Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

36

3. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 22 dinyatakan dengan tegas bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. 47 Di dalam penjelasannya kata “dapat” dalam Pasal ini bisa diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Adapun Pasal 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, sebagaimana Pasal 72 Kompilasi Hukum Islam mengatur hak-hak suami atau isteri untuk mengajukan pembatalan manakala perkawinan dilangsungkan dalam keadaan diancam, ditipu atau salah sangka. 48 Istilah “batalnya” perkawinan dapat menimbulkan salah paham, karena terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal nietig tersebut. Batal berarti nietig zonder kracht tidak ada ketentuan zonder waarde tidak ada nilai. Dapat dibatalkan berarti nietig verklaad, sedangkan absolut nietig adalah pembatalan mutlak. 49 Istilah dapat dibatalkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ini berarti dapat difasidkan, jadi relatif nietig. Dengan demikian perkawinan dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena adanya pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu. 50 47 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indoensia, Indonesia Center Publishing, Jakarta, 2002, hlm. 23 48 Ibid, hlm. 25 49 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm.148 50 Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit, hlm. 26 Universitas Sumatera Utara 37 Ada kesan pembatalan perkawinan ini terjadi karena tidak berfungsinya pengawasan baik dari pihak keluarga atau pejabat berwenang sehingga perkawinan itu terlanjur terlaksana kendati setelah itu ditemukan pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 atau hukum munakahat. Jika ini terjadi maka Pengadilan Agama dapat membatalkan perkawinan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Namun demikian, ketentuan tersebut tidak memberi pengertian bahwa suatu perkawinan yang telah dilangsungkan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat-syaratnya. 51 Adapun dengan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut undang-undang ini ada 3 kategori: 1. Persyaratan yang ditentukan oleh hukum Islam. 2. Persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang tetapi tidak ditentukan oleh hukum Islam. 3. Persyaratan yang ditentukan oleh hukum Islam dan sekaligus diatur dalam undang-undang, misalnya: a. Pasal 8 tentang larangan perkawinan b. Pasal 9 tentang masih terikat dengan perkawinan orang lain c. Pasal 10 tentang ruju’kembali setelah talak tiga. 52 Ada beberapa bentuk perkawinan tertentu yang menurut Pasal 26 dan Pasal 27 dapat dikategorikan sebagai kasus pembatalan perkawinan, antara lain: 1. Perkawinan yang dilangsungkan di depan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang. 2. Perkawinan yang dilangsungkan dengan wali nikah yang tidak sah 3. Perkawinan yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua saksi. 51 Ibid, hlm.70 52 Ibid, hlm.71 Universitas Sumatera Utara 38 4. Perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum Pengertian ancaman melanggar hukum tiada lain dari hakekat yang menghilangkan kehendak bebas dari salah seorang calon mempelai, yaitu segala macam ancaman apapun yang dapat menghilangkan hakekat bebas seseorang calon mempelai. Termasuk ancaman yang bersifat hukum sipil. Sebagai Contoh : seseorang menyerukan syarat, bahwa asal dia mau menikah, hutang orang yang diajak kawin akan dihapus, kalau tidak bersedia dikawini, hutang ini akan digugat dan meminta dilelang semua hartanya. Akan tetapi, sesuai dengan Pasal 27 ayat 3 UU Perkawinan, sifat ancaman berhenti apabila telah lewat masa 6 bulan sesudah dilangsungkan perkawinan berdasar ancaman yang melanggar hukum. Yang bersangkutan tidak mempergunakan haknya untuk pembatalan dan masih tetap hidup bersama sebagai suami isteri. Apabila dalam jangka waktu 6 bulan itu telah lewat dengan sendirinya gugurlah haknya untuk minta pembatalan. 5. Terjadi salah sangka mengenai diri suami dan isteri. Salah sangka yang dimaksud disini adalah mengenai diri orangnya atau personnya dan bukan mengenai keadaan orangnya yang menyangkut status sosial ekonominya dalam jangka waktunya pun tidak lebih dari 6 bulan. 53 Prakteknya pembatalan perkawinan karena suami melakukan poligami tanpa izin terjadi adalah karena faktor suami melakukan poligami tanpa izin isteri atau Pengadilan Agama dan melakukan manipulasi atau merekayasa statusnya, faktor wanita yang diperisteri ternyata masih memiliki status perkawinan dengan orang lain, faktor perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau wali yang tidak berhak dan perkawinan dilakukan dengan keterpaksaan.

B. Alasan Pembatalan Perkawinan 1. Menurut Hukum Islam