Ndoye et al. 2003, melaporkan, peningkatan konsentrasi BAP hingga 5 mgl dapat menurunkan panjang tunas dalam kultur in vitro dan BAP yang
dikombinasikan dengan NAA lebih efektif dalam multiplikasi tunas aksilar. Herawan dan Hardi 2005 juga melaporkan hasil penelitiannya, bahwa media
yang ditambahkan BAP 0,5 mgl merupakan konsentrasi yang paling optimum untuk pertumbuhan tunas aksilar dibanding dengan penambahan hormon pada
konsentrasi yang lebih tinggi. Menurut Heddy 1986, hormon pengatur tumbuh BAP, walaupun dengan
konsentrasi rendah, dapat mengatur proses fisiologis tumbuhan. Hal ini disebabkan hormon pengatur tumbuh dipengaruhi oleh asam nukleat sehingga
langsung mempengaruhi sintesis protein dan mengatur aktivitas enzim. Sama halnya dengan BAP, pemberian TDZ dengan konsentrasi semakin
tinggi pada dua sumber eksplan yang ditanam dapat menyebabkan panjang tunas yang terbentuk semakin rendah. Menurut Lu 1993, pemberian TDZ pada
konsentrasi tertentu akan menghambat pertumbuhan tinggi tanaman.
3. Jumlah Daun
Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa media yang diberi perlakuan BAP atau TDZ berpengaruh nyata terhadap jumlah daun yang
dihasilkan selama 12 MST baik eksplan yang berasal dari tunas aksilar maupun eksplan yang berasal dari tunas adventif Lampiran 2. Rata-rata jumlah daun
kumulatif dapat dilihat pada Gambar 17 dan 18. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa planlet gaharu untuk eksplan yang
berasal dari tunas aksilar yang diberi perlakuan BAP 0,5 ppm atau TDZ 0,25 ppm merupakan konsentrasi yang optimum dalam menghasilkan rata-rata jumlah daun
planlet gaharu, hal ini dapat dilihat dari rata-rata jumlah daun yang dihasilkan yaitu secara berturut-turut 6,5 dan 6,28 Gambar 17. Pada perlakuan lainnya
terjadi penurunan jumlah daun, jumlah daun yang paling sedikit dihasilkan oleh kontrol yaitu 4,33.
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa eksplan tunas aksilar yang diberi perlakuan BAP 0,50 ppm berbeda nyata dengan perlakuan BAP 0,75 ppm,
BAP 1,0 ppm dan kontrol, sedangkan media yang diberi perlakuan TDZ 0,25 ppm
tidak berbeda nyata dengan TDZ 0,50 ppm, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan TDZ 0,75 ppm dan kontrol Gambar 17.
4.33 6.5
6 5.39
1 2
3 4
5 6
7
0,5 0,75
1,0
Konsentrasi BAP Ju
m lah
D a
u n
d a
b c
4.33 6.28
6 5.28
2 4
6 8
0,25 0,50
0,75
Konsentrasi TDZ Ju
m lah
D a
u n
c a
a b
Gambar 17. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Jumlah Daun, dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar.
Keterangan: Angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada 0,01 DMRT.
Eksplan tunas adventif yang ditanamn pada media yang diberi perlakuan BAP 0,50 ppm atau TDZ 0,25 ppm lebih optimum dan menghasilkan rata-rata
jumlah daun yang terbanyak yaitu 7,22 dan 6,78 secara berturut-turut Gambar 18. Pada perlakuan lainnya terjadi penurunan jumlah daun yang dihasilkan. Hasil
uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan BAP 0,50 ppm tidak berbeda nyata dengan perlakuan BAP 0,75 ppm, perlakuan BAP 1,0 ppm tidak berbeda
nyata dengan kontrol Gambar 18. Perlakuan TDZ 0,25 ppm berbeda nyata dengan perlakuan TDZ 0,50 ppm, tetapi perlakuan TDZ 0,50 ppm tidak berbeda
nyata dengan perlakuan TDZ 0,75 ppm dan kontrol Gambar 18.
4.5 7.22
6.11 4.66
2 4
6 8
0,5 0,75
1,0
Konsentrasi BAP Ju
m lah
D a
u n
b a
a b
4.5 6.78
5.22 4.78
2 4
6 8
0,25 0,50
0,75
Konsentrasi TDZ Ju
m lah
D au
n
c a
b bc
Gambar 18. Grafik Pengaruh BAP dan TDZ terhadap Rerata Jumlah Daun, dengan Sumber Eksplan dari Tunas Adventif.
Keterangan: Angka-angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada 0,01 DMRT.
Gambar 17 dan 18 memperlihatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ZPT yang diberikan baik BAP maupun TDZ pada dua eksplan yang dicobakan, maka
rata-rata jumlah daun yang dihasilkan semakin menurun. Penambahan BAP atau TDZ yang lebih tinggi tidak mampu meningkatkan jumlah daun. Hal ini
menunjukkan bahwa penambahan BAP 0,50 ppm atau TDZ 0,25 ppm pada media mampu merangsang pembelahan sel di meristem apikal tunas dibanding pada
konsentrasi yang lebih tinggi. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Herawan dan Hardi 2005 pada tanaman murbei, semakin tinggi konsentrasi ZPT
yang diberikan maka jumlah daun murbei yang dihasilkan semakin rendah. Suryowinoto 1996, menyatakan bahwa untuk meningkatkan jumlah daun
dalam kultur jaringan sering diperlukan ZPT, karena akan mempengaruhi pertumbuhan termasuk pembelahan dan pembesaran sel, penambahan plasma dan
diferensiasi sel untuk kemudian membentuk organ-organ lain seperti tunas, akar, daun dan sebagainya.
Menurut Strabala et al. 1996, auksin dan sitokinin berperan dalam perkembangan primordia daun, dan posisi inisiasi primordia daun juga
dipengaruhi oleh transport auksin. Kemudian menurut Salisbury dan Ross 1995, transportasi auksin bersifat basipetal dari tempat sintesisnya yaitu tunas apikal
atau pucuk. Pada tunas apikal pertumbuhan daun cenderung mengarah kebagian terminal. Akibatnya terjadi dominasi apikal yang menghambat pertumbuhan tunas
aksilar. Pada tunas aksilar arah pertumbuhan daun sering mengarah ke bagian lateral. Apabila tunas apikal dibuang, sumber auksin endogen hilang, maka
pertumbuhan daun pada tunas aksilar mengarah kebagian terminal menggantikan pertumbuhan tunas apikal. Pertumbuhan planlet selengkapnya dapat dilihat pada
Gambar 19.
A B
F C
D E
Gambar 19. Planlet Gaharu Berumur 12 MST pada Media MS.
Keterangan: A: BAP 0,50 ppm dan B: BAP 0,75 ppm Eksplan Tunas Adventif, C: BAP 0,50 ppm Eksplan Tunas Aksilar, D: TDZ 0,25 ppm Eksplan Tunas Aksilar, E: TDZ 0,75 ppm
dan F: TDZ 0,25 ppm Eksplan Tunas Adventif.
Visualisasi Perkembangan Eksplan
Visualisasi perkembangan eksplan dilakukan sejak hari keenam eksplan ditanam di dalam media perlakuan, sedangkan lima hari sebelumnya tidak
dilakukan pengamatan karena eksplan dalam tahap inkubasi dalam ruangan gelap. Pengamatan dilakukan terhadap perkembangan dua sumber eksplan sejak awal
hingga akhir penelitian. Pengamatan pertama dilakukan terhadap jumlah eksplan yang terkontaminasi dan pencokelatan. Dari 168 eksplan yang ditanam, 18
21,42 eksplan yang berasal dari tunas aksilar dan 11 13,09 eksplan dari tunas adventif yang terkontaminasi. Jumlah yang mengalami pencokelatan hanya
terjadi pada eksplan yang berasal dari tunas aksilar yaitu 6 7,14 Gambar 20. Eksplan tunas adventif tidak mengalami pencokelatan karena hasil kultur in vitro
dan masih muda.
7.14 21.42
13.09 5
10 15
20 25
Pencokelatan Eksplan Aksilar
Pencokelatan Eksplan
Adventif Kontam
ekslpan aksilar Kontam
eksplan adventif
P er
sen tase
Gambar 20. Persentase Pencokelatan dan Terkontaminasi Eksplan dari Tunas Aksilar dan Adventif yang Ditanam Pada Media MS Mengandung
BAP atau TDZ.
Pengamatan selanjutnya dilakukan terhadap proses perkembangan eksplan, yang mana dari dua sumber eksplan yang ditanam baik eksplan tunas aksilar
maupun tunas adventif memiliki proses perkembangan yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh daya adaptasi eksplan pada lingkungan tempat tumbuh yang
baru sangat mempengaruhi perkembangan eksplan. Pada eksplan yang berasal dari tunas aksilar, perkembangan eksplan didahului oleh pembengkokan sehingga
membentuk seperti lingkaran atau menggulung Gambar 21 A, sedangkan pada eksplan yang berasal dari tunas adventif, proses perkembangan eksplan langsung
membesar dan memanjang Gambar 21 B.
A B
Gambar 21. Perbedaan Perkembangan Eksplan dalam Botol Kultur. Eksplan Tunas Asilar A dan Eksplan Tunas Adventif B.
Tahap selanjutnya, kedua eksplan tersebut pada bagian pangkal atau bagian pemotongan terlihat mulai membengkak menyerupai bonggol yang berwarna
putih kekuningan, sedangkan pada bagian ujungnya mulai membentuk tunas
pertama, selanjutnya pada bonggol terlihat mata-mata tunas yang akan muncul menjadi tunas.
Pada setiap eksplan yang ditanam, baik pada media yang diberi perlakuan ZPT BAP maupun TDZ, terlihat proses perkembangan eksplan yang berbeda-
beda, hal ini disebabkan oleh eksplan yang digunakan memiliki tingkat juvenilitas dan meristematik sel yang berbeda satu dengan yang lainnya, terutama eksplan
yang berasal dari tunas aksilar. Oleh karena itu tahap awal perkembangan eksplan terlihat lebih bervariasi dalam proses pembentukan tunas. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa eksplan yang berasal dari tunas aksilar lebih lambat dalam induksi atau pembentukan tunas dibandingkan eksplan yang berasal dari tunas
adventif. Tunas pertama terbentuk pada minggu ke 5 pada eksplan yang berasal dari tunas aksilar dan minggu ke 3 pada eksplan yang berasal dari tunas adventif.
Lambatnya proses pembentukan tunas pada eksplan yang berasal dari tunas aksilar diduga karena eksplan berasal dari bibit yang diambil dari rumah kaca,
kemudian dilakukan sterilisasi dengan bahan sterilan, menyebabkan eksplan tercekam akibat perlakuan mekanik sebelum inokulasi sehingga membutuhkan
waktu untuk beradaptasi pada kondisi dan lingkungan yang baru. Selain itu eksplan yang berasal dari lapangan yang awalnya pada lingkungan autotrof
menjadi heterotrof. Berbeda dengan eksplan yang berasal dari tunas adventif. Pada awalnya sudah berasal dari dalam botol atau lingkungan aseptik, sehingga
apabila dipindahkan pada lingkungan baru tidak terlalu stress dan tidak membutuhkan waktu yang cukup lama untuk beradaptasi. Kondisi ini akan terjadi
apabila eksplan yang ditanam tidak terkontaminasi. Secara visual proses perkembangan eksplan sampai menjadi planlet antara
eksplan yang berasal dari tunas aksilar dan tunas adventif terlihat ada perbedaan. Perbedaan ini terlihat dari bentuk bonggol, jumlah tunas, panjang tunas, jumlah
daun, dan bentuk daun Tabel 6. Pengamatan bentuk bonggol terlihat bahwa eksplan tunas aksilar memiliki bentuk bonggol agak lebih besar dibanding eksplan
tunas adventif. Tetapi jumlah tunas dan jumlah daun lebih banyak dihasilkan oleh eksplan tunas adventif. Untuk panjang tunas, eksplan tunas aksilar lebih panjang
dibanding eksplan tunas adventif. Berdasarkan jumlah daun yang terbentuk menunjukkan bahwa planlet yang berasal dari eksplan tunas aksilar lebih panjang
dan lebar-lebar, sedangkan eksplan tunas adventif terlihat lebih kecil-kecil dan panjang.
Tabel 6. Perbedaan Visualisasi Perkembangan Eksplan Sampai 12 MST.
Eksplan No. Bagian Yang Diamati
Tunas Aksilar Tunas Adventif
1. 2.
3. 4.
5. 6.
7. 8.
9.
10. 11.
Jumlah terkontaminasi Pencokelatan
Bentuk eksplan umur 6 HST Bentuk bonggol
Muncul tunas Jumlah tunas
Panjang tunas Jumlah daun
Bantuk daun Bakal tunas mata tunas
Warna planlet 21.42
ada melengkung
lebih besar minggu ke 5
banyak lebih panjang
banyak lebar dan panjang
lebih sedikit hijau
13.09 tidak ada
memanjang besar
minggu ke 3 lebih banyak
panjang lebih banyak
kecil dan panjang lebih banyak
hijau
Sub Penelitian II. Evaluasi Stabilitas Genetik Umum
Ekstraksi DNA dilakukan pada daun gaharu yang sudah ditetapkan sebagai sampel untuk dianalisis dengan menggunakan teknik RAPD. Jumlah yang
digunakan adalah sebanyak 22 sampel yang terdiri dari 6 sampel dari pohon induk, 4 sampel sebelum dikultur sebelum diberi perlakuan BAP, 4 sampel hasil
kultur hasil perlakuan BAP, 4 sampel sub kultur I dan 4 sampel sub kultur II. Sampel diambil dari dua sumber eksplan yang ditanam yaitu yang berasal dari
tunas aksilar dan yang berasal dari tunas adventif Gambar 10. Ekstraksi DNA dilakukan bertujuan untuk memisahkan atau mengisolasi
DNA dari material daun yang lainnya, agar diperoleh DNA yang murni. Proses ini diawali dengan penggerusan yaitu proses pemecahan dinding sel yang dibantu
oleh larutan CTAB ekstraksi untuk melisis dinding sel dan aktif pada kondisi panas 65ºC, CTAB juga dapat menyebabkan protein dalam sel terdenaturasi.
Dalam penelitian ini, penggerusan daun gaharu dilakukan secara mekanik dengan menggunakan mortar dan pestel. Penggerusan secara mekanik dengan
menggunakan metode ekstraksi CTAB Murray and Thompson, 1980 dalam Rimbawanto et al. 2004. Metode ini mengunakan buffer ekstraksi yang terdiri
dari 10 CTAB, I M Tris pH 9, 5 M NaCl, Mercaptoethanol, psd H2O dan 0,5 M EDTA.
Daun gaharu yang berasal dari pohon induk dan dari bibit proses penggerusan dilakukan lebih lama karena daun agak tua dan banyak mengandung
serat, sebaliknya pada daun gaharu dari tunas adventif atau hasil kultur jaringan lebih mudah karena daun relatif masih muda dan sedikit mengandung serat. Untuk
lebih memudahkan dalam proses penggerusan dan untuk mengurangi aktivitas enzim selama proses ekstraksi pada daun atau sampel yang lebih tua sebaiknya
penggerusan dilakukan dengan menggunakan nitrogen cair. Dalam penelitian ini tidak menggunakan nitrogen cair, karena sampel yang digunakan relatif muda dan
masih mudah dalam proses penggerusan. Selanjutnya dilakukan penambahan PVP 2 yang berfungsi untuk
menghambat enzim polifenol oksidase yang dapat mendegradasi rantai DNA dan menyebabkan teroksidasinya senyawa fenol. Senyawa fenol yang teroksidasi
ditandai dengan warna cokelat pada jaringan tanaman yang akan diisolasi. Sampel daun gaharu yang lebih tua menghasilkan warna cairan agak kekuningan,
sedangkan sampel daun gaharu yang muda terlihat lebih bening. Hal ini menunjukkan bahwa daun gaharu yang tua masih mengandung senyawa polifenol
di dalam jaringannya. Larutan NaCl dalam bufer berfungsi sebagai larutan isotonik yang memberikan tekanan osmotik bagi DNA dalam sel sehingga DNA
tidak rusak, sedangkan larutan basa tris memberikan kondisi pH yang optimum. Setelah dilisis, DNA dipisahkan dari senyawa-senyawa pengotor seperti protein
dan polisakarida dengan larutan klorofrom karena klorofrom mampu mengendapkan protein yang terdenaturasi dan polisakarida melalui sentrifugasi.
Protein dan sebagian polisakarida akan terendapkan dalam fase organik sedangkan asam nukleat larut dalam fase air. Pemurnian dengan larutan klorofrom ini
dilakukan dua kali agar didapatkan DNA murni. Pemurnian selanjutnya dengan menggunakan etanol dan isopropanol. Pencucian dengan etanol dimaksudkan
untuk memisahkan senyawa lain yang masih ada seperti larutan CTAB dan garam-garam yang menempel pada DNA.
DNA Pohon Induk Hasil Ekstraksi
Enam sampel yang digunakan untuk diekstraksi yang berasal dari pohon induk menghasilkan resolusi pita DNA yang lebih seragam, hanya sampel nomor
satu yang memiliki resolusi pita yang kurang jelas Gambar 22. Sehingga untuk analisis PCR selanjutnya dilakukan pengenceran DNA, untuk sampel nomor 1
dilakukan pengenceran hingga 90 kali 1 µl DNA dan 89 µl aquabides, sedangkan untuk sampel nomor 2 sampai 6 dilakukan pengenceran hingga 100
kali 1 µl DNA dan 99 µl aquabides. pi1 pi2 pi3 pi4 pi5 pi6
80x 90x 90x 90x 90x 90x Gambar 22. Profil DNA Hasil Ekstraksi Pohon Induk, Jumlah Sampel pi1-pi6.
Perbandingan Pengenceran DNA 80x.
DNA Hasil Ekstraksi Sampel Sebelum Kultur Hingga Sub Kultur II
Hasil 16 sampel yang diekstraksi terlihat adanya resolusi pita DNA yang bervariasi. Sampel nomor ad3 dan ak5 terlihat resolusi pita DNA yang paling
tipis. Selanjutnya, pada sampel yang berasal dari eksplan tunas adventif ad ada 4 sampel yang memberikan resolusi pita DNA yang paling jelas yaitu pada sampel
dengan kode ad1, ad2, ad7 dan ad8, sedangkan yang berasal dari tunas aksilar ak ada 5 sampel yang memberikan resolusi pita DNA yang paling jelas ditunjukan
oleh sampel dengan kode ak1, ak2, ak3, ak7 dan ak8 Gambar 23.
M 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8
Eksplan Tunas Aksilar ak Eksplan Tunas Adventif ad
80x 80x 20x 50x 40x 60x 80x 80x 80x 80x 80x 60x 30x 30x 80x 50x
Gambar 23. Profil DNA Gaharu Hasil Ekstraksi sebelum Kultur hingga Sub Kultur II.
Keterangan: M: Marker, 80x: Perbandingan Pengenceran DNA. ad1-ad8: Eksplan dari Tunas Adventif dan ak1-ak8: Eksplan dari Tunas Aksilar.
Primer Hasil Seleksi
Setiap organisme hidup memiliki DNA yang spesifik sehingga dalam penelitian ini perlu dilakukan seleksi primer untuk mendapatkan primer yang
cocok yang digunakan selanjutnya dalam proses RAPD. Primer merupakan sekuen DNA dengan urutan basa tertentu yang dibutuhkan oleh DNA cetakan
untuk pembentukan DNA baru. Primer dengan urutan basa yang komplemen dengan urutan basa DNA cetakan akan diperpanjang oleh enzim polimerase DNA
dengan menambahkan dNTP sehingga membentuk DNA baru. Rimbawanto 2004, menyatakan bahwa seleksi primer primer screening dimaksudkan untuk
mencari random primer yang menghasilkan penanda polimorfik, karena tidak semua nukleotide primers dapat menghasilkan produk amplifikasi primer positif
dan dari primer positif tidak semuanya menghasilkan fragmen DNA polimorfik Dalam penelitian ini digunakan primer dari Operon Technology. Dari 10
primer acak yang diseleksi dengan cara amplifikasi terhadap DNA daun gaharu sebelum dikultur sampai pada subkultur ke 2, diperoleh 9 primer yang
menghasilkan profil pita amplifikasi yang bervariasi dan mempunyai ukuran antara 200 sampai dengan 1500 pasang basa pb yaitu OPO-06, OPO-09, OPO-
10 , OPO-14, OPO-18, OPY-02, OPY-06, OPY-08, OPY-11, sedangkan satu primer OPY-09 tidak teramplifikasi Gambar 24. Dua primer yang menghasilkan
pita yang lebih jelas dan jumlah pita polimorfik yang lebih tinggi yaitu OPY-06 dan OPY-08 Gambar 24 dan Tabel 7, yang selanjutnya digunakan untuk
mengamplifikasi DNA dari 16 sampel daun gaharu yang diteliti.
M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Gambar 24. Profol DNA Hasil Seleksi 5 Primer OPO dan 5 Primer OPY Sampel sebelum Kultur hingga Sub Kultur II.
Keterangan: M: Marker, 1: OPO-06, 2: OPO-09, 3: OPO-10 , 4: OPO-14, 5: OPO-18, 6: OPY-02, 7: OPY-06, 8: OPY-08, 9: OPY-09 dan 10: OPY-11.
Tabel 7. Jenis Primer, Urutan Basa dan Jumlah Pita DNA Genotipe Gaharu
No Primer Urutan
Basa Jumlah Pita
Polimorfik 1. OPO-06
5’CCACGGGAAG’3 3 2. OPO-09
5’TCCCACGCAA’3 2
3. OPO-10 5’TCAGAGCGCC’3
4 4. OPO-14
5’AGCATGGCTC’3 4
5. OPO-18 5’CTCGCTATCC’3 3
6. OPY-02 5’CATCGCCGCA’3
3
7. OPY-06 5’AAGGCTCACC’3 5