Kerangka Teori dan Konseptual 1. Kerangka Teori

Hal tersebut dapat dilihat Pasal 12 ayat 2 KUHP, yang menyebutkan bahwa pidana penjara waktu tertentu paling pendek 1 satu hari dan paling lama 15 lima belas tahun berturut-turut. Sedangkan dalam ayat 4 nya diatur bahwa pidana penjara selama waktu tertentu sekali kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun. Demikian pula dengan pidana kurungan dalam Pasal 18 ayat 1 KUHP, dinyatakan bahwa pidana kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun. Pasal 18 ayat 3 KUHP diatur bahwa pidana kurungan sekali kali tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan. Pasal 30 KUHP, diatur bahwa pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh sen. Apabila pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan dan lamanya pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan dan lamanya pidana kurungan pengganti denda paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan. Faktor eksternal yang membuat hakim bebas menjatuhkan pidana yang bersumber pada ketentuan Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 memberikan landasan hukum bagi kekuasan hakim dimana kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan ini memberikan jaminan terhadap kebebasan lembaga peradilan sebagai lembaga yang merdeka, termasuk didalamnya, kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya. Hakim bebas memilih jenis pidana, karena tersedia jenis pidana didalam pengancaman pidana dalam perundang-undangan pidana. 8 8 Barda Nawawi Arief. Masalah Penegak Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT.Citra Aditya Bakti. Bandung.2001.hal.23 Ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut: 1. Teori Keseimbangan Yang dimaksud dengan keseimbangan disini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban. 2. Teori Pendekatan Seni Dan Intuisi Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim. 3. Teori Pendekatan Keilmuan Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya. 4. Teori Pendekatan Pengalaman Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat. 5. Teori Ratio Decidendi Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasari pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara. Pada titik keadilan atau titik kepastian hukum, sedangkan titik kemanfaatan berada diantara kedua titik tersebut. Pada saat hakim menjatuhkan putusan yang lebih dekat mengarah kepada asas kepastian hukum, maka secara otomatis pula hakim akan menjauh dari titik keadilan. Sebaliknya kalau hakim menjatuhkan putusan lebih dekat mengarah kepada keadilan, maka secara otomatis pula hakim akan menjauhi titik kepastian hukum. Sehingga batas-batas kebebasan hakim hanya dapat bergerak di antara 2 dua titik pembatas tersebut. Hakim dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan suatu perkara bersifat bebas dan tanpa batas. b. Asas-asas Pertimbangan Hukum dalam Putusan Perkara Pidana. Menurut Gustav Radbruch, hukum mempunyai 3 tiga nilai dasar, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Selanjutnya gustav Radbruch mengajarkan penggunaan asas priorotas dari ketiga asas tersebut, antara lain : keadilan merupakan prioritas pertama, kemudian kemanfaatan dan terakhir kepastian hukum. Hakim dalam memutuskan perkara secara kasuistis selalu di hadapkan pada ketiga asas, antara lain : 1 Asas Kepastian Hukum. 2 Asas Keadilan 3 Asas Kemanfaatan. Ketiga asas tersebut harus dilaksanakan secara kompromi, yaitu dengan cara menerapkan ketiga-tiganya secara berimbang atau proporsional, sehingga tidak perlu mengikuti asas prioritas sebagaimana yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch.

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian 9 . Batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Disparitas adalah penerapan pidana disparity of sentencing yang tidak sama same offence atau terhadap tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat dibandingkan tanpa dasar pemberian yang jelas. 10 b. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. c. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. d. Narkotika menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. 9 Soerjono Soekarto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986.hlm.103 10 Muladi. Hak Asasi Manusia Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit UNDIP. Semarang. 2001.hlm.75. e. Penyalahguna narkotika adalah setiap orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum [Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009]. f. Pecandu narkotika menurut Pasal 1 butir 13 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalagunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptuan serta Sistematika Penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan penyusunan skripsi dan diambil dari berbagai referensi atau bahan pustaka terdiri dari pengertian tindak pidana narkotika, pidana penjara dan pidana rehabilitasi.

III.METODE PENELITIAN

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, tersiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data Serta Analisis Data. Analisis dapat dirumuskan sebagai suatu proses penguraian secara sistematis dan konsisten terhadap gejala-gejala tertentu. Penguraian sistematis terhadap gejala atau data yang telah diperoleh baik melalui pendekatan kepustakaan maupun pendekatan sejarah, komparatif dan kasus dipaparkan secara deskriptif dan menggunakan analisis kualitatif dengan penguraian secara deskriptif analisis dan preskriptif, kombinasikan dengan analisis yuridis dan konseptual.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi dan pembahasan mengenai disparitas pemidanaan terhadap pengguna narkotika antara pidana rehabilitasi dan pidana penjara dan keadilan substantif dalam disparitas pemidanaan terhadap pengguna narkotika antara pidana rehabilitasi dan pidana penjara.

V. PENUTUP

Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditunjukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana Narkotika

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukannya 1 . Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika adalah bahanzatobat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otaksusunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosial karena terjadi kebiasaan, ketagihan adiksi serta ketergantungan dependensi 2 . 1 Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta.2001. 2 Dharana Lastarya. Narkoba, Perlukah Mengenalnya. Pakarkarya. Jakarta.2006.hlm.15.

Dokumen yang terkait

Peranan Kejaksaan Dalam Melakukan Penuntutan Perkara Tindak Pidana Narkotika

18 154 142

ANALISIS PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Studi Perkara Nomor 892/Pid.SUS (A)/2011/ PN.TK)

0 9 60

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEGAWAI NEGERI SIPIL PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Studi Perkara Nomor : 43 / Pid / Sus / 2011 / PN.TK)

1 11 23

ANALISIS TERHADAP DISPARITAS PEMIDANAAN PUTUSAN PENGADILAN PERKARA TINDAK PIDANA PORNOGRAFI (STUDI KASUS ARIEL PETERPAN PADA WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI KELAS IA BANDUNG)”

6 52 59

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Studi Perkara Nomor 35/Pid. B/2011/PN.M)

0 2 52

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN (Studi Kasus Perkara Nomor 137/Pid.B/2014/PN.BU)

0 4 53

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP DISPARITAS PIDANA DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN Tinjauan Yuridis Terhadap Disparitas Pidana Dalam Perkara Tindak Pidana Pencurian.

0 1 17

SKRIPSI DISPARITAS PIDANA DALAM PUTUSAN PERKARA TINDAK PIDANA Disparitas Pidana Dalam Putusan Perkara Tindak Pidana Pencurian Di Pengadilan Negeri Klaten (Studi Kasus Putusan No.97/Pid.B/2013/Pn.Klt Dan Putusan No.53/Pid.B/2013/PN.Klt).

0 1 11

DISPARITAS PIDANA DALAM PUTUSAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN DI PENGADILAN NEGERI KLATEN Disparitas Pidana Dalam Putusan Perkara Tindak Pidana Pencurian Di Pengadilan Negeri Klaten (Studi Kasus Putusan No.97/Pid.B/2013/Pn.Klt Dan Putusan No.53/Pid.B/

0 2 20

DISPARITAS PIDANA TERHADAP PENYALAHGUNA NARKOTIKA ANAK (Studi Putusan No. 412/Pid.Sus/2014/PN.TK dan No. 432/Pid.B/2014/PN.TK)

0 0 12