Teori Pembagian Kekuasaan PENDAHULUAN

12

1.6.2. Teori Pembagian Kekuasaan

Pembagian kekuasaan dalam suatu Negara, yaitu diletakkan secara vertikal dan horisontal. Kekuasaan secara vertikal adalah pembagian kekuasaan menurut tingkatnya, antara beberapa tingkat pemerintahan. Pembagian vertikal ini bila meminjam istilah Carl J. Friedrich merupakan pembagian kekuasaan secara teritorial territorial division of power. Konsepsi kekuasaan teritorial terpilah sebagai negara kesatuan, federal atau konfederasi. Seperti pembagian kekuasaan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah dalam Negara persatuan, antara pemerintahan federal dan pemerintah Negara bagian dalam federal. Tetapi di banyak kasus pilihan terhadap Negara dengan sifat kesatuan atau federalis adalah pilihan integrasi dari golongan- golongan dalam suatu wilayah. Namun persoalan sifat kesatuan atau federal dari suatu Negara terkait persoalan pada bentuk Negara dan persoalan Negara bersusun samengestelde Staten atau Statenverbindungen, yang oleh Hans Kelsen sebagai form of organization untuk kesemua Negara, baik konfederasi, federasi atau kesatuan yang terdesentralistis. Pada konfederasi terdiri beberapa Negara berdaulat penuh secara ekstern atau intern, bersatu atas dasar perjanjian intenarsional yang diakui dengan menyelenggarakan alat perlengkapan tersendiri dan mempunyai kekuasaan tertentu terhadap Negara anggota konfederasi, tetapi tidak mengikat terhadap warga Negara Universitas Sumatera Utara 13 masing-masing anggota lihat Edward M. Said, Political Institutions. Di sini keanggotaan Negara tidak menghilangkan atau pun mengurangi kedaulatannya sebagai anggota konfederasi, sebab kelangsungan konfederasi berdasar keinginan dan kesukarelaan Negara peserta. Konfederasi umumnya dibentuk untuk maksud tertentu umumnya bidang politik luar negeri dan pertahanan bersama. Sedang bagi Negara kesatuan, merupakan bentuk Negara dimana wewenang legislatif dipusatkan dalam suatu badan legislatif nasionalpusat. Kekuasaan terletak pada pemerintahan pusat dan tidak di pemerintahan daerah. Sementara kekuasaan daerah diposisikan dari kewenangan pusat berdasarkan hak otonomi. Artinya seluruh kedaulatannya keluar atau ke dalam sepenuhnya menjadi wewenang pemerintahan pusat, hal mendasar adalah kedaulatan pada Negara kesatuan tidak terbagi dan bersifat satu. Adapun dua ciri Negara kesatuan adalah pertama supremasi dewan perwakilan rakyat pusat dan kedua tidak adanya badan-badan lain yang berdaulat. Bentuk Negara kesatuan memang merupakan Negara dengan ikatan serta integrasi yang kokoh dibandingkan yang lain. 7 Berbeda dengan Negara kesatuan, pada Negara federalisme agak sukar untuk dirumuskan, mengingat keberadaannya merupakan paduan dari bentuk kesatuan serta konfederasi. Negara federasi mencoba menyesuaikan dua konsep yang sebenarnya bertentangan yaitu kedaulatan Negara federal dalam keseluruhannya atau kedaulatan 7 http:chairulums.wordpress.com20090701kekuasaan-pembagian-dan-alokasinyadiaksestanggal 1 Desember 2013 Pukul 17.00 Wib Universitas Sumatera Utara 14 Negara -negara bagian. Sedangkan penyelenggaraan kedaulatan ke luar dari Negara bagian diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah federal dan kedaulatan ke dalam dibatasi. Dalam pilihan tersebut terdapat satu prinsip, yakni bahwa soal-soal yang menyangkut Negara keseluruhan diserahkan kepada kekuasaan federal sebagai kepentingan nasional. seperti hal perjanjian internasional atau mencetak uang. Bila merujuk K.C. Wheare dalam Federal Government, prinsip pederal mengatakan bahwa kekuasaan dibagi sedemikian rupa sehingga pemerintahan federal dan pemerintah Negara bagian dalam bidang tertentu bebas satu sama lain. Misal kebebasan pemerintah federal dalam soal hubungan luar negeri dan mencetak uang, sedang dalam soal kebudayaan, kesehatan, dan sebagainya adalah hak- hak kebebasan pemerintah Negara bagian dari intervensi pemerintah federal. Dari hal perbedaan federasi dan kesatuan setidaknya ada dua kriteria berdasar hukum positif pertama adalah suatu federasi memiliki pouvoir constituent, yaitu suatu wewenang membentuk undang-undang dasar sendiri serta wewenang mengatur bentuk organisasi sendiri dalam rangka dan batas konstitusi federal. Dalam kesatuan, organisasi bagian - bagian Negara pemerintah daerah selalu mengacu atau ditetapkan oleh pembentuk undang-undang pusat. Kedua,dalam Negara federal wewenang membentuk undang-undang pusat untuk mengatur sesuatu telah terperinci satu persatu dalam konstitusi federal. Sedang Universitas Sumatera Utara 15 dalam Negara kesatuan wewenang pembentukan undang-undang pusat ditentukan atau ditetapkan dalam suatu rumusan umum dan wewenang pembentukan undang- undang yang rendah atau lokal, tergantung pada badan pembentuk undang-undang pusat. Sisi lain, secara insitusi bahwa dalam Negara federal wewenang legislatif terbagi dua bagian, yakni badan legislatif pusat atau federal dan legislatif Negara - negara bagian. Adapun bagi kesatuan, wewenang legislatif berada pada pusat, sedang kekuasaan legislatif rendahan atau lokal didasarkan dalam bentuk undang-undang organik yang ditentukan oleh badan legislatif pusat. Pembagian di atas terjadi juga pada wewenang eksekutif dan administratif. Sedang secara fungsi dikenal dalam fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat eksekutif sebagai fungsi kekuasaan yang melaksanakan undang-undang rule application function , legislatif sebagai fungsi pembuat undang-undang rule making function . dan yudikatif sebagai kekuasaan yang berfungsi mengadili atas pelanggaran undang-undang rule adjudication function. Pembagian kekuasaan menurut fungsi ini dikenal sebagai trias politika atau pembagian kekuasaan division of power , sebagai pembagian kekuasaan horisontal . Bersandar Trias politika tersebut dibangun prinsip normatif bahwa kekuasaan- kekuasaan yang ada tidak diserahkan kepada satu orang, dengan tujuan mencegah penyalahgunaan atau sikap otoriterianisme dari pihak yang berkuasa, tentu dengan Universitas Sumatera Utara 16 tujuan agar hak-hak warga Negara menjadi lebih terjamin. Prinsip ini pertama kali dikemukakan oleh John Locke 1632-1704 dan Montesquieu 1689-1755 dan juga ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan separation of powers. Hal terpenting bagi John Locke dalam bukunya Two Treatises on Civil Government 1690 merupakan kritik atas kekuasaan absolute dari raja-raja Struat Inggris serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang 1688 The Glorious Revolution yang dimenangkan oleh parlemen Inggris. Locke memang membagi kekuasaan negara menjadi tiga, yaitu legislative, eksekutif dan federatif, yang terpisah satu sama lainnya. Locke menyatukan kekuasaan eksekutif dan legislatif, sedang Kekuasaan federatif bagi Locke meliputi segala tindakan menjaga keamanan Negara dalam hubungan dengan negara lain seperti membuat aliansi dan hubungan luar negeri lainnya. Montesqueieu mengembangkan lebih lanjut pemikiran Locke disamping melihat ada despotisme raja-raja Bourbon Perancis dalam LEsprit des Lois The Spirit of the Laws 1748. Dia berkeinginan agar suatu sistem pemerintahan dapat menjamin keberadaan hak-hak dasar warga Negara. Montesquieu memang lebih menekankan kebebasan badan yudikatif, karena menurutnya di yudikatiflah kemerdekaan individu dan hak asasi manusia dijamin dan dipertaruhkan. Perkembangannya, prinsip dari pemisahan atau pembagian kekuasaan dalam perkembangan sejarah politik Amerika diperkuat lagi oleh Checks and Universitas Sumatera Utara 17 Balances , sebagai pengawasan dan keseimbangan agar masing-masing kekuasaan tidak akan melampaui batas wewenangnya. Seperti wewenang Presiden Amerika memveto rancangan undang-undang yang diterima kongres, sementara di sisi lain veto dapat dibatalkan kongres dengan dukungan 23 suara dari kedua majelis. Sedang check pada Mahkamah Agung adalah terhadap eksekutif dan legislatif melalui judicial review hak uji UU, pada hal lain keberadaan hakim agung yang telah diangkat oleh badan eksekutif seumur hidup dapat dihentikan oleh kongres jika terbukti melakukan tindakan kriminal. Termasuk Juga keberadaan Presiden dapat di impeach oleh kongres, tentu saja dengan proses validitas sebab musababnya dengan tetap mengacu pada kepentingan Negara. Dalam konteks Indonesia dari semua hal diatas, para Begawan kemerdekaan memang telah meletakan sistem kekuasaan dalam kebutuhan lokus Indonesia dengan segala kearifan ideologi dan nilai-nilai yang mendasari tentang ke-Indonesia-annya. Seperti pada pilihan kekuasaan yang dimaknai dengan musyawarah mufakat atau permusyawaratan perwakilan yang dipahami sebagai Negara kekeluargaan bukan pilihan demokratisasi ala Barat yang saat ini berlangsung. Juga sikap menjadi Indonesia sebagai Negara Kesatuan berbentuk Republik dan tidak monarki Donstitusional seperti Inggris. Kehati-hatian bersikap pada bentuk dan karakteristik kekuasaan Indonesia memang terpahami upaya menghindari pertentangan politik antar kelompok serta Universitas Sumatera Utara 18 konflik-konflik yang dilatari feodalisme atau politik kedaerahan. Hal itu pula yang tercermati dan menjadi pertimbangan mendasar atas pilihan tersusunnya UUD 1945 ketika itu, yang ke semua diharapkan terakomodasi sebagai satu kesatuan tanpa harus mengorbankan siapapun. Walaupun dalam sistem kekuasaan atau pemerintahan Negara hukum berciri kekeluargaan yang direka the founding fathers memang perlu dicermati dan ditegaskan peraturannya agar Nepotisme dan kekerabatan tidak membentuk peodalisme dan kolusif, yang lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Sehingga pilihan kekuasaan tetap di koridor yang mengedepankan prinsip keadilan, transparansi informasi dan keterbukaan akses, prinsip persamaan atau kesetaraan warga terhadap perlakuan rejim kekuasaan. Kesemua, tentu saja dalam paradigma demokratisasi bahkan bila perlu dalam sistem kekuasaan ala Indonesia. Kekuasaan adalah kemampuan sesorang atau kelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah lakunya seseorang maupun kelompo lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu mnjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan relationship dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah the rule and ruled, satu pihak yang memerintah, satu pihak yang mematuhi perintah. Misalnya, seorang Universitas Sumatera Utara 19 presiden membuat undang-undang subjek dari kekuasaan, tetap disamping itu juga dia harus tunfuk kepada undang-undang objek dari kekuasaan. Namun demikian kekuasaan politik tidaklah mungkin tanpa penggunaan kekuasaaan machsuitoefening. 8 1.7.Metodologi Penelitian Kekuasaan itu harus digunakan dan dijalankan. Apabila penggunaan kekuasaan itu berjalan efektif, hal ini dapat disebut sebagai “Kontrol” penguasaan pengendalian. Dengan sendirinya untuk menggunakan kekuasaan politik yang ada, harus ada penguasa yaitu pelaku yang memegang kekuasaan Mactsniddelen agar pengguanaan kekuasaan itu dapat dilakukan dengan baik Adapun yang dimaksud dalam kekuasaan politik disini adalah seperti apa yang terdapat dalam Trias Politica. Berdasarkan dari uraian diatas dan penjelasan tujuan penelitian maupun kerangka dasar teori diatas, penelitian ini memiliki tujuan metodologis yaitu deskriptif menggambarkan. Penelitian deskriptif adalah cara yang digunakan untuk memecahkan masalah yang ada pada masa sekarang berdasarkan fakta dan data - data yang ada. Penelitian ini untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena. 9 8 Miriam Budiharjo dan Ibrahim Ambong, Fungsi Legislatif dalam Sistem Politik Indonesia Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Hal. 35-37 9 Bamabang Prasetyo dkk, Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo Perasada,2005,hal.42. Tujuan dasar penelitian deskriptif ini adalah membuat Universitas Sumatera Utara 20 deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta - fakta, sifat- sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Jenis penelitian ini tidak mempersoalkan jalinan hubungan antara variabel yang ada, tidak dimaksudkan menarik generalisasi yang menjelaskan variabel-variabel yang menyebabkan suatu gejala atau kenyataan sosial. Karenanya pada penelitian deskriptif tidak menggunakan atau melakukan pengajian hipotesa seperti yang dilakukan pada penelitian eksplantif berarti tidak dimaksudkan membangun dan mengembangkan pembendaharaan teori, 10

1.7.1. Jenis Penelitian