LANDASAN TEORI Responsivitas Dinas Kesehatan Dalam Pembinaan Jamu Tradisional Di Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap

commit to user

BAB II LANDASAN TEORI

Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengapa suatu variabel bebas tertentu dimasukan dalam penelitian karena berdasarkan teori tersebut variabel yang bersangkutan memang bisa mempengaruhi variabel tak bebas atau merupakan salah satu penyebab Mustofa, 2009:142. Seiring dengan berkembangnya kehidupan masyarakat melalui meningkatnya kesejahteraan hidup mereka, pemerintah daerah dituntut untuk menyelenggarakan pemerintah yang aspiratif terhadap suara rakyat, serta melibatkan masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai konsekuensinya maka masyarakat harus ditempatkan secara aktif dalam kegiatan penyelenggaraan pemerintah. Pelibatan masyarakat hanya akan terjadi jika mereka diberi ruang dan kesempatan untuk berpartisipasi. Penciptaan kesempatan itu dengan meletakan masyarakat sebagai pihak yang ikut menentukan posisi dalam pelayanan publik. Konsep peletakan masyarakat sebagai pihak yang juga ikut memainkan posisi dalam pelayanan publik terkandung dalam paradigma New Public Management. Dengan demikian maka perlu diterapkannya paradigma New Public Manajement. Konsep New public Manajement ini dipandang sebagai suatu konsep baru yang ingin menghilangkan monopoli pelayanan yang tidak efisien yang dilakukan oleh pejabat–pejabat pemerintah serta diupayakan agar para pemimpin birokrasi menemukan alternatif cara-cara pelayanan publik berdasarkan perspektif ekonomi Thoha, 2008:75. Penerapan konsep perspektif ekonomi tersebut memberikan impilikasi adanya ketidakadilan pada pelayanan publik terhadap mereka yang lemah commit to user ekonominya kepemilikan sumber dana. Hal ini dalam konsep New Public Management hanya mereka yang memiliki sumber daya ekonomi akan menerima pelayanan prima. Semakin tingginya sumber ekonomi dari penerima pelayanan diharapkan akan bergaris lurus dengan pelayanan yang akan diterima, hal ini sesuai dengan prinsip yang dijalankan dalam dunia bisinis. Hal ini menciptakan ketidakadilan pelayanan publik walaupun tujuannya adalah untuk meningkatkan motivasi pemberian kualitas yang prima. Adanya kelemahan tersebut menciptakan terjadinya pergeseran paradigma pada penyelenggaraan pemerintahan agar tercipta keadilan pada semua lapisan masyarakat yaitu penerapan New Public Service. Konsep New Public Service menerapkan masyarakat sebagai citizenship kewarganegaraan yang demokratis yaitu individu bebas secara aktif untuk terlibat dalam komunitas dan kehidupan politik Thoha, 2008:85. New Public Service memandang masyarakat sebagai pihak yang harus dilayani secara adil tanpa membedakan kepemilikian sumber daya. Terdapat pembatasan yang jelas antara hak dan kewajiban antara pemerintah dan masyarakat. Dalam New Public Service menekankan adanya pelibatan secara penuh masyarakat dalam proses pemerintahan. Memandang masyarakat bukan lagi sebagai klien namun sebagai citizenship. Citizenship yang democratic ialah adanya keterlibatan yang aktif dari warga Negara dalam proses pemerintahan. Warga Negara tidak hanya melihat dari perspketif individu dalam persoalan yang lebih besar, namun dia melihat semua persoalan dari perspketif yang lebih luas untuk kepentingan umum concern to whole, merasa ikut memiliki, dan adaya moral bond dengan komunitasnya Sandel, 1996 dalam Thoha, 2008:86. commit to user Penerapan masyarakat sebagai citizen yang demokratis dalam perwujudannya dibutuhkan tata pemerintahan yang baik yang mampu memfasilitasi, memenuhi dan mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan masyarakat secara adil. Yaitu tanpa membedakan penerima layanan tersebut baik kaya maupun miskin mendapatkan prioritas yang sama. Pelaksanaan prinsip good governance tata pemerintahan yang baik menjadi keharusan yang tidak bisa dielakan lagi. Merupakan suatu konsep yang menerapkan prinsip-prinsip suatu pemerintahan yang baik yang sesuai dengan harapan masyarakat. New Public Manajement and New Public Service konsep tersebut memiliki pandangan pesrpektif yang berbeda. Keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu berupaya untuk memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat hanya saja caranya yang berbeda. New Public Service merupakan upaya penyempurnaan atas kekurangan New Public Management agar lebih berorientasi kepada masyarakat. Dengan demikian sehingga masyarakat akan lebih terlayani dengan baik secara merata dan adil. Pelayanan yang baik akan bisa dirasakan oleh masyarakat bukan hanya yang kuat baik secara ekonomi maupun pengaruhnya dalam kehidupan sosial namun oleh semua lapisan masyarakat. Denhart and Denhart 2002:28 mengkonsepkan perbedaan New Public Management and New Public Service sebagai berikut: commit to user Tabel 2.1 Perbedaan New Public Management and New Public Service Perspektif 1 NPM 2 NPS 3 Dasar teoritikal dan epistemologi Teori ekonomi, dasar pembahasan yang lebih menekankan pada ilmu sosial positif Teori demokratis, pendekatan yang bervariasi untuk pengetahuan yang positif, interpretatif dan kritis Rasionalitas keterkaitan model perilaku manusia Tekhnikal dan rasional ekonomi, “orang ekonom” atau kepentingan sendiri dalam pembuatan keputusan Strategi atau rasionalitas formal, multi tes rasionalitas politik, ekonomi, dan organisasi Pemahaman kepentingan publik Kepentingan publik mewakili kumpulan kepentingan individual Kepentingan publik merupakan hasil dialog tentang pembagian nilai Kepada siapa pelayanan publik yang responsif ditunjukan Pelanggan Warga negara Peran mekanisme pemerintah dalam mencapai kebijakan yang objektif Mengendalikan menggerakan sebagai katalisator dalam melancarkan kekuatan pasar. Menciptakan mekansime struktur insentif utk mencapai kebijakan yg objektif melalui agen prifat dan non- profit Melayani negosiasi dan penghubung kepentingan antara warganegara dan kelompok komunitas, menciptakan pembagian nilai. Membangun koalisi publik lembaga privat utk menemukan kesepakatan satu sama lain atas suatu kebutuhan Struktur organisasi yang diasumsikan Organisasi desentralisasi publik dengan kontrol utama dalam suatu lembaga Kolaborasi struktur dengan pembagian kepemimpinan internal eksternal Sumber: Buku karangan Janet Denhart dan Robert Denhart. The Public Service-Serving, not Steering 2002 Perwujudan New Public Service membutuhkan suatu kondisi pemerintahan yang baik dan bertangggung jawab terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat agar tercipta kesejahteraan bersama. Pemerintahan yang baik merupaka pemerintahan yang menekankan konsep transparansi atau keterbukaan, partisipasi, dasar hukum, responsivitas, orientasi pada konsensus, keadilan, efektivitas dan efisiensi, akuntabilitas dan visi strategi Fahmal, commit to user 2006:62. Komponen-komponen tersebut merupakan komponen dalam arah menuju pemerintahan yang baik good governance. Pemerintahan yang baik merupakan kondisi berlangsungnya paradigma New Public Service yang menempatkan masyarakat sebagai citizen yang ikut aktif dalam kegiatan pemerintahan. Pemerintahan yang baik mencerminkan kesinergian antara pemerintah, swasta dan masyarakat. 1. Good Governance Pelaksanaan good governance merupakan konsekuensi terhadap kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat akan pelayanan yang lebih baik. Good governance merupakan suatu proses demokratisasi agar masyarakat bisa ikut berpartisipasi secara aktif dalam kebijakan pemerintah, agar pemerintah mampu untuk menerapkan sikap terbuka terhadap masyarakatnya dan pengamalan nilai-nilai lainnya yang terdapat pada nilai-nilai good governance. Tata pemerintahan yang mampu menciptakan keharmonisan hubungan antara pemerintah, masyarakat dan pihak swasta. Mengakomodasi berbagai kepentingan di dalamnya dengan bijaksana dan responsif tehadap kebutuhan dan kepentingan publik. Perwujudan good governance salah satunya dilihat melalui kontribusi masing-masing pihak atau stakeholder tersebut dalam proses pemerintahan. Dalam hal ini sering kali terjadi perbedaan kepentingan pada masing-masing stakeholder. Pemerintah dituntut untuk transparan dalam menjalankan jalannya pemerintahan. Good governance diterapkan pada seluruh bidang kehidupan commit to user baik ekonomi, sosial, politik, hukum dan budaya yang dijalankan oleh pemerintah. Pemerintah harus mampu mempertanggungjawabkan dalam segala kebijakan yang dilakukannya terkait dengan proses pemerintahan yang dijalankannya. Sehingga tercipta adanya akuntabilitas. Akuntabilitas publik menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada pejabat politik yang dipilih oleh masyarakat Dwiyanto, 2006:51. Pemerintah harus mampu membagi peranan dari masing-masing stake holder yaitu merupakan pihak-pihak yang terlibat baik pemberi dan penerima layanan maupun pihak yang memiliki kepentingan di dalamnya dengan secara optimal dan adil sesuai dengan kontribusinya. Mengatur dan mengelola masyarakat aktif dalam kegiatan pemerintahan sehingga ikut merasa memiliki dan masyarakat yang partisipatif dalam permasalahan publik yang sedang terjadi. Dengan demikian akan memberikan akses untuk menciptakan komunikasi dua arah secara berkesinambungan antara pemerintah dan masyarakat. Tata pemerintahan yang baik membagi dan mengoptimalkan peran dari masing-masing stakeholder diantaranya yaitu sektor swasta. Yaitu dengan mengelola dan membina agar peran swasta ikut membantu dalam menjaga perekonomian agar berjalan dengan baik yaitu dengan menciptakan kehidupan yang stabil dan iklim yang kondusif untuk berkembangnya kegiatan ekonomi. Oleh karena itu pemerintah perlu mengakomodasikan kepentingan sektor swasta secara responsif agar usaha mereka dapat berkembang dengan baik. commit to user Menurut Kesepakatan APKASI Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia dan APEKSI Asosiasi Pemerintahan Kota Seluruh Indonesia bahwa salah satu prinsip dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik yaitu adanya daya tanggap Fahmal, 2006:66. Kemampuan daya tanggap tersebut mengandung makna kepekaan para penyelenggara pemerintah dalam menangkap aspirasi atau kepentingan masyarakat. Daya tanggap merupakan kemampuan pemerintah dalam menangkap hal-hal yang diharapkan oleh masyarakat dengan mengidentifikasi kebutuhan dan mengakomodasikan kepentingan masyarakat. Apabila pemerintah mampu mengenali dan menangkap kebutuhan masyarakat maka dapat dikatakan penyelenggaraan pemerintahan tersebut telah responsif Tangkilisan, 2005:177. Menurut UNDP dalam Tangkilisan 2005:115 bahwa salah satu karakteristik good governence adalah responsiveness yaitu bahwa setiap lembaga dan proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan harus mencoba melayani setiap stakeholder. Mardiasmo 2002:18 dalam Tangkilisan 2005:114 bahwa orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan good governance. Oleh karena itu dalam perwujudan pemerintahan yang baik sesuai dengan UU No 32 tahun 2004 pemerintah perlu menekankan responsiveness beserta prinsip lain yang mengikuti. Dengan menerapkan responsivitas dalam proses penyelenggaranan kepentingan publik maka akan dihasilkan pelayanan yang efektif dan optimal karena pelayaan yang diberikan akan berorientasi terhadap kebutuhan masyarakat selaku penerima layanan tersebut dalam upaya melakukan pembangunan. commit to user Kemampuan daya tanggap pemerintah terhadap kepentingan dan kebutuhan masyarakat merupakan wujud responsivitas pemerintah kepada masyarakat dalam mewujudkan pemerintahan yang baik. Dengan demikian responsivitas perlu dan penting untuk diterapkan dalam pemerintahan agar pemerintah selalu tanggap dalam kepentingan dan kebutuhan masyarakatnya. 2. Responsivitas Pelayanan publik yang responsif akan memainkan dampak yang signifikan terhadap tujuan pelayanan publik itu sendiri. Hal ini karena pelayanan yang diberikan berangkat dari kebutuhan dan harapan masyarakat selaku penerima layanan sehingga yang diberikan merupakan representasi dari harapan. Dengan demikian pelayanan publik yang sesuai dengan harapan masyarakat menunjukan kinerja yang baik pada suatu pemerintahan yang tidak akan terlepas dari konsep good governance. Upaya mewujudkan pelayanan publik yang responsif dapat dilakukan melalui beberapa cara. Tangkilisan 2005:222 mengemukakan bahwa responsivitas berkaitan dengan kecepatan tanggapan yang dilakukan oleh aparatur atau petugas terhadap kebutuhan penggunan jasa dalam hal ini masyarakat yang membutuhkan pelayanan. Dengan demikian bahwa salah satu upaya melihat responsivitas pelayanan publik dapat dilihat melalui kecepatan pemerintah dalam memberikan tanggapan terhadap kebutuhan masyarakat. Responsivitas merupakan salah satu usaha mewujudkan pemerintahan yang baik yang didambakan oleh masyarakat. Responsivitas menunjukan kemampuan pemerintah dalam memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat. commit to user Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program–program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat Dwiyanto, 2006:177. Bukan hanya kemampuan dalam menanggapi kebutuhan masyarakat tetapi merupakan upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengembangkan program-program dalam upaya memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat tersebut. Seringkali kepentingan dan kebutuhan masyarakat tersebut saling bertentangan satu sama lain serta isu publik tersebut seringkali merupakan upaya yang sengaja diciptakan oleh sekelompok komunitas tertentu. Kepentingan masyarakat yang saling bertentangan tersebut saling bersaing dalam mendapatkan perhatian dari pemerintah. Dalam keadaaan ini pemerintah dituntut untuk peka dalam mengidentifikasi kepentingan yang harus mendapatkan prioritas dengan menerapkan azas keterbukaan atau transparansi. Tangkilisan 2005:177 bahwa responsivitas yang rendah ditunjukan dengan ketidakselarasan antara pelayanan dan kebutuhan masyarakat. Pemerintah yang responsif merupakan pemerintah yang bijaksana dalam merespon masalah yang terjadi di tengah masyarakat untuk kemudian mendapat intervensi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Peran serta masyarakat dalam intervensi terhadap permasalahan mereka merupakan hal penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Dengan demikian pemerintah mengenal dan memahami kebutuhkan mereka sehingga intervensi commit to user yang dilakukan akan menjadi efektif dan efisien. Hal ini karena mengacu kepada harapan serta aspirasi masyarakat secara langsung dan transparan. Dalam mewujudkan responsivitas dibutuhkan sikap fleksibilitas organisasi terhadap kebutuhan-kebutuhan yang terus berubah seiring dengan perubahan lingkungan. Begitupula terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan yang menciptakan kebutuhan yang semakin berubah, organisasi dituntut untuk lebih responsif. “The organization most sensitive to change in the environment have a strategic organizational capability that enable them to change easily and thus to continue to maintain acceptable result without incurring high reorganization cost. In this way, organizational responsiveness is based on the concept of fleksibility”. Journal Internasional: Measuring the organizational responsiveness trough managerial fleksibility. volume 22 issue 6 tahun 2009 oleh Antonio J Verdu Jose Maria Gomez-Gras page 668 www.emeraldinsight.com0953-4814.htm Dalam jurnal internasional Measuring the organizational responsiveness trough managerial fleksibility volume 22 issue 6 tahun 2009 oleh Antonio J Verdu Jose Maria Gomez-Gras mengemukakan mengenai konsep suatu manajemen fleksibilitas dalam mewujudkan organisasi yang responsif, yaitu : The coalignment of flexibility to required flexibility can be operatively defined by measuring the gap between what management percieves as necessary for meeting the enviromental demand of the sectors and what management actuallly percieves within its firms. This gap between actual and required flexibility show indirectly the organizational the responsifness when management percieves that the firm is not co-aligned with enviromental demand. Journal Internasional: Measuring the organizational responsiveness trough managerial fleksibility volume 22 issue 6 tahun 2009 oleh Antonio J Verdu Jose Maria Gomez-Gras page 671 www.emeraldinsight.com0953- 4814.htm commit to user Dengan demikian dapat dipahami bahwa apabila suatu organisasi ingin menyadari tingkat responsivitasnya terhadap penerima layanan salah satunya dengan menyadari apabila organisasi tersebut sudah tidak lagi fleksibel. Sikap tidak fleksibel tersebut terlihat pada gap yang terjadi yaitu kesenjangan antara yang dipahami oleh organisasi sebagai kebutuhan dengan kebutuhan yang sebenarnya yang terjadi di lapangan. Secara tidak langsung responsivitas organisasi dapat ditunjukan dengan kepekaan organisasi dalam memahami, dan memenuhi kebutuhan lingkungannya. Dengan menganalisis gap ini kita dapat menentukan kekurangan dan kelebihan yang dapat digunakan untuk menilai perubahan yang dibutuhkan dalam organisasi dan arah manajemen yang diperlukan atau yang seharusnya dilakukan. Dengan demikian untuk mewujudkan responsivitas Dinas Kesehatan yaitu dengan menganalisis kesenjangan yang terjadi antara yang telah diberikan oleh Dinas Kesehatan sebagai bentuk pemberian layanan kepada perajin jamu dan layanan yang dibutuhkan dan diharapkan oleh perajin jamu tersebut. Dalam jurnal tersebut juga dikemukakan bahwa pelurusan kembali antara lingkungan dan organisasi harus dianalisis menggunakan suatu konsep yang tepat berdasarkan literatur. Ketepatan tersebut dapat dipahami dengan baik dalam konsistensi internal antara suatu set-variabel yang fundamental. Responsivitas organisasi ditunjukan dengan adanya fleksibilitas organisasi dengan adanya kesadaran untuk menyesuaikan yang diberikan oleh organisasi terhadap kebutuhkan dalam lingkungannya dalam suatu sektor dan tindakan commit to user yang diberikan untuk mengatasinya. Volberda dalam jurnal tersebut juga mengemukakan bahwa: Volberda 1996 combines moreless variety of capabilities and fastslow response to distinguish four types of flexibility: steady-state, operational, structural and strategic. Drawing on the literature to date, we will now define the different types of managerial flexibility 1. Strategic flexibility 2. Structural flexibility 3. Operational flexibility 4. Internal and external scopes Journal Internasional: Measuring the organizational responsiveness trough managerial fleksibility volume 22 issue 6 tahun 2009 oleh Antonio J Verdu Jose Maria Gomez-Gras page 670 www.emeraldinsight.com0953-4814.html Volberda 1996 dalam jurnal tersebut juga mengemukakan bahwa kombinasi banyak sedikitnya berbagai kemampuan dan cepat lambatnya respon, untuk membedakannya terdapat 4 tipe fleksibilitas yaitu : keadaaan yang kondusif, operasional, struktur dan strategi. Penggambaran literatur tersebut dapat ditetapkan pada perbedaan tipe fleksibilitas manajemen, yaitu 1. Fleksibilitas strategi, berkaitan dengan kemampuan dalam menyesuaikan perubahan dalam lingkungan 2. Fleksibilitas struktur, berkaitan dengan kegiatan manajerial termasuk di dalamnya manajemen SDM, dan beberapa kegiatan manajerial yang dapat mempengaruhi fleksibilitas struktur seperti sistem kewenangan, job design, training, kerja tim, partisipasi, rekruitmen, dan sistem kompensasi 3. Fleksibilitas operasional, dibutuhkan ketika perubahan dalam lingkungan tidak melibatkan suatu perubahan dalam hubungan antara perusahaanorganisasi dengan lingkungan commit to user 4. Lingkup internal dan eksternal. Lingkup internal merupakan kemampuan organisasi menyesuaikan dengan lingkungannya sedangkan lingkup eksternal merupakan kemampuan organisasi mempengaruhi lingkungan demikian juga untuk mengembalikan kerentanannya. Dengan demikian cepatlambatnya suatu respon organisasi salah satunya dipengaruhi oleh fleksibilitas organisasi melalui manajemennya yang dapat dibedakan kedalam empat hal tersebut diatas. Dalam mengukur responsivitas tidak semua kepentingan masyarakat tersebut harus mendapat perhatian dari pemerintah. Pemerintah harus peka karena banyak diantara masalah yang mengemuka ke publik merupakan masalah yang sengaja diciptakan demi kepentingan salah satu pihak tertentu yang menyebabkan kerugian lebih banyak pada pihak lainnya. Dari hasil penelitian dalam jurnal tersebut diungkapkan mengenai cara melihat responsifitas organisasi bahwa: “Practising should test the level or organization responsiveness in their companies and take decisions according to what is needed, considering the different dimention fleksibility. These decisions may involve proposing and evaluating alternative or taking into account to speed of activatingdeactivating each option and its cost of entryexit. A measurement scale for organizational responsiveness allows managers to integrate contextual and internal variable in the same variable while simulataneosly taking into the range, cost and speed dimensions of fleksibility”. Journal Internasional: Measuring the organizational responsiveness trough managerial fleksibility volume 22 issue 6 tahun 2009 oleh Antonio J Verdu Jose Maria Gomez-Gras page 683 www.emeraldinsight.com0953-4814.html Santosa 2008:131 bahwa responsivitas merupakan kemampuan lembaga publik dalam merespon kebutuhan masyarakat terutama yang berkaitan dengan basic needs kebutuhan dasar dan HAM hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan hak budaya. Dengan demikian pelayanan commit to user publik harus mengutamakan kebutuhan dasar manusia dan HAM. Hal ini karena eksistensi manusia bergantung dengan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar dan hakikinya yaitu HAM. Dalam mewujudkan responsivitas tidak terlepas dari fleksibilitas yang diberikan oleh pemberi layanan dalam memenuhi kebutuhan pihak yang dilayani. Begitupula dalam proses atau rantai dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan penerima layanan atau masyarakat. Berikut merupakan kutipan dalam jurnal internasional bahwa responsivitas dalam proses penyampaian suatu pelayanan membutuhkan kesatuan hubungan antara adanya karaktersitik produk yang inovatif dan memiliki fungsi sesuai yang diharapkan; dan lingkar kebutuhan hidup: “Responsiveness in the wider supply chain context has been discussed by Fisher 1997, who argue that product characteristic innovatif or functional and life cycle need to be linked to the layout and function conversion and market mediation of the supply chain”. Journal Internasional “The Three Dimensions Of Responsiveness” oleh Mattyhias Holweg dalam Journal Internsional Of Operation Production Management volume 25 issue 7 tahun 2005 page 605 www.emeraldinsight.com0144-3577.html Bahwa responsivitas dalam konteks rantai atau proses penyampaian produk program yang telah didiskusikan oleh Fisher 1997 bahwa karakteristik produk dan lingkar kehidupan perlu untuk dihubungkan dalam gambaran dan fungsi dari rantai atau proses penyampaian layanan tersebut. Dengan demikian karakteristik program yang akan diberikan perlu dihubungkan dengan sesuai kebutuhan atau kondisi kehidupan yang sedang terjadi dalam proses penyampaian program layanan tersebut. commit to user “........a consensus that different organisations will need different types of fleksibility in order to be responsive to market needs”. Journal Internasional “The Three Dimensions Of Responsiveness” oleh Mattyhias Holweg dalam Journal Internsional Of Operation Production Management volume 25 issue 7 tahun 2005 page 608 www.emeraldinsight.com0144-3577.html Dengan demikian dalam menciptakan fleksibilitas organisasi sebagai upaya mewujudkan organisasi yang responsif membutuhkan tipe flekibilitas yag berbeda-beda dalam memenuhi kebutuhan pasar dalam hal ini yaitu kondisi masyarakat. Berikut merupakan kerangka dimensi responsivitas dalam proses rantai penyampaian produk layanan dalam jurnal internasional “The Three Dimensions Of Responsiveness” oleh Matthias Holweg dalam Journal Internsional of Operation Production Management volume 25 issue 7 tahun 2005 page 618 : Gambar 2.1 Journal Internasional “The Three Dimensions Of Responsiveness” oleh Mattyhias Holweg dalam Journal Internsional Of Operation Production Management volume 25 issue 7 tahun 2005 page 618 www.emeraldinsight.com0144-3577.html commit to user “........These commonalities can be grouped into three “dimensions” of responsiveness. These dimensions follow the systems approach of considering a manufacturing system’s inputs in terms of customer demand, transformation processes in terms of manufacturing and logistics, as well product customisation, its outputs in terms of order fulfilment, and its environment in terms of generic industry variables such as the typical product life cycle, seasonality of demand, etc.”. Journal Internasional “The Three Dimensions Of Responsiveness” oleh Mattyhias Holweg dalam Journal Internsional Of Operation Production Management volume 25 issue 7 tahun 2005 hal 605 www.emeraldinsight.com0144-3577.html Bahwa dapat dikelompokan tiga dimensi responsivitas dalam penyampaian pelayanan. Dimensi-dimensi ini mengikuti pendekatan sistem dalam mempertimbangkan suatu sistem input manufacturing dalam hal permintaan pelanggan, proses transformasi dalam hal pemenuhan kebutuhan dan lingkungan itu sendiri dalam hal variabel industri umum seperti siklus kebutuhan hidup yang khusus, kondisi dari kebutuhan dan lain sebagainya. Konsep tersebut merupakan konsep yang lebih mendekati dengan dunia bisnis namun karena sesuai dengan perkembangan paradigma administrasi negara sekarang ini maka perlu adanya pengadopsian nilai-nilai swasta yang sekiranya dibutuhkan dalam perkembangan kehidupan manusia. Ackoff dalam jurnal ini mengemukakan bahwa : Ackoff 1971 for example defines a “response” as: “. . . a system event for which another event that occurs to the same system or to its environment is necessary but not sufficient; that is, a system event produced by another system or environmental effect the stimulus. Thus a response is an event of which the system itself is the co-producer”. Journal Internasional “The Three Dimensions Of Responsiveness” oleh Mattyhias Holweg dalam Journal Internsional Of Operation Production Management volume 25 issue 7 tahun 2005 halaman 604 www.emeraldinsight.com0144- 3577.html commit to user Dalam jurnal tersebut juga dijabarkan bahwa dengan memperhatikan kepada penerapan manajemennya dalam tugas yang responsif, masukan ini diberikan melalui permintaan pelanggan. Dengan adanya perintah analisis masukan dan keluaran digunakan untuk menganalisis proses rantai responsivitas. Salah satunya adalah dengan permulaan suatu pemenuhan masukan yang spesifik ke dalam sistem dan mengukur keluar dengan waktu yang dibutuhkan. Sistem memproduksi dengan waktu yang responsif dengan keinginan pelanggan dalam menunggunya. Dalam jurnal ini disimpulkan bahwa beberapa perdebatan yang relevan dapat diidentifikasi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kontribusi untuk diskusi masalah responsivitas dalam rantai permintaan. Pada kesempatan yang lain lemahnya definisi lebih dahulu oleh Matson kekurangan dalam bukti empirik dalam meruntuhkan klaim time–based, dengan daya saing yang jelas mendemontrasikan kebutuhan yang komprehensif dan pemersatu konsep model responsif. Rantai penyediaan yang responsif seperti dalam gambar diatas terdiri dari : 1. Dimensi produk 2. Dimensi proses 3. Dan dimensi volum Dimensi produk tersebut merupakan dimensi yang berkaitan sebagai faktor kunci seperti poin dari produk yang dibiasakan biasa dikonsumsi yaitu terkait dengan bentuk produk, memastikan itu bersifat modular menyatu atau integral terpisah termasuk di dalamnya berbagai produk internal dan eksternal commit to user adalah kunci determinan sebagai rantai permintaan seperti pada keseluruhan rantai dalam suatu kehidupan yang diterapkan dalam suatu produksi. Dimensi proses, merupakan dimensi yang mencakup pengatur waktu produksi yang tidak hanya kegiatan proses manufaktur, tapi juga kemampuan merespon dari operasi penyediaan dan logistik merupakan hal yang tidak kalah penting. Dengan demikian pengaturan rantai penyediaan dalam jangka menyediakan dan poin produk yang biasa diinginkan oleh pelanggan adalah hal yang krusial. Dalam hal ini yaitu kemampuan organisasi dalam proses pemberian layanan dimulai dari pembentukan program atau pengembangan program layanan sampai dengan penghantarannya kepada masyarakat pengguna atau sasaran program. Sedangkan dimensi volum termasuk faktor permintaan alami dan variabilitas, harapan pelanggan dalam jangka waktu pemesanan sampai pada penyampaiannya dengan waktu yang dibutuhkan dan dengan produk yang beragam, seperti pada faktor distribusi dalam distribusi permintaan di luar jarak dari spesifikasi yang ditawarkan kualitas melebihi dari yang diharapkan. Responsivitas menunjukan kinerja pelayanan suatu organsasi. Menurut GDS 2002, melihat responsivitas pelayanan publik dari banyaknya keluhan masyarakat terhadap pelayanan dan tindakan pemerintah dalam menanggapi keluhan tersebut, dan kepedulian pemerintah terhadap masalah kesehatan, pendidikan, maupun UKM, ketiga bidang tersebut dijadikan indikator responsif karena ketiga jenis pelayanan tersebut amat diperlukan oleh masyarakat banyak dan menjadi kebutuhan strategis dari masyarakat luas Dwiyanto, 2003 : 88. Dari beberapa definisi responsivitas dan unsur unsur yang terkait maka peneliti memutuskan beberapa indikator yang akan digunakan dalam mengukur responsivitas Dinas Kesehatan terhadap pembinaan perajin atau pengusaha commit to user obat tradisional disesuaikan dengan permasalahan yang terjadi. Indikator- indikator tersebut antara lain adalah: 1. Kemampuan dalam menanggapi permasalahan jamu atau obat tradisional 2. Kemampuan mengenal dan memahami kebutuhan masyarakat peracik atau perajin OT 3. Kemampuan dalam memenuhi kebutuhan 4. Kecepatan dalam memenuhi kebutuhan Selain itu terdapat beberapa hal yang ikut mempengaruhi responsivitas dalam suatu pelayanan publik. Penerapan responsivitas membutuhkan partisipasi masyarakat dalam proses pemerintahan melalui keterbukaan atau transparansi serta komunikasi yang baik antar pemerintah dan masyarakat. Komunikasi dibutuhkan agar terjamin kesesuaian harapan antara pemerintah dalam masyarakat sehingga apabila terjadi kesalahpahaman dapat terselesaikan dengan baik. Namun sebaliknya apabila tidak ada keselarasan komunikasi diantara keduanya harapan masing-masing pihak akan susah teridentifikasi dengan baik dan tepat. Rendahnya responsivitas penyelenggaraan pelayanan publik mengindikasikan aparat birokrasi memiliki keengganan memberikan pelayanan publik dengan baik yang disebabkan karena belum adanya komunikasi yang interaktif antara aparat birorasi dengan para pengguna jasa. Yaitu belum adanya komunikasi yang eksternal secara nyata oleh birokrasi Dwiyanto, 2006:68. Komunikasi eksternal merupakan komunikasi dengan pihak luar organisasi khususnya yaitu masyarakat. Komunikasi tersebut terlihat masih banyaknya gap pelayanan yang terjadi. Yaitu belum ditemukannya kesamaan commit to user persepsi antara pengguna jasa dan pemberi layanan ataupun arus infomasi yang mengalir di dalamnya belum sesuai dengan kebutuhan. Komunikasi yang baik ditunjang dengan adanya manajemen informasi yang baik sehingga informasi yang ada dapat dikomunikasikan dengan efektif dan efisien. Manajemen informasi tersebut dapat ditinjau dari segi internal maupun eksternal. Segi internal terlihat melalui manajemen informasi yang dilakukan oleh suatu organisasi atau instansi untuk menunjang jalannya ketercapaian tujuan organisasi serta dalam menangani suatu masalah atau program tertentu dalam diri organsasi. Dengan beredarnya informasi dari unit ke unit lain maka terjadilah arus informasi atau hubungan informasi antar unit. Hubungan tersebut merupakan hubungan antar sub-sistem dalam suatu kaitan kerja sama suatu sistem. Dengan demikian disebut Sistem Informasi. Karena sistem informasi tersebut dikerjakan dengan menggunakan prinsip-prinsip manajemen agar tujuan dapat tercapai dengan efisien dan efektif, maka disebut Management Sistem Informasi Amsyah, 2001:03. Agar suatu program atau fungsi dalam suatu organisasi dalam berjalan dengan baik dibutuhkan suatu sistem informasi yang mampu mendukung jalannya pekerjaan tersebut. Yaitu informasi yang mengalir secara sempurna dari atas ke bawah maupun dari bawah ke atas. Sistem informasi tersebut merupakan suatu rangkaian informasi yang tersusun sedemikian rupa sehingga di dalamnya terdapat hubungan saling ketergantungan satu sama lain dengan tujuan untuk mewakili berbagai unsur di dalamnya untuk memudahkan organisasi dalam mencapai tujuannya. Manajemen informasi eksternal dilihat dari manajemen sistem informasi dari suatu organisasi diolah dengan cara sedemikian rupa sehingga organsasi commit to user mampu menyajikan dan menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh publik dengan kecapaian kepentingan bersama. Selain itu komunikasi eksternal juga ditunjukan melalui kemampuannya dalam menjalin komunikasi yang interaktif dengan penerima layanan. Pengelolaan informasi menjadi sedemikian penting dalam menunjang kinerja suatu organisasi agar lebih memahami keadaan dan kebutuhan masyaarakat sehingga tercipta komunikasi yang lancar antara pemerintah dan masyarakat. Selain komunikasi hal-hal lain yang ikut berpengaruh terhadap responsivitas suatu layanan publik adalah sumber daya manusia baik secara kualitas maupun kuantitas. Sumber daya manusia tersebut meliputi pihak pemberi layanan maupun penerima layanan. Hal lainnya adalah sumber- sumber daya lain meliputi kesediaan fasilitas sarana dan prasarana pendukung pelayanan publik maupun kesediaan alokasi dana yang sesuai dengan kebutuhan. Sumber daya manusia merupakan kunci penentu dalam suatu isu ataupun masalah publik. Hal ini karena manusia merupakan pelaku sekaligus sasaran dalam suatu isu publik. Begitupula dalam suatu pelayanan publik. Sebaik apapun konsep layanan publik dibuat dengan sempurna namun jika pelaksana tidak melaksanakannya dengan baik maka tidak akan sesuai dengan harapan. Hal ini juga berbanding lurus dengan pihak penerima layanan, apabila manusia itu sendiri sebagai penerima layanan tidak menyadari atau tidak adanya kemauan dalam menjalankan atau menerima layanan publik tersebut maka tidak akan efektif. commit to user Agar dalam suatu organisasi publik dapat berperan secara maksimal dalam menjalankan fungsinya, yaitu memberikan layanan publik sesuai dengan prinsip good governance maka sumber daya manusia yang ada di dalamnya harus sesuai dengan kebutuhan dalam penyediaan pelayanan publik. Kesesuaian tersebut meliputi kualitas maupun kuantitasnya. Berkualitas apabila kuantitasnya tidak sesuai atau seimbang dengan fungsi yang harus dijalankan maka fungsi tersebut tidak akan berjalan dengan efektif dan efisien, begitupula sebaliknya. Sedarmayanti 2010:322 organisasi birokrasi publik dapat dibentuk dengan membagi habis fungsi pemerintahan sehingga tercipta struktur organisasi yang layak dan sesuai dengan dasar pemikiran dan fungsi pemerintahan. Dengan demikian bahwa agar organisasi publik berjalan dengan baik dan mampu memenuhi tuntutan fungsi organisasi itu sendiri harus diimbangi dengan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan yang berarti tidak kurang dan tidak berlebih. Begitupula dengan kualitas sumber daya manusia itu sendiri harus sesuai dengan tugas dan fungsinya. Hessel 2005:188 bahwa aparatur yang berkualitas memiliki beberapa aspek yang perlu dibina yaitu inisiatif, kreativitas, percaya diri sendiri, dinamika, fleksibel, loyalitas, kemampuan berkomunikasi, semangat untuk bekerja kelompok dll. Kualitas manusia dapat dilihat dari kemampuannya dalam menyikapi dan mengerjakan sesuatu atau menghadapi suatu masalah. Robbins Judge 2008:57 mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki kemampuan adalah seseorang yang mampu melaksanakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan commit to user yang diberikan padanya. Kemampuan tersebut dibagi menjadi dua, yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Kemampuan intelektual dibutuhkan oleh seseorang dalam menjalankan berbagai tugas yang berkaitan dengan aktivitas yang berkaitan dengan nalar dan pola pikir yang biasanya diperoleh melalui proses pembelajaran dalam dunia pendidikan. Sedangkan kemampuan fisik berkaitan dengan pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan aktivitas otot yang membutuhkan stamina tubuh yang prima. Hal berikutnya adalah sumber-sumber daya lain diantaranya adalah kesediaan fasilitas sarana dan prasarana yang menunjang jalannya pelayanan publik serta adanya alokasi dana yang sesuai dengan kebutuhan. Sumber daya manusia yang siap baik secara kualitatif maupun kuantitatif apabila tidak didukung dengan sumber-sumber daya lainnya seperti fasilitas sarana dan alokasi dana yang cukup maka program atau layanan tersebut akan menjadi susah terealisasikan. Ekowati 2009:80 mengemukakan bahwa dalam pemenuhan kebutuhan dan kepentingan masyarakat melalui pelayanan publik organsasi tidak bisa lepas dari kebutuhan akan financial yang cukup dimana mampu memenuhi kebutuhan pelaksanaan program pelayanan publik. Alokasi sumber daya finansial yang memadai juga dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan fasilitas yang dibutuhkan terkait dengan pelaksanaan program sehingga masyarakat pengguna dapat menikmati fasilitas sesuai kebutuhan pelaksanaan suatu program. Kebebasan daerah dalam konsep otonomi daerah ditujukan agar daerah mampu melayani kepentingan dan memenuhi kebutuhan masyarakat dengan lebih responsif. Seringkali pelaksanaan otonomi daerah dalam hal manajemen pemerintah daerah cenderung menjadi salah kelola. commit to user Adanya pelaksanaan otonomi daerah diharapkan pemerintah daerah menjadi lebih dekat dengan masyarakat sehingga kebutuhan masyarakat bisa terlayani dengan baik. Dalam kenyataannya seringkali dijumpai adanya pelayanan dari pemerintah daerah yang justru menyulitkan kepentingan masyarakatnya. Menurut Sutari Sukawi dalam Romli 2007:139 masalah tersebut seringkali ditemui dalam aparat pemerintah daerah salah satunya adalah karena lemahnya sanksi yang tegas sehingga cenderung tidak ada control yang baik dalam kinerja mereka. Lemahnya displin dan buruknya mental aparatur dalam menjalankan tugasnya merupakan akibat adanya sanksi yang tidak tegas yang bisa menjadikan mereka bekerja dengan lebih professional yang berorientasi efektif dan efisien dalam memberikan pelayanan yang responsif terhadap masyarakat. Kesan budaya patrimonial pada birokrasi kita harus diubah secara tegas. Menekankan bahwa birokrat bukan pihak yang dilayani tapi justru mereka yang harus melayani kebutuhan dan kepentingan masyarakat dengan baik. Osborne dalam Romli 2007:140 berpendapat bahwa “Pemerintah yang demokratis lahir untuk melayani warganya, tugas pemerintah adalah untuk mencari cara menyenangkan warganya”. Dengan demikian bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang mengenal dengan baik kepentingan dan kebutuhan masyarakatnya serta menempatkan kebutuhan dan kepentingan masyarakat diatas kebutuhan pribadi mereka. Menuntut birokrat agar agresif dalam melayani kebutuhan dan kepentingan masyarakat sehingga tercipta rasa puas atas pelayanan tersebut. commit to user Kompetensi birokrasi yang dituntut oleh good governance adalah kemampuannya untuk menjembatani antara negara dan masyarakat madani, yaitu birokrasi harus mampu memberikan pelayanan publik dengan adil dan inklusif dengan sebaik–baiknya dan hal ini menuntut kemampuan untuk memahami dan mengartikulasikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat, merumusakannya dalam kebijakan mengimpelementasikannya Khan dan Meimer dalam Tangkilisan, 2005:187. Dalam penelitian ini peneliti akan melihat dan menyimpulkan kemampuan Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap dalam memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat khususnya mengenai industri jamu tradisional atau obat tradisional dari sisi kesehatan masyarakat dan menyelesaikan masalah yang tengah terjadi agar menjadi produksi yang layak konsumsi sesuai dengan fungsi dari Dinas ini. 3. Kesehatan Dalam Perspketif UU Kesehatan merupakan aspek kehidupan yang begitu penting dan menetukan aspek kehidupan yang lainnya. Tanpa kesehatan manusia tidak mampu menjalankan aktivitas hidupnya dengan baik. Dengan kesehatan manusia mampu melakukan produktivitasnya dengan baik sehingga mampu berkarya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Terdapat hubungan yang positif antara kesehatan dan produktivitas kerja Todaro Smith, 2004:413. Dalam sistem kesehatan masyarakat, terdapat 5 lima karakteristik utama, yakni adanya peran pemerintah; masyarakat sebagai fokus program kesehatan; hubungan antara pemerintah dan masyarakat; pelayanan, dan kewenangan pemerintah Dwiyanto, 2009:357. Dengan demikian dalam upaya kesehatan dibutuhkan sinergitas dan kerjasama antar pemerintah dan masyarakat dalam commit to user mewujudkan kesehatan masyarakat secara adil dan merata dalam berbagai bentuk pelayanan kesehatan. Oleh karena itu kesehatan harus diupayakan pada seluruh masyarakat secara adil dan merata. Kesehatan menunjukan martabat bangsa. Upaya kesehatan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya melalui cara tradisional sesuai dengan Pasal 48 ayat 1 b : penyelengaraan upaya kesehatan melalui kegiatan pelayanan kesehatan tradisional UU Kesehatan, 2009:189. Khususnya di Indonesia sebagai negara agraris yang kaya akan jenis flora yang bermanfaat bagi kesehatan manusia yang merupakan kekayaan tersendiri yang tidak semua negara lain memilikinya. Upaya kesehatan tradisional dalam dilakukan dengan dua jenis kegiatan. Tertuang pada pasal Pasal 59 tentang pelayanan kesehatan tradisional ayat 1 a: pelayanan kesehatan menggunakan ketrampilan b : pelayanan kesehatan yang menggunakan ramuan UU Kesehatan, 2009:193. Akan menjadi lebih baik apabila dua jenis pelayanan kesehatan tradisional tersebut secara maksimal dan secara berkesinambungan. Ramuan yang berkhasiat dipadukan dengan tekhnik ketrampilan meramu dengan baik dan professional. Dalam prosesnya agar masyarakat memiliki kemampuan untuk menghasilkan atau produktif maka masyarakat harus dilibatkan dalam pengolahan sumber daya yang dimiliki salah satunya kekayaan alam hayati seperti banyaknya jenis tumbuhan yang berkhasiat untuk kesehatan. Dalam UU kesehatan Pasal 99 ayat 2 : masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, commit to user meningkatkan, dan menggunakan sediaan farmasi yang dapat dipertanggungjawabkan UU Kesehatan, 2009:205. Pertanggungjawaban tersebut yaitu tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain termasuk pada konsumen hasil produksi tersebut. Agar produksi jamu atau obat tradisional sesuai dengan standar kesehatan maka produksinya harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh Lembaga Balai Obat dan Makanan RI Nomor : HK.00.05.4.1380 yaitu tentang CPOTB Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik. Dalam CPOTB tersebut mengandung materi bahan produksi, standar gedung yang digunakan, tekhnisi, izin produksi dan edar. Dengan demikian suatu produksi jamu atau obat tradisional hanya boleh diproduksi dan diedarkan apabila telah sesuai dengan CPOTB melalui izin yang diberikan oleh lembaga-lembaga yang terkait di daerah khususnya Dinas Kesehatan dalam lingkup kabupaten atau kota. Begitu pula mengenai izin industri OT dan pendaftaran OT yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan Nomor : 246MenkesPerV1990. 4. Konsep Pemikiran Alur pemikiran dalam penelitian ini dapat terlihat dalam kerangka pemikiran mengenai penelitian tentang Responsivitas Dinas Kesehatan Dalam Pembinaan Jamu Tradisional atau Obat Tradisional. Seiring dengan perkembangan zaman, tekhnologi mulai dikenal oleh masyarakat luas serta mendapat tempat dihati masyarakat maka industri jamu tradisional atau obat tradisional juga tidak ketinggalan atas adanya perkembangan tekhnologi tersebut. Perkembangan tekhnologi tersebut commit to user menciptakan sejumlah perajin berussaha meningkatkan kualitas jamunya. Hal ini dibuktikan dengan adanya perajin yang berusaha mencampuri jamu produksinya dengan BKO Bahan Kimia Obat namun ada juga yang tetap konsisten dengan ramuan herbal. Adanya sejumlah perajin jamu atau obat tradisional yang menggunakan BKO menyebabkan adanya pemberhentian produksi dari BPOM Badan Pengawas Obat dan Makanan. Penggunaan BKO tanpa pengawasan tenaga ahli disinyalir bisa membahayakan kesehatan konsumennya. Adanya gap antara perajin jamu atau obat tradisional yang menggunakan BKO dan yang tetap konsisten menggunakan ramuan tradisional sehingga menciptakan adanya upaya dari Dinas dengan memberikan pembinaan agar produksi jamu tradisional atau obat tradisional aman bagi kesehatan sehingga tidak membahayakan para konsumennya dan bisa diterima kembali oleh masyarakat luas. Dalam usaha menyelesaikan permasalahan yang tengah terjadi yaitu agar perajin bisa memproduksi jamu tradisional atau obat tradisional yang aman bagi konsumennya maka pembinaan tersebut harus merupakan pilihan program yang tepat dan mampu memenuhi kebutuhan perajin jamu atau obat tradisional yaitu pembinaan yang responsif terhadap terhadap perajin jamu atau obat tradisional. Diharapkan apabila program pengembangan ini telah sesuai dengan permasalahan yang tengah terjadi maka program tersebut mampu menciptakan keseluruhan produksi jamu tradisional atau obat tradisional yang aman bagi kesehatan. Apabila pembinaan ini berhasil maka akan tercipta produksi jamu commit to user yang lebih baik lagi yaitu lebih berkualitas sehingga mampu meningkatkan kualitas jualnya di pasaran tanpa harus membahayakan kesehatan bagi para konsumennya sehingga mereka perajin yang menggunakan BKO menjadi kembali memproduksi jamu atau obat tradisional yang aman bagi kesehatan atau layak konsumsi dan tidak lagi harus berurusan dengan pihak BPOM. Pemberian layanan yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakatnya maka akan menunjukan kemampuan suatu organisasi pemerintah yang baik yang mampu menjalankan fungsinya dengan baik pula yaitu pelaksanaan good governance dalam tugas dan fungsinya. Secara tidak langsung apabila suatu organisasi publik mampu menjalankan fungsinya dengan baik salah satunya yaitu pelayanan yang responsif terhadap masyarakat maka organisasi tersebut telah menerapkan nilai-nilai good governance. Fokus dalam penelitian ini adalah melihat kesesuaian atau responsivitas Dinas Kesehatan dalam memberikan pembinaan dengan yang diharapkan perajin jamu atau obat tradisional. Melihat kesesuaian pembinaan yang dilakukan dengan permasalahan masyarakat perajin jamu atau obat tradisional. Responsivitas tersebut diukur melalui beberapa indikator, diantaranya adalah: 1. Kemampuan dalam menanggapi permasalahan jamu atau obat tradisional 2. Kemampuan mengenal dan memahami kebutuhan masyarakat peracik atau perajin OT 3. Kemampuan dalam memenuhi kebutuhan 4. Kecepatan dalam memenuhi kebutuhan Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Responsivitas 1. kemampuan menanggapi permasalahan 2. kemampuan dalam mengenal dan memahami kebutuhan 3. kemampuan dalam memenuhi kebutuhan 4. kecepatan dalam memenuhi kebutuhan IPTEK Jamu atau OT BKO Tanpa BKO Pembinaan DinKes CPOTB commit to user

BAB III METODE PENELITIAN