2.2.3. Dualisme Pasar Tradisional dan Pasar Modern
Dikotomi antara pasar tradisional dan pasar modern sesungguhnya tidak hanya bersumber dari arsitektur bangunan atau manajemen pengelolaannya,
melainkan bersumber dari pemaknaan tentang konsepsi pasar sebagai tempat berlangsungnya transaksi ekonomi. Konsep tentang pasar dapat dipahami dari
berbagai perspektif, seperti perspektif ekonomi, sosial, budaya, bahkan politik. Dalam perspektif ekonomi, konsep tentang pasar dalam pengertian luas, sebagai
tempat bertemunya permintaan dan penawaran terbentuk sebagai salah satu implikasi dari proses perubahan masyarakat menuju masyarakat kapitalis
Paskarina, et al, 2007. Dikotomi antara pasar tradisional dan pasar modern menimbulkan
dualisme. Dualisme artinya bahwa dalam waktu yang sama di dalam masyarakat terdapat dua gaya sosial yang jelas berbeda satu sama lain, dan masing–masing
berkembang secara penuh serta saling mempengaruhi. Dalam dualisme masyarakat, salah satu sistem sosial yang menonjol biasanya termaju, diimpor dari
luar negeri dan hidup dalam lingkungan baru tanpa berhasil menyisihkan atau menyerap sistem sosial lain yang telah lama tumbuh disitu. Akibatnya, dari sistem
kedua ini tidak ada yang meluas, dan malah keduanya menjadi ciri khas masyarakat yang bersangkutan.
Dualisme ekonomi yaitu kegiatan ekonomi dan keadaan ekonomi serta keadaan yang lain dalam masa tertentu, atau dalam suatu sektor ekonomi tertentu
yang memiliki sifat tidak seragam. Dualisme ekonomi ini dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu ekonomi tradisional dan ekonomi modern. Kelompok
ekonomi tradisional berarti kegiatan ataupun keadaan ekonomi yang ada masih dikuasai oleh unsur ketradisionalan. Kelompok ekonomi modern, berarti berbagai
Universitas Sumatera Utara
kegiatan dan keadaan ekonomi yang sedang berlangsung dikuasai oleh unsur – unsur yang bersifat modern. Menurut Boeke dalam Agustia 2009, dualisme
sosial adalah bahwa dalam masyarakat terdapat dua sistem yang berbeda, dan keduanya hidup saling berdampingan.
Mekanisme pasar ternyata menimbulkan dualisme kegiatan ekonomi khususnya perdagangan yang selanjutnya akan menunjuk pula pada dualisme
aspek-aspek lainnya seperti, distribusi penggunaan lahan, kondisi lingkungan, dan sosial budaya. Pada kegiatan perdagangan biasanya muncul kelompok superior
yang mendominasi kelompok inferior. Muncul pasartoko modern di tengah keberadaan pasar-pasar tradisional.
Dualisme dualism berasal dari terminologi Regional Economy yakni terjadinya coexistency hadir secara bersamaan dalam suatu waktu atau dalam
suatu wilayah yang sama dari situasi atau kondisi. Biasanya yang satu dikehendaki yang lainnya tidak atau yang satu merupakan komponen superior,
yang lainnya inferior, yang kedua-duanya eksklusif penting bagi kelompok masyarakat yang berbeda-beda. Misalnya sektor ekonomi modern dengan sektor
ekonomi tradisional, aktifitas perdagangan formal dengan perdagangan informal, gaya hidup kontemporer dengan tradisional, yang menunjukkan pada dualisme
aspek-aspek lainnya fisik, lingkungan, guna lahan, sosial budaya, dan sebagainya. Dualisme pasar modern vs pasar tradisional ini, salah satu akibat
dalam perkembangan wilayah perdagangan Adanya perbedaan dalam pengelolaan dan pengaturan pertanahan atau pengaturan zonasi seringkali tidak terhitungkan
dalam penyediaan ruang pola ruang yang direncanakan yang akhirnya menimbulkan friksi serta sikap pro dan kontra terhadap kehadirannya Djumantri,
2010.
Universitas Sumatera Utara
Boeke dalam Paskarina, et al. 2007 menerangkan fenomena terbentuknya pasar dalam kerangka pertumbuhan ekonomi dalam masyarakat
prakapitalistik dengan masyarakat kapitalistik. Menurutnya, perbedaan yang paling mendasar antara masyarakat prakapitalistik dengan masyarakat kapitalistik
terletak dalam hal orientasi kegiatan ekonominya. Masyarakat dalam tingkatan prakapitalistik berupaya untuk mempertahankan tingkat pendapatan yang
diperolehnya, sedangkan masyarakat dalam tingkatan kapitalistik tinggi berupaya untuk mendapatkan laba maksimum.
Perbedaan orientasi ekonomi tersebut melahirkan nilai-nilai sosial dan budaya yang membentuk pemahaman terhadap keberadaan pasar dalam kedua
kategori masyarakat tersebut. Dalam masyarakat kapitalistik, individu secara otonom menentukan keputusan bebas, dimana pasar merupakan kolektivitas
keputusan bebas antara produsen dan konsumen Sastradipoera, 2006. Jika keputusan produsen ditentukan oleh biaya alternatif, harapan laba, dan harapan
harga pasar, maka keputusan konsumen ditentukan oleh daya beli, pendapatan minus tabungan, harga dan harapan harga komoditas, serta faktor individual
minat, dan kebutuhan. Dalam masyarakat prakapitalistik, sebaliknya, kolektivisme menentukan keputusan individual. Pasar dalam masyarakat seperti
itu merupakan pertemuan sosial, ekonomi, dan kultural. Jika keputusan produsen lebih ditentukan oleh harapan untuk mempertahankan posisi pendapatan yang
telah dicapai, maka keputusan konsumen lebih dekat pada nilai kolektif yang dapat diraihnya.
Nilai kolektivitas menjadi pembeda dalam pemahaman tentang konsepsi pasar di kalangan masyarakat prakapitalistik dan masyarakat kapitalistik. Bagi
masyarakat prakapitalistik yang ciri-cirinya tampak dalam kelompok masyarakat
Universitas Sumatera Utara
yang masih berpatokan pada kolektivitas, kegiatan ekonomi yang berlangsung di pasar dalam arti tempat bertemunya penjual dan pembeli masih sangat diwarnai
oleh nuansa kultural yang menekankan pentingnya tatap muka, hubungan personal antara penjual dan pembeli yang ditandai oleh loyalitas ‘langganan’, serta
kedekatan hubungan sosial yang ditandai konsep ‘tawar-menawar harga’ dalam membeli barang atau konsep ‘berhutang’. Karakteristik semacam ini pada
kenyataannya tidak hanya ditemukan dalam masyarakat perdesaan, tapi juga dalam masyarakat perkotaan, yang bermukim di kota-kota besar di Indonesia.
Kondisi semacam inilah yang kemudian memunculkan dualisme sosial, yang tampak dalam bentuk pertentangan antara sistem sosial yang berasal dari luar
masyarakat dengan sistem sosial pribumi yang hidup dan bertahan di wilayah yang sama Paskarina, et al, 2007.
Masuknya nilai-nilai baru, seperti kolektivitas rasional atau otonomi individu yang menjadi karakteristik masyarakat kapitalistik ternyata tidak
diimbangi oleh pelembagaan nilai-nilai ini dalam dimensi kehidupan masyarakat. Kebiasaan sosial di kalangan masyarakat perkotaan yang seyogianya
menampakkan ciri-ciri masyarakat kapitalistik, pada kenyataannya masih menunjukkan kebiasaan masyarakat prakapitalistik. Kondisi inilah yang kemudian
memunculkan fenomena dualisme, seperti berkembangnya para pedagang kaki lima di sekitar mall. Dualisme sosial ini selanjutnya mengarah pada pola relasi
yang timpang di mana salah satu pihak mendominasi pihak lain dan pihak lain berada dalam posisi termarginalkan, baik dalam kerangka struktural maupun
kultural Paskarina, et al, 2007. Friedman dalam Sastradipoera 2006 menjelaskan bahwa kesenjangan
dalam pola relasi tersebut disebabkan oleh ketimpangan dalam basis kekuasaan
Universitas Sumatera Utara
sosial. Kemiskinan yang berkaitan dengan ketidakseimbangan dalam kekuatan tawar menawar di pasar terutama disebabkan oleh ketidaksamaan kesempatan
untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial tersebut. Beberapa penyebabnya adalah ketidaksamaan untuk memperoleh modal atau aktiva produktif,
ketidaksamaan dalam memperoleh sumber-sumber finansial, ketidaksamaan dalam memasuki jaringan sosial untuk memperoleh peluang kerja, dan
ketidaksamaan akses untuk menguasai informasi. Ketimpangan yang muncul sebagai akibat ketidakseimbangan dalam
kekuatan tawar menawar setidaknya memunculkan dua akibat, yakni: 1 hilangnya harga diri self-esteem karena pembangunan sistem dan pranata sosial
dan ekonomi gagal mengembangkan martabat dan wibawa kemanusiaan; dan 2 lenyapnya kepercayaan pada diri sendiri self-reliance dari masyarakat yang
berada dalam tahapan belum berkembang karena ketidakmandirian. Kondisi ketidakseimbangan dalam hal bargaining position sebagaimana
diuraikan di atas juga menjadi salah satu penyebab melemahnya kapasitas pasar tradisional dalam persaingan dengan pasar modern. Ruang bersaing pedagang
pasar tradisional kini semakin terbatas. Bila selama ini pasar modern dianggap unggul dalam memberikan harga relatif lebih rendah untuk banyak komoditas,
dengan fasilitas berbelanja yang jauh lebih baik, skala ekonomis pengecer modern yang cukup luas dan akses langsung mereka terhadap produsen dapat menurunkan
harga pokok penjualan mereka sehingga mereka mampu menawarkan harga yang lebih rendah. Sebaliknya para pedagang pasar tradisional, mereka umumnya
mempunyai skala yang kecil dan menghadapi rantai pemasaran yang cukup panjang untuk membeli barang yang akan dijualnya. Akibatnya, keunggulan biaya
rendah pedagang tradisional kini mulai terkikis Paskarina, et al, 2007.
Universitas Sumatera Utara
Keunggulan pasar tradisional mungkin juga didapat dari lokasi. Masyarakat akan lebih suka berbelanja ke pasar-pasar yang lokasinya lebih dekat.
Akan tetapi pusat-pusat perbelanjaan modern terus berkembang memburu lokasi- lokasi potensial. Dengan semakin marak dan tersebarnya lokasi pusat
perbelanjaan modern maka keunggulan lokasi juga akan semakin hilang. Kedekatan lokasi kini tidak lagi dapat dijadikan sumber keunggulan bagi pasar
tradisional Paskarina, et al, 2007. Upaya untuk menyeimbangkan kedudukan pasar tradisional dengan pasar
modern belum secara konkret dilakukan karena tidak ada kebijakan yang mendukung pasar tradisional, misalnya dalam hal pembelian produk pertanian
tidak ada subsidi dari pemerintah sehingga produk yang masuk ke pasar tradisional kalah bersaing dalam hal kualitas dengan produk yang masuk ke pasar
modern. Bahkan dewasa ini berkembang pengkategorian pasar yang cenderung memarginalkan masyarakat, seperti pasar tradisional untuk masyarakat berdaya
beli menengah ke bawah tapi kualitas barang yang dijual tidak sesuai standar, sementara pasar modern untuk masyarakat menengah ke atas dengan kualitas
produk sesuai bahkan melebihi standar minimal. Kategorisasi semacam itu memunculkan kesenjangan dan kecemburuan
sosial bukan hanya antara pasar tradisional dengan pasar modern, tapi semakin meluas mengarah pada konflik horizontal di masyarakat. Pembedaan kategori
pasar tradisional dan pasar modern juga menunjukkan stigmatisasi dan diskriminatif. Padahal konsep pasar modern kenyataannya lebih sarat dengan
makna konsumtif dibandingkan makna sebagai ruang sosial lintas strata masyarakat Paskarina, et al, 2007.
Universitas Sumatera Utara
Pasar modern pada umumnya diisi oleh retailer pengecer besar, baik perusahaan pengecer dengan skala lokal maupun nasional. Mereka ini merupakan
pesaing yang mengancam keberadaan pasar-pasar tradisional. Oleh karena itulah modernisasi pasar dengan manajemen pengelolaan secara modern baik dari sistem
pengelolaan maupun kelembagaannya perlu ditingkatkan untuk mengembangkan perekonomian pedagang kecil serta pemacu pertumbuhan ekonomi daerah.
2.2.4. Keuntungan
Keuntungan atau laba dapat didefinisikan dengan dua cara, yaitu 1 Laba dalam ilmu ekonomi murni didefinisikan sebagai peningkatan kekayaan seorang
investor sebagai hasil penanam modalnya, setelah dikurangi biaya-biaya yang berhubungan dengan penanaman modal tersebut termasuk di dalamnya, biaya
kesempatan; dan 2 laba dalam akuntansi didefinisikan sebagai selisih antaraharga penjualan dengan biaya produksi. Perbedaan di antara keduanya
adalah dalam hal pendefinisian biaya Yani, 2013. Sitio dalam Wijayanti 2011 menyatakan tingkat keuntungan pada setiap
perusahaan biasanya berbeda pada setiap jenis industri, baik perusahaan yang bergerak di bidang tekstil, baja, farmasi, komputer, alat perkantoran, dan lain-lain.
Terdapat beberapa teori yang menerangkan perbedaan ini sebagai : 1.
Teori Laba Menanggung Resiko Risk-Bearing Theory of Profit, yaitu keuntungan ekonomi diatas normal akan diperoleh perusahaan dengan resiko
di atas rata-rata. 2.
Teori Laba Friksional Frictional Theory of Profit, yaitu menekankan bahwa keuntungan meningkat sebagai suatu hasil dari friksi keseimbangan jangka
panjang long run equilibrium.
Universitas Sumatera Utara
3. Teori Laba Monopoli Monopoly Theory of Profit, yang menyatakan bahwa
beberapa perusahaan dengan kekuatan monopoli dapat membatasi output dan menetapkan harga yang lebih tinggi daripada bila perusahaan beroperasi
dalam kondisi persaingan sempurna. Dengan demikian perusahaan menikmati keuntungan.
4. Teori Laba Inovasi Innovation Theory of Profit, yaitu laba diperoleh karena
keberhasilan perusahaan dalam melakukan inovasi. 5.
Teori Laba Efisiensi Manajerial Managerial Efficiency Theory of Profit, yaitu menekankan bahwa perusahaan yang dikelola secara efisien akan
memperoleh laba diatas rata-rata laba normal. Keuntungan yang tinggi merupakan insentif bagi perusahaan untuk
meningkatkan outputnya dalam jangka panjang. Sebaliknya, laba yang rendah atau rugi adalah pertanda bahwa konsumen menginginkan kurang dari
produkkomoditi yang ditangani dan metode produksinya tidak efisien. Keuntungan diperoleh dari hasil mengurangkan berbagai biaya yang dikeluarkan
dari hasil penjualan yang diperoleh π=TR-TC. 2.2.5. Omzet Penjualan
Kata omzet berarti jumlah, sedang penjualan berarti kegiatan menjual barang yang bertujuan mencari labapendapatan. Jadi omzet penjualan berarti
Jumlah penghasilanlaba yang diperoleh dari hasil menjual barangjasa. Sutamto dalam Wijayanti 2011 menyatakan penjualan adalah usaha yang dilakukan
manusia untuk menyampaikan barang dan jasa kebutuhan yang telah dihasilkannya kepada mereka yang membutuhkan dengan imbalan uang menurut
harga yang telah ditentukan sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
Chaniago 2002 mendefinisikan omzet penjualan adalah keseluruhan jumlah pendapatan yang didapat dari hasil penjualan suatu barang atau jasa dalam
kurun waktu tertentu. Swastha dan Irawana 2005 mendefinisikan omzet penjualan sebagai akumulasi dari kegiatan penjualan suatu produk barang-barang
dan jasa yang dihitung secara keseluruhan selama kurun waktu tertentu secara terus menerus atau dalam satu proses akuntansi.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa omzet penjualan adalah keseluruhan jumlah penjualan barang atau jasa dalam kurun waktu tertentu,
yang dihitung berdasarkan jumlah uang yang diperoleh dan berdasarkan volume. Seorang pengelola usaha dituntut untuk selalu meningkatkan omzet penjualan dari
hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun. Hal ini diperlukan kemampuan dalam mengelola modal terutama modal kerja agar
kegiatan operasional perusahaan dapat terjamin kelangsungannya. 2.2.6. Diversifikasi Produk
Diversifikasi merupakan usaha memperluas beberapa macam barang yang akan dijual dalam sebuah strategi perusahaan untuk menaikkan penetrasi pasar.
Alasan yang mendorong suatu perusahaan mengadakan diversifikasi produk, yaitu: a Keinginan mengadakan perluasan usaha menjadi pendorong utama; dan
b Kegiatan menjadi serba besar, sehingga mendapatkan keuntungan juga lebih besar, karena diproduksikan sejumlah besar barang yang dibutuhkan konsumen
atau paling tidak pendapatan stabil, hal ini disebabkan kerugian menjual barang yang satu dapat ditutup dengan keuntungan menjual barang yang lain.
Diversifikasi produk merupakan salah satu cara untuk meningkatkan volume penjualan yang dapat dilakukan oleh perusahaan. Diversifikasi produk
Universitas Sumatera Utara
adalah upaya yang dilakukan pengusahaprodusen perusahaan untuk
mengusahakan atau memasarkan beberapa produk yang sejenis dengan produk yang sudah dipasarkan sebelumnya. Ismanthono 2006 mengemukakan
diversifikasi produk adalah upaya perusahaan untuk meningkatkan penjualan melalui penganekaragaman produk, baik lewat pengembangan produk baru atau
mengembangkan produk yang sudah ada. Tjiptono 2005 mendefinisikan diversifikasi sebagai upaya mencari dan
mengembangkan produk atau pasar yang baru, atau keduanya, dalam rangka mengejar pertumbuhan, peningkatan penjualan, profitabilitas, dan fleksibilitas.
Diversifikasi dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu : 1.
Diversifikasi konsentris, dimana produk-produk baru yang diperkenalkan memiliki kaitan atau hubungan dalam pemasaran atau teknologi dengan
produk yang sudah ada. 2.
Diversifikasi horizontal, dimana perusahaan menambah produk-produk baru yang tidak berkaitan dengan produk yang telah ada, tetapi dijual kepada
pelanggan yang sama. 3.
Diversifikasi konglomerat, dimana produk-produk yang dihasilkan sama sekali baru, tidak memiliki hubungan dalam hal pemasaran maupun teknologi
dengan produk yang sudah ada dan dijual kepada pelanggan yang berbeda. Secara garis besar, strategi diversifikasi dikembangkan dengan berbagai
tujuan diantaranya : 1.
Meningkatkan pertumbuhan bila pasarproduk yang ada telah mencapai tahap kedewasaan dalam Product Life Cycle PLC.
2. Menjaga stabilitas dengan jalan menyebarkan resiko fluktuasi laba.
3. Meningkatkan kredibilitas di pasar modal.
Universitas Sumatera Utara
Untuk mengurangi resiko yang melekat dalam strategi diversifikasi, unit bisnis seharusnya memperhatikan hal-hal berikut :
1. Mendiversifikasi kegiatan-kegiatannya hanya bila peluang produkpasar yang
ada terbatas. 2.
Memiliki pemahaman yang baik dalam bidang-bidang yang didiversifikasi. 3.
Memberikan dukungan yang memadai pada produk yang diperkenalkan. 4.
Memprediksi pengaruh diversifikasi terhadap lini produk yang ada.
2.3. Pengembangan Wilayah