Menurut UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

Wanita selama 2 tahun atau lebih misalnya atau bisa juga karena selama minimal 2 tahun si istri memang tidak ada kabar beritanya. Persetujuan secara lisan ini nantinya sang istri akan dipanggil oleh pengadilan dan akan didengarkan oleh Majelis Hakim. Tidak hanya istri, tetapi suami juga akan diperlakukan hal yang sama. Kemudian pemanggilan pihak-pihak ini dilakukan menurut tata cara yang diatur dalam hukum acara perdata biasa yang diatur dalam pasal 390 HIR dan pasal-pasal yang berkaitan. 44 Nasaruddin Umar berkomentar mengenai UU perkawinan yang menyangkut poligami yakni, bahwa praktek poligini dalam undang–undang perkawinan diatur secara ketat, namun praktiknya sulit ditegakan karena semata-mata mengandalkan kesadaran dan kejujuran masyarakat. Memang ada PP No 10 tahun 1983 dan PP No 45 tahun 1991, yang mengatur praktik poligini bagi Pegawai Negeri Sipil, TNI dam Polri, serta pegawai BUMN, tetapi sangsi bagi para pelaku poligini diluar ketentuan belum memadai. Oleh karena itu praktisi hukum menilai masih perlu perangkat hukum lain untuk memberikan kekuatan dalam menerapkan UU tersebut. 45

B. Menurut UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

44 H.A. Mukti Arto, Praktek-praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, , Pustaka Pelajar, 2003, h. 2 45 Nasaruddin Umar, Telaah – Poligini, Antara News, 050107, pukul 19:18 Peradilan agama dengan nama yang sangat beraneka ragam telah ada dan tumbuh bersamaan dengan berkembangnya kekuasaan Islam di Indonesia. Tumbuh dan berkembangnya disebabkan karena kebutuhan kesadaran hukum sesuai dengan keyakinan masyarakat Islam pada masa itu. Pada masa penjajahan Belanda keberadaanya telah diakui Belanda, kemudian di lembagakan secara resmi oleh pemerintah Hindia Belanda dengan staats.blad 1882 No. 152. Setelah Indonesia merdeka pemerintah menyerahkan pembinaan Peradilan Agama kepada Departemen Agama akan tetapi pada saat ini berdasarkan Keputusan Presiden No. 21 tahun 2004 tanggal 23 Maret 2004 berada dibawah mahkamah agung. Kemudian pada tahun 1970 aturan tentang Pengadilan Agama benar-benar diperkuat melalui UU No. 14 tahun 1970 yang saat ini telah diubah dengan UU No. 4 tahun 2004 selanjutnya pada 1974 lahir UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Pasal 63 ayat 1 dari undang undang ini ternyata memberikan kewenangan lebih besar kepada Pengadilan Agama untuk menyelesaikan kasus-kasus perkawinan, namun sayang pada periode ini masih terdapat kekurangan, yaitu masih ada pemerintah untuk pengukuhan putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri sekalipun itu hanya bersifat adfministratif. Berdasarkan diundangkan dan diberlakukannya UU RI No. 3 tahun 2006 tentang perubhan atas UU no. 7 tahun 1989, maka posisi Peradilan Agama semakin mantap dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Jika dilihat dari sisi personalitas, wewenang absolutnya dan hukum acara yang diatur secara khusus dalam UU ini menunjukan batasannya sebagai peradilan khusus dalam penyelenggaraan kekuasan kehakiman di Indonesia. 46 Undang-undang No. 3 tahun 2006 lebih banyak membahas tentang independensi badan peradilan yang khusus menaungi masalah keagamaan. Kewenangannya sejajar dengan pengadilan dari lingkungan pengadilan lain 47 . Dalam hal ini adalah perkara-perkara perdata agama Islam yang sepenuhnya diselesaikan di peradilan tersebut. Mengenai perkara perdata non-Islam diserahkan ke dalam wilayah peradilan umum. Didalamnya memuat kekuasaan pengadilan. yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara tingkat pertama antara orang-orang Islam. Bidangnya adalah: a. Perkawinan: b. Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. Wakaf, infaq, zakat, shadaqah dan ekonomi syariah 48 Perkawinan yang dimaksud dalam uu no. 3 tahun 2006 adalah salah satunya membahas tentang poligami. Hal ini dijelaskan dalam penjelasan UU no. 3 tahun 2006 itu sendiri. Secara eksplisit tidak ada aturan yang membahas poligami dalam cakupan yang utuh agar bisa digunakan untuk menjadi pertimbangan keputusan, namun hal tersebut tercover dalam undang-undang lain yakni uu no. 1 tahun 1974 tentang 46 Hotnidah Nasution, Peradilan Agama Sebagai Peradilan Khusus, Ahkam jurnal syari’ah dan pranata sosial Vol .8, ISSN 1412-4734, Fak. Syari’ah UIN Jakarta, H. 77-78 47 H. Munawir Sjadzali, Sambutan Pemerintah Atas Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Terhadap RUU Tentang Pengadilan Agama , 14 Desember 1989, Paragraf IV 48 Presiden Republik Indonesia, Undang-undang no. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU no. 7 tahun 1989 mengenai peradilan agama, bab III pasal 49 ayat 1 masalah perkawinan. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 49 ayat 2 UU no. 7 tahun 1989 yaitu: “Bidang perkawinan yang dimaksud ialah hal-hal yang diatur atau berdasarkan undang undang mengenai perkawinan yang berlaku” Dapat disimpulkan bahwa undang-undang No. 3 tahun 2006 adalah peraturan mengenai kewenangan atau kekuasaan badan peradilan agama sebagai payung hukum undang-undang yang bernafaskan Islam. Peraturan poligami yang akan dijalani dengan melihat UU no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Kemudian juga hukum acara Pengadilan Agama, yang berlaku sama seperti pengadilan pada umumnya kecuali yang telah diatur khusus dalam undang-undang ini. 49

C. Menurut Kompilasi Hukum Islam KHI