Responsivitas Dinas Kesehatan Dalam Pembinaan Jamu Tradisional Di Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap

(1)

commit to user

Responsivitas Dinas Kesehatan Dalam Pembinaan Jamu Tradisional Di Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap

Disusun oleh :

Wiji Wijayanti D0107022

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Pada Jurusan Ilmu Admnistrasi

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA


(2)

commit to user

ii

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi dengan judul :

RESPONSIVITAS DINAS KESEHATAN DALAM PEMBINAAN JAMU TRADISIONAL DI KECAMATAN KROYA KABUPATEN

CILACAP

Telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Mengetahui, Dosen Pembimbing

Prof.Dr.Ismi Dwi Astuti N,M.Si NIP. 19610825 198601 2 001


(3)

commit to user

iii

PENGESAHAN

Telah Disetujui dan Disahkan Oleh Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Pada Hari : Kamis

Tanggal : 28 Juli 2011

Panitia Penguji :

1. Drs.Suharsono,M.S

NIP. 195107011979031001

Ketua

(...) 2. Herwan Parwiyanto,S.Sos,M.Si

NIP. 1975505052008011033

Sekretaris

(...) 3. Prof.Dr.Ismi Dwi Astuti N,M.Si

NIP. 19610825 198601 2 001

Penguji

(...)

Mengetahui, Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Prof.Drs.Pawito,Ph.D NIP. 19540805 198503 1 002


(4)

commit to user

iv

MOTTO

...Allah meninggikan orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan, beberapa derajat

QS. AL Mujaadallah Ayat 11

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: ”Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai kepada ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan

berjalan sampai bertahun-tahun QS. AL Kahfi Ayat 60

”Ilmu hanya akan didapat dengan belajar. Kesabaran dan kemurahan hati hanya akan didapat dengan bersungguh-sungguh. Barang siapa yang menginginkan kebaikan, akan diberikan kepadanya, dan barang siapa yang menjaga dirinya dari kejelekan, ia akan dilindungi.”

( Al Hadits Shahihah Al Jami’)

Tidak ada hal yang mustahil di dunia ini dengan izin Allah. Bermimpi, siapkan strategi, dan melangkahlah dengan keyakinan

kuatkan dengan do’a selalu agar Dia (Allah) selalu menuntun. (Penulis)


(5)

commit to user

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dengan penuh hormat skripsi ini kupersembahkan kepada :

Bapak dan ibuku yang selalu mencurahkan kasih sayangnya sepanjang hidupku, selalu memberikan motivasi dalam meraih mimpi-mimpiku, selalu berdoa demi kesuksesanku.

Kakakku Supriyanto yang selalu memberi dukungan, bimbingan, dan doa.

Adikku Yoga Winursita dan Siwi Setyowati Pramudya N yang selalu memberikan dukungan, motivasi dan do’a

Fatkhurrohman yang senantiasa menemani, mendukung dan memberikan motivasi

Keluarga besarku yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang selalu mendukungkung

Sahabat-sahabatku (Ike, Lusi, Riza, Marat, Uti, Ripi) yang selalu menemani dan membantuku.


(6)

commit to user

vi ABSTRAK

Wiji Wijayanti, D0107022, Responsivitas Dinas Kesehatan Dalam Pembinaan Jamu Tradisional di Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap, Skripsi, Jurusan Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2011. 124 halaman.

Perkembangan tekhnologi yang makin pesat membuat perajin jamu tradisional yang di Kecamatan Kroya mencampur sejumlah produksi mereka menggunakan Bahan Kimia Obat. Bahan Kimia Obat merupakan suatu larangan dalam produksi jamu tradisional. Hal ini menjadikan produksi jamu tradisional mendapat larangan produksi dan edar dari Dinas Kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji responsivitas Dinas Kesehatan dalam melakukan pembinaan terhadap perajin jamu tradisional dan mengetahui hambatan-hambatan dalam mewujudkan responsivitas tersebut.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder, yang didapat dari hasil wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi. Tekhnik pengambilan sampel denganpurposive sampling. Validitas data menggunakan triangulasi data. Analisis yang digunakan adalah analisis interaktif.

Hasil penelitian yang telah dilaksanakan berdasarkan data-data yang diperoleh adalah Berdasarkan empat komponen responsivitas yaitu kemampuan menanggapi permasalahan, kemampuan mengenal kebutuhan, kemampuan memenuhi kebutuhan dan kecepatan dalam memenuhi kebutuhan secara keseluruhan pembinaan yang dilakukan Dinas Kesehatan tidak responsif. Terdapat satu komponen dari keempat komponen tersebut diatas yang dinilai cukup responsif yaitu kemampuan dalam menanggapi permasalahan. Sedangkan komponen lainnya tidak responsif. Hambatan yang terjadi dalam pencapaian responsivitas tersebut adalah masalah dana dan komunikasi. Dana tersebut selain sebagai modal juga sebagai nilai keuntungan. Sedangkan komunikasi yaitu lemahnya konsensus dan lemahnya penyampaian pendapat oleh pengusaha jamu. Rekomendasi yang diberikan penulis adalah agar Dinas Kesehatan lebih memperhatikan: (i) kebutuhan-kebutuhan untuk perwujudan CPOTB diantaranya adalah gedung standar CPOTB, Apoteker, perizinan, bahan baku dan pengetahuan tentang tanaman khasiat obat, (ii) Berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut dengan lebih cepat dan terarah agar permasalahan BKO dapat cepat terselesaikan, (iii) Mengintensifkan komunikasi dengan perajin melalui jejak dengar pendapat antara Dinas Kesehatan dan Perajin.


(7)

commit to user

vii

ABSTRACT

Wiji Wijayanti, D0107022, Responsiveness Health Office in Development Herbal Medicine in Kroya Sub-district Cilacap Regency. A Thesis, Majoring in Public Administration, Faculty of Political and Social Science, Sebelas Maret University, Surakarta, 2011, page.124

Development of rapidly technology having a spesific place in the human life especially in society who made traditional human medicine in Kroya sub-district. They are mix their production with chemical drugs. It is a prohibition in producing traditional herbal medicine. This problem made some of production haven’t permit Health Office to produce and distribution. This research purpose to know responsiveness Health Office doing development of herbal entrepeneur and to know some detentions to being responsive.

This research is descriptive research. Data used by commposed primary and secondary from interview in deep, observation and documentation. Sample used a purposive sampling. The validity used triangulation. whereas analyze used interactive analyze. Result of this research are :

According the four component of responsivess whom clasified by researcher are capability to respect the problem, capability to identify of demand, capability of supply the demand and the time used to supply of demand and its for all are unresponsive. Basicly that four component whom identified by reseacher there is one component was responsive its capability to respect of problem. It seen on Tradisional Manufacturing Practice Good provided to herbal entrepeneur based on health legislation. The others seen that some herbal entrepeneur’s need unfulfilled. The destention of responsivennes are money and communication. Money as capital and as the value of profit. Whereas communication as limited of consensus between Health Office staff and herbal entrepeneur; and as limited of herbal entrepeneur’s aspiration to Health Office.

Reseacher recommens the Health Office: (i) to more identifying and fill up the herbal entrepeneur’s need to purpose realizing the Tradisional Manufacturing Practice Good, its are building, pharmacist, licensing and knowledge about the plant which used efficacy of medicinal plants. (ii) make effort to fulfilled the herbal entrepeneur need’s with quickly and directional. Thus the problem herbal entrepeneur can be resolved. (iii) Futhermore the researcher expect the to increasing communication between the herbal entrepeneur and Health Office staff with trail hearing to realize communication both .


(8)

commit to user

viii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Dengan mengucap syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Responsivitas Dinas Kesehatan Dalam Pembinaan Jamu Tradisional Di Kecamatan Kroya. Penyusunan skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Program Studi Administrasi Negara, Jurusan Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta.

Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan beberapa pihak, maka pada kesempatan ini dengan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan khusus kepada:

1. Prof.Dr.Ismi Dwi Astuti N,M.Si selaku dosen pembimbing yang memberikan arahan bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap beserta staff di dalamnya khususnya Bagian Farmami

3. Kepala Koperasi Aneka Sari Bapak Amir Fuad beserta staff di dalamnya.

4. Kepada Pengrajin Jamu di Kecamatan Kroya

5. Kepada kedua orang tuaku yang telah memberikan kasih sayang dan kesabaran yang tiada habisnya dan tidak tergantikan untuk setiap dukungan dan doa restu yang tidak pernah putus.

6. Kepada Kakakku Supriyanto atas doa dan dukungannya

7. Kepada Adikku Yoga Winursita dan Siwi Setyowati Pramudya Ningrum atas do’a dan motivasinya.

8. Kepada Fatkhurrohman yang senantiasa menemani dan memotivasi 9. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam proses

penyusunan skripsi ini.

10. Teman-teman seperjuangan AN-07

Penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan dan kemampuan dalam skripsi ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Amin.

Surakarta, Penulis

Wiji Wijayanti D 0107022


(9)

commit to user

ix DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Balakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan ... 6

D. Manfaat ... 7

BAB II LANDASAN TEORI A. Paradigma Administrasi Negara 1. Good Governance ... 13

2. Responsivitas... 16

3. Kesehatan Dalam Perspektif Undang-undang ... 33

B. Konsep Pemikiran ... 35

BAB III METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian ... 39

B. Tekhnik Pengumpulan Data... 44

C. Tekhnik Analisis Data ... 48

D. Matriks Penelitian... 52

BAB IV. HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi Kabupaten Cilacap ... 53

B. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Responsifitas Pembinaan Jamu Tradisional oleh Dinas Kesehatan78 2. Hambatan Responsivitas Dinas Kesehatan ... 106

3. Matriks Responsivitas... 118

BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan ... 119

2. Saran ... 122 DAFTAR PUSTAKA


(10)

commit to user

x

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 : Perbedaan New Public Management& New Public Servis... 12 Tabel 3.1 : Matriks Penelitian ... 52 Tabel 4.1 : P4B menurut jenis kelamin periode tahun 2008 ... 57 Tabel 4.2 : Jumlah Perusahan Industri Dan Tenaga Kerja Menurut Kode

Industri Kabupaten Cilacap Tahun 2009 ... 59 Tabel 4.3 : Mata Pencaharian Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas Menurut

Lapangan Usaha Akhir Tahun 2009 ... 63 Tabel 4.4 : Banyaknya Buruh Tani, Nelayan, Buruh Industri, Buruh Bangunan,

PNS, TNI/ POLRI Dan Pensiunan Menurut Desa Tahun 2009... 64 Tabel 4.5 : Data Pembagian Perajin Jamu Tradisional Koperasi Aneka Sari 77 Tabel 4.6 : Daftar Hadir Peserta BinTek CPOTB Bekerjasama Dengan BPOM

Semarang ... 83 Tabel 4.7 : Matriks Responsivitas Dinas Kesehatan Dalam Pembinaan Jamu


(11)

commit to user

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 : Three Dimention Of Responsiveness... 20 Gambar 2.2 : Kerangka Pemikiran ... 38 Gambar 3.3 : Komponen Dalam Analisis Data... 48


(12)

commit to user BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

Industri skala kecil atau home industry sangat mempengaruhi tingkat perekonomian suatu negara dan memberikan konstribusi yang sangat besar dalam mengurangi angka pengangguran yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Begitu pula dengan industri jamu tradisional atau obat tradisional di Cilacap khususnya Cilacap Timur kecamatan Kroya yang merupakan industri rumah tangga yang memproduksi jamu tradisional khas daerah Cilacap. Menurut Sekretaris Koperasi Aneka Sari bahwa industri ini terbukti mampu menyerap tenaga kerja lebih dari 6121 orang dari 254 perajin jamu tradisional yang tersisa dari sekitar 1000 perajin pada tahun 1997-2000 pada waktu dulu sewaktu jamu ini dalam masa kejayaannya.

Industri jamu tradisonal ini telah memproduksi jutaan jamu tradisional yang tersebar hampir diseluruh nusantara dan selama ini produksinya telah membawa manfaat yang besar baik bagi konsumen maupun produsennya, serta mengenalkan kabupaten Cilacap terhadap daaerah lain melalui produk jamu yang khas dari daerah ini. Agar jamu tradisional ini mampu bertahan dan terus berkembang dibutuhkan suatu usaha pembinaan. Selain pengelolaan dan pemberdayaan, perlindungan terhadap eksistensi industri rumahan ini kian menjadi penting untuk melindungi dari segelintir pihak dengan kepentingan pribadinya yang dapat merugikan pihak lain.


(13)

commit to user

Seiring dengan berkembangnya industri ini serta berkembangnya pengetahuan dan harapan masyarakat pelaku industri jamu, akhirnya terjadi upaya pencampuran jamu tradisional dengan obat kimia dengan harapan mampu meningkatkan kualitas jamu tradisional. Upaya ini dilakukan dengan bekal pengetahuan seadanya dari pelaku industri jamu dan tanpa adanya arahan dari tenaga ahli farmasi serta pantauan atau arahan dari pihak yang berwenang. Usaha pencampuran tersebut ternyata berdampak positif terhadap jumlah produksi industri ini karena harganya yang murah dan khasiat yang cepat terasa namun ternyata berpengaruh terbalik terhadap kelangsungan industri di lingkungan masyarakat. Tidak adanya pantauan, resep atau pengetahuan yang dimiliki oleh pelaku industri jamu dalam indikasi pencampuran obat kimia tertentu mendapat perhatian yang keras dari pemerintah melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Dinas Kesehatan setempat dan sektor kepolisian sebagai upaya yang di kategorikan sebagai kriminalitas.

Berbagai pelaku industri yang terbukti mencampuri hasil produksinya dengan menggunakan bahan kimia obat tertentu mendapat pencekalan dengan memberhentikan kegiatan produksi atau menyita hasil produksinya di pasaran. Berbagai pelaku industri menjadi gulung tikar dan tidak mampu lagi berproduksi karena modal yang seadanya menjadi hilang akibat hasil operasi pasar tersebut. Jumlah perajin yang merugi dapat terlihat dari sejumlah perajin yang mendatakan diri di Koperasi dari yang semula berjumlah 1000 perajin pada tahun 1997-2000 sekarang hanya berjumlah ± 254 perajin yang


(14)

commit to user

masih aktif, belum lagi ditambah dengan mereka yang tidak mendatakan diri di Koperasi karena keanggotaannya bersifat sukarela.

BPPOM menghimbau bahwa dengan adanya pencampuran jamu tradisional dengan bahan obat kimia akan membahayakan kesehatan bahkan nyawa bagi konsumen jamu ini. Namun berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan Kepala Koperasi Aneka Sari selama ini belum ada konsumen yang mati karena mengonsumsi jamu tradisional Cilacap ataupun komplain dari konsumen yang terkena penyakit dalam akibat meminum obat tradisional atau jamu tradisional ini. Himbauan ini jelas mematikan image jamu tradisional di mata para konsumennya. Selama ini juga belum ada kata sepakat mengenai tolak ukur over dosis yang dihimbaukan oleh BPPOM melalui Dinas Kesehatan atas produksi jamu Cilacap yang menggunakan BKO (Bahan Obat Kimia).

Diungkapkan oleh Sekretaris Koperasi Aneka Sari bahwa akibat dari permasalahan ini berbagai ribuan karyawan menjadi menganggur, ratusan salesmanatau distributor menjadi kehilangan pekerjaan mereka, serta pemilik industri kecil jamu tradisional tersebut tidak lagi mempunyai pendapatan atau pemasukan akibat berhentinya usaha mereka. Masalah pelik ini telah terjadi hampir sekitar 10 tahun lamanya namun hingga sampai sekarang belum ada penyelesaian yang tepat yang mampu mewakili kepentingan berbagai pihak yang terlibat di dalamnya.

Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap selaku badan yang berwenang dalam fungsi kesehatan masyarakat diharapkan mampu untuk mengelola,


(15)

commit to user

memberdayakan, dan melindungi kegiatan ekonomi yang bergerak dalam bidang kesehatan khususnya industri jamu tradisional atau obat tradisional. Sekarang ini industri jamu tradisional atau obat tradisional di Cilacap dalam kondisi yang kritis dan memprihatinkan. Bahkan boleh dikatakan hampir punah. Terlihat hanya tinggal segelintir perajin yang mampu bertahan yaitu sejumlah ± 254 perajin dari jumlah sebelumnya yaitu 1000 perajin pada tahun 1997-2000. Dikatakan oleh Sekretaris Koperasi Aneka Sari bahwa menurunnya jumlah perajin tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah :

1). Pembunuhan karakter terhadap jamu tradisional Cilacap karena disinyalir menggunakan BKO yang membahayakan kesehatan oleh beberapa oknum tertentu bahwa jamu Cilacap berbahaya untuk dikonsumsi.

2). Plagiat dari daerah lain karena terbuktinya potensi industri rumah tangga ini dalam menghasilkan rupiah yang besar. Apalagi didorong oleh lemahnya eksistensi industri jamu ini di Cilacap.

3). Lemahnya koordinasi antar perajin jamu tradisional di kabupaten Cilacap 4). Preferensi oleh masyarakat sebagai akibat dari pembunuhan karakter

terhadap jamu ini melalui media massa

Dibutuhkan suatu sikap, tindakan dan ketegasan dari pemerintah melalui Dinas Kesehatan khususnya akan fenomena yang terjadi terhadap industri ini dan menjadikan hasil indutri ini tidak merugikan kesehatan maupun keselamatan konsumennya seirama dengan pemberdayaan jenis


(16)

commit to user

usaha ini sehingga masyarakat kembali mendapatkan sumber pendapatan mereka.

Sikap Dinas Kesehatan dalam permasalahan ini menjadi suatu perhatian yang penting terkait sebagai lembaga yang membawahi masalah kesehatan masyarakat dan mengingat tingginya potensi ekonomi dalam sektor ini. Diharapkan kebijakan melalui program pembinaan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan merupakan kebijakan yang tepat dan mampu menjawab persoalan yang terjadi serta sesuai dengan kebutuhan dan harapan stakeholder lainnya yaitu perajin jamu dan konsumen.

Sikap Dinas Kesehatan tersebut dengan memberikan tanggapan bahwa para perajin jamu harus menstandarkan produksinya sesuai dengan ketentuan CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik). Hal ini didukung dengan kegiatan pembinaan yang dilakukan baik formal maupun informal.

Pembinaan yang telah berlangsung lama tersebut ternyata belum memberikan hasil yang efektif. Hal ini terbukti karena masih adanya pengusaha jamu yang menggunakan BKO. Dengan demikian dalam upaya pencapaian tujuan tersebut yaitu produk jamu yang sesuai dengan CPOTB, pembinaan harus dilakukan secara tepat yaitu pemberian layanan yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat sebagai penerima layanan dengan tetap menerapkan prinsip adil dan bijaksana. Pemenuhan pelayanan yang sesuai dengan aspirasi tersebut hendaknya juga tidak menganggu ketentraman masyarakat lainnya yang berada diluar sasaran program pembinaan tersebut. Sehingga pembinaan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan harus sesuai


(17)

commit to user

dengan kebutuhan dan harapan masyarakat yaitu pembinaan yang responsif terhadap perajin jamu. Responsivitas Dinas Kesehatan dalam pembinaan yang diberikan kepada perajin jamu menjadi hal penting yang harus diamalkan dalam upaya menciptakan tata pemerintahan yang baik sebagai pemberi layanan kepada masyarakat.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana responsivitas Dinas Kesehatan dalam pembinaan industri jamu atau obat tradisional di Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap?

2. Apa hambatan yang dihadapi oleh Dinas Kesehatan dalam melakukan pembinaan jamu tradisional atau obat tradisional di Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini dibagi dalam tiga tujuan, yaitu : 1. Tujuan Operasional

a. mengetahui responsivitas Dinas Kesehatan dalam pembinaan jamu tradisional atau obat tradisional di Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap.

b. mengidentifikasi hambatan-hambatan yang terjadi di dalam pembinaan jamu tradisional atau obat tradisional.

c. sebagai bahan rekomendasi bagi pelaksanaan program pembinaan dimasa yang akan datang.


(18)

commit to user 2. Tujuan Fungsional

Untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada Dinas Kesehatan dalam melakukan pembinaan industri jamu tradisional atau obat tradisional secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat secara umum.

3. Tujuan Individu

Sebagai syarat bagi penulis untuk memenuhi gelar Sarjana pada Jurusan Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

D. MANFAAT

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini antara lain :

1. Sebagai informasi bagi pembuat kebijakan khususnya Dinas Kesehatan mengenai program pembinaan dalam mengatasi masalah produksi jamu yang dianggap membahayakan kesehatan karena adanya kandungan bahan obat kimia berbahaya oleh sejumlah perajin industri jamu tradisional atau obat tradisional.

2. Meningkatkan kegiatan ekonomi para pelaku industri jamu tradisional atau obat tradisional dengan pemenuhan kebutuhan mereka dengan tepat dan cepat.

3. Mengetahui hambatan-hambatan pelaksanaannya agar dapat diselesaikan bersama dan menjadi suatu bahan rekomendasi bagi program kebijakan di masa yang akan datang.


(19)

commit to user

4. Sektor industri jamu tradisional atau obat tradisional dapat terus berkembang dan menopang perekonomian daerah Kabupaten Cilacap pada umumnya.


(20)

commit to user BAB II

LANDASAN TEORI

Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengapa suatu variabel bebas tertentu dimasukan dalam penelitian karena berdasarkan teori tersebut variabel yang bersangkutan memang bisa mempengaruhi variabel tak bebas atau merupakan salah satu penyebab (Mustofa, 2009:142).

Seiring dengan berkembangnya kehidupan masyarakat melalui meningkatnya kesejahteraan hidup mereka, pemerintah daerah dituntut untuk menyelenggarakan pemerintah yang aspiratif terhadap suara rakyat, serta melibatkan masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai konsekuensinya maka masyarakat harus ditempatkan secara aktif dalam kegiatan penyelenggaraan pemerintah. Pelibatan masyarakat hanya akan terjadi jika mereka diberi ruang dan kesempatan untuk berpartisipasi. Penciptaan kesempatan itu dengan meletakan masyarakat sebagai pihak yang ikut menentukan posisi dalam pelayanan publik. Konsep peletakan masyarakat sebagai pihak yang juga ikut memainkan posisi dalam pelayanan publik terkandung dalam paradigma New Public Management. Dengan demikian maka perlu diterapkannya paradigma New Public Manajement.

Konsep New public Manajementini dipandang sebagai suatu konsep baru yang ingin menghilangkan monopoli pelayanan yang tidak efisien yang dilakukan oleh pejabat–pejabat pemerintah serta diupayakan agar para pemimpin birokrasi menemukan alternatif cara-cara pelayanan publik berdasarkan perspektif ekonomi (Thoha, 2008:75).

Penerapan konsep perspektif ekonomi tersebut memberikan impilikasi adanya ketidakadilan pada pelayanan publik terhadap mereka yang lemah


(21)

commit to user

ekonominya (kepemilikan sumber dana). Hal ini dalam konsep New Public Managementhanya mereka yang memiliki sumber daya ekonomi akan menerima pelayanan prima. Semakin tingginya sumber ekonomi dari penerima pelayanan diharapkan akan bergaris lurus dengan pelayanan yang akan diterima, hal ini sesuai dengan prinsip yang dijalankan dalam dunia bisinis. Hal ini menciptakan ketidakadilan pelayanan publik walaupun tujuannya adalah untuk meningkatkan motivasi pemberian kualitas yang prima. Adanya kelemahan tersebut menciptakan terjadinya pergeseran paradigma pada penyelenggaraan pemerintahan agar tercipta keadilan pada semua lapisan masyarakat yaitu penerapan New Public Service. Konsep New Public Service menerapkan masyarakat sebagai citizenship (kewarganegaraan) yang demokratis yaitu individu bebas secara aktif untuk terlibat dalam komunitas dan kehidupan politik (Thoha, 2008:85).

New Public Service memandang masyarakat sebagai pihak yang harus dilayani secara adil tanpa membedakan kepemilikian sumber daya. Terdapat pembatasan yang jelas antara hak dan kewajiban antara pemerintah dan masyarakat. Dalam New Public Service menekankan adanya pelibatan secara penuh masyarakat dalam proses pemerintahan. Memandang masyarakat bukan lagi sebagai klien namun sebagai citizenship.

Citizenship yang democratic ialah adanya keterlibatan yang aktif dari warga Negara dalam proses pemerintahan. Warga Negara tidak hanya melihat dari perspketif individu dalam persoalan yang lebih besar, namun dia melihat semua persoalan dari perspketif yang lebih luas untuk kepentingan umum (concern to whole), merasa ikut memiliki, dan adaya moral bond dengan komunitasnya (Sandel, 1996 dalam Thoha, 2008:86).


(22)

commit to user

Penerapan masyarakat sebagai citizen yang demokratis dalam perwujudannya dibutuhkan tata pemerintahan yang baik yang mampu memfasilitasi, memenuhi dan mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan masyarakat secara adil. Yaitu tanpa membedakan penerima layanan tersebut baik kaya maupun miskin mendapatkan prioritas yang sama. Pelaksanaan prinsip good governance (tata pemerintahan yang baik) menjadi keharusan yang tidak bisa dielakan lagi. Merupakan suatu konsep yang menerapkan prinsip-prinsip suatu pemerintahan yang baik yang sesuai dengan harapan masyarakat.

New Public Manajement and New Public Service konsep tersebut memiliki pandangan pesrpektif yang berbeda. Keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu berupaya untuk memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat hanya saja caranya yang berbeda. New Public Service merupakan upaya penyempurnaan atas kekurangan New Public Managementagar lebih berorientasi kepada masyarakat. Dengan demikian sehingga masyarakat akan lebih terlayani dengan baik secara merata dan adil. Pelayanan yang baik akan bisa dirasakan oleh masyarakat bukan hanya yang kuat baik secara ekonomi maupun pengaruhnya dalam kehidupan sosial namun oleh semua lapisan masyarakat.

Denhart and Denhart (2002:28) mengkonsepkan perbedaan New Public ManagementandNew Public Servicesebagai berikut:


(23)

commit to user Tabel 2.1

Perbedaan New Public ManagementandNew Public Service

Perspektif (1) NPM (2) NPS (3) Dasar teoritikal dan

epistemologi

Teori ekonomi, dasar pembahasan yang lebih menekankan pada ilmu sosial positif

Teori demokratis, pendekatan yang bervariasi untuk pengetahuan yang positif, interpretatif dan kritis Rasionalitas & keterkaitan

model perilaku manusia

Tekhnikal dan rasional ekonomi, “orang ekonom” atau kepentingan sendiri dalam pembuatan keputusan

Strategi atau rasionalitas formal, multi tes rasionalitas (politik, ekonomi, dan organisasi)

Pemahaman kepentingan publik

Kepentingan publik mewakili kumpulan kepentingan individual

Kepentingan publik merupakan hasil dialog tentang pembagian nilai

Kepada siapa pelayanan publik yang responsif ditunjukan

Pelanggan Warga negara

Peran mekanisme pemerintah dalam mencapai kebijakan yang objektif Mengendalikan ( menggerakan sebagai katalisator dalam melancarkan kekuatan pasar). Menciptakan mekansime & struktur insentif utk mencapai kebijakan yg objektif melalui agen prifat dan non- profit

Melayani (negosiasi dan penghubung kepentingan antara warganegara dan kelompok komunitas, menciptakan pembagian nilai). Membangun koalisi publik & lembaga privat utk menemukan kesepakatan satu sama lain atas suatu kebutuhan

Struktur organisasi yang diasumsikan

Organisasi

desentralisasi publik dengan kontrol utama dalam suatu lembaga

Kolaborasi struktur dengan pembagian kepemimpinan internal & eksternal

Sumber: Buku karangan Janet Denhart dan Robert Denhart. The Public Service-Serving, not Steering(2002)

Perwujudan New Public Service membutuhkan suatu kondisi pemerintahan yang baik dan bertangggung jawab terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat agar tercipta kesejahteraan bersama. Pemerintahan yang baik merupaka pemerintahan yang menekankan konsep transparansi atau keterbukaan, partisipasi, dasar hukum, responsivitas, orientasi pada konsensus, keadilan, efektivitas dan efisiensi, akuntabilitas dan visi strategi (Fahmal,


(24)

commit to user

2006:62). Komponen-komponen tersebut merupakan komponen dalam arah menuju pemerintahan yang baik (good governance). Pemerintahan yang baik merupakan kondisi berlangsungnya paradigma New Public Service yang menempatkan masyarakat sebagai citizen yang ikut aktif dalam kegiatan pemerintahan. Pemerintahan yang baik mencerminkan kesinergian antara pemerintah, swasta dan masyarakat.

1. Good Governance

Pelaksanaan good governance merupakan konsekuensi terhadap kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat akan pelayanan yang lebih baik.Good governance merupakan suatu proses demokratisasi agar masyarakat bisa ikut berpartisipasi secara aktif dalam kebijakan pemerintah, agar pemerintah mampu untuk menerapkan sikap terbuka terhadap masyarakatnya dan pengamalan nilai-nilai lainnya yang terdapat pada nilai-nilai good governance. Tata pemerintahan yang mampu menciptakan keharmonisan hubungan antara pemerintah, masyarakat dan pihak swasta. Mengakomodasi berbagai kepentingan di dalamnya dengan bijaksana dan responsif tehadap kebutuhan dan kepentingan publik.

Perwujudan good governance salah satunya dilihat melalui kontribusi masing-masing pihak atau stakeholder tersebut dalam proses pemerintahan. Dalam hal ini sering kali terjadi perbedaan kepentingan pada masing-masing stakeholder. Pemerintah dituntut untuk transparan dalam menjalankan jalannya pemerintahan. Good governance diterapkan pada seluruh bidang kehidupan


(25)

commit to user

baik ekonomi, sosial, politik, hukum dan budaya yang dijalankan oleh pemerintah.

Pemerintah harus mampu mempertanggungjawabkan dalam segala kebijakan yang dilakukannya terkait dengan proses pemerintahan yang dijalankannya. Sehingga tercipta adanya akuntabilitas. Akuntabilitas publik menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada pejabat politik yang dipilih oleh masyarakat (Dwiyanto, 2006:51).

Pemerintah harus mampu membagi peranan dari masing-masing stake holder yaitu merupakan pihak-pihak yang terlibat baik pemberi dan penerima layanan maupun pihak yang memiliki kepentingan di dalamnya dengan secara optimal dan adil sesuai dengan kontribusinya. Mengatur dan mengelola masyarakat aktif dalam kegiatan pemerintahan sehingga ikut merasa memiliki dan masyarakat yang partisipatif dalam permasalahan publik yang sedang terjadi. Dengan demikian akan memberikan akses untuk menciptakan komunikasi dua arah secara berkesinambungan antara pemerintah dan masyarakat.

Tata pemerintahan yang baik membagi dan mengoptimalkan peran dari masing-masing stakeholder diantaranya yaitu sektor swasta. Yaitu dengan mengelola dan membina agar peran swasta ikut membantu dalam menjaga perekonomian agar berjalan dengan baik yaitu dengan menciptakan kehidupan yang stabil dan iklim yang kondusif untuk berkembangnya kegiatan ekonomi. Oleh karena itu pemerintah perlu mengakomodasikan kepentingan sektor swasta secara responsif agar usaha mereka dapat berkembang dengan baik.


(26)

commit to user

Menurut Kesepakatan APKASI (Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia) dan APEKSI (Asosiasi Pemerintahan Kota Seluruh Indonesia) bahwa salah satu prinsip dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik yaitu adanya daya tanggap (Fahmal, 2006:66). Kemampuan daya tanggap tersebut mengandung makna kepekaan para penyelenggara pemerintah dalam menangkap aspirasi atau kepentingan masyarakat. Daya tanggap merupakan kemampuan pemerintah dalam menangkap hal-hal yang diharapkan oleh masyarakat dengan mengidentifikasi kebutuhan dan mengakomodasikan kepentingan masyarakat. Apabila pemerintah mampu mengenali dan menangkap kebutuhan masyarakat maka dapat dikatakan penyelenggaraan pemerintahan tersebut telah responsif (Tangkilisan, 2005:177).

Menurut UNDP dalam Tangkilisan (2005:115) bahwa salah satu karakteristik good governence adalah responsiveness yaitu bahwa setiap lembaga dan proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan harus mencoba melayani setiap stakeholder. Mardiasmo (2002:18) dalam Tangkilisan (2005:114) bahwa orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan good governance. Oleh karena itu dalam perwujudan pemerintahan yang baik sesuai dengan UU No 32 tahun 2004 pemerintah perlu menekankan responsiveness beserta prinsip lain yang mengikuti. Dengan menerapkan responsivitas dalam proses penyelenggaranan kepentingan publik maka akan dihasilkan pelayanan yang efektif dan optimal karena pelayaan yang diberikan akan berorientasi terhadap kebutuhan masyarakat selaku penerima layanan tersebut dalam upaya melakukan pembangunan.


(27)

commit to user

Kemampuan daya tanggap pemerintah terhadap kepentingan dan kebutuhan masyarakat merupakan wujud responsivitas pemerintah kepada masyarakat dalam mewujudkan pemerintahan yang baik. Dengan demikian responsivitas perlu dan penting untuk diterapkan dalam pemerintahan agar pemerintah selalu tanggap dalam kepentingan dan kebutuhan masyarakatnya.

2. Responsivitas

Pelayanan publik yang responsif akan memainkan dampak yang signifikan terhadap tujuan pelayanan publik itu sendiri. Hal ini karena pelayanan yang diberikan berangkat dari kebutuhan dan harapan masyarakat selaku penerima layanan sehingga yang diberikan merupakan representasi dari harapan. Dengan demikian pelayanan publik yang sesuai dengan harapan masyarakat menunjukan kinerja yang baik pada suatu pemerintahan yang tidak akan terlepas dari konsep good governance. Upaya mewujudkan pelayanan publik yang responsif dapat dilakukan melalui beberapa cara.

Tangkilisan (2005:222) mengemukakan bahwa responsivitas berkaitan dengan kecepatan tanggapan yang dilakukan oleh aparatur atau petugas terhadap kebutuhan penggunan jasa dalam hal ini masyarakat yang membutuhkan pelayanan. Dengan demikian bahwa salah satu upaya melihat responsivitas pelayanan publik dapat dilihat melalui kecepatan pemerintah dalam memberikan tanggapan terhadap kebutuhan masyarakat.

Responsivitas merupakan salah satu usaha mewujudkan pemerintahan yang baik yang didambakan oleh masyarakat. Responsivitas menunjukan kemampuan pemerintah dalam memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat.


(28)

commit to user

Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program–program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat (Dwiyanto, 2006:177). Bukan hanya kemampuan dalam menanggapi kebutuhan masyarakat tetapi merupakan upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengembangkan program-program dalam upaya memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat tersebut.

Seringkali kepentingan dan kebutuhan masyarakat tersebut saling bertentangan satu sama lain serta isu publik tersebut seringkali merupakan upaya yang sengaja diciptakan oleh sekelompok komunitas tertentu. Kepentingan masyarakat yang saling bertentangan tersebut saling bersaing dalam mendapatkan perhatian dari pemerintah. Dalam keadaaan ini pemerintah dituntut untuk peka dalam mengidentifikasi kepentingan yang harus mendapatkan prioritas dengan menerapkan azas keterbukaan atau transparansi.

Tangkilisan (2005:177) bahwa responsivitas yang rendah ditunjukan dengan ketidakselarasan antara pelayanan dan kebutuhan masyarakat. Pemerintah yang responsif merupakan pemerintah yang bijaksana dalam merespon masalah yang terjadi di tengah masyarakat untuk kemudian mendapat intervensi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Peran serta masyarakat dalam intervensi terhadap permasalahan mereka merupakan hal penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Dengan demikian pemerintah mengenal dan memahami kebutuhkan mereka sehingga intervensi


(29)

commit to user

yang dilakukan akan menjadi efektif dan efisien. Hal ini karena mengacu kepada harapan serta aspirasi masyarakat secara langsung dan transparan.

Dalam mewujudkan responsivitas dibutuhkan sikap fleksibilitas organisasi terhadap kebutuhan-kebutuhan yang terus berubah seiring dengan perubahan lingkungan. Begitupula terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan yang menciptakan kebutuhan yang semakin berubah, organisasi dituntut untuk lebih responsif.

The organization most sensitive to change in the environment have a strategic organizational capability that enable them to change easily and thus to continue to maintain acceptable result without incurring high reorganization cost. In this way, organizational responsiveness is based on the concept of fleksibility”. (Journal Internasional: Measuring the organizational responsiveness trough managerial fleksibility. volume 22 issue 6 tahun 2009 oleh Antonio J Verdu & Jose Maria Gomez-Gras page 668) www.emeraldinsight.com/0953-4814.htm

Dalam jurnal internasional Measuring the organizational responsiveness trough managerial fleksibility volume 22 issue 6 tahun 2009 oleh Antonio J Verdu & Jose Maria Gomez-Gras mengemukakan mengenai konsep suatu manajemen fleksibilitas dalam mewujudkan organisasi yang responsif, yaitu :

The coalignment of flexibility to required flexibility can be operatively defined by measuring the gap between what management percieves as necessary for meeting the enviromental demand of the sectors and what management actuallly percieves within its firms. This gap between actual and required flexibility show indirectly the organizational the responsifness when management percieves that the firm is not co-aligned with enviromental demand. (Journal Internasional: Measuring the organizational responsiveness trough managerial fleksibility volume 22 issue 6 tahun 2009 oleh Antonio J Verdu & Jose Maria Gomez-Gras page 671) www.emeraldinsight.com/0953-4814.htm


(30)

commit to user

Dengan demikian dapat dipahami bahwa apabila suatu organisasi ingin menyadari tingkat responsivitasnya terhadap penerima layanan salah satunya dengan menyadari apabila organisasi tersebut sudah tidak lagi fleksibel. Sikap tidak fleksibel tersebut terlihat pada gap yang terjadi yaitu kesenjangan antara yang dipahami oleh organisasi sebagai kebutuhan dengan kebutuhan yang sebenarnya yang terjadi di lapangan. Secara tidak langsung responsivitas organisasi dapat ditunjukan dengan kepekaan organisasi dalam memahami, dan memenuhi kebutuhan lingkungannya.

Dengan menganalisis gap ini kita dapat menentukan kekurangan dan kelebihan yang dapat digunakan untuk menilai perubahan yang dibutuhkan dalam organisasi dan arah manajemen yang diperlukan atau yang seharusnya dilakukan. Dengan demikian untuk mewujudkan responsivitas Dinas Kesehatan yaitu dengan menganalisis kesenjangan yang terjadi antara yang telah diberikan oleh Dinas Kesehatan sebagai bentuk pemberian layanan kepada perajin jamu dan layanan yang dibutuhkan dan diharapkan oleh perajin jamu tersebut.

Dalam jurnal tersebut juga dikemukakan bahwa pelurusan kembali antara lingkungan dan organisasi harus dianalisis menggunakan suatu konsep yang tepat berdasarkan literatur. Ketepatan tersebut dapat dipahami dengan baik dalam konsistensi internal antara suatu set-variabel yang fundamental. Responsivitas organisasi ditunjukan dengan adanya fleksibilitas organisasi dengan adanya kesadaran untuk menyesuaikan yang diberikan oleh organisasi terhadap kebutuhkan dalam lingkungannya dalam suatu sektor dan tindakan


(31)

commit to user

yang diberikan untuk mengatasinya. Volberda dalam jurnal tersebut juga mengemukakan bahwa:

Volberda (1996) combines more/less variety of capabilities and fast/slow response to distinguish four types of flexibility: steady-state, operational, structural and strategic. Drawing on the literature to date, we will now define the different types of managerial flexibility

1. Strategic flexibility 2. Structural flexibility 3. Operational flexibility 4. Internal and external scopes

(Journal Internasional: Measuring the organizational responsiveness trough managerial fleksibility volume 22 issue 6 tahun 2009 oleh Antonio J Verdu & Jose Maria Gomez-Gras page 670) www.emeraldinsight.com/0953-4814.html

Volberda (1996) dalam jurnal tersebut juga mengemukakan bahwa kombinasi banyak sedikitnya berbagai kemampuan dan cepat lambatnya respon, untuk membedakannya terdapat 4 tipe fleksibilitas yaitu : keadaaan yang kondusif, operasional, struktur dan strategi. Penggambaran literatur tersebut dapat ditetapkan pada perbedaan tipe fleksibilitas manajemen, yaitu 1. Fleksibilitas strategi, berkaitan dengan kemampuan dalam menyesuaikan

perubahan dalam lingkungan

2. Fleksibilitas struktur, berkaitan dengan kegiatan manajerial termasuk di dalamnya manajemen SDM, dan beberapa kegiatan manajerial yang dapat mempengaruhi fleksibilitas struktur seperti sistem kewenangan, job design, training, kerja tim, partisipasi, rekruitmen, dan sistem kompensasi 3. Fleksibilitas operasional, dibutuhkan ketika perubahan dalam lingkungan

tidak melibatkan suatu perubahan dalam hubungan antara perusahaan/organisasi dengan lingkungan


(32)

commit to user

4. Lingkup internal dan eksternal. Lingkup internal merupakan kemampuan organisasi menyesuaikan dengan lingkungannya sedangkan lingkup eksternal merupakan kemampuan organisasi mempengaruhi lingkungan demikian juga untuk mengembalikan kerentanannya.

Dengan demikian cepat/lambatnya suatu respon organisasi salah satunya dipengaruhi oleh fleksibilitas organisasi melalui manajemennya yang dapat dibedakan kedalam empat hal tersebut diatas. Dalam mengukur responsivitas tidak semua kepentingan masyarakat tersebut harus mendapat perhatian dari pemerintah. Pemerintah harus peka karena banyak diantara masalah yang mengemuka ke publik merupakan masalah yang sengaja diciptakan demi kepentingan salah satu pihak tertentu yang menyebabkan kerugian lebih banyak pada pihak lainnya. Dari hasil penelitian dalam jurnal tersebut diungkapkan mengenai cara melihat responsifitas organisasi bahwa:

“Practising should test the level or organization responsiveness in their companies and take decisions according to what is needed, considering the different dimention fleksibility. These decisions may involve proposing and evaluating alternative or taking into account to speed of activating/deactivating each option and its cost of entry/exit. A measurement scale for organizational responsiveness allows managers to integrate contextual and internal variable in the same variable while simulataneosly taking into the range, cost and speed dimensions of fleksibility”. (Journal Internasional: Measuring the organizational responsiveness trough managerial fleksibility volume 22 issue 6 tahun 2009 oleh Antonio J Verdu & Jose Maria Gomez-Gras page 683) www.emeraldinsight.com/0953-4814.html

Santosa (2008:131) bahwa responsivitas merupakan kemampuan lembaga publik dalam merespon kebutuhan masyarakat terutama yang berkaitan dengan basic needs (kebutuhan dasar) dan HAM (hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan hak budaya). Dengan demikian pelayanan


(33)

commit to user

publik harus mengutamakan kebutuhan dasar manusia dan HAM. Hal ini karena eksistensi manusia bergantung dengan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar dan hakikinya yaitu HAM.

Dalam mewujudkan responsivitas tidak terlepas dari fleksibilitas yang diberikan oleh pemberi layanan dalam memenuhi kebutuhan pihak yang dilayani. Begitupula dalam proses atau rantai dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan penerima layanan atau masyarakat. Berikut merupakan kutipan dalam jurnal internasional bahwa responsivitas dalam proses penyampaian suatu pelayanan membutuhkan kesatuan hubungan antara adanya karaktersitik produk yang inovatif dan memiliki fungsi sesuai yang diharapkan; dan lingkar kebutuhan hidup:

“Responsiveness in the wider supply chain context has been discussed by Fisher (1997), who argue that product characteristic (innovatif or functional) and life cycle need to be linked to the layout and function (conversion and market mediation) of the supply chain”. (Journal Internasional “The Three Dimensions Of Responsiveness” oleh Mattyhias Holweg dalam Journal Internsional Of Operation & Production Management volume 25 issue 7 tahun 2005 page 605) www.emeraldinsight.com/0144-3577.html

Bahwa responsivitas dalam konteks rantai atau proses penyampaian produk (program) yang telah didiskusikan oleh Fisher (1997) bahwa karakteristik produk dan lingkar kehidupan perlu untuk dihubungkan dalam gambaran dan fungsi dari rantai atau proses penyampaian layanan tersebut. Dengan demikian karakteristik program yang akan diberikan perlu dihubungkan dengan sesuai kebutuhan atau kondisi kehidupan yang sedang terjadi dalam proses penyampaian program layanan tersebut.


(34)

commit to user

“...a consensus that different organisations will need different types of fleksibility in order to be responsive to market needs”. (Journal Internasional “The Three Dimensions Of Responsiveness” oleh Mattyhias Holweg dalam Journal Internsional Of Operation & Production Management volume 25 issue 7 tahun 2005 page 608) www.emeraldinsight.com/0144-3577.html

Dengan demikian dalam menciptakan fleksibilitas organisasi sebagai upaya mewujudkan organisasi yang responsif membutuhkan tipe flekibilitas yag berbeda-beda dalam memenuhi kebutuhan pasar dalam hal ini yaitu kondisi masyarakat. Berikut merupakan kerangka dimensi responsivitas dalam proses rantai penyampaian produk (layanan) dalam jurnal internasional “The Three Dimensions Of Responsiveness” oleh Matthias Holweg dalam Journal Internsional of Operation & Production Management volume 25 issue 7 tahun 2005 page 618 :

Gambar 2.1

(Journal Internasional “The Three Dimensions Of Responsiveness” oleh Mattyhias Holweg dalam Journal Internsional Of Operation & Production Management volume 25 issue 7 tahun 2005 page 618) www.emeraldinsight.com/0144-3577.html


(35)

commit to user

“...These commonalities can be grouped into three “dimensions” of responsiveness. These dimensions follow the systems approach of considering a manufacturing system’s inputs (in terms of customer demand), transformation processes (in terms of manufacturing and logistics, as well product customisation), its outputs (in terms of order fulfilment), and its environment (in terms of generic industry variables such as the typical product life cycle, seasonality of demand, etc.)”. (Journal Internasional “The Three Dimensions Of Responsiveness” oleh Mattyhias Holweg dalam Journal Internsional Of Operation & Production Management volume 25 issue 7 tahun 2005 hal 605)www.emeraldinsight.com/0144-3577.html

Bahwa dapat dikelompokan tiga dimensi responsivitas dalam penyampaian pelayanan. Dimensi-dimensi ini mengikuti pendekatan sistem dalam mempertimbangkan suatu sistem input manufacturing (dalam hal permintaan pelanggan), proses transformasi (dalam hal pemenuhan kebutuhan) dan lingkungan itu sendiri (dalam hal variabel industri umum seperti siklus kebutuhan hidup yang khusus, kondisi dari kebutuhan dan lain sebagainya). Konsep tersebut merupakan konsep yang lebih mendekati dengan dunia bisnis namun karena sesuai dengan perkembangan paradigma administrasi negara sekarang ini maka perlu adanya pengadopsian nilai-nilai swasta yang sekiranya dibutuhkan dalam perkembangan kehidupan manusia. Ackoff dalam jurnal ini mengemukakan bahwa :

Ackoff (1971) for example defines a “response” as:

“. . . a system event for which another event that occurs to the same system or to its environment is necessary but not sufficient; that is, a system event produced by another system or environmental effect (the stimulus). Thus a response is an event of which the system itself is the co-producer”. (Journal Internasional “The Three Dimensions Of Responsiveness” oleh Mattyhias Holweg dalam Journal Internsional Of Operation & Production Management volume 25 issue 7 tahun 2005 halaman 604) www.emeraldinsight.com/0144-3577.html


(36)

commit to user

Dalam jurnal tersebut juga dijabarkan bahwa dengan memperhatikan kepada penerapan manajemennya dalam tugas yang responsif, masukan ini diberikan melalui permintaan pelanggan. Dengan adanya perintah analisis masukan dan keluaran digunakan untuk menganalisis proses (rantai responsivitas). Salah satunya adalah dengan permulaan suatu pemenuhan masukan yang spesifik ke dalam sistem dan mengukur keluar dengan waktu yang dibutuhkan. Sistem memproduksi dengan waktu yang responsif dengan keinginan pelanggan dalam menunggunya.

Dalam jurnal ini disimpulkan bahwa beberapa perdebatan yang relevan dapat diidentifikasi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kontribusi untuk diskusi masalah responsivitas dalam rantai permintaan. Pada kesempatan yang lain lemahnya definisi lebih dahulu oleh Matson kekurangan dalam bukti empirik dalam meruntuhkan klaim time–based, dengan daya saing yang jelas mendemontrasikan kebutuhan yang komprehensif dan pemersatu konsep model responsif. Rantai penyediaan yang responsif seperti dalam gambar diatas terdiri dari :

1. Dimensi produk 2. Dimensi proses 3. Dan dimensi volum

Dimensi produk tersebut merupakan dimensi yang berkaitan sebagai faktor kunci seperti poin dari produk yang dibiasakan (biasa dikonsumsi) yaitu terkait dengan bentuk produk, memastikan itu bersifat modular (menyatu) atau integral (terpisah) termasuk di dalamnya berbagai produk internal dan eksternal


(37)

commit to user

adalah kunci determinan sebagai rantai permintaan seperti pada keseluruhan rantai dalam suatu kehidupan yang diterapkan dalam suatu produksi.

Dimensi proses, merupakan dimensi yang mencakup pengatur waktu produksi yang tidak hanya kegiatan proses manufaktur, tapi juga kemampuan merespon dari operasi penyediaan dan logistik merupakan hal yang tidak kalah penting. Dengan demikian pengaturan rantai penyediaan dalam jangka menyediakan dan poin produk yang biasa diinginkan oleh pelanggan adalah hal yang krusial. Dalam hal ini yaitu kemampuan organisasi dalam proses pemberian layanan dimulai dari pembentukan program atau pengembangan program layanan sampai dengan penghantarannya kepada masyarakat pengguna atau sasaran program.

Sedangkan dimensi volum termasuk faktor permintaan alami dan variabilitas, harapan pelanggan dalam jangka waktu pemesanan sampai pada penyampaiannya dengan waktu yang dibutuhkan dan dengan produk yang beragam, seperti pada faktor distribusi dalam distribusi permintaan di luar jarak dari spesifikasi yang ditawarkan (kualitas melebihi dari yang diharapkan).

Responsivitas menunjukan kinerja pelayanan suatu organsasi. Menurut GDS 2002, melihat responsivitas pelayanan publik dari banyaknya keluhan masyarakat terhadap pelayanan dan tindakan pemerintah dalam menanggapi keluhan tersebut, dan kepedulian pemerintah terhadap masalah kesehatan, pendidikan, maupun UKM, ketiga bidang tersebut dijadikan indikator responsif karena ketiga jenis pelayanan tersebut amat diperlukan oleh masyarakat banyak dan menjadi kebutuhan strategis dari masyarakat luas (Dwiyanto, 2003 : 88).

Dari beberapa definisi responsivitas dan unsur unsur yang terkait maka peneliti memutuskan beberapa indikator yang akan digunakan dalam mengukur responsivitas Dinas Kesehatan terhadap pembinaan perajin atau pengusaha


(38)

commit to user

obat tradisional disesuaikan dengan permasalahan yang terjadi. Indikator-indikator tersebut antara lain adalah:

1. Kemampuan dalam menanggapi permasalahan jamu atau obat tradisional 2. Kemampuan mengenal dan memahami kebutuhan masyarakat peracik atau

perajin OT

3. Kemampuan dalam memenuhi kebutuhan 4. Kecepatan dalam memenuhi kebutuhan

Selain itu terdapat beberapa hal yang ikut mempengaruhi responsivitas dalam suatu pelayanan publik. Penerapan responsivitas membutuhkan partisipasi masyarakat dalam proses pemerintahan melalui keterbukaan atau transparansi serta komunikasi yang baik antar pemerintah dan masyarakat. Komunikasi dibutuhkan agar terjamin kesesuaian harapan antara pemerintah dalam masyarakat sehingga apabila terjadi kesalahpahaman dapat terselesaikan dengan baik. Namun sebaliknya apabila tidak ada keselarasan komunikasi diantara keduanya harapan masing-masing pihak akan susah teridentifikasi dengan baik dan tepat.

Rendahnya responsivitas penyelenggaraan pelayanan publik mengindikasikan aparat birokrasi memiliki keengganan memberikan pelayanan publik dengan baik yang disebabkan karena belum adanya komunikasi yang interaktif antara aparat birorasi dengan para pengguna jasa. Yaitu belum adanya komunikasi yang eksternal secara nyata oleh birokrasi (Dwiyanto, 2006:68).

Komunikasi eksternal merupakan komunikasi dengan pihak luar organisasi khususnya yaitu masyarakat. Komunikasi tersebut terlihat masih banyaknya gap pelayanan yang terjadi. Yaitu belum ditemukannya kesamaan


(39)

commit to user

persepsi antara pengguna jasa dan pemberi layanan ataupun arus infomasi yang mengalir di dalamnya belum sesuai dengan kebutuhan. Komunikasi yang baik ditunjang dengan adanya manajemen informasi yang baik sehingga informasi yang ada dapat dikomunikasikan dengan efektif dan efisien.

Manajemen informasi tersebut dapat ditinjau dari segi internal maupun eksternal. Segi internal terlihat melalui manajemen informasi yang dilakukan oleh suatu organisasi atau instansi untuk menunjang jalannya ketercapaian tujuan organisasi serta dalam menangani suatu masalah atau program tertentu dalam diri organsasi.

Dengan beredarnya informasi dari unit ke unit lain maka terjadilah arus informasi atau hubungan informasi antar unit. Hubungan tersebut merupakan hubungan antar sub-sistem dalam suatu kaitan kerja sama suatu sistem. Dengan demikian disebut Sistem Informasi. Karena sistem informasi tersebut dikerjakan dengan menggunakan prinsip-prinsip manajemen agar tujuan dapat tercapai dengan efisien dan efektif, maka disebut Management Sistem Informasi (Amsyah, 2001:03).

Agar suatu program atau fungsi dalam suatu organisasi dalam berjalan dengan baik dibutuhkan suatu sistem informasi yang mampu mendukung jalannya pekerjaan tersebut. Yaitu informasi yang mengalir secara sempurna dari atas ke bawah maupun dari bawah ke atas. Sistem informasi tersebut merupakan suatu rangkaian informasi yang tersusun sedemikian rupa sehingga di dalamnya terdapat hubungan saling ketergantungan satu sama lain dengan tujuan untuk mewakili berbagai unsur di dalamnya untuk memudahkan organisasi dalam mencapai tujuannya.

Manajemen informasi eksternal dilihat dari manajemen sistem informasi dari suatu organisasi diolah dengan cara sedemikian rupa sehingga organsasi


(40)

commit to user

mampu menyajikan dan menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh publik dengan kecapaian kepentingan bersama. Selain itu komunikasi eksternal juga ditunjukan melalui kemampuannya dalam menjalin komunikasi yang interaktif dengan penerima layanan. Pengelolaan informasi menjadi sedemikian penting dalam menunjang kinerja suatu organisasi agar lebih memahami keadaan dan kebutuhan masyaarakat sehingga tercipta komunikasi yang lancar antara pemerintah dan masyarakat.

Selain komunikasi hal-hal lain yang ikut berpengaruh terhadap responsivitas suatu layanan publik adalah sumber daya manusia baik secara kualitas maupun kuantitas. Sumber daya manusia tersebut meliputi pihak pemberi layanan maupun penerima layanan. Hal lainnya adalah sumber-sumber daya lain meliputi kesediaan fasilitas sarana dan prasarana pendukung pelayanan publik maupun kesediaan alokasi dana yang sesuai dengan kebutuhan.

Sumber daya manusia merupakan kunci penentu dalam suatu isu ataupun masalah publik. Hal ini karena manusia merupakan pelaku sekaligus sasaran dalam suatu isu publik. Begitupula dalam suatu pelayanan publik. Sebaik apapun konsep layanan publik dibuat dengan sempurna namun jika pelaksana tidak melaksanakannya dengan baik maka tidak akan sesuai dengan harapan. Hal ini juga berbanding lurus dengan pihak penerima layanan, apabila manusia itu sendiri sebagai penerima layanan tidak menyadari atau tidak adanya kemauan dalam menjalankan atau menerima layanan publik tersebut maka tidak akan efektif.


(41)

commit to user

Agar dalam suatu organisasi publik dapat berperan secara maksimal dalam menjalankan fungsinya, yaitu memberikan layanan publik sesuai dengan prinsip good governance maka sumber daya manusia yang ada di dalamnya harus sesuai dengan kebutuhan dalam penyediaan pelayanan publik. Kesesuaian tersebut meliputi kualitas maupun kuantitasnya. Berkualitas apabila kuantitasnya tidak sesuai atau seimbang dengan fungsi yang harus dijalankan maka fungsi tersebut tidak akan berjalan dengan efektif dan efisien, begitupula sebaliknya. Sedarmayanti (2010:322) organisasi birokrasi publik dapat dibentuk dengan membagi habis fungsi pemerintahan sehingga tercipta struktur organisasi yang layak dan sesuai dengan dasar pemikiran dan fungsi pemerintahan.

Dengan demikian bahwa agar organisasi publik berjalan dengan baik dan mampu memenuhi tuntutan fungsi organisasi itu sendiri harus diimbangi dengan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan yang berarti tidak kurang dan tidak berlebih. Begitupula dengan kualitas sumber daya manusia itu sendiri harus sesuai dengan tugas dan fungsinya. Hessel (2005:188) bahwa aparatur yang berkualitas memiliki beberapa aspek yang perlu dibina yaitu inisiatif, kreativitas, percaya diri sendiri, dinamika, fleksibel, loyalitas, kemampuan berkomunikasi, semangat untuk bekerja kelompok dll.

Kualitas manusia dapat dilihat dari kemampuannya dalam menyikapi dan mengerjakan sesuatu atau menghadapi suatu masalah. Robbins & Judge (2008:57) mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki kemampuan adalah seseorang yang mampu melaksanakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan


(42)

commit to user

yang diberikan padanya. Kemampuan tersebut dibagi menjadi dua, yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Kemampuan intelektual dibutuhkan oleh seseorang dalam menjalankan berbagai tugas yang berkaitan dengan aktivitas yang berkaitan dengan nalar dan pola pikir yang biasanya diperoleh melalui proses pembelajaran dalam dunia pendidikan. Sedangkan kemampuan fisik berkaitan dengan pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan aktivitas otot yang membutuhkan stamina tubuh yang prima.

Hal berikutnya adalah sumber-sumber daya lain diantaranya adalah kesediaan fasilitas sarana dan prasarana yang menunjang jalannya pelayanan publik serta adanya alokasi dana yang sesuai dengan kebutuhan. Sumber daya manusia yang siap baik secara kualitatif maupun kuantitatif apabila tidak didukung dengan sumber-sumber daya lainnya seperti fasilitas sarana dan alokasi dana yang cukup maka program atau layanan tersebut akan menjadi susah terealisasikan.

Ekowati (2009:80) mengemukakan bahwa dalam pemenuhan kebutuhan dan kepentingan masyarakat melalui pelayanan publik organsasi tidak bisa lepas dari kebutuhan akan financial yang cukup dimana mampu memenuhi kebutuhan pelaksanaan program pelayanan publik. Alokasi sumber daya finansial yang memadai juga dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan fasilitas yang dibutuhkan terkait dengan pelaksanaan program sehingga masyarakat pengguna dapat menikmati fasilitas sesuai kebutuhan pelaksanaan suatu program.

Kebebasan daerah dalam konsep otonomi daerah ditujukan agar daerah mampu melayani kepentingan dan memenuhi kebutuhan masyarakat dengan lebih responsif. Seringkali pelaksanaan otonomi daerah dalam hal manajemen pemerintah daerah cenderung menjadi salah kelola.


(43)

commit to user

Adanya pelaksanaan otonomi daerah diharapkan pemerintah daerah menjadi lebih dekat dengan masyarakat sehingga kebutuhan masyarakat bisa terlayani dengan baik. Dalam kenyataannya seringkali dijumpai adanya pelayanan dari pemerintah daerah yang justru menyulitkan kepentingan masyarakatnya. Menurut Sutari Sukawi dalam Romli (2007:139) masalah tersebut seringkali ditemui dalam aparat pemerintah daerah salah satunya adalah karena lemahnya sanksi yang tegas sehingga cenderung tidak ada control yang baik dalam kinerja mereka.

Lemahnya displin dan buruknya mental aparatur dalam menjalankan tugasnya merupakan akibat adanya sanksi yang tidak tegas yang bisa menjadikan mereka bekerja dengan lebih professional yang berorientasi efektif dan efisien dalam memberikan pelayanan yang responsif terhadap masyarakat. Kesan budaya patrimonial pada birokrasi kita harus diubah secara tegas. Menekankan bahwa birokrat bukan pihak yang dilayani tapi justru mereka yang harus melayani kebutuhan dan kepentingan masyarakat dengan baik.

Osborne dalam Romli (2007:140) berpendapat bahwa “Pemerintah yang demokratis lahir untuk melayani warganya, tugas pemerintah adalah untuk mencari cara menyenangkan warganya”. Dengan demikian bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang mengenal dengan baik kepentingan dan kebutuhan masyarakatnya serta menempatkan kebutuhan dan kepentingan masyarakat diatas kebutuhan pribadi mereka. Menuntut birokrat agar agresif dalam melayani kebutuhan dan kepentingan masyarakat sehingga tercipta rasa puas atas pelayanan tersebut.


(44)

commit to user

Kompetensi birokrasi yang dituntut oleh good governance adalah kemampuannya untuk menjembatani antara negara dan masyarakat madani, yaitu birokrasi harus mampu memberikan pelayanan publik dengan adil dan inklusif dengan sebaik–baiknya dan hal ini menuntut kemampuan untuk memahami dan mengartikulasikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat, merumusakannya dalam kebijakan mengimpelementasikannya (Khan dan Meimer dalam Tangkilisan, 2005:187).

Dalam penelitian ini peneliti akan melihat dan menyimpulkan kemampuan Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap dalam memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat khususnya mengenai industri jamu tradisional atau obat tradisional dari sisi kesehatan masyarakat dan menyelesaikan masalah yang tengah terjadi agar menjadi produksi yang layak konsumsi sesuai dengan fungsi dari Dinas ini.

3. Kesehatan Dalam Perspketif UU

Kesehatan merupakan aspek kehidupan yang begitu penting dan menetukan aspek kehidupan yang lainnya. Tanpa kesehatan manusia tidak mampu menjalankan aktivitas hidupnya dengan baik. Dengan kesehatan manusia mampu melakukan produktivitasnya dengan baik sehingga mampu berkarya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Terdapat hubungan yang positif antara kesehatan dan produktivitas kerja (Todaro & Smith, 2004:413).

Dalam sistem kesehatan masyarakat, terdapat 5 (lima) karakteristik utama, yakni adanya peran pemerintah; masyarakat sebagai fokus program kesehatan; hubungan antara pemerintah dan masyarakat; pelayanan, dan kewenangan pemerintah (Dwiyanto, 2009:357). Dengan demikian dalam upaya kesehatan dibutuhkan sinergitas dan kerjasama antar pemerintah dan masyarakat dalam


(45)

commit to user

mewujudkan kesehatan masyarakat secara adil dan merata dalam berbagai bentuk pelayanan kesehatan.

Oleh karena itu kesehatan harus diupayakan pada seluruh masyarakat secara adil dan merata. Kesehatan menunjukan martabat bangsa. Upaya kesehatan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya melalui cara tradisional sesuai dengan Pasal 48 ayat 1 (b) : penyelengaraan upaya kesehatan melalui kegiatan pelayanan kesehatan tradisional (UU Kesehatan, 2009:189). Khususnya di Indonesia sebagai negara agraris yang kaya akan jenis flora yang bermanfaat bagi kesehatan manusia yang merupakan kekayaan tersendiri yang tidak semua negara lain memilikinya.

Upaya kesehatan tradisional dalam dilakukan dengan dua jenis kegiatan. Tertuang pada pasal Pasal 59 tentang pelayanan kesehatan tradisional ayat 1 (a): pelayanan kesehatan menggunakan ketrampilan (b) : pelayanan kesehatan yang menggunakan ramuan (UU Kesehatan, 2009:193). Akan menjadi lebih baik apabila dua jenis pelayanan kesehatan tradisional tersebut secara maksimal dan secara berkesinambungan. Ramuan yang berkhasiat dipadukan dengan tekhnik ketrampilan meramu dengan baik dan professional.

Dalam prosesnya agar masyarakat memiliki kemampuan untuk menghasilkan atau produktif maka masyarakat harus dilibatkan dalam pengolahan sumber daya yang dimiliki salah satunya kekayaan alam hayati seperti banyaknya jenis tumbuhan yang berkhasiat untuk kesehatan. Dalam UU kesehatan Pasal 99 ayat 2 : masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan,


(46)

commit to user

meningkatkan, dan menggunakan sediaan farmasi yang dapat dipertanggungjawabkan (UU Kesehatan, 2009:205). Pertanggungjawaban tersebut yaitu tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain termasuk pada konsumen hasil produksi tersebut.

Agar produksi jamu atau obat tradisional sesuai dengan standar kesehatan maka produksinya harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh Lembaga Balai Obat dan Makanan RI Nomor : HK.00.05.4.1380 yaitu tentang CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik). Dalam CPOTB tersebut mengandung materi bahan produksi, standar gedung yang digunakan, tekhnisi, izin produksi dan edar. Dengan demikian suatu produksi jamu atau obat tradisional hanya boleh diproduksi dan diedarkan apabila telah sesuai dengan CPOTB melalui izin yang diberikan oleh lembaga-lembaga yang terkait di daerah khususnya Dinas Kesehatan dalam lingkup kabupaten atau kota. Begitu pula mengenai izin industri OT dan pendaftaran OT yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan Nomor : 246/Menkes/Per/V/1990. 4. Konsep Pemikiran

Alur pemikiran dalam penelitian ini dapat terlihat dalam kerangka pemikiran mengenai penelitian tentang Responsivitas Dinas Kesehatan Dalam Pembinaan Jamu Tradisional atau Obat Tradisional.

Seiring dengan perkembangan zaman, tekhnologi mulai dikenal oleh masyarakat luas serta mendapat tempat dihati masyarakat maka industri jamu tradisional atau obat tradisional juga tidak ketinggalan atas adanya perkembangan tekhnologi tersebut. Perkembangan tekhnologi tersebut


(47)

commit to user

menciptakan sejumlah perajin berussaha meningkatkan kualitas jamunya. Hal ini dibuktikan dengan adanya perajin yang berusaha mencampuri jamu produksinya dengan BKO ( Bahan Kimia Obat) namun ada juga yang tetap konsisten dengan ramuan herbal. Adanya sejumlah perajin jamu atau obat tradisional yang menggunakan BKO menyebabkan adanya pemberhentian produksi dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Penggunaan BKO tanpa pengawasan tenaga ahli disinyalir bisa membahayakan kesehatan konsumennya.

Adanya gap antara perajin jamu atau obat tradisional yang menggunakan BKO dan yang tetap konsisten menggunakan ramuan tradisional sehingga menciptakan adanya upaya dari Dinas dengan memberikan pembinaan agar produksi jamu tradisional atau obat tradisional aman bagi kesehatan sehingga tidak membahayakan para konsumennya dan bisa diterima kembali oleh masyarakat luas.

Dalam usaha menyelesaikan permasalahan yang tengah terjadi yaitu agar perajin bisa memproduksi jamu tradisional atau obat tradisional yang aman bagi konsumennya maka pembinaan tersebut harus merupakan pilihan program yang tepat dan mampu memenuhi kebutuhan perajin jamu atau obat tradisional yaitu pembinaan yang responsif terhadap terhadap perajin jamu atau obat tradisional. Diharapkan apabila program pengembangan ini telah sesuai dengan permasalahan yang tengah terjadi maka program tersebut mampu menciptakan keseluruhan produksi jamu tradisional atau obat tradisional yang aman bagi kesehatan. Apabila pembinaan ini berhasil maka akan tercipta produksi jamu


(48)

commit to user

yang lebih baik lagi yaitu lebih berkualitas sehingga mampu meningkatkan kualitas jualnya di pasaran tanpa harus membahayakan kesehatan bagi para konsumennya sehingga mereka perajin yang menggunakan BKO menjadi kembali memproduksi jamu atau obat tradisional yang aman bagi kesehatan atau layak konsumsi dan tidak lagi harus berurusan dengan pihak BPOM.

Pemberian layanan yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakatnya maka akan menunjukan kemampuan suatu organisasi pemerintah yang baik yang mampu menjalankan fungsinya dengan baik pula yaitu pelaksanaan good governance dalam tugas dan fungsinya. Secara tidak langsung apabila suatu organisasi publik mampu menjalankan fungsinya dengan baik salah satunya yaitu pelayanan yang responsif terhadap masyarakat maka organisasi tersebut telah menerapkan nilai-nilai good governance.

Fokus dalam penelitian ini adalah melihat kesesuaian atau responsivitas Dinas Kesehatan dalam memberikan pembinaan dengan yang diharapkan perajin jamu atau obat tradisional. Melihat kesesuaian pembinaan yang dilakukan dengan permasalahan masyarakat perajin jamu atau obat tradisional. Responsivitas tersebut diukur melalui beberapa indikator, diantaranya adalah: 1. Kemampuan dalam menanggapi permasalahan jamu atau obat tradisional 2. Kemampuan mengenal dan memahami kebutuhan masyarakat peracik atau

perajin OT

3. Kemampuan dalam memenuhi kebutuhan 4. Kecepatan dalam memenuhi kebutuhan


(49)

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran

Responsivitas

1. kemampuan menanggapi permasalahan

2. kemampuan dalam mengenal dan memahami kebutuhan

3. kemampuan dalam memenuhi kebutuhan

4. kecepatan dalam memenuhi kebutuhan

IPTEK

Jamu atau OT

BKO Tanpa BKO

Pembinaan DinKes


(50)

commit to user BAB III

METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan studi kasus mengenai responsivitas Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap dalam pembinaan pada industri jamu tradisional di Cilacap khususnya Kecamatan Kroya.

1. Lokasi Penelitian & Jenis Penelitian

Lokasi penelitian diadakan di Kabupaten Cilacap. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada pertimbangan :

a. Kritisnya indutri jamu tradisional di Cilacap yang berkurangnya perajin usaha jamu dari jumlah sebelumnya sekitar ± 1000 pada tahun 1997-2000 perajin kini hanya sekitar ± 254 perajin jamu tradisional karena adanya indikasi produksi jamu yang menggunakan BKO (Bahan Kimia Obat) sehingga menyebabkan adanya pemberhentian produksi oleh BPOM dan Dinas Kesehatan selaku lembaga di daerah.

b. Harapan meningkatkan perekonomian masyarakat dalam sektor mikro khususnya masyarakat Kroya dimana kebanyakan masyarakat Kroya menggantungkan hidupnya pada sektor usaha jamu tradisional atau obat tradisional.

c. Adanya izin dari pihak-pihak yang terkait untuk melakukan penelitian deii Kabupaten Cilacap.


(51)

commit to user 2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan atau menjelaskan fenomena yaitu tentang masalah responsivitas Dinas Kesehatan dalam melakukan pembinaan terhadap perajin jamu tradisional atau obat tradisional. Penelitian deskriptif pada penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Dalam penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan mengenai responsivitas Dinas Kesehatan dalam melakukan pembinaan jamu tradisional atau obat tradisional kepada para perajin jamu atau obat tradisional yang berada di kecamatan Kroya pada khususnya.

Tujuan dari jenis penelitian ini adalah agar mampu menghasilkan suatu informasi kualitatif yang representatif dan mampu melakukan deskripsi yang lebih akurat yaitu dengan menggunakan triangulasi data maupun sumber.

3. Desain Penelitian

Penelitian responsivitas berfungsi untuk melihat tingkat kemampuan dalam menanggapi suatu persoalan/fenomena yang tengah terjadi. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha untuk mendeskripsikan mengenai responsivitas Dinas Kesehatan yang dirasakan oleh perajin jamu atau obat tradisional dalam melakukan pembinaan dalam usaha menciptakan jamu tradisional layak konsumsi. Sesuai dengan jenis penelitian ini yaitu deskriptif maka responsivitas tersebut akan menjelaskan kemampuan Dinas Kesehatan dalam menanggapi persoalan/fenomena yang tengah terjadi sesuai dengan indikator yang diuraikan.


(52)

commit to user 4. Batasan Penelitian

Pada penelitian ini mempunyai dua tujuan yaitu untuk menganalisis mengenai responsivitas Dinas Kesehatan dalam melakukan pembinaan jamu tradisional dan untuk menganalisis kendala/hambatan dalam melakukan pembinaan jamu tradisional yang responsif. Penelitian ini dibatasi hanya pada unit analisis yang telah ditentukan yaitu perajin jamu tradisional khususnya di kecamatan Kroya.

Dalam menjawab formulasi masalah pertama dan kedua dilakukan melalui wawancara kepada sejumlah perajin mengenai sejumlah informasi yang dibutuhkan dalam menunjang kebutuhan penelitian. Informasi akan terus dikumpulkan pada tingkat informasi yang dibutuhkan oleh peneliti sampai pada tingkat jenuh dan mencukupi semua kebutuhan infomasi.

5. Unit Analisis

Unit analisis dalam penelitian ini adalah perajin jamu tradisional khususnya di kecamatan Kroya. Analisis dilakukan untuk mengetahui responsivitas Dinas Kesehatan dalam melakukan pembinaan yang diberikan kepada perajin jamu dalam upaya menciptakan jamu trasisonal yang layak konsumsi.

Dalam penelitian ini peneliti berusaha untuk mengetahui responsivitas yang dirasakan oleh perajin terkait pembinaan yang diberikan kepada mereka.


(53)

commit to user 6. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah perajin jamu tradisonal di Cilacap khususnya masyarakat di Kroya. Sampel dalam penelitian diperoleh melalui non-probability sampling yaitu tekhnik pengambilan sampel yang tidak memberikan peluang/kesempatan yang tidak sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel (Sugiyono, 2008:218). Tekhnik sampel yang digunakan yaitu dengan teknik Purposive Sampling yaitu teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2008:219).

Dalam penelitian ini sampel yang diambil adalah sejumlah perajin jamu dimana sampel yang diambil ditentukan berdasarkan pengetahun mereka atas sejumlah informasi yang dibutuhkan oleh peneliti. Diutamakan adalah mereka yang masih melakukan produksi jamu tradisional dan pernah mengikuti pembinaan yang yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan. Mereka yang masih berproduksi dianggap mereka masih akurat mengenai pengetahuan perkembangan jamu tradisional Cilacap.

7. Sumber data

Penelitian ini menggunakan sumber data primer dan sekunder yang diambil dari individu dan lembaga/instansi yang berkaitan dengan penelitian ini.

1). Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari lapangan (informan). Fakta atau keterangan yang diperoleh secara langsung


(54)

commit to user

ataupun dari media-media komunikasi, misalnya telepon dari pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan masalah yang menjadi objek penelitian. Data primer dalam penelitian ini adalah berasal dari wawancara langsung dengan perajin jamu tradisional di kecamatan Kroya yang dianggap memiliki informasi yang dibutuhkan oleh peneliti. Wawancara dilakukan kepada perajin jamu yang masih aktif berproduksi dan mengikuti pembinaan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan baik formal maupun non-formal. 2). Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dilapangan melainkan diperoleh dari studi dokumentasi yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti. Adapun yang menjadi sumber data sekunder ini meliputi :

a. Dokumen, dokumen yang ada pada Koperasi Aneka Sari berkait dengan masalah jamu tradisional; data mengenai riwayat jamu tradisional yang ada pada Koperasi Aneka Sari berkait dengan masalah yang diteliti. b. Website seperti penggunaan Google dalam mendukung informasi

mengenai masalah yang diteliti sebagai tambahan pengetahuan bagi peneliti.

c. Arsip, diantaranya arsip mengenai izin produksi yang dimiliki oleh perajin dan arsip kegiatan binaan jamu tradisional yang ada pada Koperasi Aneka Sari dan Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap.

Yang dimaksud dalam data sekunder adalah data dan informasi mengenai program/kegiatan yang diperoleh dari Dinas Kesehatan.


(1)

commit to user BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka kesimpulan yang dapat diambil mengenai responsivitas Dinas Kesehatan dalam pembinaan jamu tradisional di kecamatan Kroya adalah sebagai berikut:

1. Pada komponen kemampuan dalam menanggapi persoalan BKO, Dinas Kesehatan bisa dikatakan cukup responsif karena tanggapan yang diberikan melalui sosialisasi dan pembinaan CPOTB merupakan langkah yang tepat karena sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

2. Kemampuan mengenal dan memahami kebutuhan PJ khususnya dalam pelaksanaan CPOTB masih kurang responsif terlihat bahwa Dinas Kesehatan menganggap bahwa semua PJ mampu memenuhi berbagai kebutuhan dalam pelaksanaan CPOTB. Namun kenyataannya adalah sebaliknya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut diantaranya adalah : gedung standar CPOTB temasuk unsur di dalamnya adalah Apoteker, perijinan, bahan baku, serta pengetahuan mengenai tanaman khasiat obat.

3. Kemampuan dalam memenuhi kebutuhan PJ terkait pelaksanaan CPOTB masih kurang responsif terlihat pada sikap Dinas Kesehatan yang lebih menyerahkan urusan kebutuhan PJ kepada PJ itu sendiri, Koperasi dan Disperindagkop. Usaha gedung rintisan yang dipelopori


(2)

commit to user

oleh Koperasi yang masih terkendala masalah izin ANDAL, lay-out,

dan sistem pelaksanaan produksi yang direncanakan, Dinas Kesehatan kurang melibatkan diri dalam hal ini dan tidak ada fleksibilitas dari Dinas Kesehatan.

4. Kecepatan dalam memenuhi kebutuhan para PJ masih dirasa kurang responsif karena dilihat dari pemenuhan kebutuhan para PJ yang sampai saat ini belum juga terpenuhi dengan baik sesuai dengan harapan PJ maka secara tidak langsung upaya pemenuhan kebutuhan oleh Dinas Kesehatan masih cukup lambat. Hal ini juga karena kurang adanya fleksibilitas dari Dinas Kesehatan dalam mempertimbangkan hal-hal yang mungkin sekiranya akan menjadi lebih baik apabila Dinas Kesehatan memberikan fleksibilitasnya yaitu hal-hal yang tidak akan memeberikan kerugian atau bahaya yang lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang akan di dapat. Misalnya saja pada permasalahan lay-out.

Berdasarkan hasil penelitian keempat komponen tersebut maka dapat dikatakan secara keseluruhan bahwa Dinas Kesehatan masih kurang responsif terhadap pembinaan jamu tradisional terkait permasalahan BKO yang terjadi pada jamu atau obat tradisional di Kecamatan Kroya.

Lemahnya responsivitas Dinas Kesehatan dalam penyelesaian BKO pada sejumlah PJ dipengaruhi oleh beberapa faktor di dalamya. Diantaranya adalah:


(3)

commit to user

1) Uang, uang mempengaruhi lemahnya responsivitas Dinas Kesehatan. Uang memeiliki dua kontribusi sebagai penghambat dalam lemahnya responsivitas Dinas Kesehatan. Diantaranya adalah :

a. Uang sebagai modal, keterbatasan modal Dinas Kesehatan dan

PJ menyebabkan sulitnya merealisasikan CPOTB dalam

produksi jamu atau obat tradisional

b. Uang sebagai nilai keuntungan, tingginya nilai keuntungan yang

diberikan dalam produksi jamu menggunakan BKO

menyebabkan PJ masih sering tergiur untuk memproduksi dengan BKO selain juga karena mereka merasa frustasi dengan persyaratan CPOTB yang dirasa sangat memberatkan mereka karena mereka tidak memiliki modal yang cukup.

2). Komunikasi, komunikasi ikut mempengaruhi dalam lemahnya responsivitas Dinas Kesehatan dalam permasalahan CPOTB. Komunikasi juga memiliki dua kontribusi dalam lemahnya responsivitas. Yaitu :

a. Lemahnya konsensus, lemahnya konsensus diantara Dinas Kesehatan dan PJ menyebabkan pemikiran, serta harapan diantara keduanya susah untuk sinkron. Dengan demikian tujuan yang diharapkan oleh Dinas Kesehatan kurang dipahami oleh Dinas Kesehatan. Begitupula sebaliknya hal-hal yang


(4)

commit to user

selama ini menyebabkan mereka masih menggunakan BKO kurang dipahami oleh Dinas Kesehatan.

b. Lemahnya para PJ dalam menyampaikan keluhan dan harapannya

Hal ini masih terkait dengan permasalahan diatas bahwa lemahnya konsensus diantara PJ dan Dinas Kesehatan

disebabkan oleh lemahnya PJ dalam menyampaikan

aspirasinya kepada Dinas Kesehatan dan masih kurang maksimalnya motivasi yang diberikan oleh Dinas Kesehatan dalam menciptakan kondisi untuk penyampaian keluhan secara optimal. Lemahnya penyampaian aspirasi para PJ disebabkan karena krisis percaya diri pada para PJ karena rasa takut dan bersalah mereka atas tindakan yang mereka lakukan yaitu pencampuran produksi dengan BKO.

B. Saran

Saran yang diajukan oleh peneliti diantaranya adalah :

1. Belum berhasilnya pembinaan tersebut seharusnya Dinas Kesehatan lebih

intensif mencari jalan keluar agar pembinaan tersebut berjalan efektif dengan tetap berada dalam koridor keadilan, transparansi, dan semangat citizenship. Dinas Kesehatan seharusnya lebih mendekatkan diri kepada para pengusaha jamu secara personal dengan harapan Dinas Kesehatan lebih memahami permasalahan sebenarnya dari sudut pandang mereka sehingga jalan keluar bersama dapat dicapai dengan baik.


(5)

commit to user

2. Belum terealisasinya CPOTB dalam proses produksi jamu disebabkan karena lemahnya modal yang dimiliki oleh para PJ. Adanya inisiatif para PJ melalui Koperasi merupakan wujud kemandirian masyarakat dalam berwiraswasta. Hal ini seharusnya mendapat apresiasi dari lembaga pemerintah khususnya Dinas Kesehatan serta diharapkan mampu melibatkan diri secara maksimal dalam membantu realisasi CPOTB. Diantaranya adalah fleksibilitas mengenai lay-out, manajemen sistem tata produksi, sosialisasi gedung Center, peng-upayaan percepatan penggunaan gedung Center.

3. Mengingat tingginya manfaat yang bisa didapat dengan manajemen yang tepat yaitu sebagai kantong lapangan kerja serta salah satu sektor penghasil PAD Kabupaten Cilacap seharusnya berbagai lembaga pemerintah khususnya Dinas Kesehatan lebih peka dalam permasalahan tersebut dan konsisten menciptakan jalan keluarnya sehingga sektor jamu benar-benar mampu dijadikan sandaran hidup para pelaku di dalamnya. Selain itu hal ini karena mampu memberikan keuntungan kepada Pemerintah Daerah (melalui PAD). Dalam hal ini tentunya sesuai dalam koridor UU dan peraturan yang berlaku.

4. Sesuai dengan PerMenKes 246 Nomor: 246/MenKes/Per/V/1990 tentang Izin Usaha Industri Obat Tradisional Dan Pendaftaran Obat Tradisional Mentri Kesehatan RI mengenai klasifikasi usaha industri obat tradisional yang tertuang pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat (2) dan (3) maka penerapan prasyarat CPOTB termasuk di dalamnya gedung standar


(6)

commit to user

CPOTB dan Apoteker menjadi tidak logis apabila diterapkan pada seluruh

industri skala kecil khususnya home industry jamu tradisional yang di

kecamatan Kroya dengan modal jauh di bawah Rp 600.000.000 mengingat pemenuhan prasyarat tersebut membutuhkan dana yang besar dan skala usaha yang besar untuk memenuhi kebutuhan tersebut.