Rumusan Masalah Directly Observed Treatment Short-Course DOTS

Berdasarkan tipe penderita 12 : • Kasus baru. Penderita belum pernah mendapat OAT atau bila sudah mendapatkan pengobatan, pemakaiannya kurang 30 hari. • Kasus kambuh relaps. Penderita sudah tuntas pengobatan OAT. Kembali lagi dengan diagnosis TB paru BTA positif dan mendapatkan pengobatan. • Kasus pindahan transfer. Penderita sudah berobat di kabupaten sebelumnya kemudian pindah, sehingga harus membawa surat rujukan. • Kasus lalai berobat. Penderita sudah pernah menggunakan obat minimal satu bulan kemudian berhenti dua minggu atau lebih dan kemudian datang kembali untuk berobat. • Kasus gagal pengobatan. Penderita BTA masih positif atau kembali positif pada bulan ke lima satu bulan sebelum pengobatan berakhir. Termasuk dalam kriteria gagal pengobatan jika sebelumnya penderita BTA negatif dan hasil gambaran radiologi positif, kemudian BTA menjadi positif dan atau disertai pemeriksaan radiologik yang memberikan gambaran perburukan. • Kasus kronik. Penderita setelah menyelesaikan pengobatan kategori dua masih menunjukkan hasil BTA yang positif. • Kasus bekas TB. Penderita dengan riwayat pengobatan dengan OAT yang adekuat setelah dilakukan pemeriksaan menunjukkan hasil pemeriksaan BTA negatif dan pemeriksaan radiologi tampak lesi inaktif, begitu juga dengan gambaran radiologi serial yang menunjukkan gambaran menetap. Penderita juga bisa dengan kriteria memiliki gambaran radiologi lesi aktif yang meragukan dan setelah dilakukan pengobatan OAT selama dua bulan tidak ada perubahan gambar radiologi.

2.1.5. Diagnosis

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Gejala klinis pada pasien terdiri dari gejala klinis respiratorik dan gejala klinis sistemik. Gejala klinik respiratorik terdiri dari batuk kronik lebih dari dua minggu, berdahak, batuk berdarah, sesak dan nyeri dada. Adapun gejala klinik yang sifatnya sistemik yaitu anoreksia tidak nafsu makan, demam, keringat malam, malaise dan berat badan menurun. 12 Saat dilakukan pemeriksaan fisik, hasil yang ditemui berupa suara napas bronchial, amforik, suara napas melemah, ronkhi basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum. 12 Diagnosis pasien dibantu dengan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan mikroskopik berupa pemeriksaan BTA, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan lainnya. Pemeriksaan mikrobiologik pewarnaan BTA merupakan baku standar penegakan diagnosis TB paru. 13 Pada pemeriksaan mikroskopik, dilakukan pemeriksaan dari specimen pasien selama tiga hari berturut-turut. Jika ditemukan minimal 2 dari 3 spesimen pemeriksaan positif berdasarkan interpretasi Bronkhorst atau IUATLD, maka pasien dinyatakan TB dengan BTA positif. Pasien juga dapat dapat didiagnosis BTA positif jika setelah pemeriksaan pertama hanya 1 spesimen negatif kemudian pada pemeriksaan kedua kalinya minimal 2 dari 3 specimen ditemukan positif. 12 Pemeriksaan radiologi membantu diagnosis awal pasien TB meskipun bukan merupakan baku standar pemeriksaan penyakit ini. Pada pemeriksaan radiologi, permintaan foto standar berupa foto PA dengan atau tanpa foto lateral. Temuan pada pemeriksaan radiologi sangat bervariasi. Gambaran radiologi yang dicirikan sebagai gambaran untuk penyakit tuberkulosis lesi aktif yaitu adanya nodular atau bayangan di segmen apeks dan posterior lobus atas dan segmen superior pada lobus bawah paru. Bentuk lainnya bisaberupa kavitas, bercak millier dan efusi pleura. Pada lesi yang nonaktif, cendrung terlihat gambaran fibrotik, terutama bagian apeks dan atau posterior lobus superior. 12 Pemeriksaan penunjang dengan PCR polymerase chain reaction,uji serologi, BACTEC, pemeriksaan cairan pleura, histopatologi jaringan, pemeriksaan darah, dan pemeriksaan tuberkulin juga dapat membantu untuk diagnosis penyakit tuberculosis. 12 Uji tuberkulin dapat dilakukan untuk deteksi infeksi tuberkulosis di daerah yang memiliki prevalensi rendah. 12 Uji tuberkulin ditemukan oleh Robert Koch dengan mengambil konsentrat steril dari biakan cair yang sudah mati. Uji ini untuk mengetahui apakah seseorang memiliki kekebalan terhadap bakteri TB dengan prinsip delayed-hypersensitivity atau hipersensitivitas tipe IV. Teknik penyuntikan dilakukan secara intradermal. 14 Hasilujiakan postif bila ditemukan edema atau infiltrat lokal pada lokasi bekas suntikan setelah 48-72 jam pasca penyuntikan. Diagnosis ini cukup efektif dilakukan pada penderita yang terinfeksi laten di negara dengan pendapatan yang rendah karena harganya yang tidak terlalu mahal. 15

2.1.6. Pengobatan

Pasien tuberkulosis diberikan regimen terapi berupa obat anti tuberkulosis OAT. Tujuan terapi dengan OAT menurut WHO adalah meningkatkan kualitas hidup pasien, mencegah relaps, mencegah kematian, dan mencegah perkembangan resisten obat. Manfaat lainnya tidak hanya bermanfaat bagi pasien sendiri, namun juga bermanfaat untuk orang-orang yang berada di sekitar pasien karena OAT bisa mengurangi transmisi tuberculosis. 17 Obat-obatan anti tuberkulosis terdiri dari beberapa golongan dan jenis. Penggunaannya tidak dengan terapi tunggal monotherapy namun beberapa obat dikombinasikan untuk mencapai efek penyembuhan. Fase pengobatan terdiri dari dua tahap, yaitu fase intensif dan fase lanjutan. Fase intensif bertujuan mencegah resistensi obat dan dapat mengurangi transmisi setelah pemakaian dua minggu berturut-turut. Fase lanjutan untuk membunuh kuman persisten agar tidak kambuh. 16 Tabel 2.1. Golongan dan Jenis Obat Golongan dan Jenis Obat Obat Golongan-1 Obat Lini Pertama Isoniazid H Ethambutol E Pyrazinamide Z Rimapicin R Streptomycin S Golongan-2 Obat Suntik Obat Lini kedua Kanamycin Km Amikacin Am Capreomycin Cm Golongan-3 Golongan Floroquinolone Ofloxacin Ofx Lefofloxacin Lfx Moxifloxacin Mfx Golongan-4 Obat bakteriostatik lini kedua Ethionamide Eto Prothionamide Pto Cycloserine Cs Para amino salisilat PAS Terizidone Trd Golongan-5 Obat yang belum terbukti efikasinya dan tidak direkomendasikan oleh WHO Clofazimine Cls Linezolid Lzd Amoxilin-Clavulanat Amx-Clv Thioacitazone Thz Imipenem Ipm Sumber: Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, 2011 Pengobatan kategori 1 yaitu 2HRZE4H3R3 kepada pasien dengan kriteria pasien baru TB paru BTA positif, pasien baru BTA negatif foto toraks positif dan pasien TB ekstraparu. Pasien yang sudah berobat sebelumnya kemudian mengalami kekambuhan, gagal pengobatan atau putus obat diberikan pengobatan kategori 2 yaitu 2HRZESHRZE5H3R3E3. 16

2.1.7. Hasil Pengobatan dan Pemantauan

Hasil pengobatan pasien bervariasi yaitu 16 : • Pasien sembuh. Pasien menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan apusan dahak ulang follow-up hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya. • Pasien dengan pengobatan lengkap. Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tapi tidak ada hasil pemeriksaan apusan dahak ulang pada AP dan satu pemeriksaan sebelumnya. • Pasien meninggal.Pasien yang meninggal dalam masa pengobatan oleh sebab apa pun. • Pasien putus berobat default. Pasien yang tidak berobat 2 bulan atau lebih berturut-turut sebelum masa pengobatannya selesai. • Pasien gagal.Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. • Pasien pindah transfer. Pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan register lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui. • Pasien dengan keberhasilan pengobatan. Jumlah yang sembuh dan pengobatan lengkap. Digunakan pada pasien dengan BTA + atau biakan positif.

2.2. Directly Observed Treatment Short-Course DOTS

Directly Observed Treatment Short-Course DOTS merupakan strategi pengendalian TB yang dikeluarkan oleh WHO sejak tahun 1995. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci yaitu: • Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan • Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya • Pengobatan standar dengan supervisi dan dukungan bagi pasien • Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif • Sistem monitoring pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program. 20

2.3. Pengawas Menelan Obat PMO

Pengawas menelan obat adalah seseorang yang mengawasi pasien TB dalam menelan obat. 20 Pengawas menelan obat adalah poin ketiga dari DOTS yaitu pengobatan standar dengan supervisi dan dukungan bagi pasien. Persyaratan menjadi seorang PMO adalah sebagai berikut 16 : • Seorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati pasien • Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien • Bersedia membantu pasien dengan sukarela • Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien. PMO memiliki beberapa tugas, yaitu 16 : • Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan • Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur • Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang ditentukan • Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

2.4. Keteraturan Berobat

Keteraturan berobat dalam pengobatan TB paru merujuk kepada penelitian yang dilakukan Purwanta yaitu mengambil OAT sesuai jadwal yang ditentukan, yaitu 2 minggu sekali pada fase awal dan 1 bulan sekali pada fase lanjutan atau pasien yang selama periode pengobatan terlambat mengambil OAT 14 hari jika diakumulasikan. Selain itu pasien juga harus minum obat sesuai dosis yang dianjurkan. 21 Keteraturan berobat pasien TB paru dipengaruhi oleh faktor-faktor internal maupun eksternal. Faktor internal berasal dari pasien itu sendiri. Sedangkan faktor eksternal dipengaruhi oleh obat yang diminum, strategi DOTS yang diterapkan pemerintah, dan faktor- faktor yang berasal dari pengawas menelan obat sebagai salah satu program DOTS. Faktor internal yang dapat memberikan pengaruh terhadap keteraturan berobat pasien TB paru meliputi: - pendidikan dan pengetahuan 4 - penyuluhan 32 Obat-obatan yang diminum oleh pasien TB paru dapat memberikan pengaruh terhadap keteraturan berobat pasien. Pengaruh obat terhadap keteraturan berobat pasien berupa waktu yang lama, terapi obat yang tidak efektif, terapi obat tidak aman, mengalami efek samping obat, interaksi obat. Waktu yang lama dalam terapi memberikan kerentanan pasien untuk menghentikan pengobatan sebelum waktu yang ditentukan. Pengobatan dalam jangka yang lama ini padahal sebetulnya ditujukan untuk membunuh bakteri yang dorman sehingga dapat mencegah kekambuhan. Mutu obat dapat memberikan pengaruh tidak adanya perbaikan yang dirasakan pasien sehingga mengurangi keteraturan berobat. Selanjutnya efek samping obat baik yang memberikan efek serius maupun efek ringan merupakan masalah dalam pengobatan yang dapat menguragi keteraturan berobat.. Efek perbaikan juga dapat mendorong pasien untuk memilih menghentikan pengobatan. Sementara itu ketersediaan OAT menjadi bagian dari komitmen politis agar keberlanjutan pengobatan OAT terus berlanjut pada pasien TB Paru. 33 DOTS telah diterapkan di Indonesia sejak 1995. Oleh karena itu keteraturan berobat pada pasien TB juga ditentukan oleh faktor DOTS yang terdiri dari lima komponen yang sudah dijalankan oleh pemerintah: • Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan • Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya • Pengobatan standar dengan supervisi dan dukungan bagi pasien • Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif • Sistem monitoring pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program. 20 Keberhasilan DOTS yang diterapkan di suatu fasilitas layanan kesehatan dapat dinilai melalui sepuluh indikator, beberapa di antaranya adalah angka keberhasilan pengobatan dan angka konversi pasien TB. Angka keberhasilan pengobatan yang diharapkan adalah sebesar 85 dan angka konversi sebesar 80. 30 Poin keempat dari DOTS yaitu pengobatan standar dengan supervisi dan dukungan bagi pasien melalui peran PMO. Beberapa penelitian beberapa faktor dari PMO yang mempengaruhi keteraturan berobat dan keberhasilan pengobatan TB Paru yaitu: - wawasan dan pengetahuan PMO 29 - penyuluhan kepada PMO 29 - kinerja PMO 31 Pasien yang berobat selama 6 bulan secara teratur merupakan proses menuju kesembuhan dari penyakit TB Paru. Kesembuhan diartikan jika pasien telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap, pemeriksaan dahak ulang paling sedikit dua kali berturut-turut hasilnya negatif yaitu pada akhir pengobatan danatau sebelum akhir pengobatan, dan pada salah satu pemeriksaan follow up sebelumnya. 16

2.5. Kerangka Teori

Faktor PMO: -Pendidikan dan wawasan PMO -Penyuluhan -Kinerja Ketersediaan OAT Komitmen politis Pencatatan dan pelaporan Deteksi Kasus Strategi DOTS Pemerintah Faktor internal: -Pendidikan -Pengetahuan -Penyuluhan pasien -Efek samping OAT -Mutu obat -Efek perbaikan -Ketersediaan -Efektivitas -Interaksi obat Pasien TB Paru Penularan secara inhalasi Orang dengan gejala TB Hasil pemeriksaan positif Pasien TB Paru kasus baru Terapi OAT Lama 6 bulan Masa yang lama Tujuan OAT tercapai Rentan putus obat Pengawasan oleh PMO Kontrol dan pengambilan OAT terjadwal Keteraturan berobat Keberhasilan Pengobatan

2.6. Kerangka Konsep

Pasien TB Paru Strategi DOTS Pengobatan dengan supervisi PMO - Komitmen Politis - Deteksi Kasus - Ketersediaan OAT - Pencatatan dan pelaporan Keteraturan pengobatan Keberhasilan Pengobatan

Dokumen yang terkait

Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan dan Peran Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru Di Puskesmas Teladan Tahun 2005

1 29 111

Hubungan Keberadaan Pengawas Menelan Obat dengan Keteraturan Pasien TB Paru di Puskesmas Ciputat Tahun 2011

0 5 55

HUBUNGAN KINERJA PENGAWAS MINUM OBAT (PMO) DENGAN KESEMBUHAN PASIEN TB PARU KASUS BARU STRATEGI DOTS

2 4 53

HUBUNGAN KINERJA PENGAWAS MINUM OBAT (PMO) DENGAN KETERATURAN BEROBAT PASIEN TB PARU STRATEGI DOTS DI RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA

4 6 53

HUBUNGAN ANTARA PERAN PENGAWAS MINUM OBAT (PMO) DENGAN KEPATUHAN KUNJUNGAN BEROBAT PADA Hubungan Antara Peran Pengawas Minum Obat (Pmo) Dengan Kepatuhan Kunjungan Berobat Pada Pasien Tuberculosis Paru (Bb Paru) Di Puskesmas Nogosari Boyolali.

0 1 14

HUBUNGAN ANTARA PERAN PENGAWAS MINUM OBAT (PMO) DENGAN KEPATUHAN KUNJUNGAN BEROBAT PADA Hubungan Antara Peran Pengawas Minum Obat (Pmo) Dengan Kepatuhan Kunjungan Berobat Pada Pasien Tuberculosis Paru (Bb Paru) Di Puskesmas Nogosari Boyolali.

0 1 14

PENGARUH PERANAN PENGAWAS MENELAN OBAT (PMO) TERHADAP KEBERHASILAN PENGOBATAN Pengaruh Peranan Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Keberhasilan Pengobatan Tb Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Baki Sukoharjo.

0 0 16

PENGARUH PERANAN PENGAWAS MENELAN OBAT (PMO) TERHADAP KEBERHASILAN PENGOBATAN Pengaruh Peranan Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Keberhasilan Pengobatan Tb Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Baki Sukoharjo.

0 1 16

Perbedaan Status Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Kepatuhan Menelan Obat Penderita TB Paru Tahun 2009.

0 0 1

HUBUNGAN KINERJA PENGAWASAN MINUM OBAT (PMO) DENGAN KETERATURAN BEROBAT DAN KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN TB PARU STRATEGI DOTS DI PUSKESMAS MADUKARA KABUPATEN BANJARNEGARA - repository perpustakaan

1 1 16