5. Pengaturan Staff
Mempertahankan angkatan kerja, merekrut, mewawancarai dan memilih pegawai baru, menempatkan dan memproklamasikan dan
mutasi pegawai.
6. Perwakilan
Mewakili atasan bila tidak bisa hadir, dan dapat memberikan keputusan asalkan sudah disetujui atasan.
2.2.1.2. Pengukuran Kinerja
Menurut Mulyadi 2001 : 434 terdapat tiga macam ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur secara kuantitatif yaitu:
a. Ukuran Kriteria Tunggal Single Criteria
Ukuran kinerja yang hanya menggunakan satu ukuran untuk menilai kinerja manajer sehingga orang akan cenderung memusatkan
perhatiannya pada kriteria tersebut padahal kriteria yang lain juga sangatlah penting.
b. Ukuran Kriteria Beragam Multiple Criteria
Ukuran kriteria yang menggunakan berbagai macam ukuran untuk menilai kinerja manajer. Berbagai aspek kinerja manajer dicari ukuran
kriteriannya sehingga seorang manajer diukur kinerjanya dengan beragam kriteria.
c. Ukuran Kriteria Gabungan Composite Criteria
Ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran, memperhitungkan bobot masing-masing ukuran, dan menghitung rata-rata
sebagai ukuran menyeluruh kinerja manajer.
2.2.1.3. Manfaat Penilaian Kinerja
Menurut Mulyadi 2001 : 416 manfaat penilaian kinerja adalah sebagai berikut:
1. Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui
pemotivasian personil-personil secara maksimal. 2.
Membantu pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penghargaan personil, seperti : promosi, transfer dan pemberhentian.
3. Mengidentifikasi kebutuhan latihan dan pengembangan personil serta
menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan personil. 4.
Menyediakan umpan balik bagi karyawan mengenai bagaimana atasan mereka menilai kenerja mereka.
5. Menyediakan suatu dasar bagi distribusi penghargaan.
2.2.1.4. Tujuan Penilaian Kinerja
Menurut Mulyadi 2001 : 416 tujuan utama penilaian kinerja adalah untuk memotivasi karyawan dalam mencapai sasaran organisasi dan dalam
mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya, agar membuahkan tindakan dan hasil yang diinginkan oleh organisasi standar
perilaku dapat berupa kebijakan manajemen atau rencana formal yang
dituangkan dalam rencana strategi, program dan anggaran organisasi. Perilaku kinerja digunakan untuk menekankan perilaku yang tidak
semestinya dan untuk menekankan perilaku yang semestinya diinginkan melalui umpan balik hasil kinerja pada waktunya, serta penghargaan baik
yang bersifat intrisik maupun ekstrinsik.
2.2.2. Kepuasan Kerja 2.2.2.1. Pengertian Kepuasan Kerja
Salah satu sasaran penting dalam rangkaian manajemen sumber daya manusia dalam situasi organisasi adalah terciptanya kepuasan kerja anggota
organisasi yang bersangkutan yang lebih lanjut dan akan meningkatkan prestasi kerja.
Kepuasan kerja tersebut diharapkan pencapaian tujuan organisasi akan lebih baik dan akurat, salah satu faktor yang memungkinkan tumbuhnya
kepuasan kerja adalah pengaturan yang tepat dan adil atas pemberian kompensasi kepada para karyawan.
Menurut Rivai 2004:475 kepuasan kerja merupakan evaluasi yang menggambarkan seseorang atas perasaan sikapnya senang atau tidak senang,
puas atau tidak puas dalam bekerja. Menurut Davis dan Newstrom 2003 : 105 memberikan definisi
kepuasan kerja sebagai berikut: “Kepuasan kerja merupakan seperangkat perasaan pegawai tentang menyenangkan atau tidaknya pekerjaan mereka”.
Martoyo Susilo 2000:142 memberikan definisi kepuasan kerja sebagai berikut: “Suatu keadaan emosional karyawan dimana satupun tidak
terjadi titik temu antara nilai balas jasa kerja karyawan baru perusahaan atau organisasi dengan tingkat nilai balas jasa yang memang diinginkan oleh
karyawan yang bersangkutan”. Definisi-definisi
tersebut meskipun berbeda namun, pada hakekatnya
mempunyai ciri-ciri yang sama serta mengandung arti bahwa kepuasan kerja itu merupakan suatu perasaan yang menyokong atau tidak menyokong dari
pegawai yang berhubungan dengan pekerjaan maupun dengan kondisi dirinya, apabila pegawai tergantung dalam suatu organisasi ia membawa
serta seperangkat keinginan, kebutuhan, hasrat dan pengalaman masa lalu yang menyatu membentuk harapan seseorang yang timbul dan imbalan yang
disediakan oleh pekerjaan. Jadi kepuasan kerja berkaitan dengan motivasi, kepuasan kerja memiliki banyak dimensi, Ia dapat mewaliki sikap secara
menyeluruh atau mengacu pada bagian-bagian seseorang. Kepuasan bisa diperoleh dalam lingkungan kerja yaitu rasa bangga,
puas dan keberhasilan melaksanakan tugas dan pekerjaan sampai tuntas, prestasi atau hasil kerja memberikan seseorang status social dan pengakuan
dari lingkungan masyarakat. Beberapa pendapat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa:
a. Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan hal yang bersifat individual.
Setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai
dengan system nilai yang berlaku pada dirinya, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan pada masing-masing individu.
b. Seseorang manajer harus bisa membagikan rangsangan agar karyawan
menyukai pekerjaanya dan bisa menambahkan kepuasan pada karyawan. Sebab kemajuan itu sendiri bukan disebabkan oleh sifat dari pekerjaan
akan tetap lebih banyak disebabkan oleh situasi lingkungan dan kontes sosial.
2.2.2.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja. Faktor-faktor itu sendiri dalam peranannya memberikan kepuasan kepada karyawan
tergantung pada pribadi masing-masing karyawan. Menurut Mangkunegara 2005:120 faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu:
a. Fungsi Pegawai
Faktor-faktor pegawai yang mempengaruhi yaitu kecerdasan IQ, kecepatan khusus, umur, jenis kelamin, kondisi fisik, pendidikan,
pengalaman kerja, masa kerja, kepribadian, emosi, cara berfikir persepsi dan sikap kerja.
b. Fungsi Pekerjaan
Faktor-fakor itu jenis pekerjaan, struktur organisasi,pangkat Golongan, kedudukan, mutu pengawasan, jaminan financial, kesempatan promosi
jabatan, interaksi sosial dan hubungan kerja.
Akibat yang mungkin timbul dari perasaan tidak puas terhadap pekerjaan Mangkunegara 2005:118 adalah:
a. Penggantian karyawan
Seorang karyawan yang merasa puas akan pekerjaannya akan bertahan lebih lama dalam perusahaan sedangkan karyawan yang merasa tidak
puas akan meninggalkan perusahaan tempat bekerjanya untuk mencari perusahaan lain. Tinggi rendahnya tingkat pergantian karyawan dapat
digunakan sebagai indikator tentang kepuasan kerja disuatu perusahaan. b.
Absensi Karyawan tidak masuk kerja mempunyai berbagai macam alasan
misalnya sakit, izin, cuti dan sebagainya karyawan merasa tidak puas akan lebih memanfaatkan kesempatan tidak masuk kerja. Banyak
sedikitnya karyawan yang tidak masuk kerja memberikan gambaran tentang kepuasan kerja dari karyawan tersebut dan akan meneliti sebab-
sebab tidak masuknya karyawan dapat dengan menggunakan pengamatan secara langsung maupun tidk langsung kemudian menentukan langkah
selanjutnya. c.
Meningkatkan kerusakan Karyawan menunjukkan keengganan untuk melakukan pekerjaan karena
dihadapkan pada sutu ketimpangan antara harapan dan kenyataan maka ketelitian kerja dan rasa tanggung jawab terhadap hasil kerjanya
cenderung menurun, salah satu akibatnya sering terjadi kesalahan-
kesalahan dalam melakukan pekerjaan, akibat lebih lanjut yaitu timbulnya kerusakan yang melebihi batas normal.
2.2.2.3. Pengukuran Kepuasan Kerja
Mengukur kepuasan kerja dapat digunakan skala indeks deskripsi jabatan. Skala kepuasan kerja berdasarkan ekspresi wajah dan kuesioner
kepuasan kerja Minnesota, menurut Mangkunegara 2005:126 meliputi: 1.
Pengukuran kepuasan kerja dengan skala indeks deskripsi wajah, dalam penggunaan, pegawai ditanyai mengenai pekerjaan maupun jabatannya
yang dirasakan sangat baik dan sangat buruk dalam skala mengukur sikap diri lima area yaitu kerja, pengawasan, upah, promosi dan co worker.
Setiap pertanyaan yang diajukan harus dijawab oleh pegawai dengan cara memadai jawaban iya atau tidak ada jawaban.
2. Pengukuran kepuasan kerja dengan berdasarkan ekspresi wajah, skala ini
dari segi gambar wajah-wajah orang mulai dari sangat gembira, gembira, netral, cemburu dan sangat cemburu. Pegawai diminta untuk memiliki
ekspresi wajah yang sesuai dengan kondisi pekerjaan yang dirasakan pada saat ini.
3. Pengukuran kepuasan kerja dengan kuesioner Minnesota. Skala ini terdiri
dari pekerjaan yang dirasakan sangat tidak puas, tidak puas, netral, memuaskan dan sangat memuaskan. Pegawai diminta memilih satu
alternative jawaban sesuai dengan kondisi pekerjaanya.
2.2.2.4 Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Manajerial
Adapun teori dan pendekatan yang mendukung pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja manajerial adalah sebagai berikut :
1. Teori Keseimbangan Equity Theory
Teori ini
dikembangkan oleh Adam, dalam Mangkunegara
2005:120, adapun komponen dari teori ini terdiri dari input, income, comparasion person dan equity-in-equity. Wexley dan Yukl dalam
Mangkunegara 2005: 120 mengemukakan bahwa “Input is anything of value that an employee perceives that he contributes to his job”.
Input adalah semua nilai yang diterima pegawai yang dapat menunjang pelaksanaan kerja. Misalnya, pendidikan, pengalaman, pengalaman,
skill, peralatan pribadi, jumlah jam kerja. Outcome adalah semua nilai yang diperoleh dan dirasakan
pegawai. Misalnya upah, keuntungan tambahan, status simbol, pengenalan kembali, kesempatan untuk berprestasimengekpresikan
diri. Comparison person adalah seorang pegawai dalam organisasi yang sama, seseorang pegawai dalam organisasi yang berbeda atau
dirinya sendiri dalam pekerjaan sebelumnya. Menurut teori ini puas atau tidak puasnya pegawai merupakan hasil dari membandingkan
antara input-outcome dirinya dengan perbandingan input-outcome pegawai lain. Jadi jika perbandingan tersebut dirasakan seimbang
maka pegawai akan merasa puas, tetapi bila terjadi tidak seimbang tidak menyebabkan dua kemungkinan yaitu over compensation
inequity ketidak seimbangan yang menguntungkan dirinya dan sebaliknya Under compensation equity ketidak seimbangan yang
menguntungkan pegawai lain yang menjadi pembanding atau comparison person.
2. Teori Pemenuhan Kebutuhan Need Fulfillment Theory
Teori kepuasan kerja pegawai bergantung pada terpenuhinya atau tidaknya pemenuhan pegawai. Pegawai akan merasa puas apabila
ia mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Makin besar kebutuhan pegawai terpenuhi, makin puas pula pegawai tersebut. Begitu pula
sebaliknya apabila kebutuhan pegawai tidak terpenuhi, pegawai akan tidak puas Mankunegara, 2005:120.
3. Teori Perbedaan Discrepancy Theory
Teori ini pertama kali dipelopori oleh Proter dalam Mangkunegara 2005:120. Ia berpendapat bahwa mengubur kepuasan
dapat dilakukan dengan cara menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dapat dirasakan pegawai. Locke
dalam Mangkunegara 2005:120 mengemukakan bahwa kepuasan kerja pegawai bergantung pada perbedaan antara apa yang didapat dan
apa yang diharapkan oleh pegawai lebih besar
daripada apa yang diharapkan maka pegawai tersebut menjadi puas sebaliknya
bila yang didapat lebih rendah dari yang diharapkan maka pegawai tersebut menjadi tidak puas.
Dalam organisasi perlu adanya peningkatan produktivitas, menurut Vroom dan Strauss dalam Maryani dan Supomo 2001, produktivitas dapat
ditingkatkan melalui peningkatan kepuasan kerja karena kepuasan kerja memberikan semangat kepada pekerja untuk meningkatkan
produktivitasnya. Pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja secara teoritis berdasarkan pada teori motivasi kerja The Motivation to Work Theory yang
dikembangkan oleh Herzberg et al 1959. Kepuasan kerja terhadap pekerjaan, atasan-bawahan, kompensasi dan kesempatan untuk berkembang
menjadi motivasi yang bersangkutan untuk meningkatkan kinerjanya dikutip oleh Maryani dan Supomo 2001
Kepuasan kerja dan kinerja manajerial adalah dua hal yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam melakukan pengkajian terhadap
proses pengembangan sumber daya manusia pada suatu organisasi. Menurut Martoyo Susilo 2000:142 bahwa kepuasan kerja yang
tinggi meningkatkan kinerja, begitu pula dengan kinerja yang tinggi dengan penghargaan atau imbalan yang dirasakan adil dan memadai akan dapat
meningkatkan kepuasan kerja. Timbulnya kepuasan kerja disebabkan persepsi seorang pekerja
mengenai sejauh mana pekerjaannya dapat memberikan sesuatu yang penting bagi dirinya. Hal itu tentu saja berkaitan erat dengan peningkatan
kinerja seorang pekerja dalam aktivitas manajerialnya. Maka kepuasan kerja dapat meningkatkan kinerja manajerial dan kinerja manajerial yang baik
dapat pula meningkatkan kepuasan kerja. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja yang
dikembangkan oleh Ostroff dalam Maryani dan Supomo 2001 mempunyai hubungan signifikan dengan peningkatan kinerja manajerial.
2.2.3. Konflik Peran
2.2.3.1. Pengertian Konflik Peran
Konflik peran merupakan suatu gejala psikologis yang dialami oleh anggota organisasi yang bisa menimbulkan rasa tidak nyaman dalam bekerja
dan secara potensial bias menurunkan motivasi kerja Puspa dan Riyanto, 1999.
Menurut Gibson, dkk 1996 : 424 konflik peran merupakan konflik yang muncul ketika seseorang di organisasi mendapatkan peran yang tidak
sesuai dengan perilaku peran yang tepat. Karena berbagai peran dan set peran, seseorang mungkin menghadapi situasi kompleks dari persyaratan
peran yang dating secara simultan dimana kinerja satu peran akan merintangi kinerja lainnya.
Menurut Wexley dan Yuki dalam Puspa dan Riyanto 1999 peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan dari seseorang yang menduduki
posisi tertentu dalam organisasi atau kelompok, harapan-harapan peran yang tidak konsisten menciptakan konflik peran bagi seseorang.
Menurut Wolfe dan Snoke dalam Cahyono dan Ghozali 2002:346 konflik
peran timbul
karena adanya
dua perintah
yang berbeda yang diterima secara bersamaan dan pelaksanan salah satu perintah
saja akan mengakibatkan terabaikannya perintah yang lain. Persepsi atau harapan yang berbeda tentang peran seseorang, orang itu
cenderung mengalami konflik peran Role Conflict, karena sukar memenuhi suatu harapan tanpa menolak harapan lain. Konflik peran merupakan hal
paling sulit bagi para pegawai yang memiliki banyak hubungan kerja di luar organisasi, yaitu yang memiliki peran sebagai penghubung boundary roles.
Mereka merasa bahwa peran ekstern mereka menempatkan tuntutan yang berbeda pada pekerjaan mereka dari pada peran intern mereka, jadi timbul
konflik peran Davis dan Newstrom, 2003 : 52. Peran adalah salah satu bentuk dysfunctional behavior yang tidak
diinginkan karena sifatnya yang cenderung kontra produktif ini dapat menghambat upaya pencapaian tujuan strategis perusahaan secara efektif dan
efisien.
2.2.3.2. Jenis-jenis Konflik
Menurut Handoko 2003:349 ada lima jenis konflik dalam kehidupan oganisasi yaitu:
1. Konflik dalam diri individu
Konflik ini terjadi bila seorang individu menghadapi ketidak pastian tentang pekerjaan yang dia harapkan untuk melaksanakannya, bila
berbagai permintaan pekerjaan saling bertentangan, atau bila individu diharapkan untuk melakukan lebih dari kemampuannya.
2. Konflik antar individu
Konflik ini sering terjadi diakibatkan oleh perbedaan-perbedaan kepribadian. Konflik ini juga berasal dari adanya konflik antar peranan
seperti antara manajer dan bawahan. 3.
Konflik antar individu dan kelompok Konflik ini berhubungan dengan cara individu menanggapi tekanan
untuk keseragaman yang dipaksakan oleh kelompok kerja mereka. Misalnya seorang individu yang dihukum atau diasingkan oleh
kelompok kerjanya melanggar norma-norma kelompok. 4.
Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama Konflik ini terjadi karena adanya pertentangan kepentingan antar
kelompok. 5.
Konflik antar organisasi Konflik ini timbulnya sebagai akibat bentuk persaingan ekonomi dalam
system perekonomian suatu Negara.
2.2.3.3. Sebab-sebab Timbulnya Konflik
Menurut Gibson, dkk 1996:440, terjadinya konflik adalah: 1.
Saling ketergantungan kerja. Saling ketergantungan kerja terjadi bila dua atau lebih kelompok
organisasi tergantung satu dengan yang lainnya untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka.
2. Perbedaan tujuan.
Perbedaan tujuan ini dapat mengarah kepada perbedaan harapan diantara anggota tiap unit. Karena perbedaan tujuan, konflik dapat terjadi ketika
kelompok-kelompok berinteraksi. 3.
Perbedaan persepsi. Perbedaan tujuan dapat disertai oleh perbedaan persepsi mengenai
realitas, ketika ketidaksetujuan atas apa yang sebenarnya dari realitas yang dapat menyebabkan konflik.
4. Meningkatkan permintaan untuk spesialis.
Meningkatkan kecanggihan, spesialisasi, dan kerumitan di banyak organisasi membuat konflik manajemen lini-staf menjadi perhatian utama
dalam mengelola perilaku organisasi.
2.2.3.4. Strategi Penanggulangan Konflik
Ada beberapa strategi penangulangan konflik menurut Gibson, dkk 1996:442 antara lain:
1. Pemecahan persoalan
Strategi ini mengasumsikan bahwa semua pihak mempunyai keinginan menanggulangi konflik yang terjadi dan karenanya perlu dicarikan
ukuran-ukuran yang dapat memuaskan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.
2. Perundingan atau musyawarah
Strategi ini terlebih dahulu ditentukan secara jelas apa sebenarnya yang menjadi persoalan, kemudian kedua belah pihak mengadakan
pembahasan untuk mendapatkan titik pertemuan. 3.
Mencari lawan yang sama Pada strategi ini semua diajak untuk lebih bersatu, karena harus
menghadapi pihak ketiga sebagai pihak yang dianggap merupakan lawan dari kedua belah pihak yang bertikai.
4. Meminta bantuan pihak ketiga
Bila terjadi konflik antar kelompok dalam organisasi, maka untuk menyelesaikannya dibutuhkan keterlibatan dari pimpinan organisasi.
5. Mensubkordinasikan kepentingan dan tujuan pihak-pihak yang sedang
konflik kepada kepentingan dan tujuan yang lebih tinggi. Usaha penangulangan konflik dilakukan dengan menemukan kepentingan dan
tujuan yang tinggi dari kepentingan dan tujuan pihak-pihak yang sedang bertikai.
6. Peningkatan interaksi dan komunikasi
Bila pihak-pihak yang berkonflik dapat meningkatkan interaksi dan komunikasi mereka, pada suatu saat mereka akan dapat lebih mengerti
dan menghargai dasar pemikiran dan perilaku pihak lain. 7.
Latihan kepekaan Strategi ini memberikan kesempatan mengungkapkan kandungan
perasaan, dengan harapan dapat menciptakan keadaan untuk lebih saling mengerti dan dapat lebih memperbaiki hubungan kerja kedua belah pihak.
8. Koordinasi
Dalam strategi ini melalui koordinasi seseorang diharapkan berperan sebagai coordinator dan yang lainnnya sebagai yang dikoordinasikan
untuk mengatasi konflik yang terjadi.
2.2.3.5. Pengaruh Konflik Peran Terhadap Kinerja Manajerial
Adapun teori dan pendekatan yang mendukung pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja manajerial adalah sebagai berikut :
Teori Peran
Teori peran menyatakan bahwa individu akan mengalami konflik peran apabila ada dua tekanan atau lebih yang terjadi secara bersamaan yang
ditujukan pada seseorang, sehingga apabila individu tersebut mematuhi satu diantaranya akan mengalami kesulitan atau mungkin tidak mematuhi yang
lainnya menurut Gregson dalam Djalil 2005.
Fogarty et al. dalam Puspa dan Riyanto 1999 menyatakan bahwa tekanan peran konflik peran, ketidakjelasan peran dan kelebihan peran
memiliki hubungan dengan kinerja manajerial. Jackson dan Schuler dalam Puspa dan Riyanto 1999 mengemukakan
bahwa konflik peran mempunyai dampak yang negatif terhadap perilaku karyawan, seperti timbulnya ketegangan kerja, peningkatan perputaran
kerja, penurunan kepuasan kerja dan penurunan kinerja keseluruhan. Konflik peran dan ketidakjelasan peran memiliki hubungan dengan sejumlah
dysfunctional job outcomes. Konflik peran memiliki hubungan negatif dengan kepuasan kerja dan memiliki hubungan positif dengan tekanan kerja.
Ketidakjelasan peran memiliki hubungan dengan kepuasan kerja dan kinerja. Viator 2001 menyatakan bahwa konflik peran, ketidakjelasan peran dan
persepsi ketidakpastian lingkungan memiliki hubungan negatif dengan kinerja.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konflik peran di perusahaan berpengaruh terhadap kinerja manajerial, jika konflik peran di
perusahaan sedikit maka dapat menyokong kinerja manajerial di suatu perusahaan begitu juga sebaliknya.
2.3. Kerangka Pikir