Model Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier Analisis Pengukuran Variabel Isi Kebijakan X

3. Model Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier

Sabatier dan Mazmanian memberikan perhatian yang lebih pada birokrasi. Kedua ahli berpendapat bahwa peran penting dari implementasi kebijakan publik adalah kemampuannya dalam mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapai- nya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Dia menganggap bahwa suatu implementasi akan efektif apabila birokrasi pelaksananya mematuhi apa yang telah digariskan oleh peraturan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. Karena itulah model ini disebut sebagai model top-down. Dengan asumsi tersebut, maka tujuan dan sasaran program harus jelas dan konsisten, karena ini merupakan standar evaluasi dan sarana yang legal bagi birokrasi pelaksana untuk mengerahkan sumberdaya. Model yang dikembangkan oleh Mazmanian dan Sabatier disebut A Framework for Implementation Analysis Kerangka Analisis Implementasi. Model ini terdiri atas 3 variabel bebas Independent Variable dan 1 variabel terikat Dependent Variable. Variabel bebas Independent Variable meliputi : a Mudah tidaknya masalah dikendalikan b Kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses imple- mentasi secara tepat c Variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi implementasi. Sedangkan variabel terikat Dependent Variabel yaitu tahapan dalam proses implementasi Wahab, 2002 : 81. Gambar 1.5. Variabel-variabel Proses............... 28 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Gambar 1.5. Variabel-variabel Proses Implementasi Kebijaksanaan

4. Model Merilee S. Grindle

Grindle menyatakan bahwa proses umum implementasi dapat dimulai ketika tujuan dan sasaran telah dispesifikasikan, program- program tindak telah di desain, dan ketika dana telah dialokasikan untuk pencapaian tujuan. Ketiga hal tersebut merupakan syarat-syarat dasar Basic Conditions untuk eksekusi suatu kebijakan publik. Menurut Grindle pengukuran keberhasilan implementasi kebijakan dapat dilihat dari 2 hal : Sumber: Wahab, 2002: 82 29 bagian 1 Pertanahan: Dari Konsep Hingga Implementasi Kebijakan – 1. Dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan kebijakan sesuai dengan yang dirancang design dengan merujuk pada aksi kebijakannya. 2. Apakah tujuan kebijakan tercapai. Dimensi ini diukur dengan melihat 2 faktor, yaitu : a. Impact atau efeknya pada masyarakat secara individu dan kelompok b. Tingkat perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok sasaran dan perubahan yang terjadi. Lebih lanjut dikatakanya bahwa keberhasilan suatu imple- mentasi kebijakan publik amat ditentukan oleh tingkat implemen- tability kebijakan itu sendiri, yang terdiri dari isi kebijakan Content of Policy dan konteks implementasi Context of implementation yang terkait dengan formulasi kebijakan. Gambar 1.6. Implementasi Sebagai Proses Politik dan Administrasi Sumber: Grindle, 1980: 11 30 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Isi kebijakan content of policy yang mempengaruhi proses implementasi adalah : 1. Kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi interests affected; Interest affected berkaitan dengan berbagai kepentingan yang mempengaruhi suatu implementasi kebijakan. Dasar pemikirannya adalah bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaannya pasti akan berkaitan dengan banyak kepentingan. Sejauhmana kepentingan- kepentingan tersebut membawa pengaruh terhadap implemen- tasinya. Hal inilah yang ingin diketahui lebih lanjut. Dalam konteks ini terdapat kelompok sasaran target group, yaitu sekelompok orang atau organisasi dalam masyarakat yang akan menerima barang dan jasa atau yang akan dipengaruhi perilakunya oleh kebijakan. Mereka diharapkan dapat menerima dan menyesuaikan diri terhadap pola-pola interaksi yang ditentukan oleh kebijakan. Sampai seberapa jauh mereka dapat mematuhi atau menyesuaikan diri terhadap kebijakan yang diimplementasikan bergantung kepada kesesuaian isi kebijakan program dengan harapan mereka. Selanjutnya karakteristik yang dimiliki oleh mereka kelompok sasaran seperti: besaran kelompok sasaran, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman, usia dan keadaan sosial- ekonomi mempengaruhi terhadap efektivitas implementasi. 2. Tipe manfaat type of benefits Dalam suatu kebijakan harus terdapat beberapa jenis manfaat yang menunjukkan dampak positif yang dihasilkan oleh pengimplemen- tasian kebijakan yang hendak dilaksanakan. Manfaat yang dirasakan itu dapat terbagi maupun tidak terbagi, dalam jangka pendek maupun jangka panjang. 3. Derajat perubahan yang ingin dicapai extent of change envisioned Yang ingin dijelaskan pada poin ini adalah seberapa besar perubahan yang hendak dicapai melalui suatu implementasi kebijakan. Harus ada skala yang jelas untuk pencapaiannya. 31 bagian 1 Pertanahan: Dari Konsep Hingga Implementasi Kebijakan – 4. Letak pengambilan keputusan site of decision making Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan berperan penting dalam pelaksanaan kebijakan. Karenanya, harus dijelaskan dimana letak pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang akan diimplementasikan 5. Pelaksana program program implementors Harus sudah terdata dan terpapar pelaksana kebijakan yang kompeten dan kapabel untuk menjalankan suatu kebijakan. Dalam implementasi kebijakan publik, organisasi birokrasi publik yang berperan dominan sebagai implementor, kinerjanya secara internal akan ditentukan oleh kapasitas organisasi yang dimilikinya. Menurut Goggin, et al. 1990 : 120: “Organizational or administrative capacity refers to an institutional ability to take purposeful action”. Adapun “Organizational and administrative capacity is a function of the structural, the personnel, and the financial characteristics of state agency”. Kapasitas Organisasi organizational Capacity menurut Goggin 1990 : 119-132 dibangun dari 3 unsur penting, yaitu: struktur organisasi, personel, dan sumber daya finansial. Menurutnya, struktur organisasi yang terintegrasi lebih memudahkan tindakan kebijakan. Koordinasi akan lebih mudah dilakukan. Harus ada saluran komunikasi yang jelas agar pesan sampai pada berbagai level pemerintahan. Harus ditetapkan berapa banyak unit pelaksana dalam setiap level yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan kebijakan, termasuk juga menjalin kerjasama dengan unit lain di luar pemerintah. Yang dimaksud dengan Personnel adalah para pelaksana yang profesional, memiliki keterampilan dan terutama komitmen yang tinggi terhadap berhasilnya pencapaian tujuan implementasi kebijakan. Selain itu, harus ada kesesuaian tujuan personnel dan tujuan pelaksanaan kebijakan. 32 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? 6. Sumber daya yang digunakan resources committed Pelaksana kebijakan harus didukung oleh sumber-sumber daya yang memadai agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik. Resource sumber daya bertalian dengan aset yang perlu dimiliki organisasi, baik aset dalam bentuk bahan dasar raw material yang digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa, maupun aset yang berupa orang personil, finansial, bakat manajerial, keterampilan dan kemampuan fungsional. Hal ini dikemukakan pula oleh Edwards III 1980:11, bahwa: “Important resources include staff of the proper size and with the necessary expertise; relevant and adequate information; the authority; and facilities including building, equipment, land, and supplies”. Maksudnya, sumber daya yang penting mencakup staf yang cukup jumlah dan mutu; informasi yang cukup untuk pengam-bilan keputusan; kewenangan yang jelas guna melaksanakan tugas dan tanggung jawab; dan kecukupan fasilitas yang dibutuhkan seperti bangunan, peralatan, tanah, dan perbekalan. Sumberdaya finansial merupakan aspek penting lainnya untuk keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Kapasitas finansial dimiliki oleh setiap level pemerintahan. Sumbernya bisa berasal dari pendapatan pemerintah maupun pajak. Semakin kuat kapasitas finansial pemerintah, semakin tinggi keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Kecukupan sumber daya tersebut di atas perlu dimiliki oleh suatu organisasi agar ia dapat melaksanakan tugas pekerjaan dan tanggung jawabnya dengan baik sesuai dengan yang telah ditetapkan atau dipolakan. Konteks kebijakan context of policy menurut Grindle meliputi: 1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi dari aktor yang terlibat power, interests, and strategies of actors involved Dalam suatu kebijakan perlu juga diperhitungkan kekuatan atau kekuasaan, kepentingan dan strategi yang digunakan oleh aktor yang terlibat guna memperlancar jalannya pelaksanaan suatu 33 bagian 1 Pertanahan: Dari Konsep Hingga Implementasi Kebijakan – kebijakan. Jika hal ini tidak diperhitungkan besar kemungkinan kebijakan tidak berjalan sesuai rencana. 2. Karakteristik institusi dan regim yang berkuasa institution and regim characteristics Lingkungan dimana suatu kebijakan diimplementasikan juga berpengaruh terhadap keberhasilannya. Karenanya perlu dikenali karakteristik lembaga dan regim yang berkuasa yang akan turut mempengaruhi pelaksanaan suatu kebijakan. 3. Tingkat kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana compliance and responsiveness Yang dimaksud adalah sejauhmana kepatuhan dan respon para pelaksana dalam menanggapi kebijakan yang diimplementasi- kan. Setelah pelaksanaan kebijakan yang dipengaruhi oleh isi dan konteks kebijakan diterapkan, maka akan dapat diketahui apakah para pelaksana kebijakan dalam membuat sebuah kebijakan sesuai dengan apa yang diharapkan; juga dapat diketahui apakah suatu kebijakan dipengaruhi oleh lingkungan sehingga tingkat perubahan yang diharapkan terjadi. Efektivitas Implementasi Dalam suatu proses implementasi kebijakan, menurut Dunsire Wahab, 2002 : 61 terdapat apa yang dinamakan implementation gap, yaitu: “Suatu istilah yang dimaksudkan untuk menjelaskan suatu keadaan di mana dalam proses kebijakan selalu akan terbuka kemungkinan terjadinya perbedaan antara apa yang diharapkan direncanakan oleh pembuatan kebijakan dengan apa yang senyatanya dicapai sebagai hasil atau prestasi dari pelaksanaan kebijakan”. 34 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Besar kecilnya perbedaan tersebut sedikit banyak akan tergantung pada apa yang oleh Williams Wahab, 2002 : 61 disebut sebagai “Implementation capacity dari organisasiaktor atau kelompok organisasiaktor yang dipercaya untuk mengemban tugas mengimplementasikan kebijakan tersebut. Implementation capacity ialah kemampuan suatu organisasiaktor untuk melaksanakan keputusan kebijakan sedemikian rupa sehingga ada jaminan bahwa tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan dalam dokumen formal kebijakan dapat dicapai”. Berkaitan dengan kegagalan implementasi kebijakan policy failure, menurut Hogwood dan Gunn 1984 : 197 dapat dibagi pengertian dalam 2 kategori, yaitu non-implementation tidak terimplementasi dan unsuccessful implementation implementasi yang tidak berhasil. Tidak terimplementasikan mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak-pihak yang terlibat di dalam pelaksanaannya tidak mau bekerja sama, atau mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau kemungkinan permasalahan yang digarap diluar jangkauan kekuasa- annya, sehingga betapapun gigihnya usaha mereka, hambatan- hambatan yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi. Akibatnya implementasi yang efektif sukar untuk dipenuhi. Implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi manakala suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai rencana, namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan semisal tiba-tiba terjadi peristiwa pergantian, kekuasaan, bencana alam dan sebagainya kebijakan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki. Implementasi program yang ditujukan untuk memecahkan masalah dipengaruhi oleh: “the nature of the problems” itu sendiri. Hal- hal yang berkaitan dengan sifat masalah yang mempengaruhi 35 bagian 1 Pertanahan: Dari Konsep Hingga Implementasi Kebijakan – implementasi adalah : Howlett dan Ramesh, 1995 : 154 ”1. Keputusan-keputusan kebijakan meliputi berbagai tingkatan kesulitan-kesulitan teknis selama implemetasi. 2. Keragaman masalah yang ditujukan oleh suatu program pemerintah dapat membuat kesulitan implementasi. 3. Ukuran kelompok sasaran target group. Semakin besar dan beragam target group, semakin sulit dipengaruhi perilakunya. 4. Besaran perubahan perilaku kelompok sasaran yang dibutuh- kan oleh kebijakan akan menentukan tingkat kesulitan yang dihadapi oleh implementasi”. Hogwood dan Gunn 1984 : 199 mengemukakan beberapa prakondisi prasyarat yang harus dipenuhi untuk implementasi kebijakan secara sempurna, yaitu sebagai berikut: “1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh BadanInstansi pelaksana tidak akan menimbulkan kendala serius. 2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber- sumber resources yang cukup memadai. 3. Tersedianya kombinasi sumber daya resource yang dibutuhkan. 4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasarkan atas teori sebab-akibat yang valid. 5. Hubungan sebab akibat bersifat langsung dan terdapat hanya sedikit jika ada mata rantai penghubungnya. 6. Hubungan ketergantungan harus kecil minimal. 7. Adanya pemahaman dan kesepakatan terhadap tujuan. 8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat. 9. Adanya komunikasi dan koordinasi yang sempurna. 10. Pihak-pihak yang memiliki otoritas dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna”. Efektivitas implementasi kebijakan secara keseluruhan ter- gantung pada beberapa faktor. Berhasil tidaknya implementasi 36 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? kebijakan di satu pihak sangat ditentukan oleh isi kebijakan itu sendiri seperti sumber daya, personil, manajemen serta aturan, dan di pihak lain oleh lingkungan kebijakannya Wibawa, 1994 : 41. Peter Drucker Rosenbloom dan Kravchuk, 2005 : 359 mengidentifikasi beberapa kondisi yang merupakan kesalahan dalam implementasi, sebagai berikut: ”1. Kurangnya kejelasan, terutama tujuan-tujuan yang terukur. 2. Beberapa tujuan menjadi sasaran sekaligus pada saat yang bersamaan, dengan tidak adanya kejelasan prioritas. 3. Asumsi bahwa personal dan pendanaan dapat menyelesaikan masalah kompleks. 4. Kebijakan atau program dilaksanakan pada skala yang tinggi grand scale. 5. Kegagalan untuk belajar dari feedback. 6. Ketidakmampuan untuk keluar dari kebijakan atau program ketika hal tersebut menjadi tidak penting lagi atau gagal mencapai hasil-hasil yang diinginkan”. Berdasarkan pengalaman yang ditunjukkan di Afrika, ditemu- kan bahwa ketidakefektifan proses kebijakan publik, terutama implementasi kebijakan disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut Shellukindo, 1992 : 43 : “1. Tidak cukupnya analisis kebijakan, sehingga kurang dipahami secara jelas implikasi kebijakan baik secara politis maupun kaitannya dengan sumber daya. 2. Kurangnya kemampuan tim manajemen untuk mengimple- mentasikan kebijakan. 3. Tidak mantapnya komitmen, dimana antusiasme untuk imple- mentasi kebijakan berkurang dengan munculnya kebijakan baru yang lebih populer. 37 bagian 1 Pertanahan: Dari Konsep Hingga Implementasi Kebijakan – Beberapa cara-cara yang dapat ditempuh oleh pembuat kebijakan untuk memperbaiki implementasi kebijakan adalah sebagai berikut Howlett dan Ramesh, 1995 : 156 : “1. Pembuat keputusan harus menyatakan tujuan-tujuan kebijakan dan urutan kepentingan tujuan tersebut sejelas mungkin. 2. Kebijakan harus didukung secara implisit dan eksplisit oleh teori kausal yang kuat. 3. Kebijakan harus didukung oleh alokasi sumber dana yang cukup. 4. Kebijakan harus menyusun prosedur-prosedur yang jelas bagi badan-badan pelaksana implementing agencies. Tugas-tugas implementasi harus dialokasikan kepada badan- badan yang memiliki pengalaman dan komitmen yang relevan”. 38 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Bila ditelusuri kembali perjalanan sejarah, maka akan tampak bahwa persoalan tanah bermula ketika penguasa kolonial melakukan intervensi atas penguasaan tanah dalam rangka pemenuhan kepentingan tertentu. Lahirnya UU Agraria Kolonial 1870 pada hakekatnya bertujuan untuk memudahkan perusahaan perkebunan swasta menguasai tanah dalam jumlah yang besar. Pengembangan perkebunan besar kemudian mengubah secara drastis struktur penguasaan tanah pedesaan, karena tanah-tanah pertanian subur yang digarap oleh rakyat diambil alih perusahaan-perusahaan swasta. Pada awal kemerdekaan, persoalan-persoalan agraria warisan kolonial menjadi salah satu agenda utama pembahasan pemerintah. Pada titik itulah dimulai upaya untuk membangun kesepakatan dan negosiasi antara masyarakat dan negara mengenai penguasaan, pemilikan dan peruntukkan sumber-sumber agraria. Begitu banyak kelompok berkepentingan terhadap sumber-sumber agraria, sehingga proses pembahasan harus melalui perdebatan sengit dan waktu cukup panjang. Lahirlah UUPA 1960 yang dianggap paling optimal dan diharapkan mampu membawa Indonesia kepada tatanan masyarakat yang lebih baik, paling tidak dibandingkan masa kolonial. 39 bagian 2 Landreform dan Kebijakan Pertanahan Di Indonesia – Bagian 2 Landreform dan Kebijakan Pertanahan di Indonesia UUPA sebagai bidang hukum yang mengatur kepentingan dan pola interaksi sosial berkenaan dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah mengandung muatan realitas sosial yang berkembang pada saat pembentukannya dan yang diinginkan di masa yang akan datang. Realitas sosial yang mendasari pembentukan UUPA diantaranya adalah: 1 Nilai kebersamaan atau kegotongroyongan yang kemudian menjadi pilihan mendasar dari setiap usaha di bidang keagrariaan; 2 Pengaruh hukum adat dalam penetapan prinsip atau asas- asasnya karena hukum adat masih hidup dan berlaku dalam masyarakat; 3 Ciri kehidupan masyarakat yang bersifat agraris yang mewarnai orientasi ketentuan-ketentuan dan tujuannya yakni peningkat- an kesejahteraan petani; dan 4 Kondisi politik pemerintahan yang masih memerlukan penanganan secara sentralistis yang kemudian mewarnai pelaksanaan kewenangan dari Hak Menguasai Negara. Sumardjono, 2001 : 198. Harapannya adalah terwujudnya cita-cita untuk menciptakan adanya pemerataan pemilikan dan penguasaan tanah kepada semua orang dan kelompok, mencegah terakumulasinya pemilikan dan penguasaan tanah pada sekelompok kecil orang, menyeimbangkan manfaat yang dapat dinikmati oleh individu dan masyarakat dari setiap pemilikan dan pemanfaatan tanah, dan memberikan jaminan kepastian serta perlindungan kepada setiap penguasaan tanah baik oleh individu maupun kelompok dan masyarakat adat. Kini setelah diimplementasikan selama empat dekade, UUPA dihadapkan pada perkembangan sosial, politik, dan ekonomi yang sebagian berbeda dengan kenyataan yang ada pada waktu UUPA dibentuk. Terdapat kecenderungan nilai-nilai sosial mengarah pada 40 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? individualisme. Maria 2001:200 menyatakan bahwa terdapat kesenjangan pada tataran normatif maupun empiris. Dalam tataran normatif, kesenjangan itu ditandai oleh ketidak- konsistenan antara visi dan semangat dari prinsip-prinsip UUPA dengan penjabaran implementasinya dalam peraturan pelaksanaan- nya. Sejumlah peraturan pelaksanaan policy implementation mencerminkan ketidakkonsistenan, misalnya: 1. Pemberian tanah yang sangat luas kepada pengusaha di sektor perkebunan, kehutanan dan properti sehingga menimbulkan akumulasi penguasaan tanah; 2. Ketentuan yang mendorong pemahaman bahwa tanah merupakan komoditi nilai ekonomis semata dan mengabaikan nilai lainnya seperti nilai religius serta fungsi sosial atas tanah; 3. Ketentuan yang mendorong pengabaian terhadap hak-hak tradisional atas tanah masyarakat adat; dan 4. Peraturan yang memberi peluang terjadinya pengabaian dan kemerosotan kesejahteraan pemegang hak atas tanah yang terkena pengambilalihan untuk kepentingan pembangunan. Dalam tataran empiris, upaya mengubah struktur pengua-saan tanah yang sudah dimulai sebelum dan beberapa tahun setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria tidak dapat terus dilaksanakan secara efektif. Kekurangberhasilan itu terkait dengan kebijakan makro pembangunan sejak diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1967 yang diubah dan disempurnakan dengan UU No. 11 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 8 Tahun 1968 yang kemudian diubah dan disempurnakan dengan UU No 12 Tahun 1971 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri yang diorientasikan pada pertumbuhan ekonomi. Sebagai konsekuensi atas berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria 1960, kemudian ditetapkan beberapa peraturan pelaksana, yang terpenting diantaranya adalah dikeluarkannya Perpu No. 41 bagian 2 Landreform dan Kebijakan Pertanahan Di Indonesia – 561960 kemudian dikenal dengan UU Landreform yang menetapkan pembatasan maksimal dan minimal penguasaan tanah pertanian menurut tingkat kepadatan penduduk, seperti tercantum pada tabel di bawah ini: Tabel 2.1. Batas Penguasaan Maksimum Sumber: Perpu No. 561960. Gunnar Mydral Sein Lin, 1974:1 dalam Konferensi Landreform Dunia di Roma tahun 1966 menyatakan bahwa: By landreform we understand a planned, legal, and institutional reorganization of the relation between man and land. Pengertian tentang landreform ada 2 macam Soegijanto Padmo, 2000: yaitu landreform dalam arti luas dan dalam arti sempit. Di dalam pengertian secara luas landreform adalah perombakan hukum agraria yang lama untuk diganti dengan yang baru, serta penyelesaian persoalan-persoalan agraria disebut pula sebagai Agraria Reform Indonesia. Berarti landreform yang meliputi bidang yang lebih luas daripada pembaharuan hukum agraria saja. Di dalam arti sempit, landreform menunjukkan perubahan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah. Landreform dalam arti sempit ini merupakan serangkaian tindakan dalam rangka Agrarian Reform Indonesia. Landreform dalam penelitian ini adalah dalam artinya yang sempit. 42 DI DAERAH-DAERAH YANG: SAWAH Ha TANAH KERING Ha 1. Tidak Padat 2. Padat : a. Kurang Padat b. Cukup Padat c. Sangat Padat 15 10 7.5 5 20 12 9 6 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Pengertian landreform dinyatakan oleh PBB dalam Sein Lin, 1974 : 1 sebagai berikut: “Landreform is regarded as comprising an integrated programme of measures designed to eliminate obstacles to economic and social development arising out of defects in the agrarian structure. While improvement of the land tenure structure is the crux of land reform, it needs to be supported by such measure as : a the provision of opportunities for ownership; b measures to promote land settlement and security of tenure; c improvement of tenant coditions, e.g., by reduction of excessive rent or share payments; d improvement of employment conditions and opportunities for agricultural labour; e protection of cultivators living under tribal, communal and other traditional forms of tenure; f organization of farms of economic size and land consolidation; g land title registration; h extension of agricultural credit and reduction of indebtedness; i promotion of cooperative organizations credit, marketing, processing, supply of requisites, production, etc..., used by farmers; j organization of farm machinery services; k fiscal and financial policy in relation to land reform, including tax measures to promote improved land utilization and distribution; l measures concerning land tenure as related to aspects of pastures and forestry; m measures to promote the equitable use of limited water supplies; and n other related measures such as the establishment or expansion of agricultural research for educational services“. Sardjowo dalam Soegijanto, 2000 menyatakan bahwa tujuan landreform di Indonesia adalah: 1 untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula. Merombak struktur pertanahan sama sekali secara revolusioner guna merealisir keadilan sosial; 2 untuk melaksanakan prinsip tanah untuk petani. Supaya tanah tidak menjadi alat pemerasan; 3 untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap WNI; 4 Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapus pemilikan dan penguasaan tanah secara besar- besaran dengan cara menyelenggarakan batas maksimum dan batas 43 bagian 2 Landreform dan Kebijakan Pertanahan Di Indonesia – minimum untuk tiap keluarga. Dengan demikian ada pemberian perlindungan terhadap golongan ekonomi lemah. MPRS di dalam ketetapannya No IIMPRS1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama, 1961- 1969 pada pasal 4 ayat 3 menyebutkan bahwa landreform sebagai bagian mutlak daripada revolusi Indonesia adalah basis pembangunan semesta yang berdasarkan prinsip bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh dijadikan alat penghisapan. Wakil PM bidang Ekonomi dan Pembangunan Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada tgl 12 April 1966 menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan pertanian rakyat maka soal landreform merupakan suatu hal yang penting untuk memperbesar kepastian hukum mengenai pemilikan tanah buat para petani, sehingga dengan demikian akan memperbesar kegairahan bekerja baginya. Diharapkan pelaksanaan landreform dapat mempertinggi produksi pertanian dan mempertinggi hasil yang jatuh ke tangan petani yang berhak menerimanya. Sejalan dengan pendapat di atas Maxwell and Niebo sebagaimana dikutif oleh Wibawa 2002 : 321 menyatakan bahwa landreform merupakan kunci dalam pengentasan kemiskinan dan instabilitas di negara berkembang. Asumsinya adalah bahwa mem- perbesar akses terhadap tanah dan keamanan penguasaannya tenure security dan sustainabilitas akan meningkatkan kesejahteraannya, termasuk keamanan pangan. Artinya, peningkatan akses terhadap tanah akan memperbesar akses kepada food security. Terjadinya krisis ekonomi yang diawali tahun 1997 mengisyarat- kan bahwa betapa penguasaan tanah dapat memberikan jaminan pangan food security bagi penduduk pedesaan pada saat sektor nonpertanian tidak lagi memberikan kapastian pendapatan. Bahkan di beberapa daerah terjadi eksodus tenaga kerja perkotaan ke sektor pertanian pedesaan. Hal ini kemudian menyadarkan banyak pihak bahwa selama kita tidak memiliki struktur industri yang tangguh, maka penguasaan tanah merupakan faktor penting. Demikian pula, kita tidak 44 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? akan dapat memiliki struktur industri yang tangguh tanpa menata terlebih dahulu sektor pertanian. Dalam hal ini, landreform merupakan jalan menuju terwujudnya sektor pertanian yang tangguh dan berkeadilan. Dari beberapa kutipan di atas menunjukkan bahwa tujuan landreform di Indonesia adalah untuk memperkuat hak atas tanah, yaitu menjadi hak milik serta meningkatkan taraf hidup petani pada umumnya. Landreform meliputi perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan yang bersangkutan dengan penguasaan tanah. Sesuai dengan tujuan tersebut, maka program landreform meliputi: 1. Larangan menguasai tanah pertanian yang melampaui batas; 2. Larangan pemilikan tanah secara apa yang disebut absentee; 3. Redistribusi tanah-tanah kelebihan dari batas maksimum serta tanah-tanah yang terkena larangan absentee; 4. Pengaturan tentang soal pengembalian dan penebusan tanah- tanah pertanian yang digadaikan; 5. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah pertanian menjadi bagian yang terlampau kecil. Kebijakan Landreform di Beberapa Negara Sebenarnya, ide tentang perlunya pelaksanaan landreform bukan hanya di Indonesia, tetapi juga merupakan suatu kebutuhan di banyak negara. Hingga saat ini landreform masih terus dilakukan di banyak negara di dunia, terutama di negara-negara dimana sektor pertanian masih cukup penting baik dari sisi penyerapan tenaga kerja maupun dari kontribusinya terhadap pendapatan negara. Bagaimana negara-negara tersebut melaksanakan landreform sangat tergantung kepada tujuan pelaksanaan landreform di negara tersebut, 45 bagian 2 Landreform dan Kebijakan Pertanahan Di Indonesia – permasalahan yang dihadapi dan potensi yang dimiliki negara tersebut. Akan tetapi, secara umum dapat dikatakan bahwa konsep landreform berkembang dari pemikiran pentingnya aspek pemerataan dan pembukaan akses yang adil terhadap sumber daya agraria serta kesempatan kerja. Dalam hal ini, landreform diyakini sebagai upaya menata struktur penguasaan tanah dalam meletakkan dasar kegiatan pembangunan ekonomi berikutnya, terlepas dari arah tujuan pembangunan tersebut, apakah menuju kapitalisme, sosialisme, atau yang lainnya. Walaupun pelaksanaan landreform di banyak negara sangat berbeda, akan tetapi kita dapat menemukan beberapa persamaan terutama landreform yang dilakukan di beberapa negara Asia pada awal tahun 1960-an. Hal ini disebabkan adanya beberapa persamaan persoalan yang dihadapi negara-negara tersebut, di antaranya adanya ketimpangan penguasaan tanah. Di satu sisi terdapat rumah tangga petani kaya atau tuan tanah yang menguasai sebagian besar luas tanah yang ada, dan di lain sisi terdapat kelompok petani kecil dan petani tak bertanah atau buruh tani. Pelaksanaan landreform di negara-negara tersebut diawali dengan penataan penguasaan tanah melalui pengaturan pembagian hasil antara tuan tanah dengan penggarapnya. Hal tersebut dilakukan juga di Indonesia pada awal tahun 1960-an. Sebelum dikeluarkannya UUPA 1960, telah terlebih dahulu dikeluarkan peraturan tantang perjanjian bagi hasil yaitu melalui UU Nomor 2 tahun 1960. Tujuannya adalah mengupayakan adanya pembagian hasil yang adil antara pemilik tanah dengan penggarap tanah. Dari pelaksanaan ini diharapkan akan tercipta suatu kondisi dimana pihak yang mendapatkan keuntungan yang lebih besar adalah penggarap tanah, bukan tuan tanah. Di beberapa negara kebijakan ini telah mendorong terjadinya pengalihan aset tanah dari tuan tanah kepada petani di sekitarnya, karena tuan tanah merasa bahwa pendapatan dari tanah yang dimiliknya tidak menguntungkan lagi. 46 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Tahapan landreform berikutnya adalah dengan dilakukannya pembatasan luas tanah yang boleh dikuasai oleh sebuah rumah tangga pertanian. Tanah kelebihan surplus tersebut kemudian akan diredistribusikan kembali kepada kelompok petani kecil atau tunakisma. Di Indonesia, hal ini ditandai dengan dikeluarkannya UU No. 56 tahun 1960 tentang pembatasan luas maksimum tanah pertanian, yang kemudian diikuti dengan PP 224 tahun 1961, yang memuat tidak hanya batas maksimum tetapi juga mencakup larangan-larangan lainnya seperti penguasaan tanah secara absentee. Hal yang juga dilakukan di banyak negara adalah redistribusi tanah yang secara langsung dikuasai oleh negara kepada kelompok miskin. Di Indonesia hal ini terjadi ketika negara mendistribusikan tanah yang dikuasai negara. Dengan demikian kita mengenal tiga tahap utama pelaksanaan landreform baik di Indonesia maupun di beberapa negara lain yang memiliki karakteristik persoalan dan potensi yang serupa. Landreform sangat bervariasi dari region yang satu ke region yang lain. Dalam kasus klasik di Amerika latin landreform diartikan sebagai perubahan penguasaan tanah melalui redistribusi tanah di pedesaan dan meredistribusikan perkebunan besar. Di Asia pada umumnya, landreform lebih ditekankan kepada prinsip “land to the tiller” atau mengubah relasi tuan tanah dengan penyakap atau tanah diberikan kepada orang yang kehidupannya sangat tergantung pada tanah. Di Afrika, landreform atau lebih tepatnya landtenure reform secara khusus merujuk pada evolusi atau perubahan legal dari land tenure yaitu mengubah costumary land tenure menjadi private proverty regime. Dilihat dari keberhasilannya, pelaksanaan landreform di negara-negara tersebut sangat beragam, mulai dari yang paling berhasil hingga yang gagal. Beberapa negara yang dianggap berhasil dalam pelaksanaan landreform di antaranya Mexico, Vietnam, 47 bagian 2 Landreform dan Kebijakan Pertanahan Di Indonesia – Zinbabwe, Skotlandia, Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan. Sementara pelaksanaan landreform di Indonesia pada tahun 1960-an dianggap gagal karena tidak mampu menuntaskan dengan berbagai alasan, di antaranya karena adanya pergantian rezim. Pelaksanaan landrform di Mexico dilakukan dengan cara melarang adanya latifundios, perkebunan besar yang menguasai tanah pertanian yang subur, dan hal-hal yang akan menyebabkan tidak stabilnya kondisi pedesaan dan kemiskinan. Pasal 27 Konstitusi Mexico mengakui adanya tiga tipe penguasaan tanah, yaitu pertanian keluarga, ejidos atau pertanian yang dikuasai secara komunal, dan pemilikan tanah secara tradisional oleh penduduk asli. Landreform di Vietnam dilakukan dengan cara mengatur sistem bagi hasil yang memberikan keuntungan lebih besar kepada petani penggarap dan mengalokasikan tanah negara kepada kelompok masyarakat organisasi, individu dan rumah tangga petani dengan jangka waktu yang lebih panjang. Satu hal yang dapat dipelajari dari pengalaman Vietnam melakukan landreform adalah bahwa redistribusi atas tanah yang selama ini dikuasai negara dan kemudian diredistribusikan penguasaannya kepada rumah tangga pertanian, ternyata memberikan pengaruh luar biasa terhadap tingkat produktivitas pertanian di negara tersebut. Perubahan pola penggunaan tanah dari pola collectivized farming ke individual farming dengan hak penguasaan tanah dalam waktu yang panjang telah meningkatkan efisiensi penggunaan tanah. Intensitas penggunaan tanah meningkat 158 persen pada tahun 1993. Demikian juga produksi rata-rata per hektar tanah untuk penanaman padi meningkat dengan pesat yang kemudian menyebabkan meningkatnya produksi pangan secara nasional dari 12 juta ton pada tahun 1981 menjadi 22 juta ton pada tahun 1993 dan diduga terus meningkat hingga saat ini. Kondisi ini telah mengubah Vietnam dari sebuah negara yang defisit pangan menjadi surplus pangan. 48 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Landreform di Zimbabwe mulai dilakukan pada tahun 1999 dengan dukungan USAID dan Madison Land Tenure Centre. LR dilakukan karena semakin banyaknya pendudukan tanah terutama oleh tentara perang kemerdekaan yang pada saat itu dijanjikan untuk mendapatkan tanah yang selama ini dikuasai oleh orang berkulit putih Pendanaan didukung oleh USAID, UN, WB, EU. Pendudukan dilakukan dan didukung oleh eks tentara kemerdekaan yang dijanjikan akan mendapatkan tanah. Untuk mengatasi masalah ini dilakukan pertemuan dengan negara commonwealth yang berisi point: Tanah diakui sebagai masalah utama yang menyebabkan terjadinya krisis di Zimbabwe, tetapi pemecahannya harus dikaitkan dengan masalah rule of law, hak asasi manusia, demokrasi dan pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, landreform merupakan solusi mendesak untuk mengatasi masalah. Program landreform harus diletakkan dalam kerangka yang adil dan berkelanjutan Masalah penguasaan tanah di Skotlandia adalah konsentrasi pemilikan tanah dan pemilikan tanah absentee, dimana tanah dikuasai oleh sekelompok kecil orang yang menguasai tanah luas dan mereka berasal dari luar Skotlandia. Sebagian besar tanah pertanian dikuasai oleh 1500 pengusaha swasta dan hanya 12 saja dari luas tanah yang dikuasai oleh publik. Hal ini menyebabkan terhambatnya pem- bangunan di pedesaan. Landreform diarahkan untuk mendorong adanya amandemen tataguna lahan dan membuka akses lebih lebar kepada komunitas lokal untuk terlibat lebih banyak dalam proses perencanaan penatagunaan tanah, refromasi dalam sistem penyakap- an tanah pertanian dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat pedesaan. Pelaksanaan landreform hanya dapat memiliki arti dan berkelanjutan jika dilakukan dengan menghargai hak asasi manusia, rule of law, transparans dan demokratis. Dalam Wiradi 2002: 150 bukti-bukti empirik seperti yang terjadi di Australia, Belanda, Brazilia, Thailand, dan Taiwan meyakinkan kita bahwa semua negara yang 49 bagian 2 Landreform dan Kebijakan Pertanahan Di Indonesia – sukses dalam bidang pertaniannya, dari tahun ke tahun, lahan penguasaan petaniannya terus semakin meluas. Proses mekanisasi dapat berjalan secara sehat, produktivitas meningkat, dan petani menjadi semakin sejahtera. Di Amerika Serikat melalui Home Act 1853, setiap warga negara yang menggarap lahannya lima tahun berturut- turut di areal yang boleh untuk pertaniaan, dapat memperoleh hak dari negara atas tanah seluas 100 acre per kepala keluarga petani. 50 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Berdasarkan sensus penduduk Indonesia tahun 2000, sekitar 60 penduduk menggantungkan hidup dari sektor pertanian. Data BPS pada tahun 2003 menyebutkan 56,5 dari 25,4 juta keluarga petani di Indonesia adalah petani gurem. Para petani ini mengolah lahan kurang dari 0,5 Ha. Sebagian lahan itu pun hanya sewaan. Hasil pertanian dari lahan sesempit itu jauh dari mencukupi kebutuhan pangan mereka sendiri. Berdasarkan data BPS dan FAO , sektor pertanian Indonesia tumbuh 3,39 pada kurun waktu 1967-1978. Pertanian bertumbuh pesat 5,72 pada kurun waktu 1978-1986. Pada saat ini Indonesia mencapai swasembada pangan. Akan tetapi, bersamaan dengan upaya transformasi Indonesia dari negara agraris menjadi negara industri, pertanian mulai tumbuh melamban. Pada kurun waktu 1986- 1997, pertanian bertumbuh 3,38. Sejak 1997-2001, sektor ini hanya tumbuh 1,57, tingkat pertumbuhan terendah sepanjang perjalanan bangsa. Padahal, The Role Agriculture Conference di Roma Italia tahun 2003 memperhitungkan ternyata nilai non transaksi pertanian mencapai 3 hingga 15 kali lebih besar dari nilai Produk Domestik Bruto 1 51 bagian 3 Pertanahan dan Pertanian – Bagian 3 Pertanahan dan Pertanian 1 Kompas online 17 Januari 2004, http:www.kompas.com. sektor pertanian. Nilai-nilai non transaksi ini berupa rasa aman, dampak terhadap daya dukung lingkungan, pengurangan kemiskinan, dan keberlangsungan sosial. Kesejahteraan Petani Rendah Seiring dengan menurunnya hasil produksi pertanian, tingkat kesejahteraan petani pun rendah. Salah satu indikator utuk mengukur kesejahteraan petani dalam aspek ekonomi adalah nilai tukar petani. Indeks nilai tukar petani selama kurun waktu 2003-2007 berdasarkan data Litbang Kompas berfluktuatif. Secara khusus di Provinsi Jawa Barat terus turun rata-rata 3,7 point per tahun. Pada April-Mei 2008 NTP berada di bawah angka 100. Artinya, indeks harga yang dibayarkan petani lebih besar daripada harga indeks yang diterimanya. Hasil Sensus Pertanian 2003 mengindikasikan semakin miskinnya petani Indonesia. Hal itu terlihat dari meningkatnya jumlah petani gurem tahun 2003 menjadi 56,5. Selama sepuluh tahun terakhir, jumlah petani gurem meningkat 2,6 per tahun, yaitu dari 10,8 juta rumah tangga menjadi 13,7 juta tahun 2003. Petani gurem ini mayoritas hidup di bawah garis kemiskinan. Dari 16,6 rakyat Indonesia yang termasuk kelompok miskin, 60-nya adalah kalangan petani gurem. Banyak faktor yang diduga dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Salah satu struktur sumber daya yang harus dibenahi agar kesejahteraan petani meningkat adalah ketersediaan lahan bagi petani yang sama sekali tidak memadai. Penelitian Pusat Studi Pembangunan IPB menunjukkan untuk bisa memperoleh pendapatan sebesar Rp. 150.000 per bulan, petani di P. Jawa harus mempunyai lahan minimal 0,6 Ha, sedangkan di luar P. Jawa dibutuhkan lahan 2 3 52 2 Kompas, 2 Juli 2008 3 Koran Tempo online, 4 Oktober 2006, http:www.tempo interaktif.com. Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? sedikitnya 1,2 Ha. Jika lahan tidak mencapai luasan minimal itu, maka kesejahteraan petani akan sulit ditolong. Setelah diberlakukannya kebijakan pertanahan melalui redistribusi tanah sekian lama, ternyata ketimpangan struktur pemilikan dan penguasaan tanah masih tetap terjadi. Penguasaan lahan oleh keluarga petani menunjukkan kecenderungan semakin menyempit dan kesejahteraan petani yang semakin menurun. Data stanistik BPS menunjukan pada tahun 1983 persentase usaha tani yang dalam kelompok penguasaan tanah gurem kurang dari 0,5 Ha mencapai 40,8 dari total usaha tani. Proporsi ini meningkat menjadi 48,5 dalam tahun 1993. Peningkatan persentase usaha tani ini diperparah dengan menurunnya angka luasan rata-rata usaha tani gurem dari 0,26 Ha menjadi 0,17 Ha. Disamping itu, struktur penguasaan tanah pertanian tahun 1993 menunjukkan keadaan yang sangat timpang. Sebanyak 70 dari rumah tangga pedesaan menguasai tanah dengan luasan kurang dari 0,5 Ha, dimana sebagian besar 43 rumah tangga pedesaan merupakan kelompok petani yang memiliki tanah kurang dari 0,1 Ha. Mengutip data dari Himpunan Kerukunan Tani Indonesia HKTI , petani yang menguasai tanah kurang dari 0,1 hektar itu jumlahnya 43, sedangkan petani yang menguasai tanah 0,1–0,49 mencapai 27. Jadi, berdasarkan data HKTI, jumlah petani yang menguasai tanah di bawah 0,5 hektare mencapai 70 dari jumlah petani. Itulah potret mengenai struktur penguasaan tanah yang ada di Indonesia. 4 5 53 bagian 3 Pertanahan dan Pertanian – 4 Koran Tempo online, 4 Oktober 2006, http:www.tempo interaktif.com. 5 Koran Sindo, 18 Februari 2007 Pentingnya Kebijakan Pertanahan Pentingnya pelaksanaan kebijakan pertanahan sebagai upaya meletakkan dasar bagi pembangunan pedesaan pada dasarnya telah disadari sejak awal kemerdekaan. Bahkan keinginan untuk mewujudkan keadilan agraria tersebut tercermin dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang mengamanatkan kepada negara untuk mengatur dan mengelola bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pelaksanaan kebijakan pertanahan di Indonesia secara formal diawali setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Pokok- Pokok Agraria yang mengamanatkan agar tanah dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Beberapa pasal yang tertuang dalam UUPA, yaitu pasal 7, pasal 10, dan pasal 17 menjadi landasan pemerintah untuk melaksanakan kebijakan pertanahan. Secara umum dapat dijelaskan bahwa kebijakan pertanahan di Indonesia dilaksanakan melalui beberapa tahapan. Pelaksanaan kebijakan pertanahan di Indonesia diawali dengan penataan penguasaan tanah melalui pengaturan pembagian hasil antara tuan tanah dengan penggarapnya. Sebelum dikeluarkannya UUPA 1960, telah terlebih dahulu dikeluarkan peraturan tentang perjanjian bagi hasil yaitu melalui UU No. 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Tujuannya adalah mengupayakan adanya pembagian hasil yang adil antara pemilik tanah dengan penggarap tanah. Dari pelaksanaan ini diharapkan akan tercipta suatu kondisi dimana pihak yang mendapatkan keuntungan yang lebih besar adalah penggarap tanah, bukan tuan tanah. Di beberapa negara kebijakan ini telah mendorong terjadinya pengalihan aset tanah dari tuan tanah kepada petani di sekitarnya, karena tuan tanah merasa bahwa pendapatan dari tanah yang dimilikinya tidak menguntungkan lagi. Tahapan kedua adalah dengan dilakukannya pembatasan luas tanah yang boleh dikuasai oleh sebuah rumah tangga pertanian. Tanah kelebihan surplus tersebut kemudian akan diredistribusikan kembali kepada kelompok 54 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? petani kecil atau tunakisma. Di Indonesia, hal ini ditandai dengan dikeluarkannya UU No. 56 tahun 1960 tentang pembatasan luas maksimum tanah pertanian, yang kemudian diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961, yang memuat tidak hanya batas maksimum tetapi juga mencakup larangan-larangan lainnya seperti penguasaan tanah secara absentee. Tahap ketiga, seperti halnya dilakukan juga di banyak negara adalah redistribusi tanah yang secara langsung dikuasai oleh negara kepada kelompok miskin. Konteks Jawa Barat Di Propinsi Jawa Barat pelaksanaan kebijakan pertanahan diawali sejalan dengan diberlakukannya UUPA. Pelaksanaan kebijakan pertanahan di provinsi ini sangat penting mengingat adanya ketimpangan penguasaan tanah yang sangat kronis. Pada tahun 1957 misalnya diketahui bahwa sebagian besar tanah pertanian sawah di Jawa Barat dikuasai oleh sekitar 9.965 rumah tangga 0,5 rumah tangga dan mereka menguasai tanah sawah di atas 10 Ha. Sementara di sisi lain, terdapat 87,8 keluarga yang mempunyai tanah kurang dari 1 Ha. Dari 87,8 pemilik tanah kurang dari satu hektar tersebut 56-nya adalah pemilik tanah kurang dari 0,5 hektar. Pertimbangan lain adalah tingginya penguasaan tanah absentee. Di daerah kawedanaan Indramayu misalnya, tercatat bahwa dari 20.488 pemilik sawah, ternyata 6.010 orang adalah pemilik di luar desa absentee Suhendar, 1995:57. Kebijakan pertanahan di Provinsi Jawa Barat dilaksanakan hingga kini. Tujuannya diantaranya adalah untuk mengurangi meniadakan ketimpangan struktur penguasaan tanah. Bentuk kebijakan-kebijakan pertanahan yang diimplementasikan berupa tanah absentee, kelebihan tanah maksimum, gadai tanah, dan redistribusi tanah kepada para petani penggarap. Dari keempat bentuk implementasi kebijakan tersebut yang masih diimplemen- 55 bagian 3 Pertanahan dan Pertanian – tasikan secara terus-menerus adalah program redistribusi tanah. Melalui redistribusi tanah, para petani penggarap yang tidak memiliki tanah dimungkinkan memiliki dan menguasai tanah untuk dikelolanya sendiri agar kesejahteraannya meningkat. Pada tabel 3.1. tersaji rekapitulasi data redistribusi tanah yang sudah dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Barat sampai dengan tahun 2005. Dari tabel 3.1. dapat diketahui bahwa Kabupaten Subang merupakan kabupaten yang melakukan redistribusi tanah dengan jumlah bidang tanah terbanyak dan luasan tanah terluas. Hingga saat ini masih ada sebanyak 39.228,2663 Ha tanah yang belum dilakukan redistribusi. Artinya kegiatan ini masih mungkin dilakukan di Jawa Barat, kecuali di Kab Bekasi, Kab Tasikmalaya dan Kota Bandung yang sudah habis objek tanah negaranya. Di wilayah tersebut bentuk pelaksanaan kebijakan pertanahan yang masih mungkin adalah pada objek tanah eks swapraja, tanah absentee dan tanah terlantar. Tabel di atas juga menunjukkan pasang surut kegiatan redistribusi tanah di kota kabupaten se-Jawa Barat. Hampir semua kotakabupaten tidak melakukan kegiatan ini secara kontinyu dan bertahap, melainkan terputus-putus yang menunjukkan lemahnya perencanaan dan inventarisasi data base pertanahan. Lokasi penelitian dilakukan di Kab Subang merujuk pada Tabel 3.1. dan di Kabupaten Garut dimana program reforma agraria dalam bentuk redistribusi tanah sebagai implementasi dari kebijakan pertanahan, dijadikan sebagai pilot project. Tabel 3.1. Rekapitulasi Data Redistribusi............... 56 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? 5 7 b a g ia n 3 P e rt a n a h a n d a n P e rt a n ia n – Tabel 3.1 Rekapitulasi Data Redistribusi Tanah Objek Landreform di Propinsi Jawa Barat Sumber: BPN Ptopinsi Jawa Barat, 2005. Ketimpangan struktur penguasaan tanah dapat juga terlihat dari proporsi pemberian hak menguasai tanah yang telah terdaftar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari berbagai hak atas tanah yang diberikan Badan Pertanahan Nasional terhadap pemohon, yang terdiri dari hak pengelolaan, hak pakai, hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan yang masih berupa tanah Negara, maka luas tanah yang di atasnya melekat Hak Guna Usaha menempati urutan pertama dalam keluasan tanahnya, yaitu sebanyak 1364 bidang dengan luas 577.170.607, 62 Ha. Sementara tanah hak milik hanya sebanyak 1.777.819, 00 bidang dengan luas 17.692.978,82 Ha Sintaningrum, dkk, 2004. Artinya, tanah HGU yang luas itu hanya dikuasai pemanfaatannya oleh sebagian kecil saja dari masyarakat. Hal ini menjadi bertentangan dengan keinginan UUPA yang menginginkan tanah dimiliki secara merata oleh sebagian besar masyarakat. Ketimpangan dalam penggunaan tanah terlihat dari tingginya proporsi perubahan penggunaan lahan, banyaknya tanah absentee dan tanah terlantar. Selama kurun waktu 1994-2004, Propinsi Jabar mengalami pergeseran penggunaan tanah, terutama berkurangnya lahan sawah dan hutan. Luas sawah tahun 2004 di Jawa Barat menyusut tinggal 766.218, 57 Ha dari semula 933.743,89 Ha pada 1994. Demikian pula hutan mengalami penyusutan berarti, yaitu dari semula 852.882,47 pada 1994 menjadi 617.062,65 Ha di tahun 2004. Penurunan luas lahan ini disebabkan oleh adanya alih fungsi lahan tersebut menjadi permukiman dan industri Bappeda, RTRWP Jabar 2010. Dalam upaya mencapai visi dan misi Jawa Barat yang ingin menjadikan agroindustri sebagai leading sector, maka agar mampu mencapai misinya, peruntukkan tanah untuk kegiatan yang bersifat agraris seharusnya memperoleh proporsi yang lebih tinggi dibanding- kan dengan peruntukkan tanah untuk kegiatan lain. Lebih lanjut banyak izin lokasi yang dimintakan swasta untuk kegiatan pembangunan di Jawa Barat. Namun sayangnya tidak semua tanah yang sudah diberikan izin lokasinya dimanfaatkan langsung 58 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? sesuai dengan peruntukannya. Banyak yang kemudian tidak segera ditindaklanjuti dan akhirnya menjadi tanah-tanah terlantar yang tidak produktif dan merupakan idle capacity secara nasional. Berdasarkan data yang tercatat pada Kanwil BPN Propinsi Jabar, tahun 2005 izin lokasi yang sudah diberikan pemerintah di seluruh Jawa Barat adalah seluas 80.100,3746 Ha. Dari luasan itu baru 53.846,440 yang telah dikuasai atau sebesar 55,80 ; dan yang belum dibangun seluas 44.693,1301 Ha atau sebesar 83 dari izin yang telah dikeluarkan Artinya jumlah tanah terlantar di Jawa Barat sebesar 55,80 dari luas izin lokasi yang dikeluarkan atau sebanyak 83 dari tanah yang telah dikuasai. Luas tanah terlantar yang terbesar adalah peruntukkan untuk perumahan sebanyak 45,85 dari luas izin lokasi. Jika dilihat dari perubahan penggunaan tanah di Jawa Barat tanah untuk sektor perumahan bertambah, sementara tanah untuk pertanian dan perkebunan berkurang. Fakta ini tidak mendukung Renstra Jawa Barat yang ingin menjadikan agroindustri sebagai core bisnis atau andalan peningkatan ekonomi Propinsi Jawa Barat. Berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan, salah satu sebab masih rendahnya kesejahteraan petani dan ketimpangan struktur penguasaan tanah disebabkan oleh implementasi kebijakan pertanahan yang belum optimal, baik dilihat dari kontent kebijakan maupun konteks atau lingkungan dimana kebijakan itu diimplemen- tasikan. Masalah isi kebijakan content of policy berkaitan dengan masih belum memadainya kebijakan terutama berkaitan dengan keberpihakan kebijakan terhadap rakyat terutama petani, kesepakatan para stakeholder terhadap tujuan kebijakan yang masih rendah serta kurangnya pemahaman yang utuh dari stakeholder terhadap tujuan yang ingin dicapai dari kebijakan pertanahan ini. Pada organisasi pelaksana kebijakan sebagai implementor kurang memadainya kapasitas program implementors yang dimiliki. Indikatornya dapat dilihat dari lemahnya komitmen pelaksana, kualitas sumber daya manusia yang masih belum memadai, kurangnya koordinasi antar 59 bagian 3 Pertanahan dan Pertanian – instansi terkait. Selain itu, berkaitan dengan isi kebijakan yang ideal, terdapat tarik ulur berbagai konsep dalam wacana kebijakan pertanahan, misalnya antara yang menginginkan kebijakan per- tanahan secara revolusioner atau yang lebih lunak secara gradual, pembagian peran pemerintah pusat dan daerah, serta apakah mesti mengimplementasikan pertanahan atau tidak. Terkait dengan masalah pengambilan keputusan Site of decision making di Indonesia saat ini menghadapi kuatnya tekanan lembaga- lembaga di luar pemerintah non-governmental organization yang memiliki jaringan komunikasi yang solid. Pada Departemen Pertanian yang memiliki kepentingan sangat besar dengan masalah agraria, namun power politik-nya terbatas, Departemen Pertanian tidak memiliki otoritas untuk membuat produk hukum yang cukup kuat berhadapan dengan para stakeholders lain. Jadi, meskipun “agraria dan pertanian” memiliki kaitan yang kuat dan jelas, namun tidak tercermin pada hubungan “BPN dan Deptan” Forum Agro Ekonomi Vol. 13 No. 2 Th 2004. Dalam lingkungan makro kebijakan berkaitan dengan konteks kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat. Saat ini berkembang berbagai pendapat tentang komposisi otoritas pemerintah pusat dan daerah dalam hal keagrariaan. Sebagian berpendapat bahwa bidang yang dapat dipindahkan ke pemerintah daerah seyogyanya hanyalah urusan bentuk dan cara mengusahakan atau mengolah unsur-unsur tanah, seperti usaha pertanian, kehutan- an, pertambangan, dan perkebunan. Sementara, soal hak kepemilikan tanah yang mencerminkan makna tanah sebagai simbol kesatuan bangsa dan negara tidak dapat didelegasikan. Wewenang yang berada di kabupatenkota mengenai pertanahan sebaiknya sebatas yang bersifat lokalitas, misalnya dalam penetapan spatial planning, izin lokasi, dan izin prinsip. Dengan telah diberikannnya wewenang untuk memberikan izin lokasi dan izin prinsip kepada pemerintahan kabupatenkota, maka telah mulai pula terdengar berbagai keluhan 60 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? dari investor perkebunan, disebabkan banyaknya pungutan untuk menghasilkan PAD sebesar-besarnya. Ini merupakan polemik, karena ketika izin lokasi berada di pemerintah pusat, pemerintah daerah mengeluh bahwa mereka tidak memperoleh keuntungan apapun meski di wilayahnya banyak usaha perkebunan besar swasta. Selain masalah tersebut, salah satu permasalahan lain adalah kesulitan dalam memberantas berkembangnya rent seeking activity. Aktivitas yang tergolong dalam kategori ini utamanya adalah para makelar tanah, yaitu mereka yang membeli tanah untuk nanti dijual lagi ketika harga sudah tinggi. Tanah dibeli tidak untuk digunakan, sehingga tanah diperlakukan sebagai komoditas. Dalam kadar yang lebih ringan, para pemilik tanah yang menyakapkan tanahnya kepada petani lain dengan pembagian yang tidak adil, dapat pula dipandang sebagai suatu bentuk penghisapan, yang pada prinsipnya adalah juga bentuk dari sikap menjadikan tanah sebagai komoditas. Masalah lain berkaitan dengan karakteristik penguasa institution and regime characteristic datang dari intervensi ideologi kapitalisme, khususnya melalui instrumen pasar global, yang telah menembus seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam hal sistem agraria suatu negara. Jika selama ini, pemerintah yang menjadi penguasa terhadap petani dengan menggunakan tanah sebagai alat politiknya, maka di era pasar bebas ketika komoditas ditentukan oleh kehendak pasar, maka pasarlah yang menjadi penguasa. Dengan kata lain, bagaimana sistem agraria yang akan berjalan di suatu negara, baik penguasaan, pemilikan, dan penggunaan; akan lebih ditentukan oleh pasar dengan ideologinya sendiri misalnya dengan penerapan prinsip-prinsip efisiensi. Yang menjadi persoalannya kemudian adalah: Seberapa besar pengaruh implementasi kebijakan pertanahan terhadap struktur penguasaan tanah di Kabupaten Garut dan Kabupaten Subang ? Bagaimana dampak struktur penguasaan tanah terhadap kesejah- teraan petani di Kabupaten Garut dan Kabupaten Subang? 61 bagian 3 Pertanahan dan Pertanian – 62 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Pada bagian ini, peneliti menuangkan hasil dari penelitian bagaimana implementasi kebijakan pertanahan yang dilakukan di Kabupaten Garut dan Kabupaten Subang. Kondisi Geografis Garut Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6º5649 - 7 º4500 Lintang Selatan dan 107º258 - 108º730 Bujur Timur. Kabupaten Garut memiliki luas wilayah administratif sebesar 306.519 Ha 3.065,19 km² dengan batas-batas sebagai berikut : a. Sebelah Utara : Kab. Bandung dan Kab. Sumedang b. Sebelah Timur : Kabupaten Tasikmalaya c. Sebelah Selatan : Samudera Indonesia d. Sebelah Barat : Kab. Bandung dan Kab. Cianjur Kabupaten Garut yang secara geografis berdekatan dengan Kota Bandung sebagai ibukota provinsi Jawa Barat, merupakan daerah penyangga dan hitterland bagi pengembangan wilayah Bandung Raya. 63 bagian 4 Fakta Lapangan – Bagian 4 Fakta Lapangan Ibukota Kabupaten Garut berada pada ketinggian 717 mdpl dikelilingi oleh Gunung Karacak 1838 m, Gunung Cikuray 2821 m, Gunung Papandayan 2622 m, dan Gunung Guntur 2249 m. Karakteristik topografi Kabupaten Garut sebelah Utara terdiri dari dataran tinggi dan pegunungan, sedangkan bagian Selatan sebagian besar permukaannya memiliki tingkat kecuraman yang terjal dan di beberapa tempat labil. Kabupaten Garut mempunyai ketinggian tempat yang bervariasi antara wilayah yang paling rendah yang sejajar dengan permukaan laut hingga wilayah tertinggi di puncak gunung. Wilayah yang berada pada ketinggian 500-100 mdpl terdapat di kecamatan Pakenjeng dan Pamulihan dan wilayah yang berada pada ketinggian 100-1500 mdpl terdapat di kecamatan Cikajang, Pakenjeng-Pamulihan, Cisurupan dan Cisewu. Wilayah yang terletak pada ketinggian 100-500 m dpl terdapat di kecamatan Cibalong, Cisompet, Cisewu, Cikelet dan Bungbulang serta wilayah yang terletak di daratan rendah pada ketinggian kurang dari 100 mdpl terdapat di kecamatan Cibalong dan Pameungpeuk. Rangkaian pegunungan vulkanik yang mengelilingi dataran antar gunung Garut Utara umurnya memiliki lereng dengan kemiringin 30-45 di sekitar puncak, 15-30 di bagian tengah, dan 10-15 di bagian kaki lereng pegunungan. Lereng gunung tersebut umumnya ditutupi vegetasi cukup lebat karena sebagian diantaranya merupakan kawasan konservasi alam. Wilayah Kabupaten Garut mempunyai kemiringan lereng yang bervariasi antara 0-40, diantaranya sebesar 71,42 atau 218.924 Ha berada pada tingkat kemiringan antara 8-25. Luas daerah landai dengan tingkat kemiringan di bawah 3 mencapai 29.033 Ha atau 9,47; wilayah dengan tingkat kemiringan sampai dengan 8 mencakup areal seluas 79.214 Ha atau 25,84; luas areal dengan tingkat kemiringan sampai 15 mencapai 62.975 Ha atau 20,55 wilayah dengan tingkat kemiringan sampai dengan 40 mencapai luas areal 7.550 Ha atau sekitar 2.46. 64 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Bedasarkan jenis tanah dan medan topografi di Kabupaten Garut, penggunaan lahan secara umum di Garut Utara digunakan untuk persawahan dan Garut Selatan didominasi oleh perkebunan dan hutan. Komposisi penggunaan lahan di Kabupaten Garut dapat dlihat pada tabel berikut: Tabel 4.1. Komposisi Penggunaan Lahan di Kabupaten Garut Sumber: BPS, 2007 Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa sebagian lebih dari setengah luas lahan di Kabupaten Garut dipergunakan untuk bidang pertanian. Data ini juga menunjukkan bahwa pertanian merupakan mata pencaharian pokok penduduknya. Kondisi Demografis Garut Jumlah penduduk Kabupaten Garut, berdasarkan perhitungan BPS pada akhir 2005 tercatat sebanyak 2.239.091 jiwa, dengan tingkat 65 bagian 4 Fakta Lapangan – NO. PEMANFAATAN RUANG LUAS Ha 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Sawah Hutan Kebun Dan Kebun Campuran Tanah Kering SemusimTegalan Perkebunan Pemukiman Perkampungan Padang Semak Pertambangan Tanah Rusak Tandus Industri Kolam SituDanau Perairan Lainnya Penggunaan Tanah Lainnya 49.477 96.814 56.350 52.348 26.968 12.312 7.005 200 66 34 1.826 157 55 2.907 16,14 31,58 18,38 17,08 8,80 4,02 2,29 0,07 0,02 0,01 0,60 0,05 0,02 0,95 JUMLAH 306.519 100,00 2 kepadatan penduduk pada 2005 adalah sebesar 730 orang per km . Sementara itu, bila dibandingkan dengan angka hasil Sensus Penduduk tahun 2000, jumlah penduduk adalah sebanyak 2.044.129 jiwa, sehingga tingkat kepadatan penduduknya adalah 669 orang per 2 km . Dengan demikian selama kurun waktu lima tahun telah terjadi 2 peningkatan kepadatan penduduk sebanyak 61 orang per km atau sekitar 9,12 Sumber : BPS, 2005 . Potensi Ekonomi Garut

a. Produk Domestik Regional Bruto PDRB

Produk Domestik Regional Bruto PDRB merupakan tolok ukur yang biasa digunakan untuk menentukan perkembangan ekonomi suatu wilayah. Dalam penentuan tersebut dilakukan melalui 2 perhitungan yakni: perhitungan pertama PDRB atas dasar harga berlaku memperlihatkanmenggambarkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan suatu wilayah; perhitungan kedua PDRB atas dasar harga konstan riil memperlihatkanmenggambarkan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan maupun sektoral setiap tahun. Nilai tambah bruto NTB atau nilai PDRB Kabupaten Garut mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Tahun 2002 nilai PDRB atas dasar harga konstan tercatat sebesar Rp 7,881 Trilyun, tahun 2003 Rp 8,093 Trilyun, tahun 2004 Rp. 8,418 Trilyun dan tahun 2005 tercatat Rp 8,768 Trilyun Sumber :BPS, 2005.

b. Produk Domestik Regional Bruto PDRB per Kapita

PDRB per kapita pada tahun 2002 atas harga berlaku mencapai Rp. 4.381.985,25 tahun 2003 mencapai Rp. 4.668.692,00 dan tahun 2004 menjadi Rp. 5.187.731,00. Sementara pada tahun 2005 pendapatan per kapita naik menjadi Rp. 5.844.861,00. Bila dilihat selama kurun waktu tahun 2002-2005 terjadi peningkatan rata-rata sebesar 11,13 setiap tahunnya, yaitu dari Rp. 4.381.985,25 menjadi Rp. 5.844.861,00. Kendati demikian perkembangan tersebut belumlah menggambarkan peningkatan pendapatan perkapita masyarakat 66 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? secara riill, karena PDRB perkapita tersebut masih terkandung inflasi yang mempengaruhi daya beli masyarakat di wilayah yang bersangkutan. Tingkat daya beli dari masyarakat belum mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini tercermin dari peningkatan indikator paritas daya beli PPP di Kabupaten Garut pada dua tahun terakhir. Berdasarkan perhitungan, Paritas Daya Beli di Kabupaten Garut pada tahun 2005 hanya mencapai Rp 548.000 per kapita, atau hanya mengalami peningkatan 0,37 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 546.000,00.

c. Struktur dan Laju Pertumbuhan Ekonomi LPE

Struktur perekonomian Kabupaten Garut pada tahun 2003, 2004 dan 2005 masih didominasi oleh sektor pertanian yaitu masing- masing sebesar 51,60, 52,46 dan 52,16, serta sektor perdagangan, hotel dan restoran masing-masing sebesar 25,00, 24,55 dan 24,68. Sedangkan sektor-sektor lainnya kontribusinya masih di bawah 10. Selain itu, kinerja fiskal selama tahun 2003 hingga 2005 belum memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi pertumbuhan perekonomian. Sebagai pelaksanaan dari konsolidasi fiskal, pendapatan asli daerah PAD tahun 2005 mencapai Rp. 50.318.526.514,00 atau 7,17 dari Pendapatan yang sebesar Rp. 701.732.953.600,00 atau mengalami pertumbuhan 24,10 dibanding realisasi tahun 2004 sebesar Rp. 40.545.879.655,67. Laju pertumbuhan ekonomi LPE semua sektor dari tahun ke tahun mengalami pertumbuhan positif meskipun dengan angka pertumbuhan yang kurang signifikan. Laju pertumbuhan ekonomi tahun 2001, 2002, 2003, 2004 dan tahun 2005 masing-masing adalah 3,26, 3,96, 2,70, 4,01 dan 4,16. Sejak tahun 2001 tersebut semua sektor mengalami pertumbuhan yang berfluktuatif, kecuali sektor industri pengolahan yang terus meningkat. 67 bagian 4 Fakta Lapangan – Potensi Pertanian Garut Sesuai dengan karakteristik wilayah Kabupaten Garut, peran sektor pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan masih merupakan sektor andalan. Hal ini tercermin dari mata pencaharian masyarakat Garut 65 bertumpu pada sektor pertanian serta dilihat dari kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB paling tinggi bila dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya yaitu 52,16 tahun 2005. Subsektor ini telah berperan besar dalam pem-bangunan Kabupaten Garut, baik peran langsung terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto PDB, penyediaan lapangan kerja, sumber pendapatan masyarakat, dan penciptaan ketahanan pangan, maupun peran tidak langsung melalui penciptaan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan dan hubungan sinergis dengan sub-sektor dan sektor lain. Namun demikian kinerja sektor pertanian cenderung menurun akibat kurang mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Pembangunan di masa lalu kurang memperhatikan keunggulan komparatif yang dimiliki. Keunggulan komparatif yang dimiliki belum didayagunakan sehingga belum menjadi keunggulan kompetitif lokal. Gambaran Umum Desa Padaawas Desa Padaawas terletak di Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut. Secara geografis Desa Padaawas memiliki luas tanah sebesar 1250 Ha. Terdiri dari Hutan Lindung 350 Ha, Hutan Produksi 350 Ha, Pemukiman 46 Ha, dan tanah pertanian seluas 504 Ha. Secara geografis, di sebelah barat Desa Padaawas berbatasan dengan Kabupaten Bandung; sebelah Timur dengan Desa Pasirwangi; sebelah Utara: dengan Desa Barusari, dan sebelah Selatan dengan Desa Karyamekar. Dengan ketinggian 700 m di atas permukaan laut dan bertopografi dataran tinggi yang rendah. Desa Padaawas cukup 3 banyak mendapatkan curan hujan yaitu 1500 mm . 68 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Orbitasi Desa Padaawas terhadap kota relatif dekat. Untuk jarak tempuh ke kota kecamatan dari Desa Padaawas sejauh 3 km. Jarak tempuh ke ibu kota Kabupaten Garut 10 km dari pusat Desa Padaawas. Dari tingkat orbitasi desa yang relatif dekat ke pusat kota, penduduk Desa Padaawas relatif mobile artinya tingkat keluar masuk masyarakat untuk pergi ke pusat kota sering dilakukan oleh masyarakat Desa Padaawas. Jumlah penduduk Desa Padaawas tahun 2007 adalah sebanyak 6303 Orang. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, seperti dapat terlihat pada tabel di bawah ini: Tabel 4.2 Mata Pencaharian Penduduk Desa Padaawas Kabupaten Garut Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa sebagian besar 87 penduduk desa Padaawas mengandalkan penghasilannya dari bidang pertanian. Namun setengah dari petani hanya merupakan buruh tani saja. Ini menggambarkan rendahnya pemilikan tanah pertanian oleh penduduk setempat. Secara rinci peta kepemilikan lahan pertanian di desa dapat dilihat pada tabel di bawah ini: 69 bagian 4 Fakta Lapangan – MATA PENCAHARIAN JUMLAH ORANG PERSENTASE Petani Buruh Tani Buruh Migran PNS Montir Pedagang keliling Jumlah 560 505 37 21 4 98 1225 45,71 41,22 3,02 1,71 3,27 8 100 Tabel 4.3 Pemilikan Tanah Kondisi Geografis Subang Kabupaten Subang terletak di bagian utara Propinsi Jawa Barat, dengan letak geografis antara 107” 31 - 107” 54 bujur timur dan 6” 1 - 6” 49 lintang selatan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Kabupaten Subang, batas wilayah administratif Kabupaten Subang adalah sebelah utara dengan laut Jawa, sebelah selatan dengan Kabupaten Bandung, sebelah timur dengan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Indramayu, serta sebelah barat dengan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Karawang. Luas wilayah Kabupaten Subang mencakup 205.176 ha atau 4,64 dari luas wilayah Propinsi Jawa Barat. Berdasarkan topografinya, secara umum Kabupaten Subang terbagi atas 3 tiga zona morfologi, yaitu kawasan pegunungan, kawasan pedataran, dan kawasan pantai. Suhu rata-rata di Kabupaten Subang bervariasi. Di kawasan pegunungan suhu rata-rata berkisar O O O O antara 21 -27 C, dan di kawasan pantai berkisar antara 30 -33 C, dengan kelembaban antara 72 - 91. Adapun curah hujan rata-rata mencapai 1.600 mm - 3000 mmtahun, dengan rata-rata lama 70 LUAS TANAH Ha JUMLAH ORANG PERSENTASE Tidak Memiliki tanah Memiliki Tanah : 0,01 – 0,2 Memiliki Tanah : 0,21 – 0,3 Memiliki Tanah : 0,31 – 0,4 Memiliki Tanah : 0,41 – 0,5 Memiliki Tanah : 0,51 – 0,6 Memilki Tanah : 0,61 – 0,7 Memiliki Tanah : 0,71 – 0,8 Memiliki Tanah : 0,81 – 0,9 Jumlah 500 181 97 71 83 91 61 54 173 1271 39,33 14,24 7,63 5,59 6,5 7,16 4,8 1,1 13,6 100 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? kemarau 4 bulan. Berdasarkan faktor-faktor di atas, tata guna lahan di Kabupaten Subang terlihat pada tabel berikut: Tabel 4.4. Komposisi Penggunaan Lahan di Kabupaten Subang Kondisi Demografis Subang Penduduk Kabupaten Subang menurut hasil Sensus Penduduk Tahun 2003 adalah 1,3 juta jiwa lebih. Tahun 2004 jumlah penduduk meningkat menjadi 1,34 juta jiwa lebih, dan tahun 2005 menjadi 1,35 juta jiwa lebih. Namun demikian, laju pertumbuhan penduduk per tahun cenderung menurun dari periode 1990-2000 sebesar 1,25 menjadi 0,98 pada periode 2000-2005. Penyebaran penduduk di tingkat kecamatan masih menunjukkan distribusi yang belum berimbang. Kecamatan Subang, Kalijati, Pagaden, Binong, Ciasem, dan Pamanukan merupakan wilayah yang termasuk padat penduduknya. Sejalan dengan perkembangan di atas, terjadi pula peningkatan usia kerja, angkatan kerja, dan partisipasi angkatan kerja yang memerlukan dukungan kualitas pendidikan. Masyarakat Kabupaten Subang terdiri atas beberapa suku dengan mayoritas suku Sunda. Umumnya, suku lain yang berdomisili 71 bagian 4 Fakta Lapangan – NO. PEMANFAATAN RUANG LUAS Ha 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Persawahan Perkebunan Hutan Rakyat Hutan Negara Kolam Tambak Tegalan Permukiman Lain-lain 84.691 20.955 8.096 33.637 574 6.428 25.477 24.734 584 41,28 10,21 3,94 16,39 0,27 3,13 12,42 12,05 0,28 JUMLAH 205.176 100,00 di Kabupaten Subang merupakan pendatang yang sebagian di antaranya sudah bermukim selama beberapa generasi. Khusus untuk daerah pedataran dan pantai, subkultur dari masyarakat merupakan akulturasi dari budaya Sunda dan Jawa. Hal ini dikarenakan arus mobilitas penduduk yang sudah berlangsung lama. Dalam hal ragam bahasapun, kawasan ini cenderung lebih banyak menggunakan ragam bahasa Cirebon. Tingkat pendidikan masyarakat saat ini menunjukkan kondisi yang semakin membaik. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan angka partisipasi sekolah serta dukungan saranaprasarana mulai dari SD sampai dengan perguruan tinggi. Potensi Ekonomi Subang Kabupaten Subang selama beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan rata-rata sekitar 4,37 pertahun, mendekati rata-rata Jawa Barat yang mencapai sekitar 4,6 pertahun. Tahun 2004, Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Subang mencapai 4,54. Demikian juga dengan perkembangan pendapatan per kapita. Tahun 2005, Pendapatan Per kapita Kabupaten Subang mencapai Rp. 3.409.828,00. Pada tahun 2006, Pendapatan Perkapita Kabupaten Subang meningkat menjadi Rp. 4.213.164,00. Dengan demikian, selama tiga tahun terakhir peningkatan pendapatan per kapita masyarakat Kabupaten Subang mencapai 23,5. Produk Domestik Regional Bruto PDRB Kabupaten Subang pada tahun 2004 mencapai Rp. 5.188.419.000.000,00, sedangkan pada tahun 2005 mencapai Rp. 3.518.248.000.000,00. Demikian pula dengan PDRB Perkapita yang menunjukkan perkembangan signifikan. Pada tahun 2004, PDRB Perkapita Kabupaten Subang mencapai Rp. 530.060,00, sedangkan tahun 2005 mencapai Rp 549.230,00. Sementara itu, perkembangan tingkat inflasi Kabupaten Subang dapat dikendalikan. Tahun 2003 angka inflasi mencapai 10,86, dan dapat ditekan hingga 9,67 pada tahun 2004. Tahun 2005, angka dan dapat ditekan hingga 9,67. Tahun 2006, angka inflasi ini 72 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? naik menjadi 10,11. Stabilnya angka inflasi ini mengindikasikan bahwa harga-harga barang konsumsi masih berada dalam tahap wajar. Perkembangan indikator angka inflasi ini disebabkan antara lain oleh lancarnya arus lalu lintas barang antar daerah, sehingga per- kembangan daerah tumbuh dan berkembang pesat tanpa menimbulkan gejolak sosial ekonomi yang berarti. Gambaran Umum Desa Cibalandong Jaya Desa Cibalandong Jaya terletak di Kecamatan Cijambe Kabupaten Subang. Desa Cibalandong Jaya memiliki tanah seluas 967,164 Ha; merupakan hasil pemekaran dari Desa Cimenteng pada tahun 2006 yang terbagi menjadi Desa Cibalandong Jaya dan Desa Cimenteng. Batas-batas geografis Desa Cibalandong Jaya sesuai dengan data administratif hasil pemekaran di sebelah utara adalah Desa Sada Warna, di sebelah selatan Desa Cimenteng, di sebelah barat Wanareja, dan sebelah timur Desa SurianKabupaten Sumedang. Dengan ketinggian 900 m di atas permukaan laut dan bertopografi dataran tinggi yg rendah dengan cukup banyak mendapatkan curah hujan 3 sebanyak 2250 mm . Orbitasi Desa Cibalandong Jaya terhadap kota relatif jauh. Jarak tempuh ke kota kecamatan dari Desa Cibalandong Jaya sejauh 21 km. Jarak tempuh ke ibu kota Kabupaten Subang 14 km dari pusat Desa Cibalandong Jaya. Akses jalan menuju ke desa hanya 1 dengan infrastruktur jalan yang buruk. Jarak yang jauh disertai dengan kondisi jalan buruk menyebabkan waktu tempuh dari desa ke luar desa menjadi bertambah lama. Jumlah penduduk Desa Cibalandong Jaya berdasarkan sensus penduduk 2006 tercatat sebanyak 1704 orang. Dari jumlah tersebut 48,9 nya atau 850 orang adalah perempuan. Dengan jumlah Kepala Keluarga 567 orang Desa Cibalandong Jaya memiliki rata-rata jumlah 73 bagian 4 Fakta Lapangan – keluarga 4 orang per-kepala keluarga. Seluruh penduduknya beragama Islam. Jumlah penduduk menurut lulusan pendidikan di Desa Cibalandong Jaya pada kategori Pendidikan Umum terbanyak pada lulusan SD yaitu orang atau dari seluruh penduduk desa Cibalandong Jaya. Selengkapnya adalah lulusan SD orang, lulusan SLTP orang, lulusan SLTA orang, lulusan Akademi D I – D3 orang dan lulusan S-1 sebanyak Orang. Pada kategori Lulusan Pendidikan Khusus, lulusan Pondok Pesantren sebanyak orang, lulusan Madrasah sebanyak orang, lulusan Pendidikan Keagamaan orang, lulusan SLB 2 orang, dan lulusan Kursus Keterampilan orang. Mata pencaharian terbanyak penduduknya adalah sebagai petani, baik petani pemilik maupun petani penggarap. Karyawan PNSTNIPOLRI orang dan Pegawai Swasta orang. Untuk kategori wiraswastadagang sebanyak orang, petani pemilik orang, petani penggarap buruh tani orang, Pengrajin orang, Peternak orang dan pensiunan orang. Secara administratif, Desa Cibalandong Jaya memiliki perangkat desa yang lengkap yaitu terdiri dari Sekertaris dan Kaur sebayak 6 orang, kadus 2 orang dan orang staf. Jumlah RW di Desa Cibalandong Jaya adalah 4 dengan jumlah RT sebanyak 15 RT. Petugas Pelayanan masyarakat yang ada di Desa Cibalandong Jaya sebanyak orang yang terdiri dari pelayanan kependudukan sebanyak orang dan pelayanan legalisi sebanyak orang. Jumlah pos kamling sebanyak buah dengan jumlah peronda kampung sebanyak orang. Penerimaan anggaran pembangunan Desa Cibalandong Jaya selama tahun sebesar Rp ,-. Penerimaan tersebut bersumber dari : tanah kas desa sebesar Rp ,-; pungutan desa sebesar Rp ,-; swadaya masyarakat sebesar Rp ,-; dan hasil gotong royong sebesar Rp ,-. 1 1 1 15 12 1 5 3 2 90 2002 15.040.000 100.000 2.100.000 10.000.000 2.840.000 1201 70, 48 1201 75 45 4 2 1 13 44 117 530 13 4 7 15 74 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Sarana peribadatan desa Cibalandong Jaya memiliki buah mesjid, serta buah mushola. sarana pembangunan bidang kesehatan yang telah dibangun yaitu unit posyandu yang merupakan kepanjangan dari puskesmas pembantu Desa Cimenteng. Sarana pendidikan yang dimiliki Desa Cibalandong Jaya kurang baik. Jenjang sarana pendidikan paling tinggi yang ada di Desa Cibalandong Jaya adalah SD. Desa Cibalandong Jaya memiliki unit gedung SD dengan orang guru dan murid. Pembangunan prasarana perhubungan di Desa Cibalandong Jaya sampai dengan tahun adalah jalan dusun sepanjang km, jalan desa km, dan prasarana jembatan sebanyak buah. Desa Cibalandong Jaya memiliki saluran irigasi sebanyak buah dengan panjang m. Dari irigasi tersebut mampu mengairi lahan pertanian hampir lebih dari seluruh luas lahan pertanian. Dari hasil proyek irigasi tersebut, dari lahan pertanian padi seluas Ha mampu menghasilkan ton setiap kali panen. Sedangkan lahan pertanian jagung, dari luas Ha mampu menghasilkan ton setiap kali panen. Desa Cibalandong Jaya mampu menghasilkan produksi buah- buahan berupa salak ton per tahun dari lahan seluas Ha, pisang ton per tahun dari Ha lahan, pepaya ton pisang dari luas lahan Ha, dan Durian ton dari luas lahan Ha. Desa memiliki taman mencapai luas Ha yang terbagi menjadi jalur hijau seluas Ha dan taman seluas Ha. Desa Cibalandong Jaya memiliki hutan seluas Ha. Perikanan darat yg dimiliki Desa Cibalandong Jaya seluas 30 Ha. Di bidang kemasyarakatan, Desa Cibalandong Jaya memiliki kelompok-kelompok masyarakat yang secara formal terorganisir dengan baik. Majelis talim memiliki kelompok yang terdiri anggota dan remaja mesjid memiliki 4 kelomppok remaja mesjid. Desa Cibalandong Jaya memiliki tanah Desa seluas Ha, diantaranya berupa tanah bengkok Ha. Sertifikat Hak Guna Bangunan Ha, Sertifikat Hak Pakai Ha. 6 6 1 217 2002 4 2 4 2 500 90 70 600 53 300 2 1 20 5 1 0.5 0.5 0.4 13 5 8 5 4 150 285 0.21 1.125 0.21 2 10 75 bagian 4 Fakta Lapangan – Peruntukan lahan pertanahan di Desa Cibalandong Jaya terdiri dari : sekitar , peruntukan jalan sepanjang km, peruntukan sawah ladang seluas Ha. Dan selebihnya digunakan untuk bangunan umum seluas Ha, pemukiman seluas Ha, jalur hijau seluas Ha, dan pekuburan seluas 1 Ha. Penggunaan lahan pertanahan di Desa Cibalandong Jaya untuk perkantoran seluas 0, Ha, tanah wakaf seluas Ha. Penggunaan untuk tanah persawahan dapat diklasifikasikan menjadi: irigasi teknis seluas Ha, irigasi ½ teknis Ha. penggunaan tanah kering dapat golongkan menjadi pekarangan seluas Ha dan peladangan seluas Ha. Hasil Pengujian Instrumen Penelitian Sebelum melakukan penelitian ke lapangan, peneliti melaku- kan pengujian validitas dan realibilitas instrumen penelitian. Adapun hasil uji validitas terhadap variabel-variabel konten kebijakan, konteks implementasi, struktur penguasaan dan pemilikan lahan serta kesejahteraan petani dapat dilihat dalam tabel 4.5 di bawah ini : Tabel 4.5 Hasil Analisis Validitas Item Variabel Konten Kebijakan X 1 13 6 123 0.01 16 50 1 0,25 70 27 8 30 76 ITEM PERTANYAAN NILAI CORRECTED ITEM-TOTAL CORRELATION NILAI r KRITIS KETERANGAN Item 1 Item 2 Item 3 Item 4 Item 5 Item 6 Item 7 Item 8 Item 9 Item 10 Item 11 Item 12 0.316 0.678 0.530 0.416 0.490 0.478 0.571 0.527 0.571 0.403 0.491 0.569 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Sedangkan hasil uji validitas variabel Konteks Implementasi secara komprehensif dapat dilihat pada tabel 4.6. berikut ini: Tabel 4.6. Hasil Analisis Validitas............... 77 bagian 4 Fakta Lapangan – ITEM PERTANYAAN NILAI CORRECTED ITEM-TOTAL CORRELATION NILAI r KRITIS KETERANGAN Item 13 Item 14 Item 15 Item 16 Item 17 Item 18 Item 19 Item 20 Item 21 Item 22 Item 23 Item 24 Item 25 Item 26 Item 27 Item 28 Item 29 Item 30 Item 31 Item 32 Item 33 Item 34 Item 35 0.423 0.456 0.681 0.563 0.732 0.394 0.427 0.575 0.454 0.432 0.490 0.644 0.368 0.557 0.573 0.385 0.641 0.577 0.605 0.449 0.412 0.415 0.411 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Tabel 4.6. Hasil Analisis Validitas Item Variabel Konteks Implementasi X 2 Hasil uji validitas variabel Struktur Penguasaan secara komprehensif dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 4.7. Hasil Analisis Validitas Item Variabel Struktur Penguasaan Y 78 ITEM PERTANYAAN NILAI CORRECTED ITEM-TOTAL CORRELATION NILAI r KRITIS KETERANGAN Item 36 Item 37 Item 38 Item 39 Item 40 Item 41 Item 42 Item 43 Item 44 Item 45 Item 46 Item 47 Item 48 0.711 0.687 0.748 0.301 0.367 0.696 0.472 0.683 0.594 0.347 0.730 0.733 0.481 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid ITEM PERTANYAAN NILAI CORRECTED ITEM-TOTAL CORRELATION NILAI r KRITIS KETERANGAN Item 1 Item 2 Item 3 Item 4 Item 5 Item 6 Item 7 Item 8 0.404 0.401 0.744 0.630 0.365 0.313 0.565 0.651 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Hasil uji validitas variabel kesejahteraan petani secara komprehensif dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut ini: Tabel 4.8. Hasil Analisis Validitas Item Variabel Kesejahteraan Petani Z Berdasarkan perhitungan di atas dapat dilihat bahwa semua item pertanyaan pada variabel Konten Kebijakan, Konteks Implementasi, Struktur Penguasaan dan pemilikan lahan serta Kesejahteraan Petani lebih besar dari 0.300 sehingga dapat dikatakan untuk item-item dalam variabel Konten Kebijakan, Konteks Implementasi, Struktur Penguasaan dan Kesejahteraan Petani cukup valid. Artinya bahwa instrumen penelitian tersebut sudah sesuai dengan masalah penelitian peneliti. Setelah dilakukan uji validitas, selanjutnya peneliti melakukan uji reliabilitas terhadap instrument penelitian. Adapun hasil uji reliabilitas terhadap instrumen penelitian dapat dilihat dalam tabel 4.9 berikut ini: 79 bagian 4 Fakta Lapangan – ITEM PERTANYAAN NILAI CORRECTED ITEM-TOTAL CORRELATION NILAI r KRITIS KETERANGAN Item 1 Item 2 Item 3 Item 4 Item 5 Item 6 Item 7 Item 8 Item 9 Item 10 Item 11 Item 12 Item 13 Item 14 Item 15 0.655 0.526 0.498 0.543 0.630 0.388 0.525 0.667 0.429 0.615 0.581 0.711 0.688 0.548 0.670 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 0.300 Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Baik Valid Tabel 4.9 Hasil Uji Reliabilitas Instrument Variabel X , X ,Y dan Z 1 2 Berdasarkan hasil perhitungan reliabilitas di atas, maka seluruh variabel dinyatakan reliable. Hal ini didasarkan pada ketentuan dimana hasil hitung keempat variabel tersebut melebihi batas minimum 0.50. Sedangkan Menurut Sekaran 2000:329 instrument r yang 1 korelasinya 0.60–0.80 reliabilitasnya dinyatakan cukup, sedangkan di atas 0.80 reliabilitasnya dinyatakan baik. Pengaruh Impelementasi Kebijakan Pertanahan terhadap Struktur Penguasaan Tanah Serta Dampaknya terhadap Kesejahteraan Petani Untuk menguji hipotesis yang diajukan dilakukan analisis jalur untuk variabel-variabel penelitian. Analisis variabel-variabel tersebut dimaksudkan untuk mengetahui apakah variabel penelitian yang diajukan mempunyai pengaruh terhadap variabel lain dan mengukur seberapa besar pengaruhnya baik pengaruh langsung maupun pengaruh tidak langsung. Setiap variabel yang disusun dalam struktur keterkaitan mempresentasikan hal-hal sebagai berikut : 1. X = Mempresentasikan Variabel Isi Kebijakan 1 2. X = Mempresentasikan Variabel Konteks Implementasi 2 Kebijakan 3. Y = Mempresentasikan Variabel Struktur Penguasaan Tanah 4. Z = Mempresentasikan Variabel Kesejahteraan Petani 80 VARIABEL NILAI CORRECTED ITEM-TOTAL CORRELATION NILAI KRITIS KETERANGAN Konten Kebijakan X 1 Konteks Impelementasi X 2 Struktur Penguasaan Tanah Y Kesejahteraan Petani Z 0.943 0.908 0.765 0.894 0.700 0.700 0.700 0.700 Reliable Reliable Reliable Reliable Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Dalam struktur yang telah didefinisikan besarnya nilai koefisien jalur adalah sebagai berikut : Gambar 4.2. Nilai Loading Model Struktural Gambar 4.3. Nilai t-value Model Struktural 81 bagian 4 Fakta Lapangan – X 11 X 12 X 13 X 14 Y 1 Y 2 Z 2 Z 3 Z 1 X 15 X 16 X 21 X 22 X 23 X 1 Y Z X 2 6.96 7.29 16.43 9.31 41.36 6.67 10.01 17.58 21.47 12.53 2.111 2 R = 0.606 17.03 8.86 6.99 3.466 29.71 3.57 2 R = 0.525 1 2 R = 0.170 2 3.882 X 11 X 12 X 13 X 14 Y 1 Y 2 Z 2 Z 3 Z 1 X 15 X 16 X 21 X 22 X 23 X 1 Y Z X 2 0.67 0.63 0.73 0.73 0.89 0.68 0.66 0.79 0.83 0.77 0.30 2 R = 0.606 0.475 0.830 0.90 0.78 0.69 0.46 0.93 0.57 V 1 V 2 2 R 1 = 0.525 2 R 2 = 0.170 0.41 Analisis Model Pengukuran Tahap awal sebelum melakukan analisis lebih jauh mengenai keterkaitan antara variabel penelitian, peneliti terlebih dahulu melakukan analisis pengukuran terhadap dimensi-dimensi yang dijadikan dasar untuk mengukur konstruk dalam penelitian ini. Analisis model pengukuran ini secara lebih spesifik adalah analisis untuk mengetahui apakah dimensi-dimensi ini mampu merefleksikan konstruk secara valid dan reliable. Analisis model pengukuran ini menggunakan konsep-konsep analisis faktor konfirmatori dimana suatu dimensi dinyatakan valid dan reliable dalam merefleksikan konstruknya jika memiliki nilai loading lebih besar dari 0.3 dan alpha Cronbachs juga lebih besar dari 0.3. Analisis untuk masing-masing konstruk atau variabel penelitian dijelaskan di bawah ini :

1. Analisis Pengukuran Variabel Isi Kebijakan X

1 Variabel isi kebijakan diukur oleh enam dimensi yang meliputi: 1. Pihak-pihak yang kepentingannya terpengaruh kebijakan 2. Jenis manfaat 3. Derajat perubahan yang diinginkan 4. Letak pengambilan keputusan 5. Pelaksana program 6. Sumber daya Tabel 4.10. Analisis Pengukuran Variabel Isi Kebijakan X 1 82 DIMENSI LOADING 2 R t-VALUE KETERANGAN Pihak-pihak yang kepentingannya terpengaruh kebijakan Jenis manfaat Derajat perubahan yang diinginkan Letak pengambilan keputusan Pelaksana program Sumber daya 0.677 0.772 0.831 0.794 0.662 0.630 0.458 0.596 0.691 0.631 0.438 0.397 6.96 12.53 21.47 17.58 10.01 7.29 Valid-Reliable Valid-Reliable Valid-Reliable Valid-Reliable Valid-Reliable Valid-Reliable Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Dari keenam dimensi dari variabel isi kebijakan X dapat 1 dinyatakan valid dan reliable, dimana semua dimensi memiliki nilai 2 loading dan R yang lebih besar dari 0.30. Selain itu, dilihat dari nilai t hitung, semua nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel untuk tingkat signifikansi 5 dan derajat bebas 75 yaitu 1.962. Dari keenam dimensi dalam sub variabel, maka dimensi derajat perubahan dan letak pengambilan keputusan merupakan dimensi yang paling mampu merefleksikan variabel isi kebijakan. Ini artinya bahwa dalam kaitannya dengan variabel lain, dimensi derajat perubahan yang paling berpengaruh.

2. Analisis Pengukuran Variabel Konteks Implementasi Kebijakan X