalam tata kehidupan umum tidak dilanggar dengan harapan agar norma dan
nilai-nilai dipertahankan. e.
anjuran : karena di dalam ungkapan tradisional tersebut ada hal yang mengandung makna anjuran agar kita menaati sesuatu yang sudah disepakati
dan terus dijaga kelestariannya demi masa depan generasi muda. f.
harapan : karena di dalam ungkapan tradisional tersebut ada hal yang mengandung makna harapan atau keinginan dari pendukung ungkapan
tersebut agar apa yang sudah ada dipertahankan karena sudah dianggap baik dan hendaknya terus dilestarikan tegaknya norma-norma dan nilai-nilai yang
baik tersebut. g.
sanksi : karena di dalam ungkapan tradisional tersebut ada hal yang mengandung sangsi berupa ancaman hukuman sosial, hukuman moral
terhadap siapa saja yang melanggar makna ungkapan tersebut. Berdasarkan uraian diatas, jelaslah bahwa ungkapan tradisional sebenarnya
juga mngandung kontrol sosial terhadap sesuatu yang dianggap tidak benar. Pola
pikiran orang Jawa, sering kali dalam mengemukakan sesuatu sering kali tidak sesuai dengan hati nuraninya. Kritikan dan celaan, diungkapkan dalam bentuk
sindiran secara implisit. Dengan demikian, ungkapan tradisional juga dapat diartikan sebagai sarana penyalur hati. Dandes dalam Reksodihardjo 1986:167
mengatakan bahwa makna ungkapan seperti itu disebut sebagai: “the impersonalization of authority
” yang berarti pembebasan dari tanggung jawab perorangan terhadap suatu kekurangan seseorang.
2.2.4 Tradisi Lisan Jawa