Saudara 0 Orang tuapamanbibi 210
Anak 210
Total 20100
50 30
10 10
Tidak PMO PMO suamiistri
PMO saudara PMO ortupamanbibi
PMO anak
2 4
6 8
10 A
la sa
n tid
ak p
u n
y a
P M
O PMO tidak pernah datang
Takut penyakit menular pada orang
Tidak merasa perlu karena niat mau sembuh
Malu penyakit diketahui orang lain
Tidak tau ada PMO
1 2
3 4
5 6
7 8
PMO mengawasi menelan obat
PMO tidak mengawasi menelan obat
2 4
6 8
10 12
14 16
18 20
F re
k u
en si
Perilaku keteraturan minum obat
Keteraturan berobat p
Ya Tidak
n n
PMO Ya
Tidak 10
7 50
35 3
15 0.211
Total 17
85 3
15 18.4
18.6 18.8
19 19.2
19.4 19.6
19.8 20
20.2
Fase Intensif Fase lanjutan
Terlambat Tidak terlambat
Fisher’s. Hasil kemaknaan yang didapatkan pada uji Fisher’s adalah p=0.211 yang berarti hasil penelitian ini tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
variable keberadaan PMO dan variable keteraturan berobat pasien TB paru. Dari 20 responden, 10 responden memiliki PMO dan teratur dalam
berobat, 7 orang tidak memiliki PMO dan teratur berobat serta 3 orang yang tidak memiliki PMO dan tidak teratur berobat. Tidak terdapat responden dengan PMO
yang tidak teratur dalam pengobatan. Responden yang memiliki sikap tidak teratur tidak minum obat sesuai jadwal karena lupa dan karena telat mengambil obat
sementara persediaan obat sudah habis. Hasil penelitian ini berbeda dari penelitian yang dilakukan sebelumnya di
lokasi yang sama, yaitu di Puskesmas Ciputat tahun 2010 yang menunjukkan adanya hubungan bermakna p0.05 antara keberadaan PMO dan keteraturan
berobat pasien TB paru kasus baru di Puskesmas Ciputat tahun 2010.
22
Penelitian Naili Fauziyah juga menjelaskan adanya kemaknaan antara keberadaan PMO dan
kasus drop out p=0,019.
23
Penelitian dalam jumlah yang lebih besar dilakukan di provinsi Gauteng Afrika Selatan tahun 2007 dengan melibatkan sejumlah 216 sampel. Penelitian
tersebut menyatakan bahwa terdapat perbedaan terhadap keberhasilan pengobatan dengan ada atau tidaknya ‘treatment supporter’. Responden yang memiliki PMO
dan hasil akhir pengobatan yang sukses terutama pada pasien yang memiliki PMO kurang dari 10, pasien yang tinggal dengan orang lain di rumah, pasien yang
berumur 40 tahun atau lebih, pasien laki-laki, dan pasien dengan pendidikan di tingkat sekunder dan tersier.
26
Tidak adanya hubungan antara keberadaan PMO dengan keteraturan berobat pasien TB Paru dapat disebabkan oleh kurangnya efektifnya peran PMO
dalam mengingatkan pasien untuk minum obat, mengingatkan kembali kontrol ke pusat pelayaan kesehatan dan mengawasi pasien saat menelan obat.
34
Pengawas menelan obat semestinya benar-benar mengawasi pasien saat menelan obat. Penelitian yang menggunakan 760 sampel menyatakan bahwa 84,5
respondennya menyatakan tidak perlunya keberadaan PMO dikarenakan fungsi PMO yang belum efektif tersebut. Dalam penelitian yang serupa tersebut
dikatakan bahwa sebanyak 69,9 responden tidak didampingi PMO dan 66,6 tidak ada yang mengingatkan untuk minum obat TBC paru.
34
Di samping itu bisa terjadi karena faktor-faktor lain di luar keberadaan PMO dalam strategi DOTS yang memiliki pengaruh lebih besar dalam
mempengaruhi keteraturan berobat pasien TB paru.
4.9. Kelemahan Penelitian
Penelitian ini memiliki kelemahan dalam hal keterbatasan sampel. Oleh karena itu, penelitian ini belum bisa menggambarkan dengan baik hubungan
antara keberadaan PMO dan keteraturan berobat pasien. Adanya keterbatasan sampel ini dikarenakan keterbatasan waktu dalam melakukan pengambilan data.
Di samping itu penelitian ini juga memiliki kelemahan dari keragaman lamanya pengobatan yang dilakukan, meskipun semua pasien sudah mengalami
fase intensif dan fase lanjutan. Dikhawatirkan pada pasien yang belum tuntas enam bulan pengobatan, titik jenuh dalam mengonsumsi obat belum terjadi pada
pertengahan pengobatan namun menjelang akhir pengobatan. Penelitian ini dalam proses pengambilan data juga tidak memberikan
perlakuan yang sama saat melakukan wawancara dengan kuesioner kepada responden, sehingga dapat dikategorikan terdapat bias dalam proses pengambilan
data.
36
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan antara keberadaan pengawas menelan
obat dan keteraturan berobat pasien Tb paru kasus baru di Puskesmas Ciputat tahun 2015
5.2. Saran
1. Untuk penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan pengadaan sampel yang lebih banyak dalam waktu yang lebih lama.
2. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan teknik random sehingga dapat disimpulkan secara general.
3. Penelitian mungkin bisa dkembangkan terhadap faktor-faktor lain di samping PMO yang dapat mempengaruhi keteraturan berobat pasien TB
paru kasus baru. 4. Penelitian selanjutnya bisa membandingkan kinerja PMO yang diangkat
secara formal dan tidak formal. 5. Penelitian selanjutnya bisa menilai kinerja PMO yang baik dan dapat
menjadi solusi untuk mengurangi angka kejadian TB yang tinggi dan mengatasi angka default yang tinggi di Kota Tangerang Selatan sehingga
bisa disarankan adanya regulasi terkait PMO dalam menanggulangi TB. 6. Puskesmas dapat memaksimalkan PMO bagi pasien TB dengan basis
keluarga atau masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Global Report WHO 2014.Geneva; 2014: [2 p].
2. Kementerian Kesehatan RI. Riskesdas 2013.Jakarta: Badan Penelitian Dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI; 2013: p.69. 3.
World Health Organization. 2002. An expanded DOTS framework for effective tuberculosis control. Geneva: World Health Organization; 2002:
[2p]. 4.
Priska.P.H Kondoy,dkk. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Pasien Tuberkulosis Paru di Lima Puskesmas di Kota
Manado.Jurnal Kedokteran Komunitas dan Tropik. 2014 Februari; vol.2: p.6. 5.
Bagiada I M, Primasari N L P. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketidakpatuhan penderita tuberkulosis dalam berobat di poliklinik DOTS
RSUP Sanglah Denpasar. Jurnal Penyakit Dalam. 2010 September 3. Vol.11; p.161.
6. Hapsari J R.
Hubungan kinerja pengawas minum obat PMO dengan keteraturan berobat pasien TB paru strategi DOTS di RSUD Dr.Moewardi
Surakarta. Surakarta; 2010: [6p]. 7.
Puri N A. Hubungan kinerja pengawas minum obat PMO dengan kesembuhan pasien TB Paru kasus baru strategi DOTS. 2010: [5p].
8. Cotran R, Kumar V, Robbins S L. Buku Ajar Patologi Robbins. Vol.2.Ed.7.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007; p.544-550. 9.
Hoffman, Christopher J; Churchyard, Gavin C. Clinical Presentation of Tuberkulosis. Elsevier.[2p].
10. Medlar EM. The pathogenesis of minimal pulmonary tuberculosis: a study of 1225 necropsies in case of sudden and unexpected death. Am Rev Tuberc
1948;p.583,p.611. 11. Lawn SD, Zumla AI. Tuberkulosis.Lancet; 2011: 378: p.57-72.
12. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan tuberkulosis di Indonesia. Jakarta; 2006: p.11-15.
13. Wijaya A A. Merokok dan tuberkulosis. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. 2012 Maret Vol.84; p.18-22.
14. Standarization of Mantoux Test. Indian Pediatrics. 2002; 39:p.404-406.
15. McNerney R, Maeurer M, Abubakar I, et al. Tuberculosis diagnostics and biomarkers: needs, challenges, recent advances, and opportunities. J Infect
Dis 2012;205:Suppl 2: p.S147-S58. 16. Persatuan Dokter
Paru Indonesia. Pedoman nasional pengendalian
tuberkulosis. Jakarta: [uknown publisher]; 2011; p.21-26, p.35 17. WHO. Treatment of tuberculosis guidline.Ed.4. Jenewa: WHO; 2010; p.29-
33. 18. Soomro M H, Khan M A, Qadeer E, Odd M. Treatment supporters and their
impact on treatment outcomes in routine tuberculosis program conditions in Rawalpindi district, Pakistan. National Research of Tuberculosis and Lung
Disease. 2012 Juli 26. Vol.11 3; p.15-22. 19. Korua E S, Kapantow N H, Kawatu P T A. Hubungan antara umur, jenis
kelamin dan kepadatan hunian dengan kejadian TB Paru pada pasien rawat jalan di Rumah Sakit Umum Daerah Noongan. Manado. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Samratulangi. 2014; [4p]. 20. Departemen Kesehatan. Riset operasional intensifikasi pemberantasan
penyakit menular tahun 1998 1999-2003.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta. 2004; [1p].
21. Purwanta. Ciri-ciri pengawas minum obat PMO yang diharapkan oleh penderita tuberkulosis paru di daerah urban dan rural di Yogyakarta; 2005;
p.143-147. 22. Kintan R A. Hubungan keberadaan pmo dengan keteratuan berobat pasien
TB paru kasus baru di Puskesmas Ciputat tahun 2010. Jakarta: FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 2010; p.31,p.34.
23. Fauziyah, Naili. Faktor-faktor yang berhubungan dengan drop out pengobatan pada penderita tb paru di balai pengobatan penyakit paru-paru
BP4 Salatiga. Semarang: Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Semarang; 2010; p.48,p.52.
24. Dahlan, Sopiyudin. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Salemba Medika;2012; p.19.
25. Sastroasmoro, Sudigdo. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: Sagung Seto. Ed.3; 2010; p.314.
26. Oduor, Peter A. Do tuberculosi treatment supporters influence patients treatment outcome?.Johannesburg: Faculty of Health Sciences, University of
Witwatersrand; 2007; p.10-16. 27. Munro, Salla.A, Lewin, Simon.A, Smith, Helen.J, Engel, Mark.E, Fretheim,
Atle, Volmink, Jimmy. Patience adherence to tuberculosis treatment: a systematic review of qualitative research. Plos Medicine.2007 Juli 24. Vol.4
7; p.1230-1233, p.1236-1237. 28. Nida, Sofwatun. Epidemiologi spasial kejadian tuberculosis TB di Kota
Tangerang Selatan tahun 2009-2013. Jakarta: FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 2014; p.47.
29. Rohmana O, Suhartini, Suhenda A. Faktor-faktor pada PMO yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita TB Paru di Kota Cirebon.
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia. 2014 Maret; vol.1:p.937. 30. Kementrian
Kesehatan Republik
Indonesia. Pedoman
Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular
dan Penyehatan Lingkungan. 2011; vol.2; p.1-62. 31. Jumaelah N. Hubungan kinerja pengawas menelan obat terhadap
keberhasilan pengobatan TB Paru dengan DOTS di RS.Kariadi Semarang. Medica Hospitalia. November 2013; vol.2 1: p.56.
32. Maesaroh S. Faktor-faktor yang berhubungan dengan keterturan berobat penderita tuberkulosis paru di Klinik PPTIJRC tahun 2009. 2009; p.69.
33. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pharmaceutical care untuk penyakit tuberkulosis. Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan. 2005; p.24-60, p.61-71. 34. Murtiwi. Keberadaan Pengawas Minum Obat PMO Tuberkulosis di
Indonesia. Jurnal Keperawatan Indonesia. 2006 Maret. Vol. 0 1; p.12-15.