Mandul Sebagai Alasan Izin Poligami (Analisa putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 0023/Pdt.G/2014/PA.JS)

(1)

MANDUL SEBAGAI ALASAN IZIN POLIGAMI (Analisa putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor

0023/Pdt.G/2014/PA.JS) Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

ROBIA’TUL ADAWIYAH NIM : 1111044100071

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

( A H W A L S Y A K H S I Y Y A H )

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1437 H/2015 M


(2)

(3)

(4)

(5)

v

ABSTRAK

Robi’atul Adawiyah. NIM 1111044100071. Mandul Sebagai Alasan Izin Poligami (Analisa Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 0023/Pdt.G/2014). Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H / 2015 M.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui yang dimaksud mandul sebagai alasan suami boleh berpoligami adalah mandul sejak awal perkawinan ataukah juga dipertengahan perkawinan istri tidak bisa memiliki keturunan lagi dan dinyatakan mandul, alasan Hakim memberikan izin poligami dalam perkara nomor 0023/Pdt.G/2014/PA.JS, dan mengetahui putusan ini sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui pendekatan Yuridis Normatif, dengan jenis penelitian kualitatif dan penelitian kepustakaan. Dengan sumber data yang diambil dari data primer berupa putusan, dan wawancara hakim dan data sekunder diperoleh dengan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara menganalisa isi putusan dan hasil wawancara yang ditranskip ke dalam tulisan.

Hasil penelitian, mandul yang menjadi alasan suami boleh berpoligami yaitu sejak awal perkawinan, namun pada kenyataan hakim memberikan izin poligami kepada suami setelah istri melahirkan keturunan. Hal ini sesuai dengan alasan hakim memberikan izin poligami pada perkara nomor 0023/Pdt.G/2014/PA.JS dengan alasan istri trauma untuk melahirkan setelah dinyatakan mengidap penyakit kista dan miom. Putusan ini sudah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Kata Kunci : Poligami, Mandul, Analisis Kualitatif Pembimbing : Dr . Ali Wafa, S.Ag., M.Ag.


(6)

vi

salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW, bagi keluarga, para sahabat, dan seluruh umatnya yang taat akan ajarannya hingga akhir zaman.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada orang tua yaitu Ayahanda (Alm) Mohammad Ali Saida dan Ibunda Noinih yang selalu memberikan dorongan, bimbingan kasih sayang, dan doa tanpa lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka. Allahummagfirlii Waliwaalidayya Warhamhuma Kama Rabbayani shagiira.

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis temukan, namun syukur alhamdulillah berkat rahmat dan ridha-Nya, kesungguhan serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhir skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepada :

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., dan Arip Purkon, M.A., Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

vii

3. Dr. Moh. Ali Wafa, S.Ag., M.Ag., Dosen Pembimbing Skripsi yang telah berkorban meluangkan waktu dan perhatiannya serta membantu dan membimbing penulis dalam memberikan pengarahan dan petunjuk tata cara penulisan skripsi.

4. Dr. Hj. Mesraini, M.Ag., Dosen Pembimbing Akademik yang senantiasa memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis.

5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Prodi Ahwal al-Syakhsiyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.

6. Pimpinan Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staf yang telah memberikan penulis fasilitas untuk menggandakan studi perpustakaan

7. Ketua pengadilan Agama Jakarta Selatan beserta staf yang telah meluangkan waktunya sehingga memudahkan penulis menyelesaikan skripsi ini.

8. Drs. Nasrul, M.A., dan Bapak Drs. Sohel, S.H., Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Pengadilan Agama Bandung yang telah meluangkan waktunya untuk penulis wawancarai guna mempermudah penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Kepada kakak-kakak dan adik-adikku yang senantiasa ada dan berupaya membantu

penulis dalam menempuh kuliah baik berupa semangat, candatawa, serta waktu. Terimakasih untuk selalu memberikan semangat dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(8)

viii

11. Terimakasih kepada Keluarga Besar Ahwal al-Syakhshiyah (KBPA) dan Keluarga Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), yang telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Terimakasih kepada teman-teman seperjuangan Peradilan Agama A dan B 2011 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah menjadi teman seperjuangan penulis dari awal masuk kuliah hingga penulis menulis skripsi dan dapat menyelesaikan skripsi. Terimakasih untuk canda tawa, semangat dan doa kalian semua.

13. Terimakasih untuk kakak senior Ulfah Fauziah Hidayati S.Sy dan Istiya Rahayu DP S.PdI, dan adik junior Alawiyah Rahmah yang selalu memberikan semangat kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.

Terima kasih atas dukunga dan motivasinya, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Aamiin

Jakarta, 05 Oktober 2015


(9)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL. ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii

LEMBARPERNYATAAN. ... iii

ABSTRAK. ... iv

KATA PENGANTAR. ... v

DAFTAR ISI. ... x

BAB I PENDAHULUAN... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D.Study Review Terdahulu ... 8

E. Metode Penelitian ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II POLIGAMI DAN MANDUL DALAM HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG DI INDONESIA ... 14

A.Poligami dalam Hukum Islam ... 14

1. Pengertian Poligami ... 14

2. Dasar Hukum Poligami ... 16

3. Syarat-Syarat Poligami ... 20


(10)

xi

1. Pengertian Poligami ... 25

2. Dasar Hukum Poligami ... 26

3. Syarat-Syarat Poligami ... 28

4. Tata Cara Poligami ... 30

C.Mandul... 36

1. Pengertian Mandul ... 36

2. Faktor-Faktor Terjadinya Kemandulan ... 38

BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN ... 41

A.Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan ... 41

B.Jumlah Perkara yang Ditangani Pengadilan Agama Jakarta Selatan ... 46

C.Bentuk Putusan yang Sudah di Keluarkan ... 51

BAB IV MANDUL SEBAGAI ALASAN IZIN POLIGAMI NOMOR PERKARA 0023/Pdt.G/2014/PA.JS ... 65

A.Deskripsi Tentang Perkara Izin Poligami Nomor 0023/Pdt.G/2014/PA.JS ... 65

B.Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Izin Poligami dalam Perkara Nomor 0023/Pdt.G/2014/PA.JS ... 67

C.Putusan Perkara Nomor 0023/Pdt.G/2014/PA.JS ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif ... 70

D.Analisis Penulis... 73

BAB V PENUTUP ... 78

A.Kesimpulan ... 78


(11)

xii

DAFTAR PUSTAKA ... 80


(12)

1 A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Perkawinan adalah salah satu kebutuhan dasar yang menyentuh di bidang kehidupan manusia. Perkawinan merupakan suatu tahap awal akan lahirnya kehidupan baru dalam membangun kehidupan cita-cita bersama yang disebut rumah tangga. Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidzahan untuk menaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya sebagai ibadah.2 Pada dasarnya seorang suami hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang suami yang ingin beristri lebih dari seorang dapat diperbolehkan apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.3

Poligami merupakan salah satu persoalan dalam perkawinan yang paling banyak dibicarakan sekaligus kontroversial. Satu sisi poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan jender. Pada sisi lain poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normatif

1

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

2

Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam.

3


(13)

2

yang tegas dan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi.4 Ahli-ahli sejarah dan para ilmuwan antropologi mengemukakan bahwa poligami dalam bentuknya yang beragam telah ada dalam tahap-tahap awal dari sejarah manusia, dan bahwasanya poligami muncul pertama kali sebagai akibat dari perbudakan perempuan dan sikap kaum yang kuat dan kaya yang menjadikan perempuan untuk bersenang-senang, sebagai pelayan dan sebagai simbol kebesaran dan kemegahan.5

Tidak ada catatan bahwa agama-agama terdahulu melarang poligami, sejak Nabi Ibrahim AS bahkan hal itu dibolehkan secara hukum dan dipraktekkan dalam kehidupan keagamaan. Demikian pula dalam bangsa Arab, poligami adalah sesuatu yang dibolehkan tanpa syarat dan tanpa ikatan, bahkan mereka mempraktekkannya dalam batasan yang tak terhingga.6 Hakikatnya agama Islam menghalalkan pologami, seperti yang terjadi pada masa Nabi dimana Nabi Muhammad SAW memiliki lebih dari seorang istri. Akan tetapi kebanyakan dari wanita-wanita tersebut adalah janda-janda yang ditinggal mati oleh suaminya pada saat perang.

Seperti halnya di Indonesia, sudah diatur mengenai kebolehan poligami yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

4

Amiur Nurrudin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 156.

5

Karam Hilmi Farhat, Poligami dalam Pandangan Islam, Nasrani & Yahudi, (Jakarta: Darul Haq, 2007), h. 5.

6


(14)

tentang Perkawinan. Kebolehan poligami di dalam Undang-Undang Perkawinan sebenarnya hanyalah pengecualian dan untuk itu pasal-pasalnya mencantumkan alasan-alasan yang membolehkan tersebut. Dengan adanya pasal-pasal yang membolehkan untuk berpoligami kendatipun dengan alasan-alasan tertentu, jelaslah bahwa asas yang dianut oleh Undang-Undang Perkawinan sebenarnya bukan asas monogami mutlak melainkan disebut dengan asas monogami terbuka.7 Dapat dipahami sebagai bentuk ketidaktegasan asas itu sendiri, sehingga tidak dapat secara mutlak dapat dikatakan sebagai asas, melainkan hanya visi dalam perkawinan yang dapat berubah karena berubahnya situasi dan kondisi.8

Dalam pasal 4 Undang-Undang Perkawinan dinyatakan bahwa, seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila ;

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Disamping dengan alasan diatas yang harus dipenuhi agar dapat memperoleh izin untuk beristri dari seorang, maka dijelaskan dalam Pasal 5 Undang-Undang Perkawinan mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suami yang akan memiliki istri lebih dari seorang. Syarat-syarat tersebut diberlakukan dengan ketat karena adanya kekhawatiran poligami dilakukan hanya untuk mengahalalkan perselingkuhan atau hanya

7

Yahya harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading Co Medan, 1975), h. 25-26.

8


(15)

4

melegalkan hubungan cinta kepada perempuan lain yang kemudian dijadikan istri kedua, ketiga, keempat. Ketatnya persyaratan poligami jelas menunjukkan bahwa hak-hak wanita masih ditegakkan.9 Seorang suami yang hendak poligami harus mendapatkan persetujuan dari istri kemudian mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin dari Pengadilan Agama. Dapat diketahui bahwa di Indonesia menerapkan sistem yang moderat, diantara melarang poligami dan membolehkan sepenuhnya poligami, dengan menetapkan pembatasan secara ketat.10

Meskipun sangat kecil kemungkinannya mendapatkan keikhlasan dari seorang istri untuk menikah lagi tapi bukan berarti hal tersebut tidak mungkin terjadi. Seorang istri bisa saja mengijinkan suaminya poligami dengan menerima segala resiko dalam perkawinan poligami itu sendiri, karena adanya hal-hal yang melatarbelakangi.

Salah satu contoh kasus, suami akan melakukan poligami karena istri tidak bisa memberikan keturunan lagi. Disebabkan istri mengidap penyakit kista dan miom yang mengakibatkan istri trauma untuk memiliki keturunan lagi. Sebelum mengidap penyakit tersebut istri sudah memberikan keturunan kepada suami dengan melahirkan dua (2) orang anak. Akan tetapi suami masih menginginkan untuk memiliki keturunan lagi. Maka dalam keadaan seperti ini, mau tidak mau istri harus memberikan izin kepada suami untuk

9

Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan Dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Farhan Cicik, (Yogyakarta: LSPPA, 2000), h. 154-155.

10

Ahmad Tholabi Kharlie & Asep Syarifuddin Hidayat, Hukum Keluarga di Dunia Islam Kontemporer, (Lembaga Penelitian UIN Jakarta: 2011), h. 269.


(16)

menikah kembali karena adanya kekhawatiran suami akan melakukan perzinaan.

Dari kasus diatas, timbul pertanyaan, apakah pantas disaat istri sedang terkena penyakit kista dan miom, karena penyakit ini istri trauma untuk melahirkan lagi, dengan keadaan seperti ini dimana istri sangat membutuhkan perhatian dan dukungan dari orang-orang terdekatnya terlebih dari suami, akan tetapi pada kenyataannya istri harus merelakan suami menikah lagi dengan perempuan lain dan kasih sayangnya pun akan terbagi dengan perempuan lain.

Jika tidak terjadi poligami, bagaimana dampaknya terhadap keluarga. Apakah penyakit yang diderita oleh istri sama halnya dengan mandul, sedangkan penyakit kista dan miom bukan penyakit yang mematikan dan bisa disembuhkan dengan adanya dorongan semangat dari orang-orang terdekat terutama suami, dan trauma yang dialami oleh istri dapat dijadikan alasan dalam permohonan Ijin Poligami di Pengadilan Agama.

Uraian diatas adalah sedikit gambaran dari kasus permohonan izin poligami di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 0023/Pdt.G/2014 terhadap permohonan yang diajukan oleh Ahmad kepada Istrinya dengan alasan istrinya mengidap penyakit kista dan miom, istri trauma untuk memiliki keturunan sedangkan suami masih menginginkan untuk memiliki keturunan. Untuk itu penulis merasa perlu melakukan analisa putusan terhadap putusan tersebut. Apakah dalam hal ini mandul yang dimaksud oleh Undang-Undang adalah sejak awal perkawinan istri sudah dinyatakan


(17)

6

mandul atau di pertengahan perkawinan istri tidak bisa memiliki keturunan lagi dan dinyatakaan mandul. Dengan demikian penulis melakukan penelitian dengan judul : “ MANDUL SEBAGAI ALASAN IZIN POLIGAMI (Analisa putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan nomor 0023/Pdt.G/2013/PA.JS)”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan skripsi ini tidak keluar dari pokok pembahasan disamping keterbatasan penulis miliki maka penulis akan melakukan pembatasan masalah hanya pada izin poligami dengan alasan istri memiliki penyakit kista dan miom, trauma untuk memiliki keturunan lagi dan study kasus terhadap putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 0023/Pdt.G/2014 tentang permohonan izin poligami.

2. Perumusan Masalah

Menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia,

Pengadilan Agama memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila salah satunya istri tidak memiliki keturunan, akan tetapi pada kenyataan Pengadilan Agama memberikan izin kepada suami untuk berpoligami setelah istri memiliki keturunan kemudian dinyatakan memiliki penyakit kista, dan trauma untuk memiliki keturunan lagi. Agar penulisan ini terarah, penulis mengajukan beberapa pertanyaan yang mengajukan


(18)

perumusan masalah yang akan menjadi topik pembicaraan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

1. Apakah mandul yang dimaksud sebagai alasan suami boleh berpoligami adalah mandul sejak awal perkawinan ataukah juga dipertengahan perkawinan istri tidak bisa memiliki keturunan lagi dan dinyatakan mandul ?

2. Apa alasan Hakim memberikan Ijin Poligami dalam perkara Nomor 0023/Pdt.G/2014/PA.JS ?

3. Apakah dalam putusan nomor 0023/Pdt.g/2014/PA.JS ini sudah sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui istri dapat dinyatakan mandul ketika awal perkawinan atau di pertengahan perkawinan setelah istri melahirkan keturunan. 2. Untuk mengetahui alasan Hakim memberikan Izin Pologami dalam

perkara Nomor 0023/Pdt.G/2013/PA.JS.

3. Untuk mengetahui putusan Nomor 0023/Pdt.G/2013 sudah sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia.

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Secara akademik, menambah ilmu pengetahuan dibidang hukum perdata serta mengembangkan ilmu dibidang syariah, khususnya dalam bidang


(19)

8

perkawinan dan mengetahui dasar hukum dan pertimbangan hakim dalam memutus perkara pemberian ijin poligami.

2. Secara praktis, agar masyarakat mengetahui gambaran pengaturan poligami dalam hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia.

D. Study Review Terdahulu

1. Paramita Sekar Putri, Trauma Istri sebagai Alasan Poligami (Analisa Putusan Perkara Nomor 476/Pdt.G/2008/PA.Cikarang). Dalam skripsi ini memaparkan tentang alasan suami melakukan poligami karena istri trauma setelah melahirkan putra ketiga. Dalam skripsi ini juga menjelaskan faktor yang menyebabkan istri trauma pasca kelahiran, dampak trauma istri dalam perkawinan. Sedangkan dalam skripsi yang penulis tulis ini menjelaskan tentang alasan suami melakukan poligami disebabkan istri memiliki penyakit kista dan miom yang mengakibatkan istri trauma untuk memiliki keturunan lagi.

2. Idi sugandi, Dampak Positif Poligami Dalam Persfektif Hukum Islam (Studi Kasus Desa Saninten Kecamatan Kadu Hejo Kabupaten Pandeglang). Dalam skripsi ini memparkan tentang dampak positif poligami yang terjadi di desa Saninten, dalam skripsi ini hanya melihat poligami itu dari hukum Islam saja tidak mengkaitkan dengan Hukum yang berlaku di Indonesia. Sedangkan dalam skripsi yang penulis tulis ini mengambil dua (2) hukum yang ada yaitu Hukum Islam dan Hukum yang berlaku di Indonesia.


(20)

3. Ahmad Nafi’i, Konsep Adil dalam Izin Poligami (Analisis Yurisprudensi Putusan Pengadilan Agama Bekasi Perkara Nomor 205/Pdt.G/2008/PA.Bks). Dalam skripsi ini memaparkan tentang konsep adil mnurut Hukum Islam, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan KHI, serta pendapat Ulama tentang “Ta’ddud al-Zaujah”. Sedangkan dalam skripsi yang penulis tulis tidak memaparkan konsep adil, karena penulis hanya menjelaskan tentang istri yang mempunyai penyakit kista, miom (mandul) yang membuat istri trauma untuk memiliki keturunan lagi.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah:

a. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif yang dilakukan dengan melakukan analisa dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan isi dari putusan yang penulis dapatkan tersebut. b. Penelitian Kepustakaan (Library Pustaka), yaitu penelitian yang

dilakukan dengan cara mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku-buku, literature dan lainnya yang ada relevansinnya dengan judul skripsi ini.11

11

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 113.


(21)

10

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan Yuridis Normatif yaitu pendekatan yang di dasarkan pada perundang-undangan dan Yuridis Empiris yaitu pendekatan terhadap pengalaman yang terjadi di dalam masyarakat. Dalam hal ini, apa yang di praktikkan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

3. Sumber Data a. Data Primer

1. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang sudah berkekuatan hukum tetap dengan nomor perkara 0023/Pdt.G/2013/PA.JS.

2. Wawancara terhadap Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang menyelesaikan perkara nomor 0023/Pdt.G/2013/PA.JS.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan.12 Dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur’an, Hadits, buku-buku ilmiah, Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Pengadilan, Kompilasi Hukum Islam serta peraturan yang lainnya yang dapat mendukung skripsi ini.

12


(22)

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara :

a. Menganalisa putusan ijin poligami dengan alasan istri mempunyai penyakit kista atau miom, dan trauma untuk memiliki keturunan Nomor Perkara 0023/Pdt.G/2013/PA.JS

b. Interview atau wawancara yaitu percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh kedua belah pihak yaitu pewawancara mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan itu. 13 interview yang sering juga disebut dengan wawancara atau kuesioner lisan adalah sebauah dialog yang dilakukan oleh pewawancara atau interviewer untuk memperoleh informasi dari terwawancara. Dalam hal ini penulis mengadakan wawancara dengan informan yakni hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang menyelesaikan perkara nomor 0023/Pdt.G/2013/PA.JS.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses pelacakan dan pengaturan secara sistematik transkip wawancara, catatan lapangan, bahan-bahan lain yang dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap bahan-bahan tersebut agar dapat dipresentasikan temuannya kepada orang lain.

Adapun analisis data yang digunakan adalah analisa kualitatif yaitu menganalisa dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan

13

Lexy J Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 186


(23)

12

putusan izin poligami dengan alasan istri mengidap penyakit kista dan miom, taruam untuk memiliki keturunan lagi dan menghubungkan hasil wawancara, catatan lapangan, bahan-bahan lain sehingga didapatkan satu kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan data penulis dalam penelitian ini.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran secara umum mengenai apa yang akan dibahas pada skripsi ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:

Bab Pertama, adalah pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review study terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua, adalah memaparkan tentang poligami, mandul, hukum Islam dan Undang-undang di Indonesia yang mencakup poligami dalam hukum Islam, poligami dalam PerUndang-Undang di Indonesia, mandul.

Bab ketiga, adalah memaparkan tentang profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang mencakup tentang sejarah singkat Pengadilan, dasar hukum pembentukan Pengadilan, tugas pokok dan fungsi.

Bab keempat, adalah menguraikan tentang mandul, izin poligami, dan Undang-Undang pada bab ini penulis akan menyampaikan deskripsi tentang perkara permohonan izin poligami, pertimbangan Hakim memberikan izin poligami dalam perkara Nomor 0023/Pdt.G./2014/PA.JS, putusan perkara


(24)

Nomor 0023/Pdt.G/2014/PA.JS ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif, analisis penulis.

Bab kelima, adalah penutup. Dalam bab ini berisi kesimpulan dari bab-bab terdahulu dan uraian singkat mengenai poko-pokok analisis dan permasalahan yang ada, serta saran-saran yang dianggap perlu.


(25)

14 BAB II

POLIGAMI DAN MANDUL DALAM HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG DI INDONESIA

A. Poligami dalam Hukum Islam a. Pengertian Poligami

Poligami memiliki akar sejarah yang cukup panjang, sepanjang sejarah peradaban manusia itu sendiri. Poligami ialah mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang bersamaan. Berpoligami berarti menjalankan (melakukan) poligami. Poligami sama dengan poligini, yaitu mengawini bebrapa wanita dalam waktu yang sama.1 Dalam bahasa Arab, poligami disebut dengan ta’did al-zawjah yang artinya berbilangnya pasangan.

Islam datang menghapus segala bentuk perkawinan yang ada. Islam hanya membenarkan perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang keduanya tidak terhalang menikah secara syar’i, bukan mahram yang didahului dengan proses meminang kepada orang tua (wali) perempuan, membayar mahar, ada ijab-kabul. Pada prinsipnya Islam tidak membenarkan semua perkawinan yang di dalamnya terdapat unsur-unsur kezaliman, kekerasan, ketidakadilan, pelecehan, pemaksaan, ketidakpastian, dan penindasan.2

1

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1998), cet. ke-1, h. 693.

2

Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta: RMBooks, 2012), h. 143.


(26)

Islam datang sebagai agama yang “rahmatan lil alamin” di mana Islam mendudukkan perempuan sederajat dengan laki-laki, hanya tinggi rendahnya takwa yang membedakannya.

Poligami yang sudah menjadi tradisi masyarakat Arab pada waktu itu mulai dibatasi, yakni dari yang tadinya tidak terbatas menjadi terbatas maksimal empat (4) orang. Hal ini dibuktikan dari sejarah ketika para sahabat yang saat masuk Islam memiliki istri lebih dari empat, kemudian Nabi meminta mereka untuk mempertahankan 4 orang saja dan sisanya diceraikan, di antara mereka adalah Naufal ibn Mu’awiyyah, Qais ibn Tsabit, dan Ghailan ibn Salamah.

Dalam syariat Islam, poligami dibenarkan atau dibolehkan dengan syarat suami berlaku adil terhadap istri-istrinya.3 Untuk menjaga tindakan yang semena-mena, Islam memberikan syarat berlaku adil dalam melakukan poligami. Syarat ini merupakan syarat yang cukup berat dimana tidak sembarang laki-laki bisa melakukannya.

Dalam Hukum Islam poligami sebagai suatu proses kepemimpinan seorang laki-laki atau suami dalam rumah tangganya. Apabila seorang suami yang poligami tidak mampu melaksanakan prinsip keadilan dalam rumah tangga, ia tidak mungkin dapat melaksanakan keadilan jika menjadi pemimpin di masyarakat.

3

Beni Ahmad Saebani & Syamsul Falah, Hukum Perdata Islam, (Bandung: Pustaka Setia 2011), h. 120.


(27)

16

b. Dasar Hukum Poligami

Sebagaimana hukum perkawinan yang bisa memiliki banyak bentuk, maka begitu juga dengan poligami. Hukumnya ditentukan oleh kondisi seseorang, bahkan bukan kondisi dirinya tetapi juga menyangkut kondisi dan perasaan orang lain. Dalam hal ini bisa saja istrinya atau keluarga istrinya.4

Allah SWT membolehkan berpoligami sampai empat orang istri dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Yaitu adil dalam melayani istri. Jika tidak bisa berlaku adil maka cukup satu istri saja (monogami),5 berdasarkan Firman Allah SWT Q.S. An-Nisa:3 :

ِﺀﺎﺴّﹺﻨﻟﺍ ﻦﻣ ﻢﹸﻜﹶﻟ ﺏﺎﹶﻃ ﺎﻣ ﺍﻮﺤﻜﻧﺎﹶﻓ ﻰﻣﺎﺘﻴﹾﻟﺍ ﻲﻓ ﺍﻮﹸﻄِﺴﹾﻘﺗ ﻻﹶﺃ ﻢﺘﹾﻔﺧ ﹾﻥﹺﺇﻭ

ﻚﻟﹶﺫ ﻢﹸﻜﻧﺎﻤﻳﹶﺃ ﺖﹶﻜﹶﻠﻣ ﺎﻣ ﻭﹶﺃ ﹰﺓﺪﺣﺍﻮﹶﻓ ﺍﻮﹸﻟﺪﻌﺗ ﻻﹶﺃ ﻢﺘﹾﻔﺧ ﹾﻥﹺﺈﹶﻓ ﻉﺎﺑﺭﻭ ﹶﺙﻼﹸﺛﻭ ﻰﻨﹾﺜﻣ

ﺍﻮﹸﻟﻮﻌﺗ ﻻﹶﺃ ﻰﻧﺩﹶﺃ

)

ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ

۳

(

Artinya :Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (Q.S. An-Nisa; 3)

Ayat tersebut diturunkan segera setelah perang Uhud usai (3 H/628 M), ketika itu laki-laki muslim banyak berguguran di medan perang. Tujuannya adalah untuk melindungi kaum perempuan dan anak-anak yatim yang ditinggal wafat oleh suami dan ayah yang merawat mereka serta memelihara mereka dari perbuatan yang tidak diinginkan. Pada saat itu para

4

Yayan Sopyan, Islam Negara, h. 149.

5


(28)

pengasuh anak yatim mengawini anak-anak yang mereka asuh bukan karena menyayangi atau mencintai anak yatim tersebut, melainkan hanya tertarik pada kecantikan atau harta mereka, inilah yng memicu para pengasuh anak yatim tidak dapat berlaku adil kepada mereka (anak yatim). Maka itulah Allah SWT membolehkan untuk mengawini mereka, tetapi jika merasa takut akan menelantarkan mereka dan tidak sanggup memelihara harta anak yatim tersebut, maka dibolehkan mencari perempuan lain untuk dikawini sampai empat orang.6

Sementara itu, Quraish Shihab menafsirkan ayat 3 Surah An-Nisa tersebut sebagai berikut :

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim dan kamu percaya diri akan berlaku adil terhadap perempuan-perempuan selain yang yatim itu, maka kawinilah apa yang kamu senangi sesuai selera kamu dan halal dari perempuan-perempuan yang lain itu. Kalau perlu, kamu menggabung dalam saat yang sama dua, tiga, empat, tetapi jangan lebih, lalu jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil dalam hal harta dan perlakuan lahiriyah, maka kawini seorang saja, atau kawinilah budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu, yakni menikahi selain anak yatim yang mengakibatkan ketidakadilan, dan mencukupkan satu orang istri adalah lebih dekat kepada tidak berbuat

6

Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Voeve, 1999), Jilid 1, cet.ke-3, h. 1187.


(29)

18

aniaya, yakni lebih mengantarkan kamu kepada keadilan atau kepada tidak memiliki banyak anak yang harus kamu tanggung biaya hidup mereka.7

Pembatasan kepada empat orang adalah suatu keadilan dan moderat serta melindungi para istri dari kezaliman yang dapat terjadi kepada akibat melebihinya jumlah istri dari empat orang. Ini berbeda dengan adat orang Arab pada masa jahiliyah serta bangsa-bangsa di masa yang lampau yang tidak membatasi jumlah istri, serta pengacuhan terhadap sebagian mereka. Pembolehan ini menjelaskan perkara pengecualian yang jarang. Oleh sebab itu, pembolehan ini tidak berarti bahwa setiap orang muslim harus kawin lebih dari satu orang perempuan.8

Selanjutnya pada Surat An-Nisa ayat 129 Allah berfirman :

ﻭ ِﺀﺎﺴّﹺﻨﻟﺍ ﻦﻴﺑ ﺍﻮﹸﻟﺪﻌﺗ ﹾﻥﹶﺃ ﺍﻮﻌﻴﻄﺘﺴﺗ ﻦﹶﻟﻭ

ّﹶﻞﹸﻛ ﺍﻮﹸﻠﻴﻤﺗ ﻼﹶﻓ ﻢﺘﺻﺮﺣ ﻮﹶﻟ

ﺍﺭﻮﹸﻔﹶﻏ ﹶﻥﺎﹶﻛ ﻪّﹶﻠﻟﺍ ّﹶﻥﹺﺈﹶﻓ ﺍﻮﹸﻘّﺘﺗﻭ ﺍﻮﺤﻠﺼﺗ ﹾﻥﹺﺇﻭ ﺔﹶﻘّﹶﻠﻌﻤﹾﻟﺎﹶﻛ ﺎﻫﻭﺭﹶﺬﺘﹶﻓ ﹺﻞﻴﻤﹾﻟﺍ

ﺎﻤﻴﺣﺭ

)

ﺎﺴﻨﻟﺍ

۱۲۹

(

Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S. An-Nisa: 129)

7

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Vol 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 338.

8

Wahbah Zuhaili, Penerjemah : Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Penyunting : Arif Muhajir, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 9, (Jakarta: Gema Insani, 2011, cet ke-1), h. 162.


(30)

Ayat ini menegaskan bahwa para suami sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil, yakni tidak dapat mewujudkan dalam hati kamu secara terus menerus keadilan dalam hal cinta di antara istri-istri kamu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena cinta di antara istri-istri kamu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena cinta di luar kemampuan manusia untuk mengaturnya.9

Dalam penafsiran Asghar Ali Engineer, yang dikutip oleh Amiur betapa al-Qur’an begitu berat untuk menerima poligami, tetapi hal itu tidak bias diterima dalam situasi yang ada maka al-Qur’an membolehkan laki-laki kawin hingga empat orang istri, dengan syarat harus adil.10

Landasan hukum tentang kebolehan poligami selain terdapat di dalam Al-Qur’an, juga terdapat dalam hadis Nabi yang salah satunya mengenai batasan jumlah isteri yaitu hanya boleh empat orang saja.

ﻲﻔﻘﺜﻟﺍ ﺔﻤﻠﺳ ﻦﺑ ﻥ ﻼﻴﻏ ﻥﺍ ﺎﻤﻬﻨﻋ ﷲﺍ ﻲﺿﺭ ﻪﻴﺑﺍ ﻦﻋ ﱂ ﺎﺳ ﻦﻋ

ﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﱯﻨﻟﺍ ﻪﻟ ﻝ ﺎﻘﻓ ﺓ ﻮﺴﻧ ﺮﺸﻋ ﻩﺪﻨﻋ ﻭ ﻢﻠﺳﺍ

ﺍ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴ

ﻦﻫ ﺮﺋ ﺎﺳ ﻭ ﻕﺭ ﺎﻓ ﻭ ﺎﻌﺑ ﺭﺍ ﻚﺴﻣ

Artinya : “Dari Salim ayahnya r.a. bahwasanya Ghailan binti Salamah masuk Islam sedang ia mempunyai sepuluh orang isteri dan mereka pun masuk Islam bersamanya maka Nabi SAW. menyuruh agar ia memilih empat orang dari isteri-isterinya.” (H.R. Ahmad dan Turmudzi)

9

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 606.

10

Amiur Nuruddin & Azhar Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih. UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana 2004), h. 157-158.


(31)

20

Hadits diatas pada dasarnya hanya menjelaskan tentang batas kebolehan beristeri lebih dari seorang dan larangan berpoligami antara seorang wanita dengan bibinya dari jalur ayah dan seorang bibinya dari jalur ibu. Akan tetapi jika kita telaah lebih jauh bahwa hadits diatas merupakan penjelasan lebih lanjut dari ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang poligami.11

c. Syarat-Syarat Poligami

Syariat Islam memperbolehkan poligami dengan batasan sampai empat orang dan mewajibkan berlaku adil kepada mereka, baik urusan pangan, pakaian, tempat tinggal, serta lainnya yang bersifat kebendaan tanpa membedakan istri yang kaya dengan yang miskin, istri yang berasal dari keturunan tinggi dengan yang rendah dari golongan bawah.12 Sebagaimana dalam Firman Allah Swt Q.S. An-Nisa: 3

ِﺀﺎﺴّﹺﻨﻟﺍ ﻦﻣ ﻢﹸﻜﹶﻟ ﺏﺎﹶﻃ ﺎﻣ ﺍﻮﺤﻜﻧﺎﹶﻓ ﻰﻣﺎﺘﻴﹾﻟﺍ ﻲﻓ ﺍﻮﹸﻄِﺴﹾﻘﺗ ﻻﹶﺃ ﻢﺘﹾﻔﺧ ﹾﻥﹺﺇﻭ

ﻢﹸﻜﻧﺎﻤﻳﹶﺃ ﺖﹶﻜﹶﻠﻣ ﺎﻣ ﻭﹶﺃ ﹰﺓﺪﺣﺍﻮﹶﻓ ﺍﻮﹸﻟﺪﻌﺗ ﻻﹶﺃ ﻢﺘﹾﻔﺧ ﹾﻥﹺﺈﹶﻓ ﻉﺎﺑﺭﻭ ﹶﺙﻼﹸﺛﻭ ﻰﻨﹾﺜﻣ

ﺍﻮﹸﻟﻮﻌﺗ ﻻﹶﺃ ﻰﻧﺩﹶﺃ ﻚﻟﹶﺫ

)

ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ

۳

(

Artinya :Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.

11

Arud Badrudin, “Pembatalan Perkawinan Karena Poligami Liar (Analisis Yurisprudensi Perkara Nomor 461/Pdt.G/1995/PA.Smd)”, (Skripsi S1Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 29.

12

H.M.A. Tihami & Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 361.


(32)

Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S. An-Nisa : 3)

Ayat diatas menggunakan kata (اﻮﻄﺴﻘﺗ) tuqshitu dan (اﻮﻟ ﺪﻌﺗ) ta’dilu yang keduanya diterjemahkan adil. Ada ulama yang mempersamakan maknanya dan ada juga yang membedakannya dengan berkata bahwa tuqshitu adalah berlaku adil antara dua oang atau lebih, keadilan yang menjadikan keduanya senang. Sedang adil adalah berlaku baik terhadap orang lain maupun diri sendiri, tapi keadilan itu bisa saja tidak menyenangkan salah satu pihak.13

Ayat tersebut merupakan ayat yang memberikan pilihan kepada kaum laki-laki untuk menikahi yatim dengan rasa takut tidak berlaku adil karena keyatimannya atau menikahi perempuan yang disenangi hingga jumlahnya empat istri. Akan tetapi, jika dihantui oleh rasa takut tidak berlaku adil, lebih baik menikah dengan seorang perempuan atau hamba sahaya, karena hal itu menjauhkan diri dari berbuat aniaya.14

Berbeda dengan pandangan fikih, poligami yang dalam kitab;kitab fikih disebut dengan ta’addud al-jauzat, sebenarnya tidak lagi menjadi persoalan. Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan, bahwa ulama sepakat tentang kebolehan poligami, kendatipun dengan persyaratan yang bermacam-macam. As-Sarakhsi menyatakan, kebolehan poligami dan mensyaratkan pelakunya harus berlaku adil. Al-Kasani menyatakan lelaki

13

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 338

14


(33)

22

yang berpoligami wajib berlaku adil terhadap isteri-isterinya. As-Syafii juga mensyaratkan keadilan di antara para isteri, dan menurutnya keadilan ini hanya menyangkut urusan fisik, misalnya mengunjungi isteri di malam atau siang hari.15

Para Ulama dan Fuqaha telah menetapkan syarat poligami, yaitu : a) Suami harus memiliki kemampuan dan kekayaan yang cukup untuk

membiayai berbagai kebutuhan, dengan bertambahnya isteri yang dinikahi. b) Suami harus memperlakukan semua isteri dengan adil. Setiap isteri diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan mereka serta hak-hak lainnya.16

Menurut syariat Islam syarat-syarat yang harus diperhatikan dan dilaksanakan untuk melakukan poligami adalah sebagai berikut :

a) Bila seorang laki-laki yang sudah beristeri seorang, masih mampu baik jasmani dan rohani dan dikhawatirkan akan terjadi penyelewengan terhadap perempuan lain, disebabkan nafsunya yang kuat (hipersex), sedangkan isterinya seorang yang tidak mampu untuk melayani suami, maka suami boleh menambah isterinya.

b) Bila isteri mandul sedang ia tidak mau diceraikan karena kemandulannya itu.

c) Bila seorang isteri itu sakit yang tidak dapat disembuhkan, sehingga isteri tidak memungkinkan untuk melakukan jima’ dengan suaminya.

15

Amiur Nuruddin & Azhar Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 98.

16

Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), cet. ke-1, h. 45.


(34)

d) Jikalau jumlah kaum wanita lebih banyak daripada kaum pria, seperti di daerah yang sering terjadi konflik atau peperangan, dimana kaum pria banyak yang meninggal.

e) Bila isteri melahirkan anak perempuan semuanya dan tidak ada anak laki-laki.17

Berkaitan dengan masalah ini, Rasyid Ridha mengatakan, Islam memandang poligami lebih banyak membawa madharat daripada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya (human nature) mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis.18

Jika suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi semua hak mereka, maka ia haram melakukan poligami. Bila ia hanya sanggup memenuhi hak-hak istrinya tiga orang, maka ia haram menikahi istri untuk yang keempatnya. Bila ia sanggup memenuhi hak hak istrinya dua orang, maka ia haram menikahi istri untuk yang ketiganya, dan begitu seterusnya.

19

Seorang pemikir Islam kontemporer, Muhammad Shahrur sepakat dengan adanya poligami dengan persyaratan yang senada dengan ini. Syahrur mempersyaratkan dua hal, pertama, bahwa isteri kedua, ketiga,

17

Amir Taat Nasution, Rahasia Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: PT Pedoman Ilmu Jaya, 1994), cet. ke-3, h. 68-69.

18

Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, h.130.

19


(35)

24

keempat adalah para janda yang memiliki anak yatim. Kedua, harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berlaku adil kepada anak yatim. Lebih lanjut menegaskan bahwa konteks ayat poligami ini harus difahami dalam kaitannya dengan pemahaman sosial kemasyarakatan, bukan konsep biologis (senggama), dan berkisar pada masalah anak-anak yatim dan berbuat baik kepadanya serta berlaku adil terhadapnya.20

Salah satu persyaratan diperbolehkannya melakukan poligami adalah dapat berlaku adil terhadap para isteri. Secara etimologis adil berarti tidak berat sebelah, tidak memihak, atau menyamakan antara satu dengan yang lainnya.21 Keadilan yang menjadi patokan dibolehkannya poligami, tanpa keadilan tersebut maka lebih baik monogami dan bertahanlah dengan budak-budak.

Untuk mengangkat harkat martabat perempuan, Allah SWT mewajibkan kepada semua laki-laki yang berpoligami untuk berlaku adil. Tidak dibenarkan menzalimi istri dengan hanya cenderung pada salah satu istri saja, hal demikian karena pada dasarnya hak perempuan sesungguhnya adalah tidak dimadu, akan tetapi poligami adalah untuk menghindarkan kaum laki-laki melakukan perzinaan dan melatih menjadi pemimpin yang adil dalam kehidupan dan pengelolaan keluarga dan rumah tangganya.22

20

Yayan Sopyan, Islam Negara, h. 146.

21

Yayan Sopyan, Islam Negara, h.153.

22

Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h. 237.


(36)

B. Poligami dalam Undang-Undang di Indonesia a. Pengertian Poligami

Poligami berasal bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan dari dua kata yakni “poli” atau “polus” yang artinya banyak, dan “gamein” atau “gamos” yang artinya kawin atau perkawinan. Jika digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak. Ada istilah lain yang maknanya mendekati makna poligami yaitu “poligini”. Kata ini berasal dari “poli” atau “polus” artinya banyak, dan “gini” atau “gene” artinya istri, jadi poligini beristri banyak.

Secara terminologi, poligami artinya banyak istri. Kata Poligami berlaku bagi suami yang menikah dengan lebih dari seorang perempuan. Istilah poligami digunakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 atau KUHP, sebagaimana terdapat pada Pasal 3-5.23

Secara konsepsional, istilah poligami diartikan sebagai perkawinan yang dilakukan oleh suami atau istri untuk mendapatkan pasangan hidup lebih dari seorang. Oleh karena itu, poliandri merupakan salah satu jenis dari poligami. apabila pernikahan dilakukan oleh seorang suami terhadap perempuan lebih dari seorang, atau suami yang istrinya lebih dari seorang, disebut dengan poligini. Karena dalam Undang-Undang Nomor1 Tahun 1974 dan KHI bahkan dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 tidak dikenal dengan istilah poligini.24

23

Beni Ahmad Saebani & Syamsul Falah, Hukum Perdata Isam, h.117.

24


(37)

26

b. Dasar Hukum Poligami

Semangat Undang-Undang Perkawinan adalah meminimalisasi marjinalisasi perempuan dalam ruang lingkup perkawinan. Upaya untuk melindungi perempuan dan anak-anak mereka secara hukum sudah nyata, namun walaupun demikian, ada beberapa kelemahan-kelemahan yang perlu diperbaiki.

Layaknya sebuah Undang-Undang, Undang-Undang Perkawinan di Indonesia berdasarkan atas asas monogami, namun tetap dibuka kemungkinan untuk poligami dengan alasan dan syarat tertentu. Klausul kebolehan poligami di dalam Undang-Undang Perkawinan sebenarnya hanyalah pengecualian dan untuk itu pasal-pasalnya mencantumkan alasan-alasan yang membolehkan poligami.25

Sebelumnya, poligami juga diatur dalam Burgelijk Wetboek (BW). Dalam Pasal 27 BW disebutkan bahwa, “ Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya dibolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu orang laki-laki sebagai suaminya”. Prinsip monogami ini dikuatkan dengan sanksi KUHAP yang menyatakan bahwa perkawinan (setelah satu kali) menghalangi sahnya perkawinan berikutnya.26

25

Amiur Nuruddin & Azhar Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 161.

26

Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.220.


(38)

Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, tujuan dibuatnya Peraturan Pemerintah ini adalah dinyatakan dalam konsideran pertimbangan poin b yakni Pegawai Negeri Sipil adalah unsur aparatur negara, abdinegara dan abdi masyarakat yang harus menjadi teladan yang baikbagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan dan ketaatan kepadaperaturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk menyelenggarakan kehidupan berkeluarga.27

Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 berbunyi :

1. Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat;

2. Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat.

3. Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis;

4. Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang.28

27

Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 jo Peraturan Pemeritah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.

28

Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 jo Peraturan Pemeritah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.


(39)

28

Dalam surat permintaan ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 harus diantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan ijin untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat. Permintaan ijin harus diajukan menurut saluran hirarki.

Dalam menjabarkan masalah poligami, KHI lebih cenderung sebagai “tafsir” dan “bayan” bagi Undang-Undang Perkawinana, yakni poligami sebagai dispensasi dari monogam dengan beberapa persyaratan. Permasalahan poligami tercantum dalam Bab IX dari pasal 55 sampai dengan pasal 59.

c. Syarat-Syarat Poligami

Dalam PerUndang-Undangan di Indonesia, syarat poligami sangat ketat. Izin poligami hanya dapat diberikan bila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan tiga syarat kumulatif. Syarat alternatif meliputi, yaitu (a) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, (b) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau (c) istri tidak dapat melahirkan keturunan. Syarat kumulatif, yaitu syarat kumulatif, (a) ada persetujuan tertulis dari istri-istri, (b) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak mereka, dan (c) ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anaknya.29

29


(40)

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan persyaratan terhadap seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebagai berikut :

1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : (a) adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri (b) adanya kepastian bahawa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka (c) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

2) Persetujuan yang dimaksud dalam padaayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama.30

Keadilan yang dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terutama pada Pasal 5 adalah keadilan dari segi materi. Keadilan materi dalam bentuk pembagian nafkah yang dapat diukur secara matematis, sedangkan keadilan dalam bentuk batiniah sulit untuk diukur karena menyangkut masalah perasaan atau hati, yang mengetahuinya hanya suami yang berpoligami dan istri yang merasakannya karena dipoligami.

30

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.47.


(41)

30

d. Tata Cara Poligami

Mengenai prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur oleh Islam memang tidak ada ketentuan secara pasti, namun di Indonesia, dengan Kompilasi Hukum Islamnya, telah mengatur hal tersebut.31 Ada dua hal yang harus diberikan penegasan yakni pertama, poligami hanya bisa dilakukan apabila memperoleh izin dari pengadilan. Kedua, pengadilan hanya akan mengeluarkan izin apabila poligami itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dan yang disebut pihak-pihak-pihak-pihak yang bersangkutan adalah isteri pertama, isteri kedua, dan atau seterusnya, dan suami.32 Pelaksanaan tidak boleh dilakukan secara liar, pengadilanlah satu-satunya lembaga yang memberikan dispensasi poligami. Oleh sebab itu Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan menyatakan:

“Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”

Dengan ayat ini jelas sekali Undang-Undang Perkawinan telah melibatkan Pengadilan Agama sebagai institusi yang cukup penting untuk mengabsahkan kebolehan poligami bagi seorang. Di dalam penjelasan pasal 3 ayat 2 dinyatakan : Pengadilan dalam memberikan putusan selain memeriksa apakah syarat tersebut pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus

31

H.M.A. Tihami & Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, h.369.

32


(42)

mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya poligami.33

Berkenaan dengan pasal 4 di atas setidaknya menunjukkan ada 3 alasan yang dijadikan dasar mengajukan permohonan poligami

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri;

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. Tidak dapat melahirkan keturunan.

Tampaknya alasan-alasan ini bernuansa fisik kecuali alasan yang ketiga. Terkesan seorang suami tidak memperoleh kepuasaan yang maksimal dari istrinya, maka alternatifnya poligami. seperti yang termuat dalam pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan, syarat-syarat yang di penuhi bagi seorang suami yang ingin melakukan poligami ialah :

1. Adanya persetujuan istri;

2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;

3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak mereka.

Menyangkut prosedur melaksanakan poligami aturannya dapat dilihat di dalam PP No 9 Tahun 1975. Pada pasal 40 dinyatakan apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.34

33


(43)

32

Sedangkan tugas Pengadilan diatur dalam Pasal 41 PP No 9 Tahun 1975 sebagai berikut :

Pengadilan kemudian memeriksa mengenai :

a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkn seorang suami kawin lagi; b. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun

tertulis, apabila persetujuan merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang Pengadilan.

c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan :

1. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang di tanda tangani oleh bendahara tempat bekerja;

2. Surat keterangan pajak penghasilan;

3. Surat keterangan lain yang dapat di terima oleh Pengadilan.

d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan persyaratan atau janji dari suami yang di buat dalam bentuk yang di tetapkan untuk itu.35

Berikutnya dijelaskan pada Pasal 42 keharusan Pengadilan memanggil para istri untuk memberikan penjelasan atau kesaksian. Di dalam pasal ini juga dijelaskan bahwa Pengadilan diberi waktu 30 hari untuk memeriksa permohonan poligami setalah diajukan oleh suami lengkap dengan persyaratan.

34

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 40.

35

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 41.


(44)

Kemudian, dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan kepada suaminya untuk beristri lebih dari seorang, berdasarkan salah satu alasan tersebut diatas, maka pengadilan Agama dapat menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama dan terhadap penetapan ini, istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.36 Apabila keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, izin Pengadilan tidak diperoleh maka menurut Pasal 44 PP Nomor 9 Tahun 1975, Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan.37

Ketentuan hukum yang mengatur tentang pelaksanaan poligami mengikat semua pihak, pihak yang akan melangsungkan poligami dan pegawai pencatat perkawinan. Apabila mereka melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal-pasal di atas dikenakan sanksi pidana.

KHI memuat masalah poligami ini pada bagian IX dengan judul, Beristri Lebih dari Satu Orang, yang di ungkap dari pasal 55 sampai 59. Pada pasal 55 dinyatakan :

1. Beristri lebih dari seorang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri;

2. Syarat utama beristri lebih dari satu orang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya;

36

H.M.A. Tihami & Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, h.370.

37


(45)

34

3. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin di penuhi, suami dilarang beristri lebih dari satu orang.

Lebih lanjut dari KHI pasal 56 dijelaskan

1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama;

2. Pengajuan permohonan izin dimaksudkan pada ayat 1 dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam bab VIII PP No. 9 Tahun 1975; 3. Perkawinan yang dilakukan istri kedua, ketiga, keempat tanpa izin dari

Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum tetap.38

Dari pasal-pasal di atas, KHI sepertinya tidak berbeda dengan Undang-Undang Perkawinan bahkan dengan semangat Fiqih. Kendatipun pada dasarnya UUP dan KHI menganut asas monogami, namun sebenarnya peluang yang diberikan untuk poligami juga terbuka lebar. Dikatakan demikian, kontribusi UUP dan KHI hanya sebatas tata cara prosedur poligami.39

Pada pasal 57 dijelaskan :

Pengadilan Agama hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila :

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri;

2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; 3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

38

Kompilasi Hukum Islam, Pasal 55-56.

39


(46)

Tampak pada pasal 57 KHI diatas, Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila terdapat alasan-alasan sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 Undang-Undang Perkawinan. Jadi pada dasarnya Pengadilan hanya memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari satu apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Dalam perspektif metedologis, pengaturan ketentuan hukum mengenai poligami yang boleh dilakukan atas kehendak yang bersangkutan melalui izin Pengadilan Agama, setelah dibuktikan izin istri atau istri-istri, dimaksudkan untuk merealisasikan kemaslahatan. Yaitu terwujudnya cita-cita dan tujuan perkawinan rumah tangga, yang kekal dan abadi diridhai Allah SWT berdasarkan cinta dan kasih sayang. Karena itu segala persoalan yang mungkin akan menjadi penghalang bagi terwujudnya tujuan perkawinan tersebut harus dihilangkan atau setidaknya dikurangi. Ini sejalan dengan kaidah :

ﺢﻠﺼﳌﺍ ﺐﻠﺟ ﻰﻠﻋ ﻡﺪﻘﻣ ﺪﺳﺎﻔﳌﺍﺀﺭﺩ

“Menghindari madharat (kerusakan) harus didahulukan daripada

mengambil manfaat (kemaslahatan).”40

C. Mandul

40

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), h. 144.


(47)

36

a. Pengertian Mandul

Menurut Ensiklopedia Indonesia, pengertian Sterilitet (kemandulan) adalah terdapat baik pada laki-laki maupun pada perempuan. Biasanya disebabkan pada kelainan alat kelamin. Ada kelainan bawaan dan ada kelainan yang timbul di kemudian hari.41

Infertilitas (mandul) adalah kegagalan pasangan untuk hamil setelah satu tahun memiliki hubungan seksual yang teratur tanpa kontrasepsi. Infertilitas bisa primer atau sekunder. Infertilitas primer adalah istilah yang menggambarkan pasangan yang belum pernah hamil, sedangkan infertilitas sekunder mengacu pada pasangan yang telah mencapai kehamilan di masa lalu tapi tidak mampu mendapatkannya lagi. Ada beberapa perbedaan dalam evaluasi dan pengobatan, karena secara teoritis, pasangan yang sebelumnya mencapai kehamilan memiliki semua komponen dasar dari sistem reproduksi mereka yang utuh. Hal ini menyiratkan kemungkinan jauh lebih besar bahwa salah satu atau kedua pasangan baru mengembangkan masalah yang menyebabkan infertilitas mereka saat ini.42

Mandul terbagi dua yaitu mandul primer dan mandul sekunder. Mandul primer yaitu istri belum hamil walaupun bersenggama tanpa usaha kontrasepsi dan dihadapkan pada kemungkinan kehamilan selama dua belas

41

Tim Penyusun, Ensiklopedia Indonesia, h. 1279.

42

http://kamuskesehatan.com/arti/infertilitas. diakses pada tanggal 21 oktober 2015 pukul 15.04.


(48)

(12) bulan. Mandul sekunder yaitu istri pernah hamil, namun kemudian tidak terjadi kehamilan lagi walaupun bersenggama tanpa usaha kontrasepsi dan dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama dua belas (12) bulan.43

Menurut ilmu kedokteran, presentase kemungkinan terjadinya kehamilan adalah 3,27% hamil dalam satu bulan pertama, 57,0% dalam tiga bulan, 72,1% dalam 6 bulan, 85,4% dalam 12 bulan, dan 93,4% dalam waktu 24 bulan. Dan waktu median yang diperlukan untuk menghasilkan kehamilan ialah 2.3 bulan sampai 2,8 bulan. Ini berarti, semakin lama pasangan itu kawin tanpa kehamilan, makin turun kejadian kehamilannya. Oleh karena itu, kebanyakan dokter baru menganggap ada masalah kemandulan jika pasangan yang ingin punya anak itu dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan lebih dari 12 bulan.44

b. Faktor-Faktor Terjadinya Kemandulan

Faktor terjadinya kemandulan pada wanita adalah : a. Penyakit kista

Kista adalah penyakit tumor jinak yang terbungkus oleh selaput semacam jaringan di organ reproduksi perempuan yang paling sering ditemui. Bentuknya kistik, berupa cairan kental, dan ada pula yang yang

43

http://raramidy.blogspot.com/2011/11/mandul-dalam-pandangan-islam.html. diakses pada tanggal 7 April 2015 pukul 10.59.

44

Hanifa Wiknjosastro dkk, Ilmu Kandungan, (Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1999), h. 498.


(49)

38

berbentuk anggur. Kista juga ada yang berisi udara, cairan, nanah, ataupun bahan-bahan lainnya.45

Berdasarkan tingkat keganasannya, kista terbagi menjadi dua, yaitu non-neoplastik dan neoplastik. Kista non-neoplastik sifatnya jinak dan biasanya akan mengempis sendiri setelah 2 hingga 3 bulan. Sementara kista neoplastik umumnya harus dioperasi, namun hal itu pun tergantung pada ukuran dan sifatnya.46

Pada penderita kista yang sudah parah akan menimbulkan kemandulan. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan menalurkan sel telur dengan baik. Selain itu, ada beberapa masalah lain yang menyebabkan wanita sulit mendapatkan keturunan seperti adanya kegagalan yang disebabkan karena pengangkatan kista yang dilakukan berulang-ulang. Operasi berulang-ulang akan menyebabkan ovarium rusak dan adanya infeksi pada folikel yang tidak matang.47

b. Penyakit Miom (mioma uteri)

Miom adalah pertumbuhan di dalam atau di sekitar uterus (rahim) yang tidak bersifat kanker atau ganas. Miom dikenal juga dengan nama nama mioma, uteri fibroid, atau leiomioma. Miom berasal dari sel otot

45

http://penyakitkista.org diakses pada tanggal 11 September 2015 pukul 09.52.

46

http://penyakitkista.org.

47

http://bidanku.com/waspada-penyakit-kista-sebabkan-kemandulan. di akses pada tanggal 13 September 2015 pukul 18.10.


(50)

rahim yang mulai tumbuh secara abnormal. Pertumbuhan inilah yag akhinya membentuk tumor jinak.48

Pengaruh miom pada kehamilan dan persalinan, mengakibatkan hal-hal sebagai berikut :

1. Mengurangi kemungkinan wanita menjadi hamil, terutama pada mioma uteri submukosum;

2. Kemungkinan abortus bertambah;

3. Kelainanan letak janin dalam rahim, terutama pada mioma yang besar dan letak subserus;

4. Menghalang-halangi lahirnya bayi, terutama pada mioma yang letaknya di serviks;

5. Inersia uteri dan atonia uteri, terutama pada mioma yang letaknya di dalam dinding rahim atau apabila terdapat banyak mioma;

6. Mempersulit lepasnya placenta, terutama pada mioma submukus dan intramural.49

Sekitar 75% wanita pernah memiliki miom, terkadng kondisi ini tidak diketahui oleh sebagian yang mengalami karena tidak muncul gejala. Gejala yang muncul akibat miom adalah :

1. Masa menstruasi menyakitkan atau berlebih;

2. Rasa sakit atau nyeri pada bagian perut atau punggung bawah;

48

http://www.alodokter.com/miom. di akses pada tanggal 13 September 2015 pukul 18.17.

49


(51)

40

3. Keguguran, mengalami kemandulan, atau bermasalah pada masa kehamilan.50

Faktor terjadinya kemandulan pada pria adalah :

a. Adanya efek pada spermatogenesis yang menyebabkan kelainan. Kelainan bentuk sperma atau jumlah sperma terlalu sedikit sehingga tidak dapat menembus ovum

b. Motilitas sperma yang mungkin terganggu akibat infeksi dan pembentukan jaringan parut di testis, epididimis, vas deferen, atau uretra

c. Infeksi sistematik misalnya parotitis, dapat menyebabkan pembengkakan testis, dan kerusakan tubulus seminiferus

d. Sumbatan pembuluh darah yang memperdarahi testis dapat menyebabkan hipoksia dan kegagalan sperma untuk tumbuh dan bertahan hidup

e. Adanya otoantibodi yang dibentuk terhadap sperma, ini akan mengurangi jumlah dan kualitas sperma.51

50

http://www.alodokter.com/miom.

51

http://www.berkatherbal.com/2012/12/faktor-menyebabkan-kemandulan-pada-pria.html. diakses pada tanggal 13 September 2015 pukul 19.00.


(52)

41

A. Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan

Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai salah satu instansi yang melaksanakan tugasnya, memiliki dasar hukum dan landasan kerja sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24;

2. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman;

3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;

4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama; 5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975; Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975;

6. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 69 Tahun 1963, tentang Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan;

7. Peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan Tata Kerja dan Wewenang Pengadilan Agama.1

Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan surat keputusan Menteri Agama RI Nomor 69 Tahun 1963. Pada mulanya

1


(53)

42

Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta hanya terdapat tiga kantor yang dinamakan Kantor Cabang, yaitu:

1. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara; 2. Kantor Pengadilan Agama Jakarta Tengah;

3. Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai induk.2

Semua Pengadilan Agama tersebut di atas termasuk Wilayah Hukum Cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian setelah berdirinya Cabang Mahkamah Islam TInggi Bandung berdasarkan surat keputusan Menteri Agama Nomor 71 Tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976, semua Pengadilan Agama di Propinsi Jawa Barat termasuk Pengadilan Agama yang berada di Daerah Ibu Kota Jakarta Raya berada dalam Wilayah Hukum Mahkamah Islam Tinggi Cabang Bandung. Dalam perkembangan selanjutnya istilah Mahkamah Islam Tinggi menjadi Pengadilan Tinggi Agama (PTA).3

Berdasarkan surat keputusan Menteri Agama RI Nomor 61 Tahun 1985, Pengadilan Tinggi Agama Surakata dipindah ke Jakarta, akan tetapi realisasinya baru terlaksana pada tanggal 30 Oktober 1987 dan secara otomatis Wilayah Hukum Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta adalah menjadi Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. Terbentuknya kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan jawaban dari

2

www.pa-jakartaselatan.go.id.

3


(54)

perkembangan masyarakat Jakarta, yang ketika itu pada tahun 1967 merupakan cabang di Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya yang berkantor di jalan Otista Raya Jakarta Timur.4

Sebutan pada waktu itu adalah cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk sesuai dengan banyaknya jumlah penduduk dan bertambahnya pemahaman penduduk serta tuntutan masyarakat Jakarta Selatan yang wilayahnya cukup luas. Keadaan kantor ketika itu masih dalam keadaan darurat yaitu menempati gedung bekas kantor Kecamatan Pasar Minggu di suatu gang kecil yang sampai saat ini dikenal dengan gang Pengadilan Agama Pasar Minggu Jakarta Selatan, pimpinan kantor dipegang oleh H. Polana.5

Penanganan kasus-kasus hanya berkisar perceraian, kalaupun ada tentang warisan, masuk kepada komparisi. Itu pun dimulai pada tahun 1969, kerjasama dengan Pengadilan Negeri yang ketika itu dipimpin oleh Bismar Siregar, S.H. Sebelum tahun 1969, pernah pula membuat fatwa waris, akan tetapi hal itu ditentang oleh pihak keamanan karena bertentangan dengan kewenangannya sehingga sempat beberapa orang termasuk Hasan Mughni ditahan karena Penetapan Fatwa Waris. Oleh karenanya, sejak saat itu Fatwa Waris ditambah dengan kalimat "jika ada harta peninggalan".6

4

www.pa-jakartaselatan.go.id.

5

www.pa-jakartaselatan.go.id.

6


(55)

44

Pada tahun 1976, gedung kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke blok D Kebayoran Baru Jakarta Selatan dengan menempati serambi Masjid Syarief Hidayatullah dan sebutan kantor cabang pun dihilangkan menjadi Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Kemudian diangkat pula beberapa hakim honorer yang di antaranya adalah H. Ichtijanto, S.A., S.H. Penunjukan tempat tersebut atas inisiatif kepala Kandepag Jakarta Selatan yang waktu itu dijabat pula oleh Drs. H. Muhdi Yasin. Seiring dengan perkembangan tersebut, diangkat pula 8 karyawan untuk menangani tugas-tugas kepaniteraan yaitu, Ilyas Hasbullah, Hasan Jauhari, Sukandi, Saimin, Tuwon Haryanto, Fathullah AN., Hasan Mughni, dan Imron. Keadaan penempatan kantor di serambi Masjid tersebut, bertahan hingga tahun 1979.7

Selanjutnya pada akhir April 2010, gedung baru Pengadilan Agama Jakarta Selatan diresmikan oleh Ketua Mahkamah Agung RI. Kemudian pada awal Mei 2010, diadakan tasyakuran dan sekaligus dimulainya aktifitas perkantoran di gedung baru tersebut. Pada saat itu Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan dijabat oleh Drs. H. Ahsin A. Hamid, S.H. Sejak menempati gedung baru yang cukup megah dan representatif tersebut, di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dilakukan pembenahan dalam segala hal, baik dalam hal pelayanan terhadap pencari keadilan maupun dalam hal peningkatan TI (Teknologi Informasi) yang sudah semakin canggih disertai dengan aplikasi-aplikasi yang menunjang

7


(1)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

• Bahwa saksi tahu Pemohon ingin menikah dengan CALON ISTRI II sekitar 1

tahun lalu. Pada bulan Agustus 2013 Pemohon ditemani oleh Termohon sudah melamar CALON ISTRI II dan lamarannya diterima oleh CALON ISTRI II

beserta keluarga besarnya.

---• Bahwa antara Pemohon dengan calon isterinya Tidak ada hubungan saudara, Sebelumnya calon isteri Pemohon adalah karyawati diperusahaan milik Pemohon. Disanalah Pemohon bertemu dengan calon isteri keduanya. Sampai akhirnya Pemohon berniat untuk menikahi calon isteri keduanya

tersebut.---• Bahwa Pemohon mempunyai 2 perusahaan, dan sepengetahuan saksi Pemohon

sanggup untuk menafkahi 2 orang isteri.

---• Bahwa hubungan Termohon dengan calon isteri Pemohon sangat baik bahkan

Termohon sendiri yang datang kerumah untuk meminta CALON ISTRI II menjadi isteri dari Pemohon.---Menimbang, bahwa kemudian Pemohon dan Termohon telah mengajukan kesimpulan yang pada pokoknya Pemohon tetap ingin berpoligami sedangkan Termohon mengizinkan dan tidak keberatan Pemohon menikah lagi asal dengan calon isteri Pemohon tersebut

.---PERTIMBANGAN HUKUM

Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon sebagaimana telah diuraikan di

atas;---Menimbang, bahwa majelis telah menasehati pemohon tentang konsekuensi poligami bahkan telah dilakukan mediasi diluar persidangan akan tetapi tidak

berhasil.---Menimbang, bahwa dalil-dalil permohonan pemohon dapat disimpulkan bahwa pemohon ingin menikah lagi dengan seorang perempuan yang bernama CALON ISTRI II dengan alasan bahwa Pemohon masih menginginkan anak karena anak Pemohon baru dua, sementara Termohon pasca operasi kista sudah trauma untuk melahirkan , lagi pula Pemohon telah menjalin hubungan dengan calon isteri Pemohon

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(2)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

dan takut terjerumus keperbuatan

zina

.---Menimbang, bahwa pada pokoknya dalil-dalil tersebut telah diakui dan dibenarkan oleh termohon.---

Menimbang, bahwa yang menjadi pokok masalah dalam perkara ini adalah apakah permohonan pemohon untuk berpoligami ini telah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh hukum dan peraturan perundang undangan ?---

Menimbang, bahwa untuk meneguhkan dalil-dalilnya, pemohon telah mengajukan bukti P.1 sampai dengan P.12 dan saksi-saksi yang bernama 1. SAKSI I dan 2.SAKSI II .---

Menimbang, bahwa surat bukti P.1 dimana bukti tersebut telah dicocokkan dengan aslinya dan telah bermaterai cukup. Oleh karena itu majelis hakim mengkwalifisir bahwa surat tersebut merupakan bukti autentik adanya hubungan hukum antara pemohon dan termohon yang hingga kini masih terikat ikatan suami

isteri.---Menimbang, bahwa bukti P2, sampai dengan P.12 merupakan bukti yang ada kaitannya dengan permohonan pemohon, baik bukti tentang persyaratan berpoligami maupun bukti tentang kepemilikan harta yang telah diperoleh selama Pemohon dan Termohon menikah maka majelis dapat menilai sebagai bukti yang kuat dan patut dipertimbangkan sebagai bukti.---

Menimbang, bahwa saksi-saksi yang diajukan oleh pemohon telah memenuhi syarat formil dan materil yang ditetapkan oleh hukum dan keterangannya yang satu dengan yang lainnya saling bersesuaian yang intinya bahwa pemohon dan termohon suami isteri hingga kini, pemohon dan calon isterinya tidak mempunyai hubungan keluarga atau sedarah yang mengharamkannya untuk menikah. Sepengetahuan saksi pemohon sanggup untuk memenuhi kebutuhan hidup para isterinya dan dapat berlaku adil.---

Menimbang, bahwa berdasarkan pengakuan termohon dihubungkan dengan keterangan saksi-saksi dan bukti-bukti P.1 sampai dengan P.12, majelis hakim menemukan fakta-fakta sebagai berikut : ---

• Bahwa Pemohon dan termohon masih terikat dalam ikatanperkawinan sebagai

suami isteri yang

sah.---Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(3)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

• Bahwa, pemohon hendak menikah lagi dengan perempuan yang bernama

CALON ISTRI II .---

• Bahwa, termohon merestui pemohon menikah lagi.--- • Bahwa, pemohon dan calon isteri pemohon tidak ada hubungan keluarga atau

sedarah yang mengharamkannya untuk menikah.---

• Bahwa, pemohon cukup mampu dalam membiayai kehidupan kedua isterinya kelak karena Pemohon mempunyai penghasilan yang lebih dari cukup .---Menimbang, bahwa melihat kemampuan secara material dimana pemohon bekerja di dua perusahan dan mempunyai penghasilan perbulannya di PT Z sebesar lebih kurang Rp 10.000.000,- ( sepuluh juta rupiah), dan di PT X setiap bulan sebesar Rp. 55.000.000,- ( lima puluh lima juta rupiah ), pemohon telah menyatakan bersedia berlaku adil dalam menggauli kedua isterinya, maka dari kenyataan yang demikian majelis hakim berpendapat bahwa permohonan pemohon telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam, sehingga permohonan pemohon untuk menikah lagi dengan wanita bernama CALON ISTRI II dapat dipertimbangkan

---Menimbang, bahwa apabila permohonan Pemohon tidak dikabulkan maka akan membuat mudharat bagi kedua pihak , karena sesuai dengan kaedah fiqhiyyah yang artinya :

“ Menolak mafsadat untuk menjaga kemaslahatan itu lebih diutamakan” ---

Menimbang, bahwa permohonan Pemohon tersebut sesuai pula dengan Firman Allah SWT. dalam surah An -Nisa, ayat 3: ---

Artinya: “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja” .--- Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan pertimbangan tersebut maka permohoann Pemohon untuk melakukan poligami dapat dikabulkan .---

Menimbang, bahwa sesuai bukti P-4, P-5, P-6, P-7,P-8, P-11 dan P-12 berupa bukti bukti tentang harta bersama Pemohon dan Termohon , dan Pemohon telah

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(4)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

menyanggupi bahwa harta tersebut tidak akan bercampur dengan harta yang akan

diperoleh apbila nanti Pemohon menikah lagi .---

Menimbang, bahwa perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan, maka berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan diubah lagi dengan Undang undang No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama biaya perkara dibebankan kepada pemohon.

---Mengingat segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hukum syara’ yang berkenaan dengan perkara ini. ---

M E N G A D I L I

1. Mengabulkan permohonan Pemohon;---2. Memberi izin kepada Pemohon untuk menikah yang kedua (poligami) dengan

seorang perempuan yang bernama CALON ISTRI

II;---3. Menetapkan harta berupa: 3. 1. sebidang tanah beserta bangunannya dengan luas 160 M2 dan bangunan 300

M2 yang terletak di --- Jakarta Selatan atas nama Ahmad;

3. 2. sebidang tanah beserta bangunannya dengan luas 500 M2 dan bangunan 300 M2 yang terletak di --- Jakarta Selatan atas nama Retno Kadarsih Soedjak, dimana sekarang sedang dalam proses Pergantian Nama hak milik atas nama Retno Kadarsih Soedjak

menjadi TERMOHON;

3. 3. Satu unit mobil Hyundai Tucson buatan tahun 2013 No. Polisi B XXXX SJF atas nama

3. 4. Satu unit mobil Honda Jazz buatan tahun 2013 No. Polisi B XXX ETY atas

nama ANAK I DARI PEMOHON DAN TERMOHON;

3. 5. Satu unit sepeda motor merk Yamaha Sold tahun 2011, No. Polisi B XXX SBL atas nama

Ahmad;---Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(5)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

3. 6. Satu unit sepeda motor merk Yamaha Sold tahun 2009, No. Polisi B 6582

SRB atas nama Ety Suprihatin;

3. 7. Satu unit sepeda motor merk Aprilia tahun 2013; adalah harta bersama antara Pemohon dengan

Termohon;---4. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara ini sejumlah Rp. 316.000,- (tiga ratus enam belas ribu

rupiah);---Demikian diputuskan dalam permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada hari Kamis, tanggal 13 Februari 2014 Masehi bertepatan dengan tanggal 13 Rabiul Tsani 1435 Hijriyah, oleh Drs. Nasrul, M.A. sebagai Ketua Majelis, Dra. Hj. Tuti Ulwiyah, M.H. dan Drs. Sohel, S.H., masing-masing sebagai hakim anggota, putusan mana diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Ketua Majelis dengan dihadiri oleh hakim-hakim anggota tersebut dan dengan dibantu oleh Siti Makbullah, S.H., sebagai panitera pengganti dengan dihadiri oleh Pemohon dan

Termohon;---Hakim Anggota, Ketua Majelis,

ttd ttd

Dra. Hj. Tuti Ulwiyah, M.H. Drs. Nasrul, M.A.

Hakim Anggota, ttd Drs. Sohel, S.H.

Panitera Pengganti, ttd

Siti Makbullah, S.H.

Perincian biaya :

1. Biaya Pendaftaran : Rp. 30.000 2. Biaya Administrasi : Rp. 75.000 3. Biaya Panggilan : Rp. 200.000

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(6)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

4. Biaya Redaksi : Rp. 5.000

5. Biaya Materai : Rp. 6.000 J u m l a h : Rp. 316.000 ( tiga ratus enam belas ribu rupiah)

Untuk salinan sesuai aslinya

Pengadilan Agama Jakarta Selatan Panitera,

H.Ahmad Majid,S.H.M.H.

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id