4. Makna tauhid dan kalimat “la ilaha illallah” adalah meninggalkan apa yang dilakukan oleh orang-orang musyrik, seperti menyeru memohon
kepada orang-orang soleh dan meminta syafaat mereka, Qs. Al-isra’ ayat 57.
5. Mengharapkan berkah dari pepohonan, bebatuan atau sejenisnya adalah perbuatan syirik Qs. An-najm ayat 19-23.
6. Menyembelih binatang bukan karena Allah adalah perbuatan syirik Qs. An-na’am ayat 162-163.
7. Bernadzar karena selain Allah adalah perbuatan syirik Qs. Al-insan ayat 7.
8. Meminta perlindungan kepada selain Allah adalah perbuatan syirik Qs. Al-jin ayat 6 Muhammad Ibnu Abdul Wahab, terj. 2007.
Secara singkat pokok fikiran tauhid Muhammad Ibnu Abdul Wahab adalah mengkopi paste pemikiran tauhid Ibnu Taimiyah yang membagi ketauhidan
menjadi tiga segi :
1. Keesaan zat dan sifat, dalam hal ini keesaaan Allah dapat diperoleh dari
informasi al-qur’an dan hadits, faham ini meyakini bahwa sifat-sifat Allah tidak boleh dihilangkan dan atau diserupakan dengan makhluk, oleh
karena itu sifat-sifat dan nama-nama Allah diartikan seperti apa adanya.
2. Keesaan penciptaan, Allah tidak bersekutu atau bekerjasama dengan
makhluk dalam menciptakan sesuatu, dan tidak ada pula yang mempersengketakan kemauan Tuhan, atau bersama-sama dengan Dia
dalam menciptakan segala sesuatu, bahkan segala sesuatu dan semua perbuatan dari Tuhan , dan kepadaNya pula kembali.
3. Ke-Esaan Ibadah, atinya seseorang manusia tidak memperuntukkan
ibadahnya selain kepada Tuhan, hal ini akan bisa terwujud apabila dua hal berikut ini terpenuhi :
4. Hanya menyembah Tuhan semata-mata dan tidak mengakui Ketuhanan selain bagi Allah, siapa yang mengikutsertakan seseorang makhluk untuk
disembah bersama Tuhan, berarti ia telah syirik. Siapa yang mempersamakan al-Khalik dengan makhluk dalam suatu ibadah, berarti ia
mengangkat Tuhan selain Allah, meskipun mempercayai Ke-Esaan Tuhan al-Khalik.
5. Kita menyembah Tuhan dengan cara yang telah ditentukan disyaratkan oleh Tuhan melalui Rasul-rasulNya. Baik yang wajib, atau sunnah ataupun
mubah, harus dimaksudkan untuk ketaatan dan pernyataan syukur semata- mata kepada Tuhan.
Kelanjutan dari ke dua hal tersebut ialah : 1. Larangan mengangkat manusia, hidup atau mati, sebagai perantara kepada
Tuhan, aliran ini mempercayai bahwa ada manusia yang diberikan keluarbiasaan dan kekeramatan tetapi bukan berarti orang tersebut
terhindar dari kesalahan, melainkan ia tetap seorang hamba Allah. Dengan adanya kekeramatan seorang saleh tidak bisa dijadikan perantara kepada
Allah, Tuhan sendiri melarang Nabi Muhammad untuk meminta ampun kepada Tuhan bagi orang-orang musyrikin meskipun mereka termasuk
keluarganya sendiri.
2. Larangan memberikan nazar kepada kubur atau penghuni kubur atau penjaga kubur. Perbuatan ini haram, karena tidak ada bedanya dengan
nazar kepada patung berhala. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah mengatakan sebagai berikut :
“siapa yang percaya kuburan mempunyai daya guna atau mendatangkan pahala, maka ia bodoh dan sesat”.
Bahkan ia lebih keras lagi mengatakan sebagai berikut : “siapa yang percaya bahwa nazar itu merupakan kunci untuk mendapatkan
kebutuhan dari Tuhan dan dapat menghilangkan bahaya, membuka rezki atau menjaga pagar-batas, maka ia menjadi musyrik yang harus dihukum mati”.
1. Larangan ziarah ke kubur-kubur orang saleh dan Nabi-nabi. Kelanjutan yang logis dari kedua masalah di atas ialah larangan ziarah ke kubur
orang-orang saleh dengan maksud minta berkah atau mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan untuk mencari suri tauladan dan mengingat mati
maka dibolehkan dan bahkan dianjurkan A. Hanafi, 2003.
Senada dengan uraian di atas, Muhammad Ibnu Abdul Wahab dalam karyanya sendiri “Majmu’atut Tauhid” yang penulis kutip dalam buku “Islam di Kawasan
Kebudayaan Arab”, ia menjelaskan bahwa al-qur’an banyak menyebutkan hakekat dan perintah penyembahan hanya kepada Allah, diantaranya misalnya :
Surat az-Zariyat ayat 56 : tBur àMøn=yz £`Ågø: }§RM}ur wÎ Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
56. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku” Al-Qur’an Terjemahan Depatemen Agama,1989.
Surat an-Nahl ayat 36 : ôss9ur uZ÷Wyèt Îû Èeà2 7p¨Bé »wqß§ Âcr rßç6ôã ©
qç7ÏtGô_ur |Nqäó»©Ü9 Nßg÷YÏJsù ô`¨B yyd ª Nßg÷YÏBur ïÆ¨B ôM¤ym Ïmøn=tã ä’s»n= Ò9 4 rç Å¡sù Îû ÇÚöF{ rãÝàRsù
yøx. cx. èpt7É»tã úüÎÉjs3ßJø9 ÇÌÏÈ 36. “Dan sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat untuk
menyerukan: “Sembahlah Allah saja, dan jauhilah Thaghut[826] itu”, Maka di antara umat itu ada orang-orang “yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di
antaranya orang-orang yang Telah pasti kesesatan baginya[826]. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang
mendustakan rasul-rasul” Al-Qur’an Terjemahan Depatemen Agama,1989.
Surat al-Isra’ ayat 23 : 4Ó|Ósur y7u wr ÿrßç7÷ès? HwÎ çn
Î Èûøïtκuqø9Îur ·Z»|
¡ômÎ 4 ¨BÎ £`tóè=ö7t x8yYÏã u y9Å6ø9 yJèdßtnr ÷rr yJèdxÏ. xsù às? yJçl°; 7eé wur yJèdöpk÷]s? èur yJßg©9 Zwöqs
VJÌ2 ÇËÌÈ 23. “ Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain
dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut
dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia” Al-Qur’an Terjemahan Depatemen Agama,1989.
masih banyak ayat yang menerangkan tentang tauhid tersebut. Tauhid itu dapat dikategorikan menjadi tauhid al-Ilahiyah, tauhid ar-rububiyah, tauhid al-asma’,
tauhid as-sifat, dan tauhid al-af’al yang disebut juga tauhid al-‘ilm dan al-I’tiqad. Tauhid al-asma’ dan as-sifat ialah keyakinan akan kemandirian Allah dengan
kesempurnaan yang mutlak yang tiada sekutu bagiNya dari segi manapun, Keesaan Allah itu diketahui melalui ketetapan dari Allah sendiri melalui kitabNya
dan RasulNya. Tauhid ar-rububiyah adalah keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan yang mandiri dalam menciptakan makhlukNya, mandiri pula dalam memberikan
rezeki, mengatur semua makhluk, menciptakan makhlukNya yang khusus, yakni para Nabi dan Rasul yang dilengkapi dengan aqidah yang benar, akhlak yang
mulia, ilmu yang bermanfaat, dan perbuatan yang baik. Tauhid ilahiyah ialah tauhid al-ibadah yakni pengetahuan dan pengakuan bahwa Allah yang memiliki
keilahian. Ibadah dan kebaktian dari makhlukNya hanya ditujukan kepadaNya dan keikhlasan beragama hanya untukNya semata. Tidaklah sah ibadah seseorang bila
tidak ditujukan dengan keikhlasan kepadaNya. Syirik menurut Muhammad Ibnu Abdul Wahab adalah orang yang menyekutukan Allah dan tidak akan diampuni
oleh Allah Ali Mufrodi 1997.
Tetapi Allah akan mengampuni dosa selain syirik dengan firmanNya dalam surat an-nisa ayat 48 :
¨ bÎ © w ãÏÿøót br x8u ô³ç ¾ÏmÎ ãÏÿøótur tB tbrß y7Ï9ºs `yJÏ9 âä
t±o 4 `tBur õ8Î ô³ç «Î Ïssù u tIøù ¸JøOÎ ¸JÏàtã ÇÍÑÈ
48. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari syirik itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia Telah berbuat dosa yang besar” Al-Qur’an Terjemahan Depatemen Agama,1989.
Berkaitan dengan hal di atas, ulasan dibawah ini akan lebih memperjelas pemikiran dan gerakan Muhammad Ibnu Abdul Wahab. Pemikiran Muhammad
Ibnu Abdul Wahab mempengaruhi dunia islam di masa modern sejak abad kesembilanbelas. Walaupun ia sendiri hidup di abad sebelumnya, tetapi
pemikirannya mengilhami gerakan-gerakan pembaruan dalam islam pada abad setelahnya. Bahkan sisa-sisanya masih terasa hingga kini. Pemikiran keagamaan
yang dibawakannya difokuskan kepada pemurnian tauhid, oleh Karenanya kelompok ini menamakan dirinya sebagai muwahhidun sebutan wahabiah adalah
nama yang diberikan kepada kelompok ini oleh lawan-lawannya, karena pimpinannya bernama Muhammad Ibnu Abdul Wahab. Gerakan mereka pertama
kali memang bukan bergerak di lapangan politik, tetapi di wilayah keagamaan. Baru setelah adanya kesepakatan antara Muhammad Ibnu Abdul Wahab dengan
Muhammad Ibnu Sa’ud tahun 1744 M, maka gerakannya berubah menjadi gerakan politik, tanpa meninggalkan misi asalnya, yakni dakwah pemurnian islam
Ali Mufrodi, 1997.
Aliran wahabiyah sebenarnya merupakan kelanjutan dari aliran salaf, yang berpangkal kepada fikiran-fikiran Ahmad bin Hanbal dan yang kemudian
direkonstruksikan oleh Ibnu Taimiyah, bahkan aliran wahabiah telah menerapkannya dengan lebih luas dan dengan memperdalam arti bid’ah, sebagai
akibat dari keadaan masyarakat dan negeri Saudi Arabia yang penuh dengan aneka bid’ah, baik yang terjadi pada musim upacara agama ataupun bukan. Muhammad
bin Abdul Wahab sendiri setelah mempelajari fikiran-fikiran Ibnu Taimiyah, tertariklah ia dan kemudian mendalaminya serta merealisasikannya dari sekedar
teori sehingga menjadi suatu kenyataan.
Aqidah-aqidah yang pokok dari aliran wahabiah pada hakikatnya tidak berbeda dengan apa yang telah dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah. Perbedaan yang ada,
hanya dalam cara melaksanakan dan menafsirkan beberapa persoalan tertentu. Aqidah-aqidahnya dapat disimpulkan dalam dua bidang, yaitu bidang tauhid
pengesaan dan bidang bid’ah. Dalam bidang tauhid mereka berpendirian sebagai berikut :
1. Penyembahan kepada selain Allah adalah salah, dan siapa yang berbuat demikian ia dibunuh.
2. Orang yang mencari ampunan Tuhan dengan mengunjungi kuburan orang- orang saleh, termasuk golongan orang musyrikin.
3. Termasuk dalam perbuatan musyrik memberikan pengantar kata dalam shalat terhadap nama nabi-nabi atau wali atau malaikat seperti sayyidina
Muhammad.
4. Termasuk kufur memberikan suatu ilmu yang tidak didasarkan atas al- qur’an dan sunnah atau ilmu yang bersumber kepada akal fikiran semata-
mata.
5. Termasuk kufur juga mengingkari qadar dalam semua perbuatan dan penafsiran al-qur’an dengan jalan ta’wil.
6. Dilarang memakai buah tasbih dan dalam mengucapkan nama Tuhan dan do’a-do’a wirid cukup dengan menghitung keratin jari.
7. Sumber syari’at islam dalam soal halal dan haram hanya al-qur’an semata- mata dan sumber lain sesudahnya ialah sunnah Rasul. Perkataan ulama
mtakallimin dan fuqaha tentang haram dan halal tidak menjadi pegangan, selama tidak didasarkan atas kedua sumber tersebut.
8. Pintu ijtihad tetap terbuka dan siapapun juga boleh melakukan ijtihad, asal sudah memenuhi syarat.
Hal-hal yang dipandang bid’ah oleh mereka, dan harus diberantas antara lain ialah berkumpul bersama-sama dalam mu’idan, orang wanita mengiring jenazah,
mengadakan khalakah pertemuan zikir, bahkan mereka merampas buku-buku yang berisi tawas-sulat, seperti Dalailul Khairat dan sebagainya. Mereka tidak
cukup sampai di situ, bahkan kebiasaan sehari-hari juga dikategorikan dalam bid’ah, seperti merokok, minum kopi, memakai pakaian sutera bagi orang lelaki,
bergambar foto, mencelup memacari jempol, memakai cincin dan lain-lainnya yang termasuk dalam soal-soal yang kecil dan yang tidak mengandung atau
mendatangkan paham keberhasilan.
Kalau Ibnu Taimiyah, sebagai pembangun aliran salaf, menanamkan paham- pahamnya dengan cara menulis buku-buku dan mengadakan pertukaran fikiran
serta perdebatan, maka aliran wahabiah dalam menyiarkan ajaran-ajarannya memakai kekerasan dan memandang orang-orang yang tidak mengikuri ajaran-
ajarannya sebagai orang bid’ah yang harus diperangi, sesuai dengan prinsip ‘amar ma’ruf nahi munkar”.
Untuk melaksanakan maksud ini Muhammad bin Abdul Wahab sendiri bekerja sama dengan pangeran Muhammad bin Saud wafat 1765 M dan menggantikan
ayahnya pada tahun 1724 M, penguasa di Dar’iah pada waktu itu, yang telah memeluk ajaran-ajarannya dan yang juga mengawini anaknya. Sejak saat itu
kekuatan senjatalah yang dipakai oleh aliran wahabiah dalam menyiarkan ajaran- ajarannya. Setelah kedua tokoh tersebut, yaitu tokoh agama dan tokoh politik serta
pemerintahan meninggal dunia, keturunan-keturunannya meneruskan sikap dan kerja sama yang telah dirintis oleh keduanya itu, sehingga aliran wahabiah dapat
merata di seluruh negeri Saudi Arabia. Muhammad bin Saud menyatakan bahwa tindakannya tersebut dimaksudkan untuk menegakkan sunnah dan mematikan
bid’ah. Muhammad bin Abdul Wahab sendiri merasakan bahwa khurafat-khurafat yang menimpa kaum muslimin di negerinya, bukan saja terbatas kepada pemujaan
kuburan-kuburan, sebagai tempat orang-orang saleh, dan memberikan nazar kepadanya, tetapi juga menjalar kepada pemujaan benda-benda mati. Sebagai
anak negeri tempat kelahirannya, yaitu Yamamah atau Riadh sekarang, memuja sebuah pohon kurma, karena dianggap oleh mereka dapat memberikan jodoh.
Juga tidak sedikit dari penduduk kota Dar’iah, tempat ia mulai melancarkan dakwahnya, senang menhunjungi sebuah gua yang terletak di sana. Perbuatan
tersebut dipandang olehnya sebagai perbuatan syirik. Karena itu ia menyerukan untuk tidak menziarahi kuburan, kecuali untuk mencari teladan, bukan untuk
mencari syafa’at dan tawassulat.
Gerakan dakwah yang pertama-tama dilakukannya ialah memotong pohon kurma yang dianggap keramat. Kemudian setiap kali golongan wahabiah memasuki
suatu tempat atau kota mereka membongkar kuburan dan diratakan dengan tanah, bahkan masjid-masjid pun turut dibongkar, sehingga penulis-penulis eropa
menyebutkan mereka sebagai “pembongkar tempat-tempat ibadah huddamul ma’abid. Sebutan ini menurut syekh Abu Zahrah, tidak tepat, karena bukan
masjid itu sendiri yang rusak, melainkan masjid-masjid yang didirikan di atas atau di samping kuburan, suatu tindakan yang didasarkan atas pengingkaran Nabi
terhadap perbuatan Bani Israil yang membuat kuburan Nabi-nabinya sebagai tempat ibadah.
Tindakan mereka tidak hanya terbatas kepada pembongkaran kuburan wali-wali atau orang-orang saleh biasa, tetapi lebih jauh lagi. Ketika mereka dapat
menguasai Mekkah, banyak tempat-tempat yang bersejarah dimusnahkan, seperti tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW, Abu BAkar ra, dan Ali ra. Ketika
mereka sampai di Madinah, kuburan sahabat-sahabat Nabi di Baqi’ diratakan dengan tanah dan cukup diberikan tanda-tanda. Kuburan Nabi sendiri hamper
mengalami nasib yang sama kalau sekiranya mereka tidak takut akan kemarahan dunia islam. Terhadap kubur Nabi SAW, mereka cukup menghilangkan hiasan-
hiasan yang ada padanya dan melarang penggantian selubungnya yang baru. Akan tetapi gerakan aliran wahabiah yang bercorak agama ini dan yang dilindungi oleh
kekuatan raja Muhammad bin Saud, dipandang oleh penguasa khalifah Usmaniah yang menguasai negeri Arabia pada waktu itu, sebagai perlawanan dan
pemberontakan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu penguasa tersebut mengirimkan tentaranya ke negeri Arabia untuk menumpas gerakan tersebut.
Akan tetapi maksud ini tidak berhasil, kemudian diserahkan penumpasannya kepada Muhammad Ali, gubernur Turki di Mesir, dan ternyata tentaranya yang
kuat dapat mengalahkan golongan wahabiah serta dapat melumpuhkan kekuatannya. Sesudah itu gerakan wahabiah terbatas di pedalaman suku-suku
Arab dengan kota Riadh sebagai pusatnya, yang kadang-kadang menunjukkan kegiatannya kalau ada kesempatan dan kadang-kadang menurun kalau mendapat
perlawanan yang keras. Dengan kemundurun khalifah Turki, maka gerakan tersebut menjadi kuat, sehingga menjadi aliran resmi negeri Saudi Arabia sampai
sekarang A. Hanafi, 2003.
Albert Hourani 2004:4884-485 dalam bukunya “Sejarah Bangsa-bangsa Muslim” menjelaskan tentang gerakan yang dimotori Muhammad Ibnu Abdul
Wahab ini, ia menjelaskan :
“Terdapat gerakan lain yang mungkin tampak kurang penting pada masa itu, tetapi memiliki pengaruh yang lebih luas di kemudian hari. Gerakan ini muncul di
Arabia tengah pada awal abad ke-18 M, ketika seorang pembaru keagamaan, Muhammad Ibnu Abdul Wahab 1703-1792 M, mulai mendakwahkan perlunya
muslim untuk kembali kepada ajaran islam sebagaimana dipahami oleh para pengikut Ibnu Hanbal. Yakni, keharusan sepenuhnya untuk taat kepada al-qur’an
dan hadits sebagaimana yang ditafsirkan oleh paa ulama yang bertanggungjawab di setiap generasi, dan penolakan terhadap seluruh bid’ah yang diharamkan.
Diantara bid’ah ini adalah keyakinan bahwa para wali yang telah wafat merupakan wasilah manusia dengan Tuhan. Yang lain adalah ketaatan khusus
kepada tarekat-tarekat sufi. Para pembaru mengadakan kerja sama dengan Muhammad Ibnu Sa’ud, penguasa sebuah kota pasar kecil, Dir’iyah, dan hal ini
berujung pada pembentukan sebuah Negara yang mengklaim hidup dibawah petunjuk syari’at dan mencoba mengajak seluruh kabilah pedalaman di sekitarnya
untuk juga hidup di bawah petunjuk yang sama…..”
Mengenai pengaruh gerakan tauhid yang digawangi Muhammad Ibnu Abdul Wahab ini, uniknya terasa setelah abad ke-18 bahkan sampai sekarang dan meluas
ke Negara-negara yang mayoritas muslim. Aliran Wahabiah selain telah menimbulkan rasa kebencian pada lawan-lawannya, juga telah menarik perhatian
dan pandangan kaum muslimin, bukan saja dari negeri Saudi Arabia sendiri, tetapi juga dari luar negeri. Banyak kaum muslimin yang melakukan haji, setelah
melihat aliran baru tersebut, tertarik dengan ajaran-ajarannya dan setelah pulang ke negerinya masing-masing mereka menyiarkan ajaran-ajaran tersebut. Negara-
negara di mana ajaran-ajaran wahabiah berkembang misalnya di India PunjabIndia Utara dikembangkan oleh Sayid Ahmad yang memaklumatkan
jihad kepada orang-orang yang tidak mempercayai dakwahnya sekitar tahun 1823 M. di Aljazair aliran wahabiah dikembangkan oleh Imam as-Sanusi. Di Mesir,
Muhammad Abduh disebut-sebut sebagai pengembang aliran wahabiah walaupun ia secara langsung mengkaji sumber pokok ajaran ini. di Sudan aliran ini di
kembangkan oleh Usman Danfuju, dan di Indonesia ajaran wahabiah mula-mula di bawa oleh tiga orang dari Sumatera Barat yang pergi haji pada tahun 1803 M.
pada saat mereka pergi ke Madinah mereka tertarik dengan ajaran wahabiah dan setelah pulang ke Indonesia lalu dikembangkan, namun pada akhirnya gerakan
mereka menjadi suatu peperangan yang dalam catatan sejaran Indonesia dikenal dengan nama “perang padri” A. Hanafi, 2003.
Berbeda dengan pandangan barat tentang aliran wahabi. Nataja J. Delong-Bas 2004 dalam bukunya “wahhabi islam, from revival and reform to global jihad”
ia menjelaskan bahwa aliran wahabi yang dikembangkan oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab adalah sumber dari gerakan islam radikal yang memicu aksi-aksi
terorisme. Gerakan dakwah dengan menggunakan kekerasan yang dilakukan oleh gerakan wahabi memberikan inspirasi kepada para teroris dalam melakukan aksi
“jihad”nya.
D. Analisis dan Kritik