Konten Kebijakan X KESEJAHTERAAN PETANI, SIAPA PEDULI ? (IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERTANAHAN).

Kemudian dari hasil pengolahan data yang berupa persentase rata-rata tanggapan responden tersebut peneliti berikan nilai dikaitkan dengan kriteria penilaian menurut pendapat Arikunto 1996:244 sebagai berikut: Tabel 4.19 Kriteria Penilaian Setelah dilakukan penilaian berdasarkan kriteria tersebut diinterpretasikan dalam bentuk deskriptif analisis terhadap tanggapan responden yang berkaitan dengan item pernyataan dan informasi yang diperoleh dari hasil pengamatan, wawancara dan dokumentasi kepustakaan. Pada bagian berikut ini akan diuraikan dimensi-dimensi variabel Implementasi Kebijakan Pertanahan di Kabupaten Garut dan Kabupaten Subang yang diteliti berdasarkan data yang diperoleh dari penyebaran kuesioner, observasi, dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti. Implementasi Kebijakan X

1. Konten Kebijakan X

1 Implementasi kebijakan pertanahan di Kabupaten Garut dan Kabupaten Subang dilihat dari aspek konten dan konteksnya tidak terlepas dari kebijakan pertanahan yang dicanangkan oleh Pemerintah Pusat. Pelaksanaan kebijakan pertanahan di Kabupaten Garut dan Kabupaten Subang mengacu pada kebijakan-kebijakan yang 95 bagian 4 Fakta Lapangan – NO. INTERVAL KRITERIA PENILAIAN 1. 2. 3. 4. 76 - 100 56 - 75 40 - 55 0 - 39 Baik CukupSedang Kurang Baik Tidak Baik ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Kebijakan pertanahan sebagaimana ditetapkan Pemerintah Pusat mengacu pada landasan hukum pelaksanaannya, yaitu : 1. Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, pasal Pasal 7, Pasal 10, dan Pasal 17; 2. Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian; 5. Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Harga Ganti Rugi Tanah Kelebihan Maksimum dari Tanah Absentee atau Guntai. Tujuan kebijakan landreform adalah untuk memperkuat hak atas tanah, yaitu menjadi hak milik serta meningkatkan taraf hidup petani pada umumnya. Landreform meliputi perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan yang bersangkutan dengan penguasaan tanah. Sesuai dengan tujuan tersebut, maka program landreform meliputi : 1. Larangan menguasai tanah pertanian yag melampaui batas; 2. Larangan pemilikan tanah secara apa yang disebut absentee; 3. Redistribusi tanah-tanah kelebihan dari batas maksimum serta tanah-tanah yang terkena larangan absentee; 4. Pengaturan tentang soal pengembalian dan penebusan tanah- tanah pertanian yang digadaikan; 5. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah pertanian menjadi bagian yang terlampau kecil. 96 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Pokok ketentuan mengenai larangan untuk menguasai tanah pertanian yang melampaui batas maksimum diatur dalam UUPA pasal 7 yang menetapkan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Dari penjelasannya dapat diketahui bahwa pasal ter- sebut bermaksud untuk mengakhiri dan mencegah tertumpuknya tanah di tangan orang-orang tertentu saja. Dengan terbatasnya per- sediaan tanah pertanian, khususnya di daerah-daerah yang padat pen- duduknya, konsentrasi pemilikan atau penguasaan tanah oleh golong- an tertentu ini mengakibatkan makin sempitnya tanah bagi petani, kalau tidak dapat dikatakan menyebabkan hilangnya sama sekali kemungkinan bagi kebanyakan petani untuk memiliki tanah sendiri. Pasal 7 dari UUPA bukan hanya melarang pemilikan tanah yang melampaui batas, tetapi juga penguasaan tanah. Penguasaan itu, selain dengan hak milik dapat juga dilakukan dengan cara menggadai, menyewa atau dengan melewati perjanjian bagi hasil. Untuk melaksanakan ketentuan pasal 7 tersebut, maka perlu diadakan penetapan batas maksimum tanah yang boleh dikuasai oleh seseorang atau keluarganya. Ketentuan pokok tentang hal itu diatur lebih lanjut di dalam pasal 17. Pasal 17 UUPA menyatakan bahwa didalam waktu singkat perlu diatur luas maksimum tanah yang boleh dikuasai dengan sesuatu hak oleh keluarga atau badan hukum. Disebutkan pula bahwa tanah-tanah kelebihan dari batas maksimum tersebut akan diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagi-bagikan kepada rakyat yang membutuhkannya. Dengan demikian maka pemilikan tanah yang merupakan faktor utama dalam produksi pertanian diharapkan akan lebih merata, sehingga pembagian hasilnya pun akan lebih merata pula. Tindakan itu diharapkan akan merupakan pendorong ke arah kenaikan produksi pertanian, karena pemilikan tanah serta pembagian hasil tanah itu akan menambah kegairahan bekerja bagi para petani penggarap tanah karena yang bersangkutan yang telah menjadi pemiliknya. 97 bagian 4 Fakta Lapangan – Untuk melaksanakan ketentuan pasal 17 UUPA, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang pada tanggal 29 Desember 1960, yang disingkat dengan Perpu Nomor 56 Tahun 1960, yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1961. Perpu Nomor 56 Tahun 1960 ini kemudian ditetapkan Pemerintah menjadi Undang-Undang Nomor 56 tahun 1960. Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 ini merupakan Undang-Undang Landreform di Indonesia, yg mengatur 3 persoalan: 1 Penetapan luas maksimum pemilikan tanah pertanian; 2 larangan untuk melakukan perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah menjadi bagian yang terlampau kecil, dan 3 pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 menyebutkan bahwa seseorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian, baik tanah yang dimiliki sendiri maupun bersama-sama kepunyaan orang lain, jumlah luasnya diatur. Persoalan lain yang diatur Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 adalah penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah. Untuk meningkatkan taraf hidup petani, maka kepada mereka perlu diberikan tanah garapan yang cukup luas. Sesuai dengan itu, dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 diatur bahwa diperintahkan kepada Pemerintah untuk mengada- kan usaha-usaha agar setiap petani sekeluarga memiliki tanah per- tanian minimum 2 hektar. Pada pasal 9 dijumpai ketentuan-ketentuan yang bertujuan untuk mencegah pemecahan pemilikan tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang kurang dari 2 Ha. Tanpa pembatasan itu dikhawatirkan bahwa bukan saja usaha untuk mencapai jumlah luas minimum pemilikan tanah itu tidak akan tercapai, tetapi bahkan akan menjauh dari tujuan tersebut. 98 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Untuk mengatur pemilikan tanah secara absentee dan redistribusi tanah-tanah yang melebihi batas maksimum serta tanah yang terkena larangan absentee, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961. Dalam peraturan ini dinyatakan bahwa pemilik tanah diharuskan tinggal di kecamatan dimana tanah itu terletak. Syarat bagi pemilik tanah masih diperlukan sesuai dengan ketentuan absentee di atas, yaitu tidak keberatan jika petani pemilik atau penggarap bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan tempat tanahnya terletak, asal jarak tempat tinggal penggarap dan tanah yang bersangkutan masih memungkinkan pemilik untuk mengerjakan itu secara efisien. Karena luas tanah yang akan diredistribusikan sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah petani yang membutuhkan, maka para penggarap tanah yang bersangkutan mendapat prioritas pertama untuk memperolehnya dengan pertimbangan bahwa mereka yang telah mempunyai hubungan yang paling erat dengan tanah yang digarapnya, sehingga atas dasar prinsip tanah untuk petani, hubungan tanah tersebut tidak boleh dilepaskan dan harus dijamin kelangsungannya. Selain mereka juga dipandang yang paling membutuhkan dan paling perlu didahulukan. Gadai adalah hubungan antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain yang telah menerima uang gadai dari pemegang gadai. Selama uang gadai itu belum dikembalikan, maka tanah tersebut itu dikuasai oleh pemegang gadai. Selama itu pula hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai. Pengembalian uang gadai itu sering disebut pula sebagai penebusan kembali tanahnya, tergantung pada kemampuan dan kemauan penggadai. Pasal 7 Undang-Undang 56 Prp tahun 1960 memuat ketentuan tentang pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadai- kan. Dalam pasal 7 dinyatakan bahwa tanah-tanah yang sudah digadaikan selama 7 tahun harus dikembalikan kepada pemiliknya, tanpa kewajiban membayar uang tebusan. Mengenai perjanjian gadai yang belum berlangsung sampai 7 tahun, pemilik tanah berhak 99 bagian 4 Fakta Lapangan – meminta kembali tanahnya sewaktu-waktu setelah tanaman yang ada di atas tanah tersebut selesai dipanen dengan kewajiban membayar uang tebusan yg dihitung dengan rumus: Perjanjian gadai sebagai suatu bentuk hubungan peminjaman uang lebih banyak merugikan penggadai dan sangat menguntungkan pihak pelepas uang. Dengan demikian lembaga gadai menunjukkan praktik pemerasan sehingga dinilai sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan azas sosialisme Indonesia Penjelasan Undang- Undang Nomor 56. Oleh karena itu, di dalam rangka pelaksanaan landreform di Indonesia, hak gadai dimasukkan ke dalam golongan hak yang sifatnya sementara yg harus diusahakan supaya dihapuskan. Perjanjian bagi hasil adalah suatu perjanjian antara seorang yang berhak atas suatu bidang tanah pertanian dengan orang lain yang disebut penggarap, dimana penggarap diperkenankan mengu- sahakan tanah pertanian itu dengan pembagian hasil menurut imbangan yang disetujui sebelumnya. Untuk mengaturnya, peme- rintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil UUPBH. Tujuan dikeluarkannya UUPBH adalah :1 untuk mengatur hubungan antara pemilik tanah dengan penggarap sehingga mendapat suatu imbangan pembagian hasil yang adil; 2 Untuk melindungi pihak yang lemah dan mencegah praktik-praktik yang merupakan suatu pemerasan oleh pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah; 3 untuk memberikan kepastian hukum kepada kedua belah pihak sehingga mereka mempunyai kedudukan yang sama kuat Instruksi Bersama Mendagri dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria Nomor. Pem 193134 p.17 Menteri Muda Agraria memutus- kan bahwa Bupati Kepala DT II diberi wewenang untuk menetapkan besarnya angka imbangan bagi hasil antara bagian hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik tanah. 100 7 + 12 - WAKTU BERLANGSUNGNYA GADAI x UANG GADAI 7 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, nampak bahwa bentuk kebijakan landreform yang diimplementasikan pada mulanya meliputi seluruh obyek tanah landreform yaitu mengatur tentang tanah kelebihan maximum, tanah guntai atau tanah absentee, sewa gadai, dan redistribusi tanah. Namun dalam perkembangannya, praktik landreform adalah redistribusi tanah saja. 1 Pihak-pihak yang Kepentingannya Terpengaruh Kebijakan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 mem- berikan pedoman siapa-siapa yang berhak untuk mendapatkan tanah obyek landreform. Terlebih dahulu diberikan prioritas kepada: a. Petani yang mempunyai ikatan keluarga sejauh tidak lebih dari derajat kedua dengan bekas pemiliknya, dengan ketentuan sebanyak-banyaknya 5 orang. b. Petani yang terdaftar sebagai veteran. c. Petani janda pejuang kemerdekaan yang gugur. d. Petani yang menjadi korban kekacauan. Kemudian lagi dapat dibagikan kepada para petani menurut prioritas sebagai berikut: a. Penggarap yang mengerjakan tanah yang bersangkutan; b. Buruh tani pada bekas pemilik, yang mengerjakan tanah yang bersangkutan; c. Pekerja tetap pada bekas pemilik tanah yang bersangkutan; d. Penggarap yang belum sampai 3 tahun mengerjakan tanah yang bersangkutan; e. penggarap yang mengerjakan tanah pemilik; f. penggarap tanah-tanah yang oleh pemerintah diberi peruntuk- kan lain berdasarkan pasal 4 ayat 2 dan 3; g. penggarap yang tanah garapannya kurang dari 0,5 Ha; h. pemilik yang luas tanahnya kurang dari 0,5 Ha; i. petani atau buruh tani; 101 bagian 4 Fakta Lapangan – Syarat-syarat umum bagi mereka yang berhak menerima tanah obyek landreform tersebut adalah: a. Warga negara Indonesia dan bertempat tinggal di Kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan dan kuat kerja dalam pertanian. b. Sebagai syarat khusus., bahwa terhadap prioritas a, b, e, f, dart g telah mengerjakan tanah yang bersangkutan sekurang-kurang- nya 2 tahun berturut-turut bagi petani golongan d, telah mengerjakan tanah tersebut dalam 2 musim dan bagi pekerja tetap yang tergolong pada prioritas c, telah bekerja pada bekas pemilik selama 3 tahun berturut-turut. Ketentuan khusus yang tersebut pada pasal 10 menyebutkan bahwa di daerah yang padat maka kepada para penggarap tanah jika sudah rnempunyai tanah 1 Ha tidak mendapatkan lagi pembagian; penggarap yang tidak mempunyai tanah akan mendapat 1 Ha; sedangkan petani dari golongan c, g, h dan i pasal 8 ayat 1, mendapatkan pembagian 0,5 Ha. Untuk di daerah tidak padat maka tergantung dari pertimbangan Panitia Landreform tingkat Kabupaten. Pegawai negeri yang bertempat. tinggal sementara di luar daerah kecamatannya dapat memperoleh hibah namun hanya maksimum 25 dari yang diperkenankan pemilikan tanah pertanian, dengan catatan bahwa tanah yang sudah dimilikinya sendiri dan yang akan diperoleh tidak dilanggar ketentuan batas maksimum pemilikan tanah sebagaimana ditentukan oleh Prp 5660. Dalam penjelasan surat edaran Menteri Agraria Nomor Ka 5336 tanggal 19 Februari 1962 dinyatakan bahwa pasal 3 alinea terakhir Peraturan Pemerintah Nomor 2241961: Di dalam perkecualian yang dimaksudkan dalam pasal 3 ayat 4 termasuk pula pemilikan oleh isteri danatau anak-anak yang masih menjadi tanggungannya. 102 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Pihak-pihak yang kepentingannya terpengaruh kebijakan pertanahan, dalam hal ini kebijakan landreform melalui redistribusi tanah terdiri dari : 1. Petani penggarap penerima tanah redistribusi 2. pemilik tanah asal 3. kelompok kepentingan 4. pemerintah Untuk mengetahui tanggapan responden tentang pihak- pihak yang kepentingannya terpengaruh implementasi kebijakan pertanahan dapat dilihat pada tabel 4.19 berikut ini: Tabel 4.20 Tanggapan Responden Terhadap Pihak-pihak yang Kepentingannya Terpengaruh Kebijakan Berdasarkan tabel di atas, diperoleh nilai persentase rata-rata tanggapan responden untuk dimensi pihak-pihak yang kepenting- annya terpengaruh kebijakan pada konten kebijakan pertanahan di Kabupaten Subang dan Kabupaten Garut sebesar 72,31 . Jika nilai ini dirujuk pada tabel kritik berada pada interval cukup. Artinya bahwa pihak-pihak yang kepentingannya terpengaruh kebijakan pertanahan secara umum memandang implementasi kebijakan pertanahan cukup baik akan tetapi masih belum 103 bagian 4 Fakta Lapangan – SKOR TOTAL SKOR 5 4 3 2 1 F F F F F F Pemilik tanah Petani penggarap Kelompok kepentingan Pihak lain 24 5 0,00 30,77 0,00 6,41 77 44 40 35 98,72 56,41 51,28 44,87 1 10 21 24 1,28 12,82 26,92 30,77 0,00 0,00 0,00 0,00 17 14 0,00 0,00 21,79 17,95 78 78 78 78 100 100 100 100 145 784 168 31 1128 Maksimum Total Skor Total Skor 1560 72,31 Frekuensi X Skor PIHAK-PIHAK YANG KEPENTINGANNYA TERPENGARUH KEBIJAKAN maksimal. Hal ini ditunjukkan dengan konten kebijakan yang dapat memenuhi akomodasi kepentingan pemilik tanah, akomodasi kepentingan petani penggarap dan akomodasi kepentingan interest groups. Selain hal tersebut konten kebijakan juga tidak mendapat usaha penentangan dari pihak-pihak yang terkena kebijakan secara berarti. Petani merupakan pihak yang paling terpengaruh oleh kebijakan pertanahan, karena para petanilah yang menjadi objek utama sekaligus subjek yang berperan menjadikan kebijakan redistribusi ini berhasil atau tidak. Semakin banyak petani yang memiliki dan menguasai tanah dan atau semakin sejahtera petani setelah kebijakan diimplementasikan, maka semakin efektif kebijakan ini mencapai tujuannya. Peraturan menetapkan bagi para petani yang mendapatkan pembagian tanah diharuskan mem- bayar uang sewa selama 1-2 tahun yang kelak dapat diper- hitungkan pada pembayaran ganti rugi kepada pemerintah. Disamping itu mereka harus membayar ganti rugi atas pembagian tanah tersebut yang harus disetor ke kas yayasan dana landreform c.q. Bank Koperasi dan Tani Nasional BKTN. Pemilik tanah asal merupakan pihak kedua yang terkena dampak kebijakan redistribusi tanah, terutama para pemilik tanah kelebihan maksimum dimana tanahnya harus diserahkan kembali kepada negara dengan memperoleh ganti rugi. Para pemilik tanah yang tanahnya diambil akan menerima surat hutang landreform yang diterbitkan oleh pemerintah. Ganti rugi akan dibayar kembali dalam tenggang 12 tahun dengan bunga 5 setahun, dan pemerintah akan membayar setiap tahunnya 112 dari hutang tersebut, yang terdiri dari barang-barang modal pemerintah danatau uang tunai. Surat hutang landreform tersebut tidak dapat dijadikan jaminan untuk mendapatkan kredit dari bank pemerintahlembaga keuangan kecuali mendapatkan izin dari Menteri Agraria. 104 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Pihak lain yang terkena dampak dari kebijakan landeform adalah berbagai interest groups, terdiri dari berbagai pihak yang mempunyai kepentingan dengan implementasi kebijakan per- tanahan seperti organisasi petani dimana objek atau kebijakan pertanahan diimplementasikan dan lembaga swadaya masyarakat yang biasanya merupakan kelompok penekan terhadap berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah. Implementasi kebijakan pertanahan harus mengakomodasi- kan berbagai kepentingan di atas dan seminimal mungkin menghindari konflik atau adanya pertentangan dari satu terhadap lainnya. Dari hasil wawancara dengan petani di desa Padaawas Kabupaten Garut, mereka beranggapan bahwa. karena mayoritas penduduk, khususnya Rt 04 RW 01, adalah para buruh tani dan tidak memiliki lahan garap dan hanya memiliki tanah yang ditempatinya lahan untuk rumah sendiri maka konflik antar petani di daerah tersebut tidak penah terjadi sebab penduduk sudah memiliki blangko atau akta jual beli tanah atas lahan masing masing. Sebab lain dikarenakan masyarakatnya yang tidak terlalu mempermasalahkan. Adapun konflik yang pernah terjadi adalah konflik antara petani dengan Perhutani. Dimana perhutani melarang masyarakat untuk membuka lahan pertanian di tempat tersebut karena tanahnya di bawah penguasaan Perhutani. Untuk penyelesaian konflik tersebut pihak Perhutani menetapkan kebijakan bahwa para petani penggarap boleh menggarap lahan tersebut asalkan petani tersebut juga menanam kopi. Tidak ada konflik berarti dalam proses pemutihanpembuat- an sertifikasi. Karena sekarang kebijakan landreform khususnya pembagian tanah oleh pemerintah sudah tidak ada lagi. Yang ada hanya pemutihan atau sertifikasi massal. Sedangkan sertifikasi massal di daerah ini jarang diadakan sehingga tidak menimbulkan konflik. 105 bagian 4 Fakta Lapangan – Tidak ada warga yang menentang karena telah mendapat kesempatan yang sama dalam memperoleh sertifikat. Bagi warga yang belum mendapat sertifikat lebih disebabkan mereka tidak mampu menyediakan biaya pensertifikatan sebesar Rp. 250000 - Rp. 300.000,00. 2 Jenis Manfaat Kebijakan Pengukuran manfaat dapat diukur dari seberapa banyak target group mendapatkan manfaat dari kebijakan yang diimple- mentasikan. Menurut Grindle, sebuah kebijakan akan terimplemen- tasi dengan baik apabila masyarakat memperoleh manfaat lang- sung dari kebijakan tersebut. Semakin cepat manfaat dirasakan, maka semakin efektif kebijakan tersebut. Manfaat implementasi yang dirasakan dalam jangka pendek akan lebih lebih efektif diban- dingkan dengan manfaat yang dirasakan dalam jangka panjang. Untuk mengetahui bagaimana persepsi responden tentang manfaat Implementasi Kebijakan Pertanahan di Kabupaten Garut dan Kabupaten Subang, berikut ini ditampilkan tanggapan responden berdasarkan kuesioner yang peneliti sampaikan, sebagai berikut: Tabel 4.21 Tanggapan Responden Terhadap Jenis Manfaat Kebijakan Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2008. 106 SKOR TOTAL SKOR 5 4 3 2 1 F F F F F F Manfaat Kolektif Manfaat bagi Petani Manfaat bagi Pemilik Lahan Manfaat bagi Pemerintah 15 18 20 10 19,23 23,08 25,64 12,82 59 60 49 58 75,64 76,92 62,82 74,36 4 9 7 5,13 0,00 11,54 8,97 0,00 0,00 0,00 0,00 3 0,00 0,00 0,00 3,85 78 78 78 78 100 100 100 100 315 904 60 3 1282 Maksimum Total Skor Total Skor 1560 82,18 Frekuensi X Skor JENIS MANFAAT Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Berdasarkan tabel di atas, diperoleh nilai persentase rata-rata tanggapan responden untuk dimensi jenis manfaat pada konten kebijakan pertanahan di Kabupaten Subang dan Kabupaten Garut sebesar 82,18 . Jika nilai ini dirujuk pada tabel kritik berada pada interval baik. Artinya bahwa jenis manfaat dari kebijakan pertanahan secara umum sudah baik. Manfaat implementasi kebijakan pertanahan secara keselu- ruhan adalah tidak akan ada apa yang disebut dengan tanah terlantar, karena seluruh tanah termanfaatkan sebagai faktor produksi pertanian Karenanya dalam jangka panjang tanah tidak diperdagangkan menjadi obyek spekulasi. Dari sisi petani, maka kebijakan ini memberikan manfaat berupa: 1. Petani memperoleh lahan yang lebih luas untuk diolah, dimanfaatkan, dan sekaligus dimiliki dan dikuasai. Dengan perluasan lahan garapan pertanian memungkinkan petani memproduksi lebih banyak hasil. 2. Bagi petani yang tidak menambah luas lahan garapan karena luas tanah yang diperoleh dari redistribusi tanah sama dengan luas lahan yang selama ini digarapnya, maka manfaat yang diterimanya adalah adanya jaminan kepastian hukum karena perubahan status dari petani penggarap menjadi petani pemilik. Kepastian jaminan hukum ini memberikan ketenangan pada petani untuk mengolah tanah pertaniannya. 3. Peningkatan status petani dari petani penggarap menjadi petani pemilik kemudian meningkatkan posisi petani, dan selanjutnya meningkatkan harga tawar petani. Penguatan ini berdampak pada penguatan organisasi petani yang ada di desa. 4. Pembukaan areal-areal pertanian baru yang dapat didistribusi- kan kepada petani kecil dan buruh kecil. 107 bagian 4 Fakta Lapangan – Dilihat dari sisi pemilik tanah asal manfaat langsung kebijakan redistribusi tanah ini adalah penambahan pendapatan dari ganti rugi yang diterima dari negara. Uang yang diterima bisa dimanfaat- kan sebagai tambahan modal meningkatkan kapasitasnya sebagai petani pengusaha. Bagi Pemerintah, redistribusi menjadi alat promosi yang menunjukkan kepedulian dan upaya pemerintah mengurangi menghilangkan kemiskinan petani atau dengan kata lain mensejahterakan masyarakat. Pemerintah diuntungkan karena redistribusi tanah tidak memunculkan atau mengurangi kemungkinan munculnya kelas-kelas sosial di masyarakat yang memicu terjadinya konflik di masyarakat, terutama sengketa atas tanah. Manfaat lainnya adalah peningkatan pendapatan dari sektor pertanian. Berdasarkan hasil wawancara manfaat yang dirasakan langsung oleh petani di Kabupaten Garut dan Kabupaten Subang berdasarkan hasil penelitian terutama adalah : 1. Kepastian hukum 2. Status kepemilikan jelas 3. Menikmati sendiri hasil produksi tanah 4. Peningkatan kemampuan beli Dengan adanya sertifikat pemilik dapat memperoleh kepastian hukum. Dan kepentingan pemilik dapat tertampung. Manfaatnya, status kepemilikan jadi jelas dan berkekuatan hukum, sehingga memudahkan proses jual beli tanah yang legal dan menjamin kepemilikan. Seperti yang dikatakan Bu Enting RT 01 RW04 dan Bpk Ajudin RT 03RW 04 yang lebih jauh mengatakan bahwa dengan adanya sertifikat, kepentingan pemilik dapat tertampung. Menurut mereka dengan adanya sertfifikasi, lahan yang dimiliki bisa memiliki kepastian hukum. 108 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? 3 Derajat Perubahan yang Diinginkan Perubahan yang diinginkan dari implementasi kebijakan pertanahan adalah meningkatnya: status sosial petani, taraf hidup, kemampuan ekonomi petani dan perluasan penguasaan lahan. Menurut Grindle semakin derajat perubahan dapat dirasakan langsung dan cepat oleh target group, maka implementasi kebijakan akan semakin efektif. Berikut ini adalah tanggapan responden tentang derajat perubahan yang diinginkan atas implementasi kebijakan pertanahan di Kabupaten Garut dan Kabupaten Subang. Tabel 4.22 Tanggapan Responden Tentang Derajat Perubahan yang Diinginkan Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2008. Berdasarkan tabel di atas, diperoleh nilai persentase rata-rata tanggapan responden untuk dimensi derajat perubahan yang diinginkan pada konten kebijakan pertanahan di Kabupaten Garut dan Kabupaten Subang sebesar 82,18. Jika nilai ini dirujuk pada tabel kritik berada pada interval baik. Artinya bahwa derajat perubahan yang diinginkan dari kebijakan pertanahan secara 109 bagian 4 Fakta Lapangan – SKOR TOTAL SKOR 5 4 3 2 1 F F F F F F Peningkatan status sosial Peningkatan taraf hidup Peningkatan ke - mampuan ekonomi Peningkatan penguasaan tanah 30 35 3 14 38,46 44,87 3,85 17,95 42 40 62 54 53,85 51,28 79,49 69,23 3 6 7 3,85 0,00 7,69 8,97 3 3 7 3 3,85 3,85 8,97 3,85 0,00 0,00 0,00 0,00 78 78 78 78 100 100 100 100 410 792 48 32 1282 Maksimum Total Skor Total Skor 1560 82,18 Frekuensi X Skor DERAJAT PERUBAHAN YANG DIINGINKAN umum sudah baik. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan status sosial petani, peningkatan taraf hidup, dan peningkatan indeks nilai tukar petani. Selain hal tersebut derajat perubahan yang diinginkan dari kebijakan pertanahan ditunjukkan dengan peningkatan kemampuan ekonomi dan peningkatan penguasaan tanah. Implementasi kebijakan landreform melalui program redistribusi tanah diharapkan akan berdampak terhadap peningkatan status sosial petani di masyarakat. Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa 81 responden menyatakan setuju bahwa implementasi kebijakan pertanahan akan mampu merubah status sosial petani di masyarakat. Peningkatan status sosial ini ditandai dengan meningkatnya posisi petani dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya melalui kedudukannya di lembaga-lembaga kemasyarakatan desa setempat, peningkatan peran dalam arah pembangunan desa, peningkatan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan pembangunan di desa setempat. Hasil penelitian di Kabupaten Subang dan Kabupaten Garut menunjukkan adanya dampak terhadap peningkatan status sosial petani penerima redistribusi tanah. Petani penerima tanah redistribusi berubah statusnya dari petani penggaap menjadi petani pemilik tanah. Perubahan ini berdampak pada harga dirinya dan mempunyai posisi tawar yang lebih baik. Peningkatan status sosial ditandai dengan keterlibatan mereka dalam kegiatan pembangunan desa, menduduki posisi penting dalam struktur sosial desa. Beberapa orang bahkan kemudian menjadi tokoh masyarakat di desanya yang cukup terpandang dan berpengaruh, seperti ketua RW 05 Desa Padaawas. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang petani di Kabupaten Garut diketahui bahwa dalam jangka panjang, tidak semua petani mampu mempertahankan peningkatan status 110 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? sosialnya. Bapak X yang peneliti temui adalah petani penerima tanah redistribusi pertama kali di Garut dengan menerima pembagian tanah pada tahun 1965 seluas 2 Ha.Setelah mengolah tanah redis X mampu membeli tanah-tanah yang lain di desanya sehingga menjadikan X juragan tanah di desanya. Di desa Padaawas X dikenal dengan sebutan kapitalis, yaitu orang yang menguasai tanah pertanian yang sangat luas, dan sekaligus berfungsi menjadi pemberi bantuan pinjaman bagi petani lain yang kesulitan memperoleh modal awal untuk usaha taninya. X selanjutnya menjadi tokoh petani di desanya dan berkedudukan terpandang di desa. Namun seiring dengan berlalunya waktu, satu per satu tanahnya dijual kepada juragan lain Y yang pada waktu X muda masih petani penggarap. Kini tanah yang dimiliki X tinggal bersisa 2000 m2. Dalam rentang waktu 40 tahun kemudian, setelah umur X menua dan tenaganya tidak kuat lagi mengelola tanah dan tidak memiliki modal awal untuk mengusahakan tanahnya, X menyewakan tanahnya kepada Y atau yang lainnya seharga Rp 600.000 per tahun per 1000 m2. Dari kasus di atas menunjukkan adanya paradoks petani yang ditemukan di Garut. Petani pemilik berubah menjadi petani penggarap, sementara petani penggarap dengan kemampuan dan keuletan berusaha dengan jiwa intrepreneur berubah menjadi petani pemilik dan merupakan juragan baru di desa. Di Desa Padaawas, pemilik tanah tidak identik dengan penguasaan tanah. Pemilik tanah karena keterbatasan modal awal bertani dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya terpaksa menyewakan tanahnya kepada orang lain. Sehingga penyewa tanah bisa jadi berstatus lebih tinggi dibandingkan pemilik tanah. Selain meningkatkan status sosial petani di masyarakat, implementasi kebijakan pertanahan juga diharapkan mampu merubah taraf hidup petani ke arah lebih baik. Berdasarkan tabel di atas, hasil penelitian menunjukkan 97 responden setuju bahwa 111 bagian 4 Fakta Lapangan – implementasi kebijakan pertanahan akan mampu meningkatkan taraf hidup petani. Hasil kuesioner ini sejalan dengan pernyataan para petani berdasarkan hasil observasi dan wawancara. Taraf hidup sebagian besar petani penerima redistribusi tanah meningkat karena hasil produksi pertanian tidak harus dibagi lagi dengan petani pemilik lahan. Sebelumnya mereka mengadakan perjanjian bagi hasil dengan sistem bagi hasil yang disebut maro. Artinya, dari hasil panen, petani pemilik dan penggarap masing- masing memperoleh setengah. Dengan implementasi kebijakan redistribusi ini, yang semula petani penggarap menikmati hasil produksinya utuh sendirian. Peningkatan taraf hidup petani penerima redistribusi tanah ditandai dengan peningkatan kemampuan ekonomi petani, konsumsi rumah tangga petani dan meningkatnya kondisi rumah dari hasil observasi. Kemampuan ekonomi petani ditandai dengan meningkatnya daya beli petani guna memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Namun demikian, walaupun taraf hidup petani penerima redistribusi meningkat, namun peningkatan ini tidak terlalu signifikan. Peningkatan taraf hidup petani tidak sebanding dengan peningkatan harga dan biaya kebutuhan hidup. Sehingga pada akhirnya daya beli sebagian besar petani di Kabupaten Garut dan Kabupaten Subang tetap lebih rendah dibandingkan dengan profesi lain. Peningkatan taraf hidup juga ditandai dengan bertambahnya luas pemilikan tanah. Petani yang terkena program redistribusi tanah otomatis berubah menjadi petani pemilik dan atau meningkat luas kepemilikan tanahnya. Para petani yang terkena program redistribusi diberikan SK Pemberian Hak Tanah Negara. Mereka harus membeli tanah yang harganya murah melalui kredit jangka panjang. 112 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Dari tabel 4.8 dapat diketahui bahwa sebanyak 88 responden setuju bahwa dengan implementasi kebijakan landreform akan mengakibatkan perubahan penguasaan lahan oleh petani. 4 Letak Pengambilan Keputusan Menurut Grindle 1980 yang dimaksud dengan letak pengambilan keputusan adalah dimana dan siapa yang berhak dan berwenang mengambil keputusan untuk melaksanakan kebijakan. Keberagaman dan letak geografif menentukan keberhasilan sebuah program. Semakin homogen dan dekat letak geografis pengambilan keputusan ke lokasi dimana kebijakan itu diimple- mentasikan, maka semakin tinggi kemungkinan keberhasilan kebijakan itu. Demikian pula sebaliknya, semakin beragam atau jauh letak pengambilan keputusan, maka semakin lemah kemungkinan berhasilnya suatu kebijakan mencapai tujuannya. Implementasi kebijakan pertanahan berupa redistribusi tanah di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Subang melibatkan berbagai pihak dalam operasionalnya, meliputi: Pemerintah Pusat, dalam hal ini BPN Pusat; Pemerintah di tingkat Provinsi, yakni Pemerintah Provinsi dan Kanwil BPN Provinsi Jawa Barat; Pemerintah di tingkat Daerah, yakni Pemerintah Kabupaten dan Kantor Pertanahan setempat; Pemerintahan Kecamatan, dan Pemerintahan Desa. Pihak-pihak inilah yang dalam operasionalnya dapat memutuskan sesuatu dengan eskalasi yang berbeda-beda. Untuk mengetahui bagaimana tanggapan responden mengenai dimensi letak pengambilan keputusan pada variabel Implementasi Kebijakan Pertanahan dapat dilihat pada tabel tersaji sebagai berikut: 113 bagian 4 Fakta Lapangan – Tabel 4.23 Tanggapan Responden Terhadap Letak Pengambilan Keputusan Sumber: Hasil pengolahan data penelitian , 2008. Berdasarkan tabel di atas, diperoleh nilai persentase rata-rata tanggapan responden untuk dimensi letak pengambilan keputusan pada konten kebijakan pertanahan di Kabupaten Garut dan Kabupaten Subang sebesar 74,77, atau berada pada interval cukupsedang. Artinya bahwa letak pengambilan keputusan pada konten dari kebijakan pertanahan secara umum sudah berada pada kategori cukup baik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kejelasan masing-masing lembaga pelaksana dan hirarki pengambilan keputusan. Selain itu, adanya kejelasan wewenangotoritas lembaga pelaksana dan pengambilan keputusan setiap level lembaga serta kemampuan untuk mengambil keputusan di setiap level lembaga. 114 SKOR TOTAL SKOR 5 4 3 2 1 F F F F F F Kejelasan peran masing-masing lembaga pelaksana Kejelasan pengambilan keputusan Kejelasan wewenangotoritas lembaga pelaksana Wewenang pengambilan keputusan setiap level lembaga Kemampuan untuk mengambil keputusan di setiap level lembaga 4 4 11 8 5,13 5,13 14,10 0,00 10,53 58 52 33 56 53 74,36 66,67 42,31 71,79 69,74 13 16 28 19 17 16,67 20,51 35,90 24,36 22,37 3 6 6 3 3,85 7,69 7,69 3,85 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 78 78 78 78 78 100 100 100 100 103 135 1008 279 36 1458 Maksimum Total Skor Total Skor 1950 74,77 Frekuensi X Skor LETAK PENGAMBILAN KEPUTUSAN Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Kejelasan Peran Lembaga Pelaksana Di samping itu nampak bahwa lokasi pengambilan keputusan bagaimana implementasi kebijakan pertanahan ini akan dijalankan secara geografis merentang dari Pusat ke Daerah. Kondisi ini dapat menyulitkan proses pencapaian tujuan kebijakan. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dalam implementasi kebijakan pertanahan, pengambilan keputusan dilakukan ber- jenjang mengikuti level pemerintahan. Keputusan yang sifatnya strategis diambil oleh Pusat. Arahan dibuat oleh Provinsi dan operasional oleh KabupatenKota. Kecamatan dan Desa tidak berwenang mengambil keputusan. Sifatnya hanya mengusulkan. Implemenasi kebijakan pertanahan dimotori oleh Badan Pertanahan Nasional yang merupakan instansi vertikal sebagai pengejawantahan asas dekonsentrasi, sementara pendukungnya adalah Pemerintahan Daerah setempat sebagai pengejawantahan asas desentralisasi. Dengan berlakunya UU Nomor 32 Tahun 1999, maka urusan pertanahan telah dilimpahkan kewenangannya menjadi urusan daerah. Dalam prakteknya wewenang pengambilan keputusan mengenai implementasi kebijakan pertanahan, dalam hal ini redistribusi tanah. lebih banyak porsinya dilakukan oleh BPN daripada Pemda. Hasil observasi menunjukkan walaupun urusan pertanahan sudah menjadi urusan Pemda, namun Pemda belum siap menyambut gayung estafet urusan pertanahan. Kabupaten cenderung bersifat menunggu reaktif dan tidak proaktif menyelenggarakan urusan pertanahan. Disamping itu, Pemda belum siap dalam aspek penyediaan SDM dan daya dukung sarananya. Kemampuan mengambil keputusan para pelaksana cukup memadai dilihat dari latar belakang pendidikan para pejabat yang mengemban tugasnya . Hanya mereka ragu dan saling menunggu 115 bagian 4 Fakta Lapangan – untuk mengambil keputusan karena kewenangan yang dimilikinya berubah-ubah. Ketidak jelasan posisi dan kedudukan Kantor Pertanahan, penyerahan atau tidak urusan pertanahan ke Daerah menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terhambatnya implementasi kebijakan. Di BPN sendiri unit kerja yang menangani urusan redistribusi tanah ditangani oleh Seksi Landreform, yang kewenangannya semakin melemah. Namun mulai tahun 2006, mulai terlihat giat kembali setelah adanya Program Reforma Agraria sebagai penyempurnaan kebijakan landreform. 5 Pelaksana Program Sejak kebijakan landreform mulai diimplementasikan, institusi pelaksana kebijakan berubah-ubah nama kelembagaannya walaupun ada kesamaan dalam level pemerintahannya, yaitu di Pusat, Provinsi dan KabupatenKota. Pada mulanya para pelaksana kebijakan landreform adalah Panitia Pertimbangan Landreform untuk aspek teknis operasional dan Yayasan Dana Landreform sebagai pelaksana untuk aspek keuangan. Di samping itu ada Pengadilan Landreform yang mengawasi jalannya implementasi kebijakan. Selanjutnya pelaksana kebijakan berubah dengan dikeluar- kannya Kepres Nomor 55 Tahun 1980 dan Kepmendagri Nomor 38 Tahun 1981 yang mengatur unsur pelaksana landreform sebagai berikut : Tabel 4.24. Unsur Pelaksana Landreform............... 116 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Tabel 4.24 Unsur Pelaksana Landreform Menurut Kepmendagri No. 38 Tahun 1981 Dari tabel 4.24 terlihat bahwa dilihat dari aspek pelaksana, pemerintah serius menangani kebijakan pertanahan. Sebanyak 9 departemen yang dilibatkan. Sinergi diharapkan terbangun dari bidang departemen yang dilibatkan. Tabel di atas menunjukkan 117 bagian 4 Fakta Lapangan – PUSAT PROPINSI KABUPATENKOTA Ketua: Mendagri Wakil: Dirjen Agraria Anggota: 1. Seorang pejabat yang ditunjuk oleh Menhankam 2. Seorang pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup 3. Seorang pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian 4. Seorang pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan 5. Seorang pejabat yang ditunjuk oleh Menakertrans 6. Seorang pejabat yang ditunjuk oleh Menteri PU 7. Seorang pejabat yg ditunjuk oleh Menteri Perdagangan dan Koperasi 8. Seorang pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kehakiman 9. Seorang pejabat yang ditunjuk oleh Dewan Pimpinan Pusat HKTI Ketua: Gubernur Wakil: Kepala Direktorat Agraria Propinsi Anggota: 1. Seorang Pejabat Pamongpraja yang ditunjuk oleh Gubernur Kepda; 2. Seorang Pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah Kepolisian Propinsi 3. Seorang Pejabat yang ditunjuk oleh Kakanwil Pertanian Propinsi 4. Seorang Pejabat yang ditunjuk oleh Kakanwil nakertrans 5. Seorang Pejabat yang ditunjuk oleh Kakanwil PU Propinsi 6. Seorang Pejabat yang ditunjuk oleh Kakanwil Koperasi Propinsi 7. Seorang Pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Direktorat Bangdes Propinsi 8. Seorang Pejabat yang ditunjuk oleh Kepala DirSospol Propinsi 9. Seorang wakil yang ditunjuk oleh Depim- da HKTI Propinsi Ketua: Bupati Walikota Wakil: Kepala Direktorat Agraria Kabupa- ten Kota Anggota: 1. Seorang Pejabat Pamongpraja yang ditunjuk oleh BupatiWakot; 2. Seorang Pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Resort Kepolisian KabKota 3. Seorang Pejabat yang ditunjuk oleh Kadin Pertanian KabbKota 4. Seorang Pejabat yang ditunjuk oleh Kadin PU KabKota 5. Seorang Pejabat yang ditunjuk oleh Kakan Koperasi KabKota 6. Seorang Pejabat yang ditunjuk oleh Kakan Bangdes KabKota 7. Seorang Pejabat yang ditunjuk oleh Kakan Sospol KabKota 8. Seorang wakil yang ditunjuk oleh Depimcab HKTI KabKota 1. Unsur Sekretaris Direktur Direktorat Landreform pada Dirjen Agraria Kasubdit Landreform pada Direktorat Agraria Propinsi Kasie Landreform pada Kantor Agraria KabKota Sidang min 2 x setahun 4 x setahun 6 x setahun banyak pihak terlibat dalam implementasi kebijakan pertanahan ini. Tidak kurang dari 9 departemen terlibat. Untuk mengetahui bagaimana dimensi pelaksana progam pada variabel Implementasi Kebijakan Pertanahan di Jawa Barat. Berikut ini ditampilkan tanggapan responden atas kuesioner yang peneliti sampaikan, sebagai berikut: Tabel. 4.25 Tanggapan Responden terhadap Pelaksana Program Sumber: Hasil pengolahan data penelitian , 2008. Berdasarkan tabel di atas, diperoleh nilai persentase rata-rata tanggapan responden untuk dimensi pelaksana progam pada konten kebijakan pertanahan di Kabupaten Garut dan Kabupaten Subang sebesar 79,08. Jika nilai ini dirujuk pada tabel kritik berada pada interval baik. Artinya bahwa pelaksana progam dari kebijakan pertanahan secara umum sudah baik. Hal ini ditunjukkan keter- libatan pihak pemerintah pusat, pemerintah daerah, BPN, Kecamat- an serta pihak Desa dalam pelaksanaan implementasi kebijakan. 118 625 1236 243 48 7 2159 Maksimum Total Skor TOTAL SKOR 2730 79,08 Frekuensi X Skor SKOR TOTAL SKOR 5 4 3 2 1 F F F F F F Keterlibatan Pemerintah Pusat Keterlibatan Pemerintah Daerah Keterlibatan BPN Keterlibatan Kecamatan Keterlibatan Desa Keterlibatan Yayasan Landreform Keterlibatan Panitia Pertimbangan Landreform 17 19 27 13 29 12 8 21,79 24,36 34,62 16,67 37,18 15,38 10,26 42 49 51 61 42 25 39 53,85 62,82 65,38 78,21 53,85 32,05 50,00 19 10 3 25 24 24,36 12,82 0,00 0,00 3,85 32,05 30,77 4 4 12 4 0,00 0,00 0,00 5,13 5,13 15,38 5,13 4 3 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5,13 3,85 78 78 78 78 78 78 78 100 100 100 100 100 100 100 PELAKSANA PROGRAM Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Dari hasil wawancara diketahui bahwa keterlibatan masing- masing pihak dalam implementasi landereform ada, tapi tidak optimal. Keterlibatan tertuang dalam SK Pengangkatan, namun operasionalisasinya lemah. Keterlibatan masing-masing pihak tercermin dalam uraian tugas yang menjadi tanggung jawab masing-masing. Dapat terlihat pada tabel di bawah ini: Tabel 4.26 Tugas Pelaksana Landreform Menurut Kepres Nomor 55 Tahun 1980 119 bagian 4 Fakta Lapangan – MENDAGRI GUBERNUR KEPDA BUPATI WALIKOTA CAMAT DAN KADES Tugas URAIAN 120 MENDAGRI GUBERNUR KEPDA BUPATI WALIKOTA CAMAT DAN KADES URAIAN Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Dengan bergantinya pemerintahan, dari Orde Lama ke masa Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto terjadi perubahan organisasi dan tata kerja penyelenggaraan landreform, yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja Penyelenggaraan Landreform. Kepres ini mengatur beralihnya tugas kewenangan Panitia Landreform kepada Menteri Dalam Negeri serta para Gubernur Kepala Daerah, BupatiWlikotamadya Kepala Daerah, Camat dan Kepala Desa yang bersangkutan selaku Wakil Pemerintah Pusat di Daerah. Berdasarkan Kepres Nomor 55 Tahun 1980, pertanahan menjadi salah satu bagian dari agraria dan diatur oleh satu instansi, dalam hal ini bernaung di bawah kewenangan Depdagri. Dalam implementasi kebijakan, Gubernur Kepala Daerah dibantu langsung oleh Kepala Direktorat Agraria. Demikian halnya dengan bupati dibantu langsung oleh Kepala Kantor Agraria. Karena berada dalam satu garis komando, maka diharapkan koordinasi lebih mudah dan cepat dilakukan. Masing-masing pejabat mempunyai tugas sebagaimana dapat dilihat pada tabel 4.25. 6 Sumber Daya Grindle memasukkan dimensi resources committed dalam sub variabel konten kebijakan yang mempengaruhi kativitas implementasi. Namun tidak secara eksplisit menjelaskan apa yang dimaksudkannya sebagai sumber daya. Ahli lain yang memasukkan dimensi sumber daya sebagai faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan adalah Goggin 19, Edwards III 1980. Menurut Goggin, yang termasuk kedalam ruang lingkup sumber daya adalah kapasitas pegawai, sarana dan prasarana dan dana. Untuk mengetahui bagaimana tanggapan responden tentang sumber daya, berikut ini disajikan tabel sebagai berikut: 121 bagian 4 Fakta Lapangan – Tabel 4.27 Tanggapan Responden Terhadap Sumber Daya Sumber: Hasil pengolahan data penelitian , 2008. Berdasarkan tabel di atas, diperoleh nilai persentase rata-rata tanggapan responden untuk dimensi sumber daya pada konten kebijakan pertanahan di Kabupaten Garut dan Kabupaten Subang sebesar 63,19. Jika nilai ini dirujuk pada tabel kritik berada pada interval baik. Artinya bahwa sumber daya dari pelaksanaan kebijakan pertanahan secara umum cukup baik. Hal ini ditunjukkan dengan kapasitas pegawai dalam hal jumlah, pengetahuan serta keterampilan yang memadai dalam mendukung pelaksanaan program; kemudian adanya kesesuaian tujuan personel dengan tujuan kebijakan serta komitmen dari pelaksana untuk 122 245 936 1149 378 3 2711 Maksimum Total Skor TOTAL SKOR 4290 63,19 Frekuensi X Skor SKOR TOTAL SKOR 5 4 3 2 1 F F F F F F Kapasitas pegawai Kesesuaian tujuan personel dengan tujuan kebijakan Komitmen pelaksana Pemahaman tentang kebijakan Kerjasama antar pelaksana Sumber-sumber keuangan Kecukupan jumlah dana Efisiensi anggaran kualitas sarana dan prasarana Jumlah prasarana Jumlah sarana 7 4 4 12 11 8 3 8,97 0,00 5,13 5,13 15,38 0,00 14,10 10,26 0,00 3,85 0,00 26 28 22 10 19 26 25 32 25 9 12 33,33 35,90 28,21 12,82 24,36 33,33 32,05 41,03 32,05 11,54 15,38 33 35 32 36 45 52 3 24 36 37 16 42,31 44,87 41,03 46,15 57,69 66,67 47,44 30,77 46,15 47,44 20,51 12 15 17 28 2 5 14 17 29 50 15,38 19,23 21,79 35,90 2,56 0,00 6,41 17,95 21,79 37,18 64,10 3 0,00 0,00 3,85 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 78 78 78 78 78 78 78 78 78 78 78 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 SUMBER DAYA Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? mensukseskan pelaksanaan program. Selain itu, pelaksanaan implementasi kebijakan juga didukung oleh pemahaman terhadap kebijakan dan kerjasama yang cukup antara pelaksana serta skill personel yang memadai bagi keberhasilan implementasi kebijakan pertanahan. Dilihat dari segi pendanaan didukung oleh sumber- sumber keuangan yang tersedia, meski kurang memadai Hal lainnya jumlah dan kualitas sarana dan prasarana yang memadai dalam mendukung keberhasilan implementasi kebijakan pertanahan. Kapasitas Pegawai Kapasitas pegawai untuk melaksanakan tugas kewajibannya dicirikan dari latar belakang pendidikan dan pengalaman kerjanya berkecimpung dalam pekerjaannya. Berikut ini disajikan tabel kekuatan pegawai pada Kantor Pertanahan Kabupaten Garut dan Subang serta Kantor Wilayah BPN Propinsi Jabar dilihat dari latar belakang pendidikan pegawai. Tabel 4.28 Keadaan Pegawai Berdasarkan Pendidikan Sumber: Kanwil BPN Jabar, 2008. Dari tabel 4.28 terlihat bahwa secara kumulatif lebih dari separuh 53 jenjang pendidikan pegawai BPN di tingkat SMA. Sebanyak 29 pegawai ber pendidikan tingkat sarjana. Hanya sebagian besar pegawai yang berlatar belakang sarjana itu bekerja pada Kantor Kanwil BPN Provinsi. Sehingga jika dilihat dari latar belakang pendidikannya, maka kapasitas pegawai di kantor BPN 123 bagian 4 Fakta Lapangan – NO. NAMA INSTANSI LEMBAGA TINGKAT PENDIDIKAN SD SLTP SLTA D3 D4 S1 S2 S3 JUMLAH 1 2 3 4 5 6 7 8 1. 2. 3. Kanwil BPN Prov Jabar Kantah Garut Kantah Subang 5 1 7 3 2 78 43 38 15 1 9 4 7 56 13 10 5 1 3 175 65 61 kurang merata, dan tertumpu pada Kanwil Provinsi. Padahal pekerjaan pada Kantor Pertanahan Kabupaten memerlukan lebih banyak pegawai dengan tingkat pendidikan sarjana untuk mendukung implementasi kebijakan menjadi lebih efektif dilaksanakan. Di samping latar belakang pendidikan, indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kapabilitas pegawai adalah lama kerja. Masa kerja mengindikasikan pengalaman kerja yang lebih lama dalam menjalankan tugasnya. Semakin lama masa kerja, maka pegawai yang besangkutan semakin terampil dalam bekerja. Berikut disajikan tabel yang menunjukkan masa kerja pegawai. Tabel 4.29 Keadaan Pegawai Berdasarkan Masa Kerja Sumber: Kanwil BPN Jabar, 2008. Dari tabel di atas terlihat bahwa rata-rata masa kerja pegawai sudah melebihi 10 tahun. Hal ini mengindikasikan para pegawai telah berpengalaman dalam menjalankan kegiatan yang menjadi tugasnya, termasuk dalam mengimplementasikan kebijakan per- tanahan dalam bentuk redistribusi tanah di Kabupaten Garut dan Kabupaten Subang. Berikut disajikan tabel yang menunjukkan jenjang kepang- katan pegawai pada Kanwil BPN Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten Garut dan Kabupaten Subang. 124 20 4 4 34 2 4 60 36 21 48 23 25 9 7 4 175 65 61 NO. NAMA INSTANSI LEMBAGA MASA KERJA 0 - 5 6 - 10 11 - 15 16 - 20 21 - 25 26 - 30 JUMLAH 1 2 3 4 5 6 1. 2. 3. Kanwil BPN Prov Jabar Kantah Garut Kantah Subang Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Tabel 4.30 Keadaan Pegawai Berdasarkan Jenjang Kepangkatan Sumber: Kanwil BPN Jabar, 2008. Berdasarkan tabel di atas seiring dengan banyaknya pegawai yang telah lama bekerja, maka sebagian besar pegawai di Kanwil Provinsi Jabar, Kantor Pertanahan Kabupaten Garut dan Kabupaten Subang telah memiliki pangkat yang cukup unuk mampu melaksanakan tugasnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kapasitas pegawai BPN cukup untuk dapat menjalankan tugas dan fungsinya, termasuk mengimplementasikan kebijakan pertanahan berupa redistribusi tanah. Kesesuaian Tujuan Pegawai dengan Tujuan Kebijakan Dari tabel 4.27. dapat diketahui bahwa 36 pegawai menya- takan tujuannya bekerja sesuai dengan tujuan kebijakan. Sisanya menyatakan ragu-ragu dan kurang sesuai. Data ini dapat dintepretasi-kan bahwa motivasi bekerja implementor kurang untuk menjalankan kebijakan pertanahan. Hal ini dapat dimengerti karena tujuan kebijakan pertanahan terlihat abstrak dan jangka panjang. Tujuan mensejahterakan petani seakan-akan sebuah utopia yang sulit dicapai. Sementara tujuan kerja pegawai lebih bersifat pragmatis dan lebih berjangka pendek. Di samping itu berdasarkan observasi peneliti, tujuan pegawai pada Kantor Pertanahan lebih banyak terfokus pada urusan pendaftaran tanah. 125 bagian 4 Fakta Lapangan – NO. INSTANSI 0 - 5 6 - 10 11 - 15 16 - 20 21 - 25 26 - 30 JUMLAH 1 2 3 4 5 7 8 9 10 11 12 13 14 1. 2. 3. Kanwil BPN Provinsi Jabar Kantah Garut Kantah Subang I b I d II a II b I c II c II d III a III b III c III d IV a IV b IV c 6 1 1 2 1 7 1 1 4 1 1 19 6 2 19 4 2 31 23 16 38 15 25 20 6 7 25 7 6 3 1 4 1 1 175 65 61 JENJANG KEPANGKATAN Komitmen Pelaksana Komitmen pelaksana merupakan indikator yang dapat mengu- kur sikap pelaksana dalam menjalankan tugasnya. Semakin kuat komitmen dipegang, maka semakin dapat diharapkan tercapainya tujuan kebijakan. Dari hasil penelitian terhadap implementor kebijakan perta- nahan dapat diketahui bahwa seiring dengan kurangnya kesesuaian tujuan implementor dengan tujuan kebijakan, dari tabel 4.27. dapat diketahui bahwa komitmen implementor dalam menjalankan tugasnya menunjukkan kondisi yang sama. Hanya sebanyak 33 saja yang mem- perlihatkan komitmen kuat untuk melaksanakan kebijakan pertanahan ini. Lemahnya komitmen ini mengakibatkan implementasi kebijakan retribusi tanah kurang efektif dibandingkan dengan implementasi kebijakan lain. Kerjasama Antar Pelaksana Implementasi kebijakan pertanahan melibatkan berbagai pihak terkait agar dapat berjalan baik dan lancar. Pihak-pihak yang terkait meliputi berbagai level pemerintahan, dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan sampai tingkat desa. Di samping melibatkan berbagai level pemerintahan, implementasi kebijakan pertanahan melintasi urusan desentralisasi dan dekonsentrasi, sehingga pada praktiknya dapat mengakibatkan ewuh pakewuh atau bahkan munculnya ego sektoral dari para pelaksana. Karenanya, dukungan dan kerjasama yang baik diantara ber- bagai pihak yang terlibat sangat diperlukan, Jalinan kerjasama yang baik diperlukan untuk mendukung tercapainya tujuan kebijakan, terutama dalam hal mendeliver berbagai kebijakan ke level terbawah. Dari tabel 4.26 dapat diketahui bahwa 39 responden menya- takan bahwa implementor telah melakukan kerjasama yang baik dengan pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan kebijakan ini. Namun sebagian besar responden menyatakan cukup atau kurang melakukan kerjasama. 126 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Berdasarkan hasil observasi dan wawancara diketahui bahwa kerjasama antara pihak BPN dan Pemerintahan Daerah untuk men- jalankan kebijakan pertanahan agak tersendat. Tahun 2005 merupakan masa transisi penyerahan urusan pertanahan dari Pusat dan Daerah setelah diberlakukannya UU yang menyatakan bahwa mulai tahun 2004 urusan pertanahan menjadi kewenangan Daerah. Ego sektoral masih kental terasa. Pemda yang berdasarkan Undang-Undang telah diserahi kewajiban mengurusi pertanahan terlihat enggan bermitra sejajar dengan BPN. Sementara BPN merasa masih mempunyai kewajiban mengurusi pertanahan. Selama proses penelitian, peneliti turut serta menghadiri rapat- rapat reforma agraria yang diprakarsai Kantor Pertanahan Garut dan dihadiri oleh perwakilan SKPD terkait, seperti Dinas Pertanian dan Perkebunan, Dinas Kehutanan, Dinas Perdagangan dan Industri, dan BRI. Pada mulanya pertemuan berjalan lancar dan berhasil merumus- kan draft MoU antara BPN dan Pemda Garut untuk merancang dan menindaklanjuti kebijakan reforma agraria. Hanya setelah draft itu dibuat dan diserahkan ke Pemda untuk dieksekusi, hingga penelitian ber akhir belum ada tindak lanjutnya. Dari hasil wawancara diketahui bahwa pejabat daerah belum mengetahui kebijakan pertanahan yang ditetapkan pemerintah, dan belum siap melaksanakan urusan per- tanahan. Pemda Garut belum memiliki flatform hendak bagaimana urusan pertanahan ditangani. Berdasarkan uraian di atas dapat dimaklumi apabila implemen- tasi kebijakan pertanahan belum efektif. Persoalan kewenangan belum cair di level Pusat dan Daerah. Padahal para implementor merupakan motor penggerak utama dalam upaya mencapai tujuan kebijakan pertanahan. Sumber-sumber Keuangan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelak- sanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian mengatur bahwa untuk memperlancar pembiayaan landreform dan memper- 127 bagian 4 Fakta Lapangan – mudah pemberian fasilitas-fasilitas kredit kepada para petani, oleh Menteri Agraria dibentuk Yayasan Dana Landreform, yang berke- dudukan sebagai badan hukum yang otonom. Sumber-sumber keuangan berasal dari : 1. Pemerintah; 2. Pungutan 10 ongkos adminstrasi dari harga tanah yang harus dibayar oleh petani 3. Hasil sewa dan penjualan tanah-tanah dalam rangka pelaksanaan landreform 4. Lain-lain sumber yang sah. Uang dana landreform disimpan dalam bentuk Bank Koperasi Tani dan Nelayan dan bank lain yang ditunjuk oleh Menteri Agraria. Di tiap-tiap desa dibentuk Koperasi Pertanian. Mereka yang mendapat pembagian tanah diwajibkan menjadi anggota koperasi ini. Pemberian kredit kepada para petani oleh Bank Koperasi Tani dan Nelayan sejauh mungkin diselenggarakan melalui koperasi-koperasi ini. Sumber pembiayaan landreform untuk selanjutnya berubah dan diatur kembali dengan Kepmendagri Nomor 38 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Kepres Nomor 55 Tahun 1980 mengenai Perincian Tugas dan Tata Kerja Pelaksanaan Landreform. Semua pembiayaan yang diperlukan untuk pelaksanaan Landreform dan Panitia Pertimbangan Landreform kemudian dibebankan kepada: 1. Anggaran belanja dan Anggaran Pembangunan, Departemen Dalam Negeri c.q. Dirjen Agraria. 2. Yayasan Dana Landreform. Kecukupan jumlah dana Dana untuk membiayai sertifikasi program redistribusi tanah berasal dari APBN. Untuk satu bidang tanah pemerintah menganggar- kan dana sebesar Rp 250.000,00. Nilai ini lebih kecil dibandingkan harga pembuatan sertifikasi untuk program biasa atau Program Sertifikasi PRONA sebesar Rp 500.000 per bidang Total dana yang 128 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? dikucurkan Pemerintah tergantung dari jumlah bidang tanah yang menjadi target program setiap tahunnya di sebuah daerah. Besaran dana yang dikucurkan yang lebih rendah dari biaya program lainnya, menyebabkan responsivitas pegawai berkurang untuk menjalankan kegiatan ini dibandingkan program lainnya. Reforma agraria yang dicanangkan gratis untuk masyarakat tidak terjadi, karena dana yang dikucurkan dianggap kurang untuk biaya operasional. Sehingga di daerah penelitian, masyarakat yang mensertifikatkan SK Redistribusi tanah harus membayar kembali biaya administrasi pertanahan yang dipungut Pemerintahan Desa sebesar Rp. 200.000 - Rp. 350.000 per bidang. Sarana dan Prasarana Untuk mengimplementasikan kebijakan pertanahan, kantor pertanahan didukung oleh sejumlah sarana dan prasarana yang cukup. Berikut tercantum sarana yang dimiliki Kantor Pertanahan : Tabel 4.31 Jumlah dan Kualitas Prasarana dan Sarana Sumber: Kanwil BPN Jabar, 2008. Sarana dan prasarana untuk menjalankan tugas dan fungsinya cukup memadai. Apabila diperlukan, Kantor Pertanahan dapat memin- ta bantuan atau meminjam barang perlengkapan pada Kantor lain melalui Kantor Wilayah. 129 bagian 4 Fakta Lapangan – SARANA DAN PRASARANA SATUAN GARUT SUBANG JML UNIT KUALITAS JML UNIT KUALITAS Mini bus Sepeda motor Mesin tik Printer Theodolit Laptop Komputer Server Unit Unit Buah Buah Buah Buah Buah Buah 2 3 14 18 8 26 1 Baik Baik Baik Baik baik baik baik baik 4 14 10 18 12 2 31 2 Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Kekuasaan, Kepentingan, dan Strategi Aktor yang Terlibat Menurut Grindle 1980 konten kebijakan dan program merupakan faktor penting untuk menentukan inisiatif-inisiatif dampak outcome implementasi. Namun banyak kasus terjadi dimana konten program seringkali merupakan faktor kritis karena dampak riil atau dampak potensial pada situasi ekonomi, sosial, dan politik tertentu. Karenanya penting untuk memperhitungkan konteks atau lingkungan dimana tindakan adminintratif akan dijalankan. Untuk mengetahui bagaimana dimensi kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat pada variabel Implementasi Kebijakan Pertanahan di Kabupaten Garut dan Kabupaten Subang, berikut ini ditampilkan tanggapan 78 responden berdasarkan kuesioner yang peneliti sampaikan, sebagai berikut: Tabel 4.32 Tanggapan Responden Terhadap Kekuasaan, Kepentingan, dan Strategi Aktor yang Terlibat Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2008. Berdasarkan tabel di atas, diperoleh nilai persentase rata-rata tanggapan responden untuk dimensi kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat pada konteks implementasi kebijakan 130 295 356 336 98 3 1088 Maksimum Total Skor TOTAL SKOR 1560 69,74 Frekuensi X Skor S K O R TOTAL SKOR 5 4 3 2 1 F F F F F F Kemampuan untuk melaksanakan Political will pemerintah Dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan kebijakan Tekanan dari kelompok kepentingan interest group 23 19 7 10 29,49 24,36 8,97 12,82 21 20 28 20 26,92 25,64 35,90 25,64 20 28 26 38 25,64 35,90 33,33 48,72 14 11 17 7 17,95 14,10 21,79 8,97 3 0,00 0,00 0,00 3,85 78 78 78 78 100 100 100 100 KEKUASAAN, KEPENTINGAN DAN STRATEGI AKTOR YANG TERLIBAT Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? pertanahan di Kab. Garut dan Kab. Subang sebesar 69,74. Jika nilai ini dirujuk pada tabel kritik berada pada interval cukupsedang. Artinya bahwa kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat dari kebijakan pertanahan secara umum sudah baik. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk melaksanakan power capabilities dari pelaksana program yang memadai, kemudian adanya political will dari pemerintah serta dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan kebi- jakan. Selain itu tekanan dari kelompok kepentingan interest groups tidak menjadi hambatan yang berarti dalam pelaksanaan kebijakan. Political will Pelaksanaan program pembaruan agraria di berbagai negara ada yang dianggap berhasil dan ada yang dianggap gagal. Penilaian itu sendiri sangat tergantung dari ukuran-ukuran apa yang dipakai dalam mengevaluasi hasil pembaruan itu. Penilaian seorang ahli yang satu dapat berbeda penilaiannya dari ahli yang lain. Misalnya oleh sejumlah ahli pembaruan agraria di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, dianggap sebagai contoh keberhasilan. Atas dasar pengalaman sejarah berbagai negara yang pernah melaksanakan pembaruan agraria, para ahli sepakat bahwa agar suatu pembaruan agraria berpeluang untuk berhasil, diperlukan sejumlah prasyarat. Yang terpenting, antara lain adalah: “kemauan politik dari pemerintah harus ada; organisasi rakyat, khususnya organisasi tani yang kuat dan pro-reform harus ada; data mengenai keagrariaan yang lengkap dan teliti harus tersedia; elit penguasa harus terpisah dari elit bisnis; dan aparat birokrasi, bersih, jujur, dan “mengerti” Cf. Russel King, 1977. Setelah konten kebijakan diketahui, maka faktor yang harus diperhitungkan untuk mengukur keberhasilan implementasi kebijakan pertanahan adalah lingkungan Lingkungan sosial, ekonomi, politik dimana kebijakan itu diterapkan. Dalam hal ini adalah program retribusi tanah bagi petani penggarap di Kab. Garut dan Kab. Subang. 131 bagian 4 Fakta Lapangan – Para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan pertanahan bisa jadi meliputi : 1. Petani penggarap 2. Pemilik tanah 3. Birokrataparatur pemerintah : Pemda, Perhutani, BPN 4. Bank pemberi kredit 5. Himpunan Kerukunan Tani Indonesia 6. Kelompok tani 7. LSM 8. Rent seeker, makelar 9. Legislator Dari penelitian sejarah telah menunjukkan bahwa pembaruan agraria sesungguhnya harus dimotori oleh organisasi rakyat, khusus- nya organisasi kaum tani di pedesaan. Karena merekalah sesungguh- nya, dan kelompok-kelompok masyarakat miskin lainnya, yang sangat berkepentingan secara langsung dengan terjadinya pembaruan agraria dan ditegakkannya keadilan agraria. Hanya dengan organisasi rakyat yang kuat gerakan-gerakan pembaruan agraria yang didorong oleh kelompok-kelompok lain --seperti misalnya kalangan bisnis-- dapat ditangkal secara signifikan. Organisasi rakyat yang kuat dengan visi pembaruan agrarianya sendiri, yang akan menjadi counter forces kekuatan-kekuatan penentang bagi upaya-upaya penguasa men- capai tujuan-tujuan pembaruan yang mereka rancang. Hanya dengan organisasi rakyat yang kuat, bisa dibuat kekuatan kendali terhadap strategi-strategi dan agenda-agenda yang disiapkan pihak lain, baik karena sifat budiman dari rejim pemerintah yang baru maupun karena kepentingan-kepentingannya, terutama jika segala strategi-strategi atau agenda itu ternyata tetap tidak sejalan dengan visi pembaruan agraria yang mengusung keadilan agraria. Hal inilah yang dimaksud- kan dengan pembaruan agraria yang dijalankan berdasarkan inisiatif rakyat secara langsung atau yang secara konseptual disebut agrarian land reform by leverage Wiradi dalam Bachriadi dkk Ed, 1997. 132 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? Di Garut, prakarsa sertifikasi tanah SK Redistribusi berasal dari salah seorang warganya H. Atang. Tokoh ini memainkan peran penting dalam proses kegiatan program reforma agraria di Garut. Walaupun sebagian besar keterlibatan masyarakat dalam implemen- tasi kebijakan landreform masih terbatas sebagai target group. Seperti yang dialami oleh salah seorang responden Juju Barnas, Ketua Rt 04; Adin, ketua RW 03; Uun. Dia dilibatkan dalam proses musyawarah mewakili daerahnya agar aspirasi warga-warga di daerahnya yang lahannya belum disertifikasi mendapatkan akses untuk memperoleh sertifikasi. Karakteristik Kelembagaan dan Penguasa Untuk mengetahui bagaimana dimensi karakteristik kelem- bagaan dan penguasa pada variabel Implementasi Kebijakan Pertanahan di Kabuparen Subang dan Kabupaten Garut. Berikut ini ditampilkan tanggapan responden, berdasarkan kuesioner yang peneliti sampaikan, sebagai berikut: Tabel 4.33 Tanggapan Responden terhadap Karakteristik Kelembagaan dan Penguasa . Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2008. 133 bagian 4 Fakta Lapangan – 305 548 459 70 4 1386 Maksimum Total Skor Total Skor 1950 71,08 Frekuensi X Skor S K O R TOTAL SKOR 5 4 3 2 1 F F F F F F Karakterisitik Elit Politik Karakterisitik Penguasa Sistem Politik Sistem Pemerintahan Mekanisme Pembuatan 19 16 19 7 0,00 24,36 20,51 24,36 8,97 36 18 23 22 38 46,15 23,08 29,49 28,21 48,72 33 35 29 33 23 42,31 44,87 37,18 42,31 29,49 5 6 10 4 10 6,41 7,69 12,82 5,13 12,82 4 5,13 0,00 0,00 0,00 0,00 78 78 78 78 78 100 100 100 100 100 KARAKTERISTIK KELEMBAGAAN DAN PENGUASA Berdasarkan tabel di atas, diperoleh nilai persentase rata-rata tanggapan responden untuk dimensi karakteristik kelembagaan dan penguasa pada konteks implementasi kebijakan pertanahan di Kabupaten Garut dan Kabupaten Subang sebesar 71,08. Jika nilai ini dirujuk pada tabel kritik berada pada interval cukupsedang. Artinya bahwa karakteristik kelembagaan dan penguasa dari kebijakan pertanahan secara umum cukup mendukung. Tanggapan masyarakat tidak sesuai dengan hasil kuesioner di atas. Hal ini wajar karena aparat pelaksana menilai lembaganya sendiri. Mereka merasa lembaganya sudah cukup memadai untuk mengimple- mentasikan kebijakan pertanahan. Berikut ini dipaparkan situasi politik dan regim yang ber- pengaruh terhadap implementasi kebijakan pertanahan di Kabupaten Subang dan Kabupaten Garut. Periode Sebelum Lahirnya UUPA 1960 Pada masa kemerdekaan, tekad pemerintah untuk mem- benahi dan menyempurnakan pengelolaan pertanahan makin kuat. Menyadari bahwa landasan hukum pertanahan yang waktu itu ada merupakan produk hukum warisan pemerintah Belanda, pemerintah melalui Departemen Dalam Negeri mulai serius mempersiapkan landasan hukum pertanahan yang sesuai dengan UUD 1945. Mulanya pada tahun 1948, berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 16 Tahun 1948, pemerintah membentuk Panitia Agraria Yogyakarta. Tiga tahun kemudian, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1951, yang intinya membentuk Panitia Agraria Jakarta, sekaligus membubarkan Panitia Agraria Yogyakarta. Pembentukan kedua panitia agraria itu merupakan upaya memper- siapkan lahirnya unifikasi hukum pertanahan yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Selanjutnya lewat Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1955, pemerintah membentuk Kementerian Agraria yang berdiri sendiri dan 134 Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? terpisah dari Departemen Dalam Negeri. Menurut Kepres tersebut, tujuan dan tugas Kementerian Agraria, antara lain sebagai berikut : a. Mempersiapkan pembentukan perUndang-Undangan Agraria Nasional yang sesuai dengan ketentuan Pasal 16, 27 ayat 1 dan Pasa138 Undang-Undang Sementara Tahun 1960. b. Melaksanakan dan mengawasi perundangan agraria pada umumnya serta memberikan petunjuk tentang pelaksanaan pada khususnya. c. Menjalankan segala usaha untuk menyempurnakan kedudukan dan kepastian hak tanah bagi rakyat. Pada tahun 1956, berdasarkan Keputusan Presiden R.I. Nomor 1 Tahun 1956 dibentuklah Panitia Negara Urusan Agraria Yogyakarta yang sekaligus membubarkan Panitia Agraria Jakarta. Tugas Panitia Negara Urusan Agraria ini, antara lain, untuk mempersiapkan proses pembentukan Undang-Undang Agraria Nasional. Pada 1 Juni 1957, Panitia Negara Urusan Agraria selesai menyusun naskah draf rancangan UUPA. Pada saat yang sama berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 190 Tahun 1957, Jawatan Pendaftaran Tanah yang semula masuk dalam lingkungan Kementerian Kehakiman dialihkan dalam tugas Kementerian Agraria. Dengan begitu, tugas Kementerian Agraria bertambah lagi : 1. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan semua tanah dalam wilayah R.I. 2. Pembakuan hak-hak atas tanah serta pencatatan pemindahan hak-hak tersebut. Tahun 1958, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 97 Tahun 1958, Panitia Negara Urusan Agraria dibubarkan. Selanjutnya tanggal 24 April 1958 Rancangan UUPA diajukan kepada DPR. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1958 Lembaran Negara No. 171958 ditetapkan pengalihan tugas dan wewenang yang menyangkut agraria dari Menteri Dalam Negeri 135 bagian 4 Fakta Lapangan – kepada Menteri Agraria serta pejabat agraria di daerah. Melalui Undang-Undang tersebut lambat laun, terbentuk aparat agraria di tingkat Provinsi, Keresidenan, KabupatenKotamadya. Periode setelah lahirnya UUPA 1960.

1. Masa Tahun 1960-1965.