Menurut Kompilasi Hukum Islam KHI

masalah perkawinan. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 49 ayat 2 UU no. 7 tahun 1989 yaitu: “Bidang perkawinan yang dimaksud ialah hal-hal yang diatur atau berdasarkan undang undang mengenai perkawinan yang berlaku” Dapat disimpulkan bahwa undang-undang No. 3 tahun 2006 adalah peraturan mengenai kewenangan atau kekuasaan badan peradilan agama sebagai payung hukum undang-undang yang bernafaskan Islam. Peraturan poligami yang akan dijalani dengan melihat UU no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Kemudian juga hukum acara Pengadilan Agama, yang berlaku sama seperti pengadilan pada umumnya kecuali yang telah diatur khusus dalam undang-undang ini. 49

C. Menurut Kompilasi Hukum Islam KHI

KHI lahir dari keinginan untuk menyatukan hukum Islam yang tersebar di seluruh nusantara. Tujuan utamanya adalah selain mempositifkan syari’at Islam dalam bidang keperdataan ahwalusyakhsiyah, juga ingin mengkodifikasi dan menyamakan kitab fiqh yang akan dipakai di pengadilan. Karena pada saat itu terjadi keberagaman putusan pengadilan terhadap perkara yang serupa. Dengan tujuan 49 Ibid, Bab IV pasal 54 tersebut maka timbulah keinginan penyeragaman dan kebonafitan hukum untuk umat islam 50 . Kompilasi hukum Islam hadir pada tata hukum nasional Indonesia melalui instrumen hukum dalam bentuk Instruksi Presiden inpres No. 1 Tahun 1991 tanggal 22 juli 1991. Terpilihnya instrumen inpres ini menimbulkan dua pandangan. Pandangan pertama melihat inpres tersebut mempunyai kemampuan mandiri untuk berlaku efektif disamping instrument lainya, dan karenanya memiliki daya atur tersendiri dalam sistem hukum positif nasional, sedangkan pandangan lain melihat bahwa inpres yang dimaksud dalam tata hukum Indonesia tidak terlihat dalam tata urutan peraturan perundangan nasional. Menurut Ismail Sunni, karena sudah jelas keberlakuan hukum dibidang perkawinan, kewarisan dan wakaf bagi pemeluk-pemeluk Islam yang ditetapkan undang-undang bagi umat Islam, maka kompilasi hukum Islam itu memuat hukum materilnya melalui keputusan presideninstruksi presiden. Pendapat tersebut antara lain didasarkan pada disertasi A. Hamid Attamimi. Selanjutnya Sunni mengatakan bahwa instruksi presiden ini dasar hukumnya adalah pasal 4 ayat 1 UUD 1945 yaitu kekuasaan presiden untuk memegang kekuasaan pemerintah Negara. Atas dasar 50 Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dalam Peradilan Agama, Cet II, Logos Wacana Ilmu, Jakarta 1999, h. 1-2 kekuasaan itu apapun nama produk hukum yang dikeluarkan apakah itu keputusan presiden atau instruksi presiden, kedudukannya adalah sama. 51 Materi pokok poligami dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat dalam buku I tentang perkawinan bab IX pasal 55-59 yang menerangkan cakupan untuk beristri lebih dari seorang. Secara umum ketentuan-ketentuan yang diatur KHI dalam bidang hukum perkawinan pada intinya merupakan penegasan ulang tentang hal-hal yang telah diatur dalam undang-undang No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975. 52 Mengenai perihal poligami hal itu bisa dilihat pasal 57, 58 dan 59. Namun esensi yang dibangun KHI mengenai poligami terdapat pada pasal 55 lebih mengedepankan nilai keadilan suami bagi para istri. Berikut poligami dalam KHI tersebut: Pasal 55 menerangkan bahwa beristri lebih dari seorang pada satu waktu bersamaan terbatas hanya sampai empat orang istri dengan syarat utama dari seorang suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Dan apabila syarat utama yang disebut tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang. Pasal 56 bahwa suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama dengan melakukan menurut tatacara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Berikut 51 Ismail Sunni, “Tradisi Dan Inovasi Keislaman Di Indonesia Dalam Bidang Hukum”, makalah dalam symposium Islam dan Kebudayaan Indonesia, Dulu, Kini dan Esok, Jakarta:Oktober 1991, h. 21-24 52 Yahya Harhap, Informasi Materil Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam , Dalam Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam, Jakarta:1991, h. 81 juga menerangkan perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum. Dalam pasal 57 Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila : a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri; b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 58 menerangkan bahwa untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yaitu : a. Adanya persetujuan isteri; b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister- isteri dan anak-anak mereka. Kemudian mengatur mengenai persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama dan persetujuan dimaksud tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila isteri tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim. Pasal 59 menerangkan dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi. Sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya, keadilan telah dijelaskan oleh para ulama agar berhati-hati dalam menjalankan keadilan kepada istri- istri yang telah atau akan dinikahi nanti. Karena selain dijelaskan bahwa keadilan yang hakiki itu haya milik Allah AWT, juga sangsi agama berupa api neraka merupakan jaminan bagi orang yang tidak bisa berbuat adil bagi para pelaku poligami. Permasalahan keadilan berpoligami dalam KHI merupakan concern KHI sendiri melihat permasalahan hukum Islam dalam pandangan fiqh yang ada. Manusia memang terbatas mengenai keadilan, akan tetapi tetap bisa dinilai dengan pola berfikir positif dan realistis dalam kasus poligami. Hakim yang dipercaya sebagai orang yang dianggap penengah dalam masalah apapun tak luput dari kekurangan mengenai keadilan. Keadilan sesorang hanya bisa dinilai oleh orang lain selain dirinya, maka timbul siapa orang yang dipercaya dalam hal ini?. Jawaban yang kongkrit adalah hakim itu sendirilah yang disepakati publik menilai keadilan seseorang karena mempunyai keahlian yang telah dipelajari secara khusus mengenai masalah-masalah apapun. Yahya Harahap mengemukakakan pandangannya mengenai KHI tentang poligami yaitu dalam permasalahan dilibatkan campur tangan Pengadilan Agama. Poligami tidak lagi merupakan tindakan Individual Affairs. Poligami bukan semata- mata urusan pribadi, tetapi juga menjadi kekuasaan negara yakni mesti ada izin Pengadilan Agama. Tanpa izin Pengadilan Agama perkawinan itu dianggap poligami liar . Dia tidak sah dan tidak mengikat. Perkawinan dianggap never existed tanpa izin Pengadilan Agama, meskipun perkawinan dilakukan dihadapan pegawai pencatat nikah. 53 Dari Maksud penjabaran tersebut bertujuan membawa ketentuan-ketentuan undang-undang No. 1 tahun 1974 ke dalam ruang lingkup yang bernafas dan bernilai syari’at Islam. Ketentuan pokok yang bersifat umum dalam undang-undang no. 1 tahun 1974 dijabarkan dan dirumuskan menjadi ketentuan yang bersifat khusus dan sebagai aturan hukum Islam yang diberlakukan khusus bagi mereka yang beragama Islam. D. Menurut PP No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil Dan PP No. 45 Tahun 1983 Tentang Perubahan Atas PP No. 10 Tahun 1983 Undang-undang ini diperuntukan bagi para Pegawai Negeri Sipil PNS agar selalu berdisiplin dalam upaya memberikan contoh publik. Bahkan dalam membina hubungan keluarga sekalipun. 53 Ibid, h.59 Dalam memori penjelasan PP no.10 tahun 1983 antara lain disebutkan, bahwa pegawai negeri sipil sebagai aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan dan ketaatan pada undang-undang yang berlaku. Dengan sedikit perubahan yang ada pada PP no. 45 tahun 1990, maka peraturan ini semakin lengkap untuk menjaga pelanggaran- pelanggaran yang tidak diinginkan. Meskipun, masih ada kekurangan-kekurangan yang perlu dikaji. Sehubungan dengan contoh dan teladan yang harus diberikan oleh pegawai negeri sipil pria kepada bawahan dan masyarakat, maka kepadanya dibebankan ketentuan disiplin yang tinggi. Untuk melakukan perkawinan dan perceraian, pegawai yang bersangkutan harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat atasannya. Lain halnya pegawai negeri sipil wanita yang tidak diperbolehkan menjadi istri kedua, ketiga, atau keempat. Hal ini sesuai dengan PP no. 10 tahun 1983 dan perubahannya pada PP no. 45 tahun 1990 diantaranya: Pasal 4 menerangkan bahwa pegawai negeri sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat dan pegawai negeri sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri kedua ketigakeempat dengan meminta izin yang diajukan secara tertulis berikut alasan yang lengkap yang mendasari permintaaan izin untuk beristri lebih dari seorang. Syarat-syaratnya, yaitu sebagaimana dikemukakan pasal 10 PP no. 10 tahun 1983 adalah sebagai berikut: Pasal 10 1. Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila memenuhi sekurangkurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dan ayat 3 Pasal ini. 2. Syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ialah a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan. 3. Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ialah a. Ada persetujuan tertulis dari isteri; b. Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan; dan c. Ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya. 4. Izin untuk beristeri lebih dari seorang tidak diberikan oleh Pejabat apabila : a. bertentangan dengan ajaranperaturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan; b. tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dan ketiga syarat kumulatif dalam ayat 3; c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; danatau e. ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan. Hal mengenai mekanismenya diterangkan dalam pasal 5 dan 10 PP no. 10 tahun 1983 adalah sebagai berikut: Pasal 5 1. Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 diajukan kepada pejabat melalui saluran tertulis. 2. Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian atau untuk beristeri lebih dari seorang, maupun untuk menjadi isteri keduaketigakeempat, wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 tiga bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud. Pasal 10 1. Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila memenuhi sekurangkurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dan ayat 3 Pasal ini. 2. Syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ialah a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan. 3. Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ialah a. ada persetujuan tertulis dari isteri; b. Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan; dan c. ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya. 4. Izin untuk beristeri lebih dari seorang tidak diberikan oleh Pejabat apabila : a. bertentangan dengan ajaranperaturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan; b. tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dan ketiga syarat kumulatif dalam ayat 3; c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; danatau e. ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan. Hal-hal lain mengenai pengaturan PP no. 10 tahun 1983 dan perubahannya pada PP no. 45 tahun 1990 adalah sebagai berikut: Pasal 9 1. Pejabat yang menerima permintaan izin beristri lebih dari seorang sebgaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 wajib memperhatikan dengan seksama alasan- alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan izin dan pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan. 2. Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan dalam permintaan izin tersebut kurang meyakinkan, maka Pejabat harus meminta keterangan tambahan dari isterisuami dari Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin itu atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan keterangan yang meyakinkan. 3. Sebelum mengambil keputusan, Pejabat berusaha lebih dahulu merukunkan kembali suami isteri yang bersangkutan dengan cara memanggil mereka secara langsung untuk diberi nasehat. Pasal 11 Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian atau akan beristeri lebih dari seorang yang berkedudukan sebagai: 1. Pimpinan Lembaga TertinggiTinggi Negara, Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga TertinggiTinggi Negara, Gubernur Bank Indonesia, Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri, dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, wajib meminta izin lebih dahulu dari Presiden. 2. BupatiWalikotamadya Kepala Daerah Tingkat II termasuk Walikota di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Walikota Administratif, wajib meminta izin lebih dahulu dari Menteri Dalam Negeri. 3. Pimpinan Bank milik Negara dan pimpinan Badan Usaha milik Negara, wajib meminta izin lebih dahulu dari Presiden. 2. Pimpinan Bank milik Daerah dan pimpinan Badan Usaha milik Daerah, wajib meminta izin lebih dahulu dari Kepala Daerah yang bersangkutan. Pasal 12 Pemberian atau penolakan pemberian izin untuk melakukan perceraian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, untuk beristeri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1, atau untuk menjadi isteri kedua ketigakeempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 3, dilakukan oleh Pejabat secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 tiga bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin tersebut. Melihat semua perundang-undangan yang telah disebutkan diatas, timbul sekarang pertanyaan; mampukah PP no. 10 tahun 1983 dan perubahannya pada PP no. 45 tahun 1990 memberantas praktek poligami illegal dengan segala bentuknya?. Merujuk pada penelitian Soetojo Prawirohamidjojo 54 yang dijadikan desertasi doktornya, bahwa memang dengan berlakunya UU Perkawinan angka kawin lebih dari satu menunjukkan statistik menurun secara drastis. Namun, praktek poligami dengan segala bentuknya semakin banyak, yang disebabkan oleh : 54 Soetojo Prawirohamidjojo, pluralisme dalam perundang-undangan perkawinan Indonesia, Surabaya: Airlangga University Press 2002, h. 50 1. Tidak adanya kesadaran hukum yang tinggi dari masyarakat; 2. Bagi mereka yang terikat oleh pengetatan tertentu karena kedinasannya dibayangi oleh rasa takut kepada atasan disamping prosedurnya yang terlalu lama dan sulit; 3. Tidak adanya tindakan yang tegas terhadap poligami illegal. Meskipun masih ada kelengahan dalam sudut apapun, dengan rasa optimis yang tinggi diharapkan PP no. 10 tahun 1983 dan perubahannya pada PP no. 45 tahun 1990 menjadi garda terdepan untuk memberi arahan untuk berpoligami dengan baik dan tepat. Khususnya bagi Pegawai Negeri Sipil yang menjadi figur bagi kalangan masyarakat.

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN POLIGAMI